Menyelenggarakan tasyakuran bagi lembaga pendidikan di Madura setelah pengumuman kelulusan adalah sebuah tradisi yang sudah melekat lebih dari puluhan tahun yang silam. Acara tersebut bias any diadakan pada sekitar mulai awal bulan Juni hingga pertengahan bulan Juli. Acara yang cukup menelan biaya tidak sedikit ini, masyarakat menyebutnya dengan Haflatul Imtahan atau Imtihanan. Masyarakat sekitar atau para orang tua wali murid begitu cukup antusias mengikuti dan ikut serta dalam penyelenggaraan acara tersebut. Terlihat dari apa yang mereka lakukan untuk acara imtihanan ini dengan beberapa sumbangan yang mereka berikan, dari sesi financial hingga keterlibatan emosi mereka untuk melancarkan acara tersebut.
Terdapat berbagai macam acara dalam imtihanan ini. Penyelenggaraanya bisa satu hari penuh, bahkan di beberapa daerah lebih dari sehari hingga ada yang seminggu. Rentang waktu pelaksanaan tersebut sangat tergantung pada besar dan kecilnya lembaga terkait penyelenggara acara tersebut. Bagi lembaga besar bisa terdapat berbagai macam acara hingga akumulasi dari semua acara bisa memakan waktu lebih dari sehari.
Kemarin hari Sabtu 5 Juli 2008 aku berkesempatan menyaksikan acara rangkaian mtihanan di Kec. Bluto dari awal rangkaian hingga pada acara inti. Cukup ramai, jalanan desa dengan ukuran standart dipenuhi oleh jejalan para pengunjung.
Para wisudawan dari lulusan
Saat aku menikmati tontonan tradisional tersebut, ada perasaan yang berbeda dengan perasaan yang dulu pernah aku rasakan jauh sebelum aku menjadi pria dewasa. Tontonan itu tidak lagi hanya sekadar tontonan yang bernuansa hiburan ramai-ramai saja, tapi melahirkan gejolak perasaan kedewasaanku yang berkaitan dengan perasaan-perasan halus sebagai seorang pria terhadap lawan jenisnya. Keramaian serta hiruk pikuk berbagai jenis suara, suara senar, drum, trompet dan berbagai macam suara bising lainnya menjadi pengiring khayal kelaki-lakianku.
Mataku berbinar, lihat
Diriku yang terasa aneh ini membawaku pada rengkuhan hati untuk memahami apa yang terjadi pada diriku, sehingga suguhan pestaporia orang-orang kampung tersebut tidak menjadi suguhan yang membawaku pada ketenangan. Aku mulai mengganjal otakku untuk berfikir keras di tengah-tengah keramaian. Dari setiap yang terlihat aku ingin mengolahnya menjadi hal yang bermakna pada diriku. Moment ini harus memeberiku pengetahuan yang menjadikan aku lebih bijak dan normal menjadi manusia sejati.
Banyak hal yang dapat aku lihat, namun satu hal yang sangat berkaitan dengan gejolak normal kedewasaanku yaitu, penontonnya.
Lipstik merah serta pakaian seksi hampir tidak bisa dielakkan. Aku sih tidak risih-risih amat dengan hal seperti itu. Itu syah-syah saja, hanya aku sepertinya bingung dalam memperlakukan mereka, terutama beberapa orang yang sempat dulu aku kenal, dan sekarang dia datang menyapaku tentunya dengan suguhan penampilan seperti yang aku gambarkan. Nafsu biologisku bernyanyi dengan riang, namun hati kecil serta prinsip yang aku pegang risih dan terpojokkan. Entahlah…?! aku tertarik karena aku deawasa, atau karena aku dipancing?”. Dua pertanyaan ini yang membuat aku bingung.