Satu hal yang tidak bisa dihindari oleh setiap individu normal di negeri ini untuk tidak menolak ikut urun rembug dalam penuntasan sejumlah persoalan yang melilit bangsa ini. Karena walau bagaimanapun wajah atau kondisi negeri ini tentu tetap menjadi negeri yang layak untuk dicintai oleh setiap anak negerinya. Borok yang menganga, kekurangan di berbagai lini, penghianatan dari sejumlah birokratnya serta sederet problem lainnya adalah realitas tak terhindarkan. Realitas tersebut tak cukup untuk diperbincangkan ataupun dipertontonkan saja, tetapi lebih dari itu setiap anak negeri ini mempunyai beban tanggung jawab untuk merubah wajah negerinya sendiri.
Tanggung jawab merubah wajah negeri ini tentu butuh energi besar, tidak cukup dengan banyak berharap dari kelompok tertentu, apalagi hanya bertumpu pada seorang individu saja. Semua harus mempunyai komitmen untuk memperbaiki bangsa, mulai dari eleman masyarakat paling kecil sampai pada elemen yang paling besar dan luas cakupannya. Tidak ada satu individupun yang merasa paling mampu, tetapi juga tidak boleh ada seorangpun yang merasa paling tidak bisa untuk ikut bersama merubah negeri ini. Setiap individu sama-sama punya potensi untuk berkarya membangun negeri ini. Negeri ini milik bersama, “bukan milikku, bukan milikmu, bukan miliknya, tetapi milik kita bersama”.
Sudah lebih enam puluh tahun negeri ini bebas dari cengkraman negeri asing, tetapi rasa memiliki terhadap negeri ini tidak kunjung subur. Di sana-sini masih saja terlihat bagaimana anak negeri ini menghardik, membantai dan mencurangi saudaranya sendiri dengan menghabisi hak-hak mereka. Para anak negeri yang murtad itu seakan-akan mengambil alih kekejaman penjajah dengan berkedok sebagai para punggawa negeri ini. Lidahnya begitu lihai membacakan mantra kebejatan, tindakannya begitu licin bagai belut memperagakan keculasan. Wajah negeri semakin suram oleh karena rasa cinta dan memiliki yang hilang.
Tanggung jawab merubah wajah negeri ini tentu butuh energi besar, tidak cukup dengan banyak berharap dari kelompok tertentu, apalagi hanya bertumpu pada seorang individu saja. Semua harus mempunyai komitmen untuk memperbaiki bangsa, mulai dari eleman masyarakat paling kecil sampai pada elemen yang paling besar dan luas cakupannya. Tidak ada satu individupun yang merasa paling mampu, tetapi juga tidak boleh ada seorangpun yang merasa paling tidak bisa untuk ikut bersama merubah negeri ini. Setiap individu sama-sama punya potensi untuk berkarya membangun negeri ini. Negeri ini milik bersama, “bukan milikku, bukan milikmu, bukan miliknya, tetapi milik kita bersama”.
Sudah lebih enam puluh tahun negeri ini bebas dari cengkraman negeri asing, tetapi rasa memiliki terhadap negeri ini tidak kunjung subur. Di sana-sini masih saja terlihat bagaimana anak negeri ini menghardik, membantai dan mencurangi saudaranya sendiri dengan menghabisi hak-hak mereka. Para anak negeri yang murtad itu seakan-akan mengambil alih kekejaman penjajah dengan berkedok sebagai para punggawa negeri ini. Lidahnya begitu lihai membacakan mantra kebejatan, tindakannya begitu licin bagai belut memperagakan keculasan. Wajah negeri semakin suram oleh karena rasa cinta dan memiliki yang hilang.