Sejak dari awal praktik politik di negeri ini lebih memilih istilah oposisi dan koalisi dalam menjalankan kepercayaan rakyat. Sejatinya pembagian tersebut tidaklah terlalu mengganggu kenyamanan rakyat, karena maksud dari dualisme laju perpolitikan tersebut diharapkan bisa memberikan keseimbangan konstributif untuk kemajuan negeri tercinta ini. Penyelewengan yang dimungkinkan terjadi pada laju pemerintahan yang dikendalikan oleh partai pemenang diharapkan bisa dikontrol oleh partai politik yang menempatkan posisinya sebagai oposisi, tentu oposisi yang dimaksudkan adalah oposisi dalam arti yang sebenarnya, bukan hanya berdasar sentimentil politis semata. Begitu juga dengan partai-partai yang menyatakan dirinya sebagai partai koalisi pemerintah, tentu juga harus menfungsikan sebagai partai koalisi dengan maksud koalisi yang sebenarnya, bukan hanya sebatas koalisi yang berdimensi lokal kepentingan partainya saja.
Kondisi ideal seperti di atas itulah semestinya partai-partai yang ada tersebut menjalankan agenda politiknya. Tetapi kenyataan selalu tidak semanis idealitas, bahkan cenderung pahit. Saat ini agenda politik paling sensual yang banyak dibicarakan di publik adalah, mengenai wajah koalisi yang semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Sebut saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai salah satu partai koalisi yang akhir-akhir ini terkesan menciderai kongsi politiknya yaitu Partai Demokrat. Hubungan keduanya semakin memanas, apalagi ketika PKS menyatakan tidak setuju dengan agenda politik yang direncanakan oleh Partai Demokrat (PD). Ketidak setujuan tersebut berkaitan dengan perubahan RUU APBN 2012 tentang kenaikan BBM. PKS dinilai inkonsisten dalam menjalankan kontrak politiknya, ketidak setujuan dari kubu PKS terhadap rencana kenaikan BBM tersebut kemudian berujung dengan isu dikeluarkannya PKS dari tubuh koalisi.
Berbagai manuver politik dari kedua belah pihakpun gencar terekam media, masing-masing kubu antara PKS dan PD beradu argumen hingga kemudian terdengarlah isu reshuffle kabinet di tubuh pemerintahan yang dikepalai SBY itu.PD sebagai partai pengendali koalisi mulai menggunakan otoritasnya untuk menggertak mitra koalisinya PKS dengan berencana mencabut wakil-wakil menteri dari partai PKS. Gertakan itu nampakanya ditanggapi dengan santai, bahkan ada personal PKS yang masih dengan optimis menyatakan bahwa PKS tidak akan dikeluarkan dari koalisi. Entahlah apa makna dari tanggapan dingin PKS ini?.
Lepas dari sejumlah persetagangan di atas, jika dicermati lebih dalam, bahwa laju perpolitikan di negeri ini sungguh masih belum mencerminkan suatu laju perpolitikan yang sehat. Kasus rencana reshuffle menteri dari partai koalisi yang dianggap membangkang adalah cerminan dari laju perpolitikan setengah matang. Bila mencoba menelanjangi lebih jauh, baju bernama koalisi yang dirajut oleh PD begitu sangat terkesan transaksional-materealistis semata. Kontrak politik yang dibangun sesama partai koalisi bukan berdasar atas kepentingan rakyat tetapi hanya atas nama kekuasaan saja. Tentu hal ini adalah suatu laju koalisi yang sangat tidak ideal, maka tentu hasil dari pemerintahan yang dijalankankan tidak akan pernah mencapai tujuan yang sebenarnya.
Bagaimanapun usaha pemerintah untuk mencoba mengelabui rakyat tidak akan bisa, koalisi-transaksional di atas begitu sangat kentara, serta sangat mudah dipahami oleh logika orang awam sekalipun sebagai bentuk penyelewengan. Selain dari itu, jika melanjutkan menerawang pada sisi berikutnya dapat diketahui, bahwa koalisi yang dibangun saat ini bukanlah suatu bentuk kerja sama yang berasas kebangsaan dan kebutuhan, tetapi hanya berdasar asas imbalan semata. Adapun maksud dari asas imbalan disini adalah, partai-partai yang menyatakan berkoalisi dalam arti mendukung segala bentuk agenda yang digulirkan pemerintah pada dasarnya hanya untuk mendapatkan bagian kekuasaan dari pengendali pemerintahan. Begitu juga dengn partai pengendali pemerintahan (dalam hal ini PD) seakan-akan merasa harus membagi kekuasaannya sebagai bentuk imbalan atas dukungan partai koalisi yang dimaksudkan. Kondisi ini tentu suatu bentuk perpolitikan yang sangat najis, karena telah mengotori kesucian amanah yang diberikan oleh rakyat.
Kondisi ideal seperti di atas itulah semestinya partai-partai yang ada tersebut menjalankan agenda politiknya. Tetapi kenyataan selalu tidak semanis idealitas, bahkan cenderung pahit. Saat ini agenda politik paling sensual yang banyak dibicarakan di publik adalah, mengenai wajah koalisi yang semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Sebut saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai salah satu partai koalisi yang akhir-akhir ini terkesan menciderai kongsi politiknya yaitu Partai Demokrat. Hubungan keduanya semakin memanas, apalagi ketika PKS menyatakan tidak setuju dengan agenda politik yang direncanakan oleh Partai Demokrat (PD). Ketidak setujuan tersebut berkaitan dengan perubahan RUU APBN 2012 tentang kenaikan BBM. PKS dinilai inkonsisten dalam menjalankan kontrak politiknya, ketidak setujuan dari kubu PKS terhadap rencana kenaikan BBM tersebut kemudian berujung dengan isu dikeluarkannya PKS dari tubuh koalisi.
Berbagai manuver politik dari kedua belah pihakpun gencar terekam media, masing-masing kubu antara PKS dan PD beradu argumen hingga kemudian terdengarlah isu reshuffle kabinet di tubuh pemerintahan yang dikepalai SBY itu.PD sebagai partai pengendali koalisi mulai menggunakan otoritasnya untuk menggertak mitra koalisinya PKS dengan berencana mencabut wakil-wakil menteri dari partai PKS. Gertakan itu nampakanya ditanggapi dengan santai, bahkan ada personal PKS yang masih dengan optimis menyatakan bahwa PKS tidak akan dikeluarkan dari koalisi. Entahlah apa makna dari tanggapan dingin PKS ini?.
Lepas dari sejumlah persetagangan di atas, jika dicermati lebih dalam, bahwa laju perpolitikan di negeri ini sungguh masih belum mencerminkan suatu laju perpolitikan yang sehat. Kasus rencana reshuffle menteri dari partai koalisi yang dianggap membangkang adalah cerminan dari laju perpolitikan setengah matang. Bila mencoba menelanjangi lebih jauh, baju bernama koalisi yang dirajut oleh PD begitu sangat terkesan transaksional-materealistis semata. Kontrak politik yang dibangun sesama partai koalisi bukan berdasar atas kepentingan rakyat tetapi hanya atas nama kekuasaan saja. Tentu hal ini adalah suatu laju koalisi yang sangat tidak ideal, maka tentu hasil dari pemerintahan yang dijalankankan tidak akan pernah mencapai tujuan yang sebenarnya.
Bagaimanapun usaha pemerintah untuk mencoba mengelabui rakyat tidak akan bisa, koalisi-transaksional di atas begitu sangat kentara, serta sangat mudah dipahami oleh logika orang awam sekalipun sebagai bentuk penyelewengan. Selain dari itu, jika melanjutkan menerawang pada sisi berikutnya dapat diketahui, bahwa koalisi yang dibangun saat ini bukanlah suatu bentuk kerja sama yang berasas kebangsaan dan kebutuhan, tetapi hanya berdasar asas imbalan semata. Adapun maksud dari asas imbalan disini adalah, partai-partai yang menyatakan berkoalisi dalam arti mendukung segala bentuk agenda yang digulirkan pemerintah pada dasarnya hanya untuk mendapatkan bagian kekuasaan dari pengendali pemerintahan. Begitu juga dengn partai pengendali pemerintahan (dalam hal ini PD) seakan-akan merasa harus membagi kekuasaannya sebagai bentuk imbalan atas dukungan partai koalisi yang dimaksudkan. Kondisi ini tentu suatu bentuk perpolitikan yang sangat najis, karena telah mengotori kesucian amanah yang diberikan oleh rakyat.