Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 29 November 2008

Aku sering kali memikirkan hidup, kebahagian, duit dan kepuasan. Walaupun aku bukanlah seorang Plato atau bagian para filosof, tapi aku merasa bahwa hidup dan pernak-perniknya perlu dipikirkan, direnungkan untuk kemudian ditemukan gelaran hikmah. Aku menyadari pengetahuanku yang sangat minim menjadi keterbatasan bagiku untuk lebih banyak mengurai makna dari sebuah peristiwa. Aku hanya bisa berbagi secuil pengalaman lewat tulisan-tulisan ringan dan renyah yang aku harapkan suatu saat nanti menjadi sebuah catatan sejarah yang bisa aku kenang di hari tuaku kelak.

Sedikit aku ingin menulis pengalamanku yang terkait dengan duit dan kepuasan. Sebelum aku menginjakkan kakiku di kota Jogja, aku hidup di dalam pesantren dengan pendapatan secara finansial sangat minim sekali. Empat tahun aku hidup dengan honor dibawah satandart minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara logika honor dibawah seratus ribu itu memang tidak cukup untuk menghidupi seseorang selama satu bulan, namun kenyataannya aku malah bertahan sampai empat tahun di pesantren itu yang juga sekaligus pondokku. Kehidupanku lancar-lancar saja, tidak melarat, tidak kekuarangan malah bisa dibilang cukup.

Waktu itu semua kebutuhanku serba tercukupi dengan honor yaang minim itu. Hidipku malah penuh tawa rasanya sangat sedikit sekali guratan kesedihan yang tertimpa padaku waktu itu. Hidup begitu sangat nikmat sehingga semuanya menjadikan aku penuh tawa dan suka, begitulah aku empat tahun di pondokku. berbeda dengan saat ini, aku sekarang hidup di kota besar serta mempunyai pemasukan yang lebih lima kali lipat dari penghasilanku sebelumnya. Secara nominal apa yang aku dapatkan dari sisi finansial cukup banyak untuk ukuran orang sepertiku. Aku dulu menyangka dengan mendapatkan jumlah nominal yang lebih banyak dari apa yang aku dapatkan maka kebahagian dan kepuasan akan semakin terasa dan seakin gampanag aku gapai. Begitulah alam pikiranku sebelum mendapatkan pendapatan seperti sekarang ini.

Setelah aku terjun langsung dan merealisasikan impianku untuk medapatakan jumlah nominal pendaptan yang jauh lebih banyak dari pendapatanku di pondok ternyata fakta menyodorkan kenyataan lain. Honor lima kali lipat dari sebelumnya yang aku gengggam mejadikan aku bermimpi jauh lebih tinggi dari kemapuanku sehingga aku merasakan honor yang sudah besar itu terasa begitu sedikit dan sama sekali tidak memeberiku ketenangan. Aku menajdi gundah, kebutuhan membengkak, gaya hidup ikut-ikutan berubah sehingga kenyataan akhirnya menjadikan aku terhimpit. Honor itu habis sebelum satu bulan. Aku kembali dirundung keresahan.

Keterhimpitanku itu menjadikan aku bertafakkur sambil memohon petunjuk kepada-Nya. Kemudian lahirlah sebuah hasil dari refleksi ringanku yang menyatakan "Bahwa hidup tidak pernah meminta jumlah nominal finansial tapi hidup hanya meminta kepuasan". Dari hasil refleksiku ini kemudian aku berdo'a, bersujud di hadapannya dengan perohonan agar diturunkan gelaran kepuasan bagi hidupku sehingga aku tidak lagi mengejar jumlah rupiah, dolar atau apa saja nilai harga yang menjadikan semua orang buta mata hatinya dan jauh dari syukur.

Jumat, 21 November 2008

Ulang Tahunku yang ke-23

Hujan mengguyur kota Jogja hampir semalam suntuk. Undara dinginpun mengalir menyelimuti lenguhan senyap tidurku. Aku pulas dibelai mesra selimut desiran mimpi indahku. Namun tak satupun mimpi-mimpi itu yang terseret oleh otak sadarku, sehingga tak satupun dari mimpi-mimpi itu yang mampu aku ceritakan kembali. Tapi aku yakin kalau saat itu mimpi menghampiriku dengan keindahan dan keseramannya. Mungkin hujan yang mengguyur itu yang membuat aku lupa tentang mimpi-mimpi malam itu. Ah...sudahlah aku lupakan saja mimpi-mimpi itu.

Semestinya malam itu aku harus bahagia, seperti laiknya orang-orang lain yang bahagia tatkala umurnya bertambah. Malam itu malam tanggal 21 November 2008 yang merupakan malam terakhir di lembaran tahun ke-22 . Artinya tepat jam 00.00 aku akan beralih pada lembaran berikutnya yaitu menginjak awal tahun ke-23 dari perjalanan hidupku. Namun kenyataan berkata lain, malam itu aku jalani seperti malam-malam sebelumnya. Tapi tetap aku sadar kalau pada dini hari kala itu umurku akan bertambah menjadi 23 tahun.

Waktu terus saja mengalir tanpa tersendat oleh apapun akhirnya sampailah jarum jam pada titik yang menunjukkan tepat jam 00.oo. Aku tetap tertidur pulas diantara pergantian dan bertambahnya umurku. Sepertinya pergantian itu bukanlah berarti apa-apa. Aku lebih memilih memanjakan tubuhku di hamparan kasur busa tipis di kamarku. Sudah berlalu pergantiaan yang mempunyai nilai sejarah itu begitu saja, tanpa perayaan apapun. Akhirnya di awal aku membuka mataku aku dikejutkan dering HP-ku, lalu di ujung telepon sana seorang cewek yang mempunya nama Fina mengucapkan kata selamat ulang tahun dengan menggunakan bahasa Inggris " happy birthday to you" begitulah kira-kira yang aku dengar. Aku cuma diam kemudian aku membalasnya dengan simpel "terima kasih" begitu kata terakhir dialogkku di awal pagi di tahun yang ke-23.

Begitu berartikah bertambahnya umur seorang manusia, sehingga harus dirayakan?. Pertanyaan ini menggumpal bagai kabut yang menyelimuti kota Jogja kala itu. Akhirnya aku diseret untuk berfikir menggelayuti makna filosofi dari sebuah perayaan bertambahanya umur. Aku duduk tenang di kamarku sambil mencoba mengais makna di balik kebiasaan orang-orang yang merayakan hari ulang tahun. Kemudian di titik akhir dengan kesadaran dan kemampuan yang aku miliki dan setelah aku menyebrangi samudera tanda tanya tadi, aku menemuka kata sepakat kalau hari ulang tahun itu perlu diperingati namun tidak perlu dirayakan.

Dari refleksi yang aku lakukan di atas aku menemukan dua kosa kata yang hampir mempunyai makna yang sama namun tetaplah menyimpan perbedaan yang mendasar. Dua kata itu adalah "memperingati dan merayakan". Dua kata ini mempunyai kemiripan tapi mempunyai konteks yang berbeda. Kata memperingati mempunyai konteks yang lebih sederhana dibandingkan dengan kata merayakan yang mempunyai kedekatan dengan konteks kemewahan. Konkretnya merayakan adalah peringatan yang diikuti dengan kemewahan. Dari dua kata tadi nampaknya yang paling dekat dan paling pas dengan keadaanku adalah kata memperingati. Selain sederhana konteksnya di dalanya ada nilai yang bisa dikorelasikan pada hal yang relegi.

Akhirnya akupun memutuskan untuk memperingati ULTAH-Ku walau hanya seorang diri. Aku mencoba merefleksikan gelaran 22 tahun masa laluku. Terasa begitu sangat cepat waktu menggulung sisa umurku yang aku tak tahu kapan akhir hamparan umur ini. Hanya sedikit yang bisa aku lakukan selama 22 tahun itu. Rasanya tidak ada prestasi dapat aku banggakan. Dosa bersimbah mem-pasir bak gurun yang bertepi. Rasanya aku malu pada diriku sendiri yang tak mampu mempersembahkan prestasi terbaik untuk hidupku. Sambil menunduk malu aku beristighfar dengan harapan Tuhan Allah-ku menyiramiku dengn guyuran maghfiroh.

Terus aku hanyut dalam gelayut refleksiku sambil juga aku ucapkan syukur, karena Tuhan Allah masih memeberiku kesempatan untuk melanjutkan ibadah kepada-Nya. Semoga Dia selalu menambah iman, umur dan rizkiku hingga akhirnya aku bisa mempersembahakan bagi-Nya pengabdian yang sungguh-sungguh dan mencerminkan 'abdan syakuro.

Minggu, 16 November 2008

Yuk Berpakaian yang Benar,Nyaman & Aman

Bagaimanapun hidup itu perlu diperjuangkan, karena perjuangan itu sendiri adalah kehidupan. Banyak hal yang perlu diperjuangkan. Yang paling utama untuk diperjuangkan adalah harga diri. Harga diri merupakan esensi hidup paling mahal yang harus tetap dijunjung tinggi. Selain itu tak ada nilai tukar yang sejajar dengan harga diri, karenanya harus diperjuangkan agar esensi dari harga diri dan hidup itu sendiri tetap menjadi nilai tertinggi dari sekian nilai-nilai yang lain dalam hidup ini. Harga diri erat sekali dengan keberadaan kita sebagai manusia secara umum, namun lebih itu harga diri yang paling mahal adalah harga diri kita sebagai seorang muslim yang mu'min.

Demikian berat perjuangan yang harus dilakukan oleh seorang manusia demi menjaga harga diri. Banyak hal yang akan menjadi korban karenanya. Kadang kala bisa menyisakan lara yang begitu menyayat, sehingga untuk beberapa orang yang lemah akan rela menjual harga dirinya dengan harga yang sangat murah. Mempertahankan harga diri merupakan sebuah konsekwensi logis dari penciptaan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna. Adapun prihal konkret yang berkaitan dengan harga diri manusia adalah menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Sebenarnya konsep amru bil ma'ruf & naha anil munkar merupakan hal yang mendasar yang setiap orang mengetahuinya. Walau demikian tidak sedikit dari kita yang hilaf atau mungkin malah dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban tersebut. Pada akhirnya kewajiban mendasar itu menjadi hal yang terlupakan. Pada saat hilaf dan melupakan kewajiban yang mendasar itu pada hakikatnya seorang manusia telah dengan sengaja menghancurkan harga dirinya sendiri. Begitu sebaliknya ketika seorang individu dengan gigih menjalankan konsep atau kewajiban di atas dengan konsekwen maka secara tidak langsung dia telah mempertahankan harga dirinya sendiri. Sekali lagi mempertahan kan harga diri adalah berat dan menyakitkan.

Kalau dikaji lebih dalam antara kewajiban dengan harga diri adalah dua kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya keduanya ada keterkaitan yang memungkinkan adanya efek kausalistis. Secara umum tugas dan kewajiban seorang hamba begitu sangat banyak sehingga dengan demikian juga banyak harga diri yang harus diperthankan. Satu hal kecil yang terasa terlupakan di tengah-tengah banyaknya kewajiban yaitu cara berpakaian. Bagi seorang muslim pakaian selain sebagai hiasan juga merupakan penutup aurat. Jadi patokan utama dan menjadi kewajiban bagi setiap muslim agar berpakaian yang menutup aurat namun juga tidak melupakan harus mempunyai nilai-nilai keindahan sebagai unsur dari hiasan. Ketikan kewajiban ini terpenuhi maka dengan tidak sengaja berarti seorang muslim tadi sudah mempertahan harga dirinya dalam hal cara berpakaian.

Kalau kita mencoba menilik dari fakta konkrit di sekitar kita banyak didapat pakaian hanya sebatas hiasan dengan mengesampingkan patokan utama sebagai penutup aurat. Sehingga yang disajikan dari pemadangan model yang semacam ini adalah penjajaan aurat yang vulgar dan mengundang syahwat. Disadari atau tidak, di-iyakan atau tidak yang namanya sajian bokong semok dari balik model pakaian yang tidak syar'ie tetap akan mengundang syahwat. Model pakaian seperti ini adalah pakaian yang tidak layak bagi seorang muslim, karena secara tidak langsung harga dirinya sebagai manusia telah diinjak-injak akibat dari tidak mengindahkan kewajiban-Nya untuk menutup aurat.

Namun untuk beberapa kelompok muslim yang mengaku modern, ini bagian dari perkembangan dunia yang harus diikuti. Bagitu sangan dangkalnya pemahaman tentang komodernan kelompok ini. Banyak hal yang mereka lakukan demi melegalkan tontonan vulgar tersebut, demo menolak UU pornografi sampai aksi telanjang bulat yang pernah dikukan ratusan orang di Amerika. Lucu bukan?!

Secara jujur model pakaian dengan mempertontonkan bokong tersebut tidaklah terlalu keren-keren amat sih, bahkan terkesan sangat kuno. Coba kita lihat suku Indian dengan pakaian serba kekurangan yang persis sama dengan pakaian-pakaian saat ini yang dianggap modern. Apa bisa dikatakan modern kalau bercermin pada orang-orang kolot di tengah hutan sana?? jawabannya terserah Anda......

Senin, 10 November 2008

Untuk Pahlawanku

Tanggal 10 November merupakan hari Pahlawan yang hampir semua orang tahu tentang itu. Aku sebaga bagian dari orang yang tahu mencoba menapak tilasi makna dari pahlawan itu sendiri. Aku tidak tahu banyak tentang makna terdalam dari pahlawan itu sendiri, bagiku pahlawan adalah orang yang sengaja meleburkan dirinya dalam perjuangan tampa pamrih demi kelangsungan hidup orang-orang yang ada dibawah tanggung jawabnya. Untuk konteks saat ini dalam ke-akuanku nampakanya makna tersebut cukup layak, walaupun orang-orang pada umumnya menyandarkannya pada para pejuang yang telah gigih mengusir penjajah dar Nusantara ini.

Dalam suasana hari Pahlawan ini aku mempunyai pahlawan sendiri yang berbeda dari para pahlwan yang lainnya, walaupun aku juga tidak mengingkari jasa-jasa para pahlawan negeri ini. Namun pahlawan yang sangat kental memberikan dedikasinya kepadaku mulai dari kecil hingga saat ini adalah ibu dan bapakku. Mereka adalah dua orang pahlawanku yang sampai kapanpun akan tetap aku hormati, junjung tinggi dan akan aku bela sampai titik darah penghabisan. Keduanya telah menjadikan aku sebagai manusia yang mampu beribadah kepada-Nya walau masih terus berproses menuju penyempurnaan.

Ibu, bapak saat ini aku mengingatmu sebagai seorang pahlawan. Anakmu yang jauh di tanah rantau ini selalu mendo'akan kalian berdua agar tetap selalu dalam lindungan Allah. Kalian telah memberikan segalanya bagiku tanpa meinta balasan apapun. Begitu sangat besar cinta dan kasih sayangmu hingga kalian tak menghiraukan letih dan peluh yang bercucuran demi kelangsungan hidupku. Kini saatnya anakmu ini ingin membalas walaupun sebenarnya tak ada balasan yang setimpal dibandingkan kesucian dan keikhlasan dari cinta kalian yang telah tercurahkan padaku. Tapi walau demikian senyum merekah dari bibir kalian adalah siraman kesejukan untukku sebagai balsan kecil dari perjuangan besarmu. Terima kasih ibu, terima kasih bapak do'akan anakmu semoga tetap dalah lindungan dan hidayah Allah.

Selasa, 04 November 2008

Sepenggal Cerita dari Pantai Depok

Begtu indah dunia ciptaan Allah ini. Sore tanggal 30 Oktober 2008 aku berkesempatan menguntit kebesaran Allah lewat jendela-jendela kecil kebesaran-Nya. Deburan ombak setinggi tiga metaran menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya. Memutih, menyisakan busa yang menggulung di tepian pantai Depok Bantul Yogyakarta. “Subhanallah,Allahu Akbar” aku takjub terhadap ciptaan-Mu Allah. Aku bergumam dalam hati dengan tulus mengakui kebesaran-Nya.

Hamparan pasir hitam yang dilukis indah bekas pijakan ombak yang menggempur membentuk pemandangan menakjubkan. Membukit kadang juga melembah seumpama dibentuk oleh arsitektur handal yang meyajikan pukauan hebat bagi siapa saja yang melihatnya. Suara deburan ombaknya menderu memecah butiran-butiran kegelisahan setiap pengunjungnya. Sejenak para pelancongnya titipkan semua problem pada belaian angin kencang yang mengurai rambut mereka, seumpama bendera yang berkibar.

Gunung di arah berlawanan dengan samudera meninggi seakan menyentuh langit. Sementara gumpalan kabut hitam menyelimuti bagian paling atasnya. Antara pemandangan pantai yang berdapingan dengan gunung yang menjulang ini bagai pengantin serasi yang diarak oleh jubelan intipan manusia. Ada yang mengintip lewat bidikan kamera HP, ada juga yang sengaja membawa seperangkat instrument pengabadian yang cukup modern. Begitu sangat berharganya pemandangan di Pantai Depok ini, hingga harus menjadi tilasan sejarah bagi siapa saja yang mengunjunginya.

Matahari semakin bergerak ke arah barat seakan tertelan samudera di ujung sana. Sinarnya memudar, panasnya mendingin, namun para penikmat pantai seakan semakin bertambah. Pantai memadat dengan gemuruhnya suara-suara teriakan anak-anak kecil yang beramuk dengan deburan kecil ombak. Hatiku terpingkal dengan tingkah lucunya. Ingin aku bersama mereka membenamkan kebosananku dengan sentuhan jujur sumringahnya, tapi air dan basah menghalangiku untuk melangkah. Karena saat itu aku memang tak punya celana pengganti jika nanti aku harus tunaikan Maghribku di pantai ini. Akhirnya cukuplah aku bersimpuh sekitar 10 meter dari bekas-bekas kaki kegembiraan mereka. Aku diam ………

Tersentak, aku kaget!!! Di balik bukit-bukit pasir yang menggnung ada yang memulai menjajal kemurkaan Allah. Aku dingin, seakan ada semburan tenaga birahi yang membekukan tulang putihku, sehingga aku tak mampu untuk berucap. Aku diamuk kegelisahan yang ditontonkan oleh sebagian pelancong. Sepasang muda-mudi duduk berdua menghadap deburan ombak, terlihat seoang wanitanya membenamkan mukanya di pangkuan sang pria sambil memainkan uraian rambutnya yang terurai sampai bahu bagian belakang pasangan laki-lakinya. Terbelalak mataku tat kala sambaran maut dua insan yang beradu lisan diperontonkan sekitar lima meter dari tempatku duduk. Mataku berhenti berkedip, aku takut, secepat kilat aku beranjak dari tempaku, aku malu, malu pada diriku sendiri.

Istighfar tak hentinya aku latunkan di hatiku, berdosakah diriku menikmati tontonan live yang tesuguhkan di pantai ini??Hatiku bertanya, sambil terus mengadu, merendah memohon ampun pada-Nya. Imanku masih dangkal, takwaku masih tanda tanya, Islamku masih kropos, aku ngiler dengan tipuan syetan yang terkutuk, hingga akhirnya aku putuskan menuju ke masjid untuk tunaikan kewajiban sambil membawa kesan yang berupa pesan sekaligus indzar bagiku. Ampunilah aku “Astaghfirullah……………………..!!!

Aku Juga Sakit Loh

Tiga hari aku tidak bisa beraktifitas, demam yang dideritaku karena perubahan musim membawaku terbaring lemas di atas kasur. Batuk, pilek serta badan terasa ngilu bak remuk ditubruk benda keras. Perasaan mulai tidak tenang, nafsu makanpun ikut turun, tekesan nampak kurang bergairah. Dalam keadaan seperti itu kadang perasaan diajak untuk mengingat kampung halaman nan jauh disana. Diri ini hanya sebatang kara, tanpa sanak keluarga, hanya bisa mendesah dengan nafas seakan dapat mengurangi rasa sakit.
Walau seorang diri, jiwaku aku ajak untuk tenang menghadapi musibah ini. Aku tegarkan hati sambil mencoba menimang perasaan sedihku sambil melantunkan do'a kepada Allah. Semua ini adalah bukti kebesaran Allah yang harus kaji untuk menemukan gelaran hikmah. Musibah ini paling tidak mempunyai dua makna penting bagiku, bisa berupa gelaran cobaan atau naudzubillah sebagai adzab. Antara dua sisi ini memungkinkan diriku ditemukan, jika memang aku berada pada gelaran coba, maka aku memohon agar Allah memberikan kekuatan, namun jika aku berada dalam adzab maka aku memeohon agar Allah mengampuni dosaku.
Terus aku bebrbicara pada hatiku sambil mengais dan merefleksikan adakah diantara sekian tingkahku yang berpotensi menjadi dosa atau pahala. Keduanya bagai dua sisi yang terus mengikuti jalan hidupku, sehingga antara dosa dan pahala bagaikan butiran pasir yang sama-sama menggunung. Dengan kerendahan diri ini, aku bersujud, nersimpuh di hadapan-Nya meohon ampun dari bukitan pasir dosa-dosaku. Hati merintih, malu begitu besarnya dosa ini sehingga aku tak mampu untuk menghitungnya. Aku tertunduk, air mataku mengalir menangisi waktu-waktuku yang terbuang sia-sia.
Diantara himpitan penyesalanku, dengan yakin aku memantapkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang, sehingga dosaku yang menggunung-pun kalau Allah menghendaki untuk diampuni akan habis. Astaghfirullah aku berujar dalam ampunku, memelas kasih sayang-Nya, kemudian aku menyudahi semuanya dengan tekad memperbaiki semua salah dan dosa dan menggapai Ridla-Nya.
Semua sudah selesai, akupun hari ini mulai baik kembali walau masih belum sembuh total. Aktifitasku harianku mulai aku jalankan kembali walai masih tertatih-tatih oleh sisa sayatan demam. Aku berharap Allah mengembalikan semuanya kepadaku shingga sujud dam Syukurku semakin bertambah pada-Nya. Terima Kasih Allah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang, kini Engkau sembuhkan aku.

Selasa, 28 Oktober 2008

BT Nihhh....!!!

Aku bingung apa yang harus aku lakukan saat ini. Enthalah kebingungan itu kerap kali muncul di saat aku sedang sendiri. Kesendirian memang seringkali menggelar angan yang menjauh sehingga yang di depan mata menjadi asing. kenhangatan dunia hayal membawaku pada kebingungan, kebingunan yang tentunya tidak menguntungkan. Karena bingun memang sebuah penyakit, walau tidak se-bahaya kanker atau penyakit menyeramkan lainnya tapi sering kali menghanguskan kesempatan.

Otakku kemudian bertanya,"kenapa aku harus bingung?". Jawabannya tidak aku temukan. Malah yang muncul kenginan untuk melukiskan kebingungan ini di bloggku. Sesegera mungkin aku langkahkan kakiku menuju warnet terdekat untuk aku lemparkan kebingungan tersebut dengan mencurahkan sepenuhnya di depan komputer. Sambil menulis aku tetap berfikir penyebab dari kebingunganku. Aku ingin mengumpat diriku, tapi apa dengan cara itu kemudian sebab dari kebingungan itu bisa kau dapati?. Aku terus saja mengalirkan laju kehidupanku sambil menatap hasil tulisanku di layar monitor.

Malam ini tidak terlalu ramai pengunjung warnet langgananku.Hanya ada beberapa ruangan saja yang terisi. Aku sendiri duduk di ruang tiga, sementara ruang yang berhadapan dengan ruanganku adalah ruangana tujuh dan delapan. Aku berangkat dengan niat membuang kebingungan, tapi entahalah para pengunung yang lain apa juga sama denganku. Tentunya masing-masing mempunyai motif yang berbeda-beda. Aku tak mau tau apa alasan mereka mengunjungi warnet, yang paling penting aku bisa membuang kebingunganku. Itu saja sudah cukup buatku!!!

Aku terus saja ngoomel dengan kalimat-kalimat yang tidak tentu arahnya. Aku tak lagi menghiraukan tulisan ini enak unutk dikonsumsi atau tidak. Tombol keyborad seakan menjadi pembuangan yang tepat daripada harus termenung di kamar sambi lmengumpat kecil pada diri sendiri. Entahlah setan apa yang membuatku tak terkontrol seakan lepas dari kesegaran otakku. menurutku umurku tidak terlalu tua, lalu kenapa penyakit bingung yang mungkin orang lain membahsakan keberdaanku ini dengan sebutan BT (bosan Total) atau semcamnya harus sering muncul di kebeliaan umurku. Bahaya nih....!!!

Semestinya aku harus dinamis serta mempunyai planning yang jelas selama sehari. Sehingga memungkinkan aku bisa terhindar dari penyakit BT. Bingung dan BT walaupun memiliki perbedaan, namun dampaknya pada seseorang memepunyai persamaan yaitu menjadikan orang kaku untuk melakukan aktifitas. Defenisi ini cuma apa yang aku rasakan, aku tak menghiraukan hal itu benar atau salah. Yang jelas penyakit begitu tidak mengenakkan,menjadikan hati mandeg dan menghentikan laju gerak dinamisasi keeksistensian seseorang sebagai manusia yang diciptakan untu berkarya. 

Aku cukupkan saja torehan kebingunganku ini, agar tidak terlalau mahal membayar sewanya. Maklum aku disini kan anak rantau yang harus pandai menghemat uang agar tetap bisa hidup. BT, Bingung......!!! awas datang lagi tak jitak matamu...... he..he...emang manusia apa???????

Sabtu, 25 Oktober 2008

Malam Minguan sebuah Tradisi Mesum yang Dilegalkan

Malam ini malam yang panjang bagi kebanyakan pemuda. Malam minggu yang bisa memberikan kepuasan batin bagi seseorang yang menjadikan malam ini sebagai malam spesial. Acaranya biasanya sekitar cur-per (Curahan Perasaan) LUSSEKDA (Nge-Lus Sekitar Dada) atau beberapa hal lain yang pada intinya pergumulan terlarang tapi dilegalkan. Romantika kehidupan seperti ini hampir pasti terjadi di seluruh kota di tanah air ini. Enthlah siapa yang memulai kebiasaan tak tertuliskan ini menjadi sebuah tradisi yang mengakar kuat pada lini kehidupan para pemuda dan pemudi penerus bangsa ini. Rasanya kebiasaan ini terus mengalir deras tanpa halangan sehingga lambat laun pelosok desa-pun ikut-ikutan meng-kramatkan malam ini.

Secara tidak sadar tradisi yang dianggap legal ini telah banyak merubah sikap keseharian seorang pemuda yang sejatinya merupakan harapan hari esok bangsa ini. Sejujurnya ketika seorang manusia mengoptimalkan fungsi hatinya dan kecerahan otaknya akan mengaktakan bahwa tradisi ini tak lebih dari sekadar hura-hura belaka. Namun demi sang Nafsu birahi tradisi malam Mingguan menjadi ritual wajib yang tak boleh terlewatkan begitu saja.

Untuk merubah tradisi ini memang sangat sulit, butuh waktu dan pengorbanan. Secara histori, tradisi ini memang sudah muncul puluhan tahun yang silam atau bahkan sudah mencapai ratusan tahun yang silam. keberadaannya yang sangat tua menjadikan akar ideologi tradisi ini mengakar dengan kuat pada bagian kehidupan masyarakat umum. Menumbangkan secara cepat dan kilat adalah hal yang mustahil. Untuk itu perlu kiranya sebuah gerakan yang serempak dari para pemuda yang merasa bagian dari bangsa yang terpuruk ini agar kembali bangkit untuk memperbaiki moral sesama pemuda.

Dari tradisi ini banyak bermunculan masalah. Mulai dari hubungan gelap tanpa status sampai pada hiburan yang over yang mencerminkan penjajaan aurat yang akhirnya merusak karakter para pemuda. Pantat seksi, bokong semok, atau malah vagina gratis menjadi bagian dari hiruk pikuk dari taradisi malam kramat ini. Begitu sangat memprihatinkan dan sangat jauh dari khittah penciptaan manusia. Masyarakat nampaknya tenggelam dalam pelukan romantis kehingar-bingaran kehidupan kota, sehingga permasalahan ini menjadi fakta yang sengaja dikubur dari kenyataan.

Deskriptif permasalahan dari tardisi malam mingguan di atas sengaja disajikan dengan Vulgar se-vulgar realitanya yang terjadi di lapangan. Karena nampaknya masyarakat kita memang tidak bisa diajak untuk bermetafora, sehingga penulis menyajikannya dengan mencampakkan kode etik jurnalistik. Hal ini dimaksudkan agar masyrakat secara umum dapat cepat dengan sadar kalau tradisi malam mingguan memang merupakan dari tali tipuan syetan yang terkutuk. Maka sebagai sebuah harapan bagi kita sebagai bagian dari masayrakat agar menjadi pengontrol (public control) dari lingkungan dimana kita hidup. Sehingga bagian dari kenistaan tradisi malam mingguan itu jauh dari lingkungan kita.

Jumat, 17 Oktober 2008

Pelangi Indah

Hidup ini untuk ibadah. Makna ibadah begitu cukup luas, sehingga tak mungkin untuk dikonkritkan. Banyak cara dalam melakukan ibadah, tergantung kesiapan dan kemampuan seseorang. Namun yang pasti untuk melakukannya adalah sebuah kepastian yang tidak bisa ditawar sebagai makhluk-Nya yang beradab. Pada umumnya manusia memilih satu cara, satu jalan dalam merealisasikan ibadah di kehidupannya. Jalan itu berupa ajaran yang selama ini biasa dikenal dengan sebutan agama.

Agama sebagai sebuah pilihan formal menjadikan bentuk-bentuk ibadah itu berpeta-peta. Hal itu untuk memudahkan manusia dalam menjalankan kewajibannya untuk menyembah Tuhannya. Manusia sebagai makhluk yang berperadaban tumbuh berkembang sejalan dengan nalurinya sebagai identitas kesempurnaan ciptaa-Nya. Dengan kejernihan pikirannya muncullah berbagai macam bentuk ajaran formal yang menjadikan dunia berwarni-warni. Berwarni-warni dengan keaneka ragamannya serta interpretasi yang berbeda mengenai Tuhan sebagai sesembahan. Sehingga dengan perbedaan inilah kemudian pada prakteknya juga bermacam-macam.

Untuk sementara saat setiap individu memilih satu pilihan saja dari sekian bentuk warna-warna tawaran formal peribadatan tadi. Karena memang tidak mungkin memilih semua warna-warni tersebut, walau pada hakikatnya semua pilihan tersebut mempunyai dua potensi yang sama yaitu, berpotensi benar pada satu sisi dan di sisi yang lain berpotensi salah. Dengan dua potensi yang dimiliki oleh masing-masing warna, sebagai manusia yang berpendirian maka konsekwensi memilih satu saja adalah pilihan logis dan sangat manusiawi.

Sebagai konsekwensi logis maka pilihan yang menjadi tambatan hati seorang individu harus benar-benar diyakini dan berangkat dari hati. Konkritnya seorang pemilih dengan pilihannya harus sinkron dan teguh menjalankan pola kerja yang diterapkan dalam pilihannya. Hal ini juga harus bisa dilakukan oleh kita sebagai seorang Muslim yang memilih Islam sebagai sebuah jalan hidup kita untuk beribadah kepada Tuhan kita Allah SWT. Artinya Islam sebagai sebuah pilihan harus diyakini kebenarannya dengan tunduk mengikiuti aturan main yang ada di dalamnya.

Akhir-akhir ini kembali mencuat semacam ajakan untuk mengakui kebenaran seluruh warna agama. Ajakan ini walau terkesan cukup ilmiah secara garis pandang mereka, tapi sejatinya mempunyai banyak borok yang tidak sejalan dengan dimensi kemanusiaan. Entahlah apa sebenarnya dibalik gerakan ini, sementara ini aku belum mengerti....!!!

Sabtu, 11 Oktober 2008

Sistem Pendidikan yang Membingungkan

Menjadi orang baru di derah yang benar-benar baru buat seseorang adalah hal yang sangat sulit. Perlu semacam adaptasi dan ketangguhan mental. Sudah seminggu aku tingal di kota Jogja pada sebual lembaga pendidikan yang mempunyai akar pemikiran yang berbeda dengan pondasi dasarku. Lembaga ini merupakan anak harapan dari salah satu organisasi yang didirikan A. Dahlan 1921 yang silam. Corak pendidikannya mengacu pada orientasi persyarikatan, sehingga bagiku terasa kaku dan tidak memberikan ruang untuk berkreatifitas, terutama bagiku yang sebelumnya memang hidup pada ranah lembaga pendidikan yang menghendaki kreatifitas.

Untuk sementara aku hanya bisa bersimpuh dan melihat aktifitas laju pendidikan yang diterapkan di lembaga yang aku singgahi tersebut. Banyak hal yang terasa benar-benar tidak mencerminkan sebuah pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan yang seharusnya memberikan pencerahan, kebebasan dan kemerdekaan malah tambah mengekang dan mengebiri gerak pemikiran siswa-siswanya. Kondisi ini yang menjadikan diriku sedikit terbelalak menaha n perahan dari sebuah sistem yang mengigit. Aku menyadari semua ini adalah warna hidup yang merupakan bagian dari sebuah kekayaan sistem pendidikan yang berada di sekitarku.

Aku memilih lembaga ini bukan untuk menambah sadisnya gigitan, tapi aku ingin menciptakan keharmonisan yang memberikan ruang dinamika bagi para siswanya, khususnya siswa yang menjadi tanggung jwabku. Sebenarnya adalah hal yang sulit namun sulit bukan berarti tidak bisa dajajal. Untuk sementara gerakku hanya sebatas mengenalakan kalau opsi dari sistem yang mereka gunakan bukanlah sistem yang memeberikan kenyamanan. Salah contoh dari sadisnya sengatan sistem yang mengikat ini adalah terkungkungnya gerak dari laju pendidikan yang tertumpu pada gari-garis persyarikatan, sehingga untuk kemaslahatan umat dengan kemajemukan budaya dan kebiasaan masyarakat lembaga ini tidak bisa memberikan apa-apa. Artinya produk dari lembaga ini hanya untuk kelompoknya saja bukan untuk masyarakat umum.

Untuk sementara aku menambatkan hidupku pada lembaga ini hanya sebatas profesi saja dan kelanjutan hidup. Rupiah yang menjadi sorotanku, tapi jauh di lubuk hati kejernihan sebaga i seorang manusia normal yang dilatarbelakangi jiwa mu'allim aku ingin lebih dari sekadar pengais rupiah. Aku ingin menempatkan sebuah motivasi suci di bagian kesibukanku untuk beribadah kepada-Nya.

Senin, 06 Oktober 2008

TITIAN AWAL LEPAS IDUL FITRI-KU

Perjalanan yang cukup melelahkan sekaligus mengasyikkan buatku. Di hari ke-4 setelah hari kemenangan lepas dari bulan suci, aku kembali mengembara meniti angan yang sempat tergantungkan tak kurang dari setengah bulan menunggu panggilan dari lembaga Mu'allimien Muhammadyah Jogjakarta. Hari itu aku berangkat dari tanah kelahiranku menuju Jogja tongkrongan beradu nasib dengan ribuaan bahkan mungkin sampai jutaan manusia. Aku memenuhi panggilan pimpinan Mu'allimien sebagai jawaban atas lamaranku untuk menjadi tenaga pengajar di lembaga tersebut.
Cukup senang dengan panggilan tersebut, karena ternyata anganku untuk menikmati gemuruhnya kota Gudeg ini bisa terulang lagi, bahkan akan menjadi kampung halaman baruku untuk beberapa waktu ke depan. Aku datang jogja ini sebenarnya menggendong berbagai macam cita, mulai dari finansial sampai pada melanjutkan studi S2 di perguruan tinggi terkenal di kota Jogja ini. Namun hal itu untuk smentara hanya sebuah angan yang kenyataannya masih perlu perjuangan dan keseriuasan dari diriku.
Jogja terkenal dengan kota pendidikan dengan beratus-ratus perguruan tingginya. Orang sepertiku hanya manusia kecil yang terbungkus dengan kebodohan sehingga sering kali aku berkecil hati dengan keadaan latar belakang pendidikanku yang di dapat dari sebuah kampung di pulau Madura sana. Aku kira perasaan seperti ini sesuatu yang biasa dialami oleh orang pertama di kota ini. Lambat laun perasan ini aku harapkan bisa terbuang jauh ke jurang dalam yang tak terjangkau, sehingga aku terlepas dari purtus asa. Aku harus berani tampil dengan kedirianku. Aku harus jadi pejantan sejati yang memiliki banyak potensi untuk meraih cita-cita kecilku tadi. Tuhan tunjukkanlah aku menuju keridlaan-Mu...!!!!

Kamis, 18 September 2008

TADARUS JOGJA III (Habis)

Lepas paroh malam hari ke-19 Romadlan 1429 H, aku mencoba memunguti rentetan kesan pasca penyusuranku di kota Gudeg. Tidak terlalu lama keberadaanku di kota tersebut, tapi wajah kota dan berbagai macam corak warna kehidupannya dapat aku baca dengan baik, walau sesungguhnya masih merupakan rabaan pada kulit luarnya saja. Aku mencoba mentadarusi kota tersebut di sela lapar dan haus di perjalanan puasaku di bulan suci sebagai implementasi dari makna Ulil Albab yang difirmankan Allah dalam kitab suci-Nya. Sangat banyak pernak-pernik kehidupan yang diperlihatkan Allah di daerah Istemewa ini. Dari bangunan historisnya yang mengagumkan dan membuat otakku berfikir pada perjalanan bangsa ini dulu. Di lain sisi, kota ini juga menyuguhkan kebhinnekaan penghuninya.
Di sela penyusuranku di hari ke-2, aku sampai di jalan Malioboro. Sepanjang jalan tersebut dipenuhi oleh lalu lalang manusia, entah yang memakai alat transportasi atau mereka para pejalan kaki. Nampak kesibukan yang sulit aku pahami, yang jelas masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri. Shoping atau hanya sekadar menikmati pemandangan kota yang sibuk merupakan dua diantara sekian motivasi dari para pengunjung jalan ini. Jalan ini sangat pas bagi siapa saja dengan tujuan apapun, karena di sepanjang jalan ini semua kebutuhan tersedia. Bagi meraka yang ingin mengais rupiah dengan hanya menengadahkan tangan cukup berdiam saja di pintu-pintu masuk setiap toko atau supermarket dengan wajah memelas. Tidak sedikit orang yang seperti ini, kalau Anda berminat coba saja asal tidak malu pada diri Anda….!!! He….he…..
Malioboro merupakan ikon dari kota ini, dalam arti lain merupakan magnet Jogja yang menarik siapa saja untuk datang ke lokasi tersebut, termasuk juga diriku. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wajah-wajah kota lainnya. Kerawanan akan keamanan tetap menjadi menu peringatan yang tertempel lewat tulisan di fasilitas umum yang tersedia di kota ini. Misalnya di masjid Gedhe Kraton, masih terlihat beberapa peringatan tentang keamanan hak milik. Artinya potensi kriminal di kota ini masih perlu diwaspadai oleh para pengunjungnya. Sebagai bagian dari pengunjung kota ini, aku sedikit khawatir dengan keamanan diriku.
Realitas di atas sedikit membuat nuraniku berdialog dengan kejernihan otentitas nilai kemanusiaanku yang beriman. Dialogku dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana, “kenapa masalah keamanan tetap menjadi hal yang diwaspadai di tengah-tengah kota yang merupakan masih lingkungan terpelajar?”. Kota ini terdengar ke luar hingga sampai pada telingaku yang berada jauh di pulau terpencil di perairan Madura sebagai kota pelajar, tapi kenapa penghuninya harus dihantui oleh prilaku yang mencerminkan kebobrokan. Di benakku dulu sebelum kakiku menginjak kota ini tergambarkan suasana yang aman yang mencerminkan masyarakat madani terpelajar. Keamanan serta kriminal lainnya bukanlah sebuah masalah, jaminan keselamatan serta ketenangan menjadi nuansa kehidupan di kota ini. Begitulah rekaan awal diriku yang sama sekali berbeda dengan apa yang aku lihat saat itu.
Bersyukur selama penyusuranku di kota Gudeg ini aku belum bersentuhan dengan tindak kriminal konkrit fisik. Namun seperti pencekalan, memanfaatan kesempatan di saat keterhimpitanku masih terlihat walau tidak terlalu vulgar. Misalnya, mark up harga barang atau makanan di luar kewajaran selalu menjadi menu benturan tiap waktu bagi orang baru seperti aku. Awal aku menginjakkan kakiku di Jogja pada saat aku menyantap masakan soto Joga, dua porsi berharga Rp 25.000,-. Menurutku soto itu tidak jauh berbeda dengan soto buatan Pak Sahe di warung depan pondokku yang hanya seharga Rp. 4000,-.
Pengalaman di atas begitu terlihat kurang wajar atau juga bisa dibilang kurang ajar. Mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, tapi bagi diriku dengan keadaan ekonomi yang mepet hal itu menjadi buah pertanyaan yang perlu dipertanyakan, “kenapa?. Sejatinya aku tidak mempersoalkan kerugian finansial yang aku keluarkan. Tapi aku menangkap ada semacam keganjilan yang terencana dan sepertinya mewabah di kalangan masyarakat kita. Keganjilan menjadi nyata ketika pada suatu saat aku bersama temanku yang sudah lama berada di kota Gudeg ini makan pada menu yang sama dengan harga relatif wajar. Melalui pengalaman yang kedua ini, keganjilan itu benar-benar sebuah problem yang harus dikaji oleh diriku. Aku menilai keganjilan tersebut merupakan tindak kriminal yang bernilai pemerasan.
Diakui atau tidak fenomena yang aku temui tadi merupakan borok sosial yang perlu disembuhkan. Karena dari yang sederhana ini kemungkinan akan berdampak pada tingkat kriminal yang lebih besar. Banyak hal yang harus ditelusuri dari problem ini, dari sisi relegiutas, pendidikan sampai pada ekonomi. Tiga faktor ini menjadi titik kajian yang harus ditelusuri sebagai bentuk kuratif dari bobroknya moral tersebut.
Nampaknya wacana peras-memeras ini tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat bawah, tapi juga para pemimpin bangsa ini lewat praktik KKN yang mewabah. Konteksnya sama dengan problem sederhana tadi, hanya saja bentuk pemerasan yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini tidak dilakukan di warung kaki lima tapi di gedung ber-AC dan di atas kursi empuk. Langkah penyembuhannya jelas juga harus lewat tiga titik seperti yang tersebut di atas. Karena pada hakikatnya orang yang berprilaku demikian mengalami ketimpangan pada salah satu dari tiga titik kajian tadi.
Sebagai pesan bagi setiap insan yang mau berfikir dan mengiginkan bangsa ini keluar dari multikrisis agar mewaspadai dan menjauhi tindak pemerasan yang merugikan orang lain atau bahkan bangsa ini. Bagi para pemimpin bangsa yang sudah terlanjur, hubungi aku ya di 081805501428 tak bawa ke KPK biar tau rasa he….he……he…… [ijan08]

TADARUS JOGJA II

Cukup sulit aku merepro apa yang aku lihat selama 15 hari di kota Gudeg. Catatan ini merupakan catatan tunda, sehingga banyak hal yang tidak bisa secara konkrit aku catat di catatan ini. Aku harus memungut ceceran-ceceran kilasan sejarah yang aku jejali selama separoh bulan suci di kota Jogja ini. Namun secara umum kota ini menurutku mempunyai dua perguruan tinggi yang cukup menarik untuk diurai, diselami, dijejali, dieksplorasi atau apa saja yang mumungkinkan dapat tergelar hikmah atau pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar dari kehidupan para pelajar di kota ini. Perguruan tinggi tersebut yang aku anggap sebagai perguruan tinggi menarik adalah UGM dan UIN. Keduanya adalah cerminan dari ratusan perguruan tinggi di kota Gudeg ini. Pernyataan ini bukan berarti mendiskriminasikan PT (Perguruan Tinggi) lainnya. Tapi hanya merupakan keterbatasan diriku dan sangat jauh dari motiv tindak profokatif.
Aku memulai tadarusku pada catatan sebelumnya dari UGM. Banyak romantisme gelora cinta yang melebur pada kehidupan kampus. Aku akui hal itu cukup asyik, karena memang sangat sinkron dengan kedirianku saat ini sebagai manusia yang menginjak kepekaan-kepekaan bualan hangatnya cinta. Panorama tersebut cukup untuk membangkitkan pesona cinta yang bermuara birahi. Tapi aku tidak kehilangan control, sehingga panorama tersebut tetaplah ada di luar dimensiku dan tidak bisa mengusik kejernihan hati dan otakku. Semuanya tetap mengalir, sejernih air mengalir mengikuti lekukan-lekukan tanah, namun tetap menuju lembah hikmah yang aku cari.
Setelah empat hari aku mentadarusi UGM, selanjutnya aku menyusuri sasaran menarik berikutnya yaitu, UIN. Kehidupan di UIN lebih akrab dengan jalan alam fikirku. Di sini aku banyak bersentuhan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang sama denganku. Mahasiswanya banyak berangkat dari pesantren, kebiasaan santri terurai lebih dinamis setelah melebur dengan kehidupan kota. Walau seluruh penghuni UIN ini tidak lagi memakai sarung seperti lazimnya santri tradisional, namun dapat aku baca mereka tetap menyisakan warna-warna santrinya lewat kata dan idealisme mereka.
Semarak keilmuan begitu sangat kental tumbuh berkembang di tengah-tengah para mahasiswa. Diskusi atau berbagai macam halaqotul ‘ilmi terlihat di pojok-pojok kampus. Terlihat cukup menarik, mencengangkan setiap mata yang melihat suasana tersebut. Pembicaraan para mahasiswanya tidak terlepas dengan konteks keintlektualan. Pemandangan ini satu sisi menghantarkan aku untuk mengacungkan jempol.
Lazimnya kehidupan kota yang menyuguhkan banyak tradisi dan budaya, mahasiswa juga menjadi imbas dari dampak kemajemukan budaya tersebut. Satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan anak muda yaitu, kehidupan pacaran. Tradisi ini walaupun di sebagian wilayah di negeri ini dianggap legal, namun tetap banyak menyisakan sayatan luka bagi pelakunya. Disadari atau tidak tradisi pacaran lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dampak positif yang ditimbulkannya. Betapa banyak pelaku pacaran yang kemudian harus berakhir dengan tragis. Ada yang diakhiri dengan lenyapnya virgin dari seorang wanita, kemudian ditinggalkan kering oleh pasangannya untuk mengejar buaian cinta lainnya.
Tradisi ini sekilas nampak indah, seindah instrument penghantar kedekatan dua sejoli yang sedang berproses pacaran. Ada kata seindah kata penyair tanpa pengakuan, ada hadiah tanpa kesejukan hati, ada rabaan romantis tanpa legalitas syar’i, semua terasa hambar bagai makanan tanpa garam yang tak mengenal rasa nyaman. Perjalanan proses pacaran ini terjadi dengan berbagai bentuk praktiknya. Seiring dengan majunya tekhnologi yang berkembang, proses ini terimplikasi lewat Short Message Service (SMS), Calling Phone, Chatting Room atau media apa saja yang memungkinkan terjalinnya cinta berbuih birahi. Tataran proses yang melewati media ini bisa dibilang masih wajar, dan kalau boleh aku bilang mereka pelaku pacaran pasif.
Selain media tekhnologi di atas juga tergelar media Natural yang sedikit menggelitik dan membuat bulu roma berdiri. Berdiri karena ngeri dan di lain sisi berdiri karena normal. Media penghantar ini berupa Malioboro, taman kota, kraton, taman kampus, Mall, cafe bahkan kosan sekalipun, atau beberapa tempat indah lainnya yang memungkinkan bisa menggulingkan diri dan menumpahkan luapan cinta. Pada tataran ini aku sebut sebagai para pelaku aktif.
Sebenarnya dua kalsifikasi di atas merupakan kesatuan dan mempunyai kerawanan yang sama serta berpotensi pada tindak zina. Kalau pada media Tekhnologi uraian cinta hanya lewat gulingan kata dan nada, pada media Natural sebagai kelanjutan dari yang pertama berupa gulingan badan dan sentuhan peka erotis yang dapat menghilangkan keseimbangan nilai kemanusiaan. Pada titik kilmaks inilah satu hal yang paling ditakutkan oleh siapa saja yang merasa menjadi manusia bermoral yaitu titik perzinahan. Apapun alasannya yang namanya pergumulan dua insan tanpa ikatan sakral keagamaan yang mencerminkan nilai kemanusiaan sekaligus pembeda antara manusia dan hewan, hubungan tersebut bernilai negative dan berdosa di sisi Tuhan.
Gejala di atas aku dapati di kehidupan anak-anak UIN Jogja, walau wacana ini sebatas hipotesa sementara, namun gejala tersebut tetaplah kenyataan yang tidak bisa aku hindarkan sebagai bagian dari olah tadarusku dalam mengkaji setiap suguhan hidup ini. Kegelisahan dan rasa simpati yang mengharuskan aku mencatat guncangan nilai kemanusiaan ini untuk diperbincangkan di kalangan para ahli dalam mengatur pola hidup para mahasiswa muslim dan muslimah dalam berintraksi. Untuk itu suguhan kontemplasi ini bukanlah mencerca UIN sebagai institusi pendidikan, bagiku UIN tetaplah perguruan tinggi Islam yang diharapkan darinya lahir pejuang-pejuang Islam yang siap hidup bersama Islam hingga di penghujung sejarah ini. Selamat berjuang sobat & buanglah clitoris oriented serta beralihlah pada konsekwensi semual sebagai Tholibul ‘Ilmi. [ijan08]

Rabu, 03 September 2008

Tadarus Jogja 1

Hari ini aku sempatkan untuk pergi ke warnet terdekat dengan tempat bermalamku di kota Gudeg. Sudah lima hari aku bersenggama dengan keramaian kota ini. Banyak hal baru yang mengajriku untuk berfikir,merenungkan atau bahkan sebatas menertawakan saja. Ada yang mengagumkan, tapi juga banyak hal yang membuat hatiku geli, gerah atau malah benci. Kota ini menyajikan banyak hal yang cukup kompleks.
Aku diam di kawasan UGM yang merupakan salah satu perguruan ternamam di kota Jogja ini. Gedungnya besar, menawan, pokoknya indah tidak seperti tempat kuliahku yang kecil dan juga tidak ternama. Sejenak aku kagum dengan penampilan fisik dari perguruan tinggi tersebut. Aku hanya bisa bergumam "wow" saja. Namun hal itu tidak menjadikan akau harus tetap tercengang dalam kekaguman, tapi melainkan mengundang perasaan normalku sebagai seorang manusia untuk tahu lebih dalam di balik penampilan modis universitas megah ini.
Lima hari aku membolak balikkan hamparan UGM sedikit aku mengenal kehidupan di kampus ini. Mahasiswanya yang datang dari seluruh penjuru propinsi menampilkan banyak karakter, sehingga kampus ini layaknya miniatur kehidupan pemuda di negeri ini. Mereka ada yang serius belajar, mencari ilmu namun tidak sedikit yang hanya menghamburkan duit orang tuanya di lorong-lorong penggoda nafsu birahi.
Aku tidak ingin berlebihan, aku hanya ingin mengolah apa yang aku lihat lima hari ini di kampus ini. Hampir tiap waktu dan tempat aku disuguhi dengan kemesraan, cengkrama-cengkrama cinta sepasang pemuda dan pemudi yang memadu kasih terpampang di depan mata. Aku merasa risih, kadang aku harus malu sendiri untuk melihat adegan-adegan tersebut. Sebenarnya aku tidak ingin membohongi diriku sendir, sebagai manusia normal aku juga bisa berpotensi terjebak seperti mereka, tapi Tuhan Allah masih memberikan pilihan lain kepadaku sehingga sampai saat ini aku tetap mencerminkan sosok laki-laki yang bebas dar cengkraman rayuan gombal gadis-gadis pasaran.
Aku berujar demikian bukan berarti menyalahkan mereka, tapi hanya menyayangkan jika waktu yang begitu luas itu hanya habis ditimang oleh rengkuhan-rengkuhan birahi. Karena sejauh yang aku lihat dan aku dengar, sangat sedikit diantara mereka yang memadu asmara kemudian berlanjut pada pernikahan. Faktanya, hanya berakhir dengan kerenggangan kemudian berpisah, lalu mencari gelaran asmara lain yang lebih panas dan hot.
Gelaran kehidupan asmara kampus ini menjadi tadarus awalku di bulan suci ini. Aku tidak bermaksud menjelek-jelekkan atau mencemoohkan seseorang atau golongan tertentu, tapi itu hanya bagian kegiatan tadarusku mengkaji ayat-ayat tuhan yang terhampar luas di bumi ini. Harapanku semoga tadarusku di kota Gudeg ini bisa semakin membuatku bijak dalam menapaki kehidupanku di masa yang akan datang. (bersambung)

Senin, 18 Agustus 2008

BYE AL-AMIEN.........!!

Aku terlahir di Pulau terpencil, namun hampir separuh hidupku tinggal di Pesantren. Pesantren Al-Amien Prenduan aku pilih sebagai tempat meremajakan dan mendewasakan diriku. Selepas studiku di Sekolah Dasar, aku menjadi salah satu santri dari pesantren tersebut, hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan studi di perguruan tinggi di pesantren ini juga. Apa yang ada pada diriku saat ini adalah bagian wajah kecil dari Al-Amien. Walaupun aku bukanlah profil alumni yang sempurna, tapi aku berusaha mencapai kesempurnaan tersebut dengan beberapa kelemahan yang harus aku benahi.

Ada rasa sesal, bangga, khauf, roja’ serta sekian banyak ekspresi seorang pemuda normal yang akan terjun pada kehidupan sesungguhnya. Hiruk pikuk kehidupan nyata dalam hitungan hari akan aku hadapi. Wajah kehidupan yang sangat kompleks akan menjadi bagian dan titian hidupku. Tahun ini menjadi tahun terakhirku di Al-Amien. Aku harus tinggalkan Al-Amien secara fisik, tapi semangat dan ruh Al-Amien akan terus aku bawa sebagaimana dia dulu dengan semangat membangun diriku.

Banyak kesan, kenangan yang tak bisa aku tumpahkan lewat kata, numun aku berusaha menjaring hikmah dari pengalaman masa laluku lewat suka, duka, tawa, air mata serta sederetan panjang lilitan sejarah perjalanan hidupku. Walau tidak ada catatan emas sepanjang perjalananku di Al-Amien, tapi aku yakin wejangan para kiai dan ustadz senantiasa diharapkan mampu menggerakkan hatiku untuk selalu dinamis menyungongsong masa depan. Bagi mereka hanya ucapan terima kasih, syukron, thanks atau kata apa saja yang menggantikan kata terdalam terima kasih hatiku. Tanpa bimbingannya aku tidak akan bisa sperti sekarang. Terima kasih kiai, ustadz, teman-teman serta semua orang yang menjadikan aku dewasa.

Kini aku harus mandiri tanpa mereka lagi. Aku harus mampu berdiri bahkan harus lari menapaki tangga-tangga kehidupan yang menjulang. Kehidupan ini aku anggap adalah tangga, sehingga nantinya aku harus naik bukan hanya berjalan datar. Beberapa hari ke depan aku menapaki tangga pertama, namun setelahnya aku harus menaiki tangga berikutnya, demikian seterusnya hingga akhirnya aku sampai di puncak mengibarkan bendera Islam, Islam yang dapat menaungi semua golongan.

Semua itu adalah target dan aturan main hidupku. Aku tidak peduli orang lain akan bicara apa, yang jelas aku tetap hidup layak dan tidak tergantung sama mereka. Aku harus menjadi diriku dengan kelebihan dan kekuranganku. Sebenarnya aku tidak pernah menganggap adanya kekurangan. Rumusan hidup bagiku adalah, semua yang ada di hadapanku adalah potensi yang harus dijejali dan digali hingga akhirnya mewujudkan angan dan cita. Hanya waktu, kesempatan, usaha dan kemauan yang bisa merubah kelemahan menjadi kelebihan.

Selebihnya aku tidak lupa untuk selalu tunduk bersujud di depan sang Penguasa Jagad Tuhan Allah SWT. Antara Tuhan dan aku adalah wujud realitas konkrit hidupku. Aku punya super power luar biasa yang akan menuntunku, sehingga kemungkinan komplektifitas tantangan hidup akan menjadi tantangan menarik yang akan membangkitkan kejantananku untuk terus maju dan dinamis. Al-Amien dan masa laluku tetap kukenang, sedangkan saat ini dan masa depan adalah kesuksesan yang akan aku raih. Good bye Al-Amien and Welcome kehidupan baru.

Minggu, 17 Agustus 2008

REFLEKSI KEMERDEKAAN

Enam puluh tiga tahun yang silam bangsa ini mulai bangkit menapaki lorong kemerdekaan yang dibangun oleh para pemudanya. Waktu itu suara Bung Karno mewakili seluruh rakyat negeri ini menyuarakan tekat kemerdekaan. Tepatnya Tanggal 17 Agustus 1945 itulah seluruh rakyat Indonesia bersuara yang sama lewat dentuman kata-kata proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno sang Proklamator. Tanpa terasa pagi ini 17 Agustus 2008 aku ikut menyimak isi dari proklamasi tersebut. Walau tidak persis sama dengan konteks 63 tahun yang lalu, tapi aku dapat merasakan bahwa negeri ini adalah milik bersama yang harus dijaga dari berbagai macam bentuk penjajahan.

Penuh hidmat aku mengikuti upacara HUT kemerdekaan negeri ini di depan Puspagatra (Pusat Gagasan dan Kreativitas Santri TMI Putra) mulai awal hingga akhir acara. Ada rasa nasionalis yang tumbuh dalam diri. Sesekali aku lihat orang-orang di sekitarku begitu khusuk mengikuti acara ini, pertanda mempunyai kesamaan rasa dengan apa yang aku rasakan. Dalam hati ada dialog bentangkan berbagai persoalan Negeri ini yang tak kunjung habis. Walau sebelumnya aku bukanlah pemerhati sejati laju perpolitikan, tapi secara garis besar laju perpolitikan bangsa ini masih mempunyai banyak kekurangan yang menjadi tanggung jawab kita bersama.

Entah sebuah kekurangan atau merupakan tabiat dari bangsa ini, dalam usia kemerdekaanya yang lebih dari separuh abad, masih tersisa berbagai persoalan terkait pada bentuk penjajahan. Sudah lima kali bangsa ini mengganti pemimpinnya, tapi persoalan makan-memakan (yang kuat memakan yang lemah) terus saja berjalan dengan berbagai macam tipologinya. Kalau masa Belanda dahulu bangsa ini dijajah secara nyata oleh Bangsa lain, tapi sekarang lahir penjajahan tipe baru dan keganasannya jauh lebih kejam dari penjajah sebenarnya. Kekayaan Negeri ini dikuras untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga menyisakan luka dan duka di tengah-tengah rakyatnya.

Derita bangsa ini terus berlanjut memunculkan banyak gesekan di tengah-tengah rakyatnya. Pada tahun 1998 muncul gerakan Reformasi yang memunculkan percaturan babak baru dari perjalanan Negeri ini. Sejenak rakyat cukup gembira dengan beberapa perubahan yang mengarah pada perbaikan. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena persoalan lama mencuat kembali dengan tipologi yang berbeda. Negeri ini kembali digegerkan dengan beberapa kasus pengerukan kekayaan Negara oleh para pemimpinnya. Laju kemerdekaan yang menjanjikan rakyat aman sentosa menjadi isapan jempol belaka, bahkan yang tersuguhkan adalah luka dan luka.

Luka borok terus berlanjut. Berbagai macam kesusahan silih berganti. Penderitaan yang satu hilang, datang penderitaan yang lain, begitu terus keadaan bangsa ini yang semakin tidak karuan. Rakyat diajak berkelana dalam penderitaan dan luka. Berbagai macam sisi mencekik ketenangan rakyat. Kegelisahan menjadi menu utama tiap hari. Keadaan ekonomi mencekik rakyat dengan melonjaknya harga BBM yang berimbas pada naiknya barang-barang lainnya. Rakyatpun semakin teler tak mampu hidup layak sehingga lahirlah berbagai macam bentuk krisis lainnya yang lebih berbahaya.

Jika hal itu terus berlanjut, maka pada suatu saat rakyatpun akan semakin gerah. Sehingga pada kegerahan yang sangat gerah akan memunculkan sikap anarkis yang berakibat pada pelecehan terhadap pemerintahan Negeri ini. Artinya segala bentuk keputusan yang diambil oleh para pemimpin Negeri ini tidak akan diindahkan lagi oleh rakyat. Wibawa pemerintahan akan diinjak-injak oleh rakyat yang gerah. Mereka akan menuntut kemerdekaan. Kemerekaan yang sebenar-benarnya yang memberikan kebebasan serta kedamaian bagi rakyatnya. Kalau seandainya ini yang terjadi kemungkinan besar nanti anak cucuku atau anak cucuk Anda tidak akan lagi memperingati HUT kemerdekaan tanggal 17 Agustus, tapi akan beralih pada tanggal yang lain dimana mereka memuntahkan kegerahannya karena ulah para pemimpinnya yang rakus.

Walau hal di atas hanya sebuah prediksi kosong tapi kenyataan tetaplah tanda tanya yang menyuguhkan kemungkinan. Bukti sejarah yang berkaiatan dengan kegerahan tersebut sangat banyak, dan yang paling berkaitan dengan persoalan bangsa ini telihat dari berbagai aksi gerakan kemerdekaan yang akhir-kahir ini muncul di tengah-tengah kita. Dari yang paling barat sana di Aceh ada GAM, kemudian di derah timur sana ada gerakan Maluku merdeka, kemungkinan di daerah lain juga akan ada gerakan yang serupa, jika para pemimpin ini tetap tidak mau puas dengan duit.Wahai para pemimpin yang terlaknat Berhentilah mengeruk kekayaan negeri ini, jika tak ingin HUT kemerdekaan ini akan berubah !!!”. [ijan]

Kamis, 14 Agustus 2008

EXPLORASI JIMAT DALAM TINJAUAN ANTROPOLOGI

A. Pengertian Jimat

Bagian ini merupakan bagian penting sebelum pembahasan lainnya. Karena pada bagian ini akan dijelaskan apa sebenarnya jimat pada tataran teoritis. Menjadi penting, karena pembahasan berikutnya akan tidak jelas tanpa lebih dulu mengetahui makna dari jimat tersebut. Pembahasan sengaja ditilik dari hal yang paling luas agar nantinya bisa didapatkan pengertian yang valid.

Sebelum mengeskplorasi labih jauh tentang fenomena jimat maka langkah awal yang tepat adalah mencoba memahami jimat dari sisi pengertiannya. Hal ini menjadi penting karena jimat bukanlah benda yang hanya bersifat fisik, namun dibalik yang nampak terdapat ada kekuatan yang sifatnya metafisik yang diyakini oleh para penggunanya.

Dalam mencari makna jimat yang relatif konkrit dan tepat perlu kiranya menarik dari istilah yang jauh lebih luas dari sekadar jimat. Istilah yang sering digunakan oleh orang dalam hal yang berbau metafisik adalah mistik. Mistik ini merupakan istilah terluas dari jimat. Secara bahasa mistik berasal dari bahasa Yunani yaitu, Mystikokos yang artinya rahasia (geheim) serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman (Wikipedia, 2008: Tanpa halaman). Menempatkan mistik sebagai istilah yang menaungi jimat cukup tepat, karena jimat juga menyimpan sesuatu yang rahasia. Pada pendapat lain dikatakan bahwa mistik adalah, penyatuan total dengan realitas yang lebih tinggi (Chodjim, 2003:300).

Dari arti di atas maka mistik berarti adanya sesuatu yang terselubung dan rahasia yang bersatu total dengan realitas tinggi atau dalam hal ini adalah Tuhan. Pengertian tersebut sangat terkait dengan fakta hidup yang hampir ada pada lini strata sosial masyarakat luas. Dalam kehidupan nyata banyak ditemukan di masyarakat sebuah kepercayaan terhadap adanya kekuatan, namun kekuatan tersebut tidak bisa dipantau secara inderawi. Termasuk kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib pada sebuah benda tertentu.

Benda-benda yang diyakini mempunyai kekuatan gaib banyak dicari orang sebagai barang pegangan. Barang pegangan yang mempunyai kekuatan tersebut, orang jawa menyebutnya sebagai jimat (Suyono, 2007 : 236). Kekuatan gaib yang terdapat pada benda tersebut kemudian diyakini oleh para pemiliknya dapat membantu mengatasi permasalahan hidup (Sukarto, 2007:241).

Jimat dalam bahasa Arab disebut dengan Tamimah yang berarti pernik-pernik yang digantung, yang diyakini dapat memberikan manfa’at agar terhindar dari bencana (Qordlawi, 2003 : 151). Dalam hal ini orang berkeyakinan bahwa di dalam barang atau benda yang berupa jimat tersebut diyakini mempunyai kekuatan.

Pendapat lain ada yang mengatakan kalau jimat adalah, sebuah benda yang dianggap mempunyai kekuatan sebab akibat yang tidak masuk akal pikiran. (Hasyim, 1975: 207).

Setelah mengurai dari istilah terluas serta pendapat dari berbagai orang, maka dapat disimpulkan bahwa jimat adalah benda dengan berbagai macam bentuknya yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural di luar jangkaun pikir manusia, serta diyakini dapat membantu menyelesaikan persoalan hidup.

B. Jimat dalam Praktik Dagang

Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana jimat sebagai barang yang diyakini mempunyai kekuatan yang digunakan oleh para pedagang dalam praktik dagangnya. Penelusuran yang akan menjadi bahasan pada bagian ini akan dimulai dari yang paling luas hingga pada bagian-bagian yang semakin konkrit.

Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Dalam arti lain manusia dalam kehidupannya selalu hidup berdampingan, maka dengan keadaan yang seperti itu akhirnya manusia menghasilkan budaya. Hal ini sesuai dengan tiga fungsi manusia dalam hidupnya yaitu sebagai makhluk Tuhan, individu dan sosial-budaya (Setiadi dkk, 2005 : 48).

Disebutkan di atas bahwa budaya bagian dari fungsi manusia. Sedangkan budaya sendiri mempunyai cakupan yang sangat luas dan terus berkembang. Budaya adalah keseluruhan yang sangat kompleks yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian moral, hukum dan adat istiadat (Taylor, 2008: tanpa halaman). Dalam pengertian ini terdapat poin yang menunjukkan pada sistem kepercayaan. Pada poin ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia pasti ada sebuah kepercayaan yang menjadi pola atau pegangan hidupnya. Kepercayaan tersebut bisa berupa kepercayaan kepada Tuhan atau hal-hal lain di luar dunia fisik.

Dalam budaya itu terdapat empat unsur penting salah satunya adalah sistem ekonomi (Kovits, 2008: tanpa halaman). Selain dari apa yang tersebut sebelumnya, sistem ekonomi juga menjadi bagian dari budaya. Sistem ekonomi yang paling dekat pada dunia riil yang bisa diamati setiap hari adalah, perilaku perdagangan yang terjadi diantara manusia. Perilaku perdagangan tidak bisa dipungkiri sebagai bagian dari sistem ekonomi yang selama ini sudah ribuan tahun berjalan.

Sistem kepercayaan dan sistem ekonomi merupakan bagian kecil dari sekian banyak budaya yang kompleks yang berkembang di tengah-tengah manusia. Dari setiap bagian yang ada mempunyai relefansi yang dekat, sehingga memungkinkan adanya titik temu yang bisa diungkap ke permukaaan. Begitu juga dengan kepercayaan serta sistem ekonomi juga bisa ditemukan titik relefansinya.

Untuk memudahkan menemukan titik relefansi diantara keduanya maka tidak bisa dielakkan lagi pembahasan ini harus feed back pada sejarah dari manusia itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa manusia juga berfungsi sebagai makhluk Tuhan. Makhluk tuhan disini berarti bahwa, manusia mempunyai kecenderungan mempercayai Tuhan, fakta konkrit ini biasa tertuang dalam bentuk agama. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib (Agus, 2005: 1). Jadi jauh beribu-ribu tahun yang lalu manusia sudah mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan di luar fisik. Kepercayaan tersebut dalam sejarah nenek moyang kita tertuang dalam bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme (Wikipedia, 2008: Tanpa Halaman).

Kepercayaan nenek moyang dalam bentuk di atas walau tidak disebut sebagai agama, namun substansinya sama dengan agama itu sendiri. Persamaan yang ada di dalamnya adalah, adanya ritual dan anggapan akan adanya kekuatan gaib yang menempati suatu benda. Pengakuan adanya kekuatan gaib ini bermakna agama yang merupakan gejala universal dari manusia secara umum, begitulah yang diakui oleh Begrson (Agus, 2005: 3).

Kepercayaan pada dunia luar menjadi keunikan mendasar dalam kehidupan manusia. Pada masyarakat primitif, kepercayaan menjadi sistem yang terpadu dengan segala aspek kehidupan lain (Agus, 2005: 9). Artinya segala aspek kehidupan manusia dari yang paling kecil hingga pada hal yang paling besar berada pada tatanan kepercayaan atau agama. Tradisi ini kemudian direduksi oleh masyarakat kita saat ini termasuk dalam dunia dagang. Dalam dunia dagang muncul sebuah kepercayaan terhadap kekuatan di luar yang fisik atau supranatural yang diyakini dapat membantu profesi mereka.

Kepercayaan kepada dunia supranatural dari zaman manusia dahulu hingga saat ini akan terus berlangsung. Sebagi contoh berikut survei yang dilakukan di Australia dan Amerika Serikat 80 % penduduknya mengaku memiliki satu atau lebih keyakinan metafisika (Daruputra, 2007: 21). Fakta ini cukup untuk dijadikan sebagai pijakan tentang kehadiran kepercayaan pada dunia supranatural di zaman modern saat ini.

Fakta riil di atas bisa dilihat dari beberapa fenomena yang terungkap. Diantaranya adalah kepercayaan terhadap kekuatan pada benda. Benda tersebut kemudian dikenal dengan azimat atau jimat. Azimat ini sangat populer diperjual belikan antara dukun dan kliennya (Daruputra, 2007: 32). Keberadaan jimat di tengah-tengah masyarakat cukup dikenal dan dalam praktiknya juga telah melebur pada setiap sisi kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai macam dukun yang mengeluarkan jimat. Dunia dagang pun juga mengenal hal tersebut, salah satu dukun yang mengeluarkan jimat dengan kegunaan pada bidang ekonomi adalah, dukun pesugihan (Daraputra, 2007: 113). Adanya dukun pesugihan ini, menunjukkan kalau praktik perdagangan sangat berkaitan dengan jimat, jadi jimat mempunyai peran dalam dunia dagang.

Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa jimat menjadi bagian dari kehidupan dagang. Fenomena yang terangkat dari fakta riil serta dari sejarah dan budaya menjadi hal yang tak terbantahkan bahwa jimat sampai saat ini masih jadi life style dari perilaku perdagangan. Karena antara budaya dan kepercayaan selamanya akan tetap menjadi bagian dari hidup manusia.

C. Fenomena Jimat dalam Tinjauan Antropologi Agama

Pembahasan pada sub ini akan lebih ditekankan pada posisi jimat dalam kajian Antropologi Agama. Namun akan dimulai dari beberapa penjelasan pengantar dari kajian Antropologi Umum guna mengantarkan pada pemahaman yang jelas serta agar didapat akar teoritis dari kajian fenomena ini.

Gejala pengunaan jimat merupakan salah satu gejala produk dari budaya yang berkembang di tengah-tengah kehidupan manusia. Gejala riilnya sudah dijelaskan pada sub di atas. Sebelum fenomena tersebut menjadi populer lalu kemudian menjadi sebuah budaya. Fenomena tersebut berangkat dari perseorangan. Untuk itu fakta ini tidak salah jika ditempatkan pada ruang lingkup pembahasan Antropologi.

Antropologi berasal dari dua kata Yunani yaitu, Anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti kajian. Jadi, dalam arti yang lebih luas Antropologi berarti kajian tentang manusia baik yang masih hidup atau yang sudah mati, yang sedang berkembang ataupun yang sudah punah. (Coleman, 2005: 8). Demikian cukup luas kajian Antropologi mengenai manusia dengan segala aspeknya. Pada tataran pembahasan ini yang dimaksudkan adalah, fenomena jimat.

Antropologi dengan cakupannya yang begitu luas mempunyai pembagian sebanyak tiga kelompok besar yaitu, Antropologi Fisik, Antropologi Budaya serta yang terakhir Antropologi Linguistik (Huky, 1994 : 16). Tiga kelompok besar ini membawahi berbagai macam bagian kecil. Hirarki kalsifikasi ini ternyata akhir-akhir ini mengalami perkembangan sehingga Antropologi tidak hanya terbagi menjadi tiga bagian saja. Perkembangannya memunculkan dua bidang garapan baru yaitu Antropologi Politik dan Hukum (Coleman, 2005: 10). Sedangkan bagian baru yang kedua adalah Antropologi Agama (Coleman, 2005: 130).

Pembagian Antropologi seperti yang disebutkan di atas mempunyai cakupan pembahasan dan batasan-batasan yang jelas. Sehingga di dalamnya tidak memungkinkan adanya kerancuan, kemudian jika dikorelasikan dengan fenomena jimat, maka jimat bisa ditilik dari dua bagian Antropologi yang berbeda. Jimat sebagai produk dari budaya menjadi garapan dari Antropologi Budaya, sedangkan jika kehadiran jimat dilihat dari sisi kepercayaan maka jimat masuk pada bidang garapan Antropologi Agama.

Agar lebih konkrit dalam memetakan posisi jimat dalam kajian Antropologi, maka perlu kiranya mengkomparasikan antara gejala yang berbentuk budaya dengan gejala kepercayaan. Maka dalam hal ini perlu adanya diskusi mendalam dalam memahami dua gejala tersebut. Sebagai langkah yang bijak, perlu penelusuran dari dua unsur gejala tadi.

Budaya merupakan sebuah karya dari manusia. Budaya menurut Coon adalah jumlah menyeluruh dari cara-cara dimana manusia tinggal dari generasi yang satu ke genarasi yang lain (Huky, 1994: 64). Artinya budaya hanya sebatas karya dari pola pikir manusia yang terealisasi dalam bentuk perilaku.

Kemudian pada sisi yang kedua bisa dilihat dari uraian mengenai kepercayaan yang terurai dalam agama. Agama merupakan sifat esensial manusia (Morris, 2007: 21). Selain itu agama juga sebagai watak esensial manusia (Morris, 2007: 22). Jadi segala bentuk macam kepercayaan, baik yang sudah terealisasi dalam bentuk agama ataupun hanya sebatas kepercayaan merupakan satu hal yang paling esensi dalam diri manusia sebelum yang lainnya. Kepercayaan bukan sebuah karya, tapi bisa dikatakan sebagai sifat bawaan sejak lahir.

Dua sisi dari fenomena jimat di atas sudah terurai, kini tinggal mebandingkan mana yang lebih dominan diantara keduanya. Kalau yang pertama berupa hasil produk yang tertuang dalam bentuk perilaku, pada sisi kedua yaitu dari kepercayaan yang merupakan watak atau sifat esensi dari diri manusia. Artinya sisi tinjauan Antropologi Agama lebih dominan, karena sifat dan watak datang lebih awal dari pada perilaku. Dalam maksud yang lebih konkrit, setiap manusia dalam berkarya atau beperilaku berangkat dari wataknya atau kebiasaan bawaannya.

Dari penjelasan simpel di atas akhirnya melahirkan sebuah kesimpulan bahwa perilaku jimat lebih dekat dan tepat sebagai bagian dari kajian Antropologi Agama.

1. Motivasi Penggunaan Jimat

Setelah menetapkan jimat sebagai bagian Antropologi Agama, maka dalam poin ini akan diuraikan motivasi penggunaanya dilihat dari sudut pandang Antropologi Agama. Uraian pada kajian ini berangkat dari pandangan-pandangan umum kemudian mengkrucut pada pembahasan yang lebih konkrit dan jelas.

Mengakui adanya kekuatan gaib merupakan pengakuan universal manusia (Agus, 2006: 3). Jadi berkepercayaan merupakan pembawaan murni dari seorang individu. Kepercayaan tersebut tentunya sebuah kepercayaan yang bersentuhan dengan hal yang gaib atau metafisik. Seperti yang terjadi pada fenomena penggunaan jimat.

Manusia memang tidak akan lepas dari hal yang berbau metafisik. Keberadaan manusia saja dibentuk oleh hal yang fisik biasa dsebut dengan badan, dan metafisik yang biasa disebut dengan rohani. Pada sisi roh inilah manusia dapat dibedakan dengan makhluk lainnya. Karena pada sisi ini terdapat tipe yang bercorak ilahi (Bakker, 2000: 97). Berangkat dari material ini manusia akhirnya mempunyai kecenderungan untuk selalu bertatutan dengan dunia di luar manusia.

Dunia di luar manusia itu merupakan daerah kelam yang tidak bisa disentuh dengan pengamatan fisik. Untuk area ini orang menyebutnya sebagai mistik. Dalam aplikasinya pada kehidupan riil menurut Van Herringen dalam bukunya Nederlands Woordennboek 1948, dia menyatakan bahwa mistik adalah adanya kontak manusia di bumi (aardse mens) dan Tuhan (Wikipedia, 2008: tanpa halaman). Kontak yang dimaksudkan disini adalah bentuk kesadaran manusia yang berangkat dari tipe ilahi yang menjadi material pembentuknya.

Mensejajarkan fenomena jimat pada fenomena agama secara umum merupakan keterkaitan yang cukup dekat. Seperti apa yang tertulis dalam sejarah panjang kehidupan manusia, yaitu mengenai tentang kehidupan nenek moyang kita dahulu. Mereka berangkat dari kesejajaran nilai badan dan roh ilahiahnya serta dengan kesadaran universalnya mengakui adanya kekuatan di luar mereka. Dengan keterbatasan ilmu pengetahuan, kala itu nenek moyang kita mengekspresikannya dengan mendatangi dan menyembah pohon-pohon besar yang dianggap di dalamnya terdapat kekuatan luar biasa.

Gambaran di atas mencerminkan bahwa secara umum nenek moyang kita percaya pada dinamisme dan animisme (Daraputra, 2007: 20). Bentuk kepercayaan nenek moyang kita merupakan bagian dari fitrah dia sebagai seorang manusia yang disebut dengan ekspresi relegius (Agus, 2006: 5). Bentuk kepercayaan ini tereduksi pada perilaku penggunaan jimat yang merupakan benda yang diyakini mempunyai kekuatan.

Semua uraian di atas kemudian melahirkan sebuah kesimpulan bahwa motivasi penggunaan jimat adalah bentuk ekspresi relegius murni seorang individu yang berangkat dari kelemahannya untuk meminta pertolongan lewat dimensi-dimensi pengantar yang berupa jimat.

2. Bentuk dan kegunaan Jimat

Kehadiran jimat sebagai benda yang mempunyai kekuatan sudah diakui oleh banyak orang. Pada sub bahasan ini akan diulas bagaimana Antropologi Agama menempatkan posisi jimat sebagai sebuah benda yang bermuatan mistik. Berikut ulasan mengenai jimat pada aspek bentuk yang dihantarkan melalui berbagai sisi. Hal ini dilakukan agar nantinya melahirkan kesimpulan yang memuaskan.

Berawal dari keyakinan animisme dan dinamisme banyak diantara masyarakat umum yang masih menyimpan beberapa pusaka yang dianggapnya mempunyai kekuatan serta dapat berpengaruh pada sukses dan gagalnya usaha manusia (Daruputra, 2007: 25).

Pada masyarakat Jawa mereka lebih banyak menggunakan keris sebagai barang pegangan. Ada sebuah kepercayaan Jawa yang dilekatkan pada keris sebagai barang pegangan yaitu mnifestasi do’a, harapan dan cita-cita atau disebut dalam bahasa Jawa dengan ‘sipat kandel’ pada keris tersebut (Bangunjiwo, 2007: 20). Orang Jawa begitu cukup dekat dengan keris hingga harapan dan do’a mereka lekatkan pada keris, sebuah kepercayaan yang kemudian menjelma menjadi budaya.

Menurut orang Jawa jimat mempunyai bentuk yang beragam, namun secara umum jimat itu berupa lembaran tipis dengan panjang kurang lebih 10 cm dan lebar 4 cm. Lembaran tersebut kemudian ditulisi beberapa huruf atau mantra yang hanya diketahui oleh pemiliknya (Suyono, 2007: 236).

Begitu sangat beragam bentuk jimat, diantaranya juga disebutkan yaitu, batu akik, keris, tomba, rajah (transkip tertulis) dan lain-lain (Daruputra, 2007: 32). Jadi jimat pada sisi bentuk fisiknya tidak mempunyai bentuk yang permanen. Sangat beragam, namun kekuatan supranatural yang ada pada benda tersebut tetap ada sejalan dengan keyakinan yang ada pada masing-masing penggunanya.

Dari bentuk fisik jimat seperti terurai di atas, Antropologi mempunyai persepsi yang berbeda terhadap jimat dalam segi bentuk. Antropologi menyebutnya sebagai benda sakral atau suci (Agus, 2006: 80). Sebutan ini terlepas dari pengertian bentuk fisiknya, tapi apa yang dianggap oleh orang pada benda tersebut.

Sakral menurut Roger Cailois adalah, sejenis perasaan relegius yang ditempatkan pada suatu benda (Agus, 2006: 81). Jadi benda sakral yang kali ini adalah jimat, merupakan benda yang diletakkan padanya sebuah perasaan relegius terkait pada keuatan supranutural yang terdapat di dalamnya.

Pada bentuk fisiknya jimat sebenarnya adalah benda biasa, namun ketika benda tersebut dimasuki oleh perasaan relegius nilai benda tersebut berubah. Eliade mendeskripsikan hal ini sebagai bentuk transformasi dari yang profan menjadi sakral (Pals, 2006: 242). Artinya pada sisi fisiknya jimat hanya berupa benda biasa layaknya benda yang lain, kemudian menjadi wujud baru ketika ditempati perasaan relegius tadi.

Benda-benda yang mengalami tranformasi tadi dalam bahasa Eliade disitilahkan dengan benda-benda imajinatif atau simbol (Pals, 2006: 244). Simbol-simbol tersebut kemudian dikaitkan pada yang di atas atau Tuhan, kemudian termanefestasi pada bentuk kehidupan riil (Pals, 2006: 252)

Jimat sebagai wujud benda yang mengalami tranformasi bernilai simbol yang menghubungkan dengan kekuatan Tuhan yang diletakkan padanya. Manifestasi konkritnya adalah manusia menggunakannya dalam kehidupan riil dengan mempercayai dapat membantu kehidupannya.

Penggunaan kekuatan untuk kepentingan dunia disebut dengan magi (Wach, 1992: 80). Jimat sebagai sebuh simbol imjinatif dari adanya kekuatan suprantural menjadi sandaran manusia untuk mengatasi hidupnya. Menurut Frazer hal itu merupakan karakter dari manusia yang berkepercayaan (Agus, 2006: 126).

Penjelasan di atas cukup singkat namun cukup untuk memberikan penjelasan konkrit tentang bentuk jimat dan kegunaannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa jimat dalam bentuk fisiknya bermacam-macam, namun dilihat dari ssisi Antropologi Agama adalah benda sakral dan simbol imajinatif dari kekuatan supranatural. Pada sisi kegunaannya jimat dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan hidup, layaknya benda sakral dan simbol lain yang ada. Dalam hal kegunaan, Antropologi Agama tidak mengulas secara konkrit tetapi hanya disebutkan dapat membantu permasalahan duniawi yang disitilahkan dengan magi.

D. Kesimpulan Teoritis

Pada ulasan yang terakhir ini akan dijelaskan kesimpulan dari tiga sub di atas sebagai penyimpul umum sekaligus temuan dari kajian teoritis.

Fenomena jimat merupakan fenomena yang cukup unik. Didalamnya tedapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan lebih dalam. Uraian atau paparan di atas mengenai fenomena jimat terasa cukup jelas, sehingga kemudian menghasilkan beberapa kesimpulan teoritis.

Dapat disimpulkan bahwa fenomena jimat dilihat dari sisi istilah mempunyai arti benda dengan berbagai macam bentuknya yang memiliki kekuatan luar biasa. Sedangkan jika dikaitkan pada dunia dagang jimat diakui dapat memberikan kemaslahatan dalam dunia dagang. Kemudian yang terakhir ketika ditinjau dari sisi Antropologi Agama maka fenomena dapat disimpulkan menjadi tiga bagian besar yaitu sebagai berikut :

1. Motivasi penggunaanya merupakan ekspresi relegius murni seorang manusia yang berangkat dari kelemahannya.

2. Bentuknya secara fisik sangat beragam, namun pada tataran fenomena yang nampak dalam kajian ini diistilahkan dengan benda sakral dan simbol imajinatif dari kekuatan supranatural.

3. Sedangkan kegunaannya dapat membantu manusia dalam ururusan dunia sebagaimana kegunaan benda sakral dan simbol yang lain lewat praktek magi.

Antroplogi Agama menilai fenomena ini sebagai agama baru yang belum disadari oleh penganutnya. Pernyataan ini sesuai dengan kajian Antropologi Agama yang menyatakan bahwa setiap kepercayaan yang sudah mempunyai lima aspek dasar sebuah agama disebut dengan agama. Lima aspek dasar agama yaitu, kepercayaan pada kekuatan gaib, ada unsur sakral, ada umat yang menganutnya, ritual serta yang terakhir ada unsur mistisme dan keyakinan. (Agus, 2007: 61-106). Lima aspek ini tereduksi pada fenomena penggunaan jimat. Berdasar pada teori inilah pandangan Antropologi Agama tersebut berpijak.

HIDUP ADALAH PERBUATAN


Penyusunan skripsi sudah berakhir. Kini datang sebuah babak baru yang lebih menantang dan lebih rumit dari sekadar penyusunan skripsi. Ada rasa gerah dalam diri, babak baru itu memberikan beberapa prediksi yang sering membuat langkah terhenti. Tapi waktu akan terus bergulir menggiring diri melewati kenyataan tersebut. Salah satu problem umum yang sering menimpa seseorang pada level ini adalah muncul dari sebuah pertanyaan mendasar. “Mau kemana setelah kamu diwisuda atau setelah sarjana?”

Deskripsi di atas sebuah gambaran yang terjadi di tengah-tengah angkatan sarjana baru, kemudian muncul sebuah problem semacam kekhawatiran untuk mengarungi kehidupan, yang ditumpahkan lewat kegerahan perasaannya dengan pertanyaan di atas.

Kegerahan tersebut menjadi semakin alot ketika didialogkan dengan hati dan keseluruhan diri. Antara kemampuan dan fakta menjadikan pertanyaan tersebut semakin bertambah besar. Ada rasa takut selimuti diri, ada kepercayaan diri menggiring langkah agar terus maju lewati kegerahan tersebut. Walau pada tataran fisik keriangan dan kegembiraan tetap mengumbar, hal itu hanya sebagai bukti efek kemanusiaan sebagai orang yang baru lolos dari sebuah persaingan yang cukup ketat dalam sekian kegiatan perkuliahan. Namun dibalik itu pertanyaan di atas tetap akan menjadi bagian tak akan terlewati begitu saja.

Walau gejala ini bukanlah yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia, tapi tetap menjadi gejala paling monomental dalam sejarah seorang individu yang mengalami taransisi menuju kehidupan yang sesungguhnya. Masa transisi ini adalah masa yang paling menentukan. Jika berhasil melewati kegerahan dan kegetiran yang tersuguhkan maka langkah selanjutnya bisa dipastikan akan terlewati dengan lancar. Tapi jika tidak berhasil, maka kegelisahan itu akan membawa pada kehancuran.

Disadari atau tidak kegerahan di atas disebabkan oleh sebuah suguhan kehidupan yang serba instan sebelum orang tersebut menapaki masa transisi ini. Kebiasaan menikmati, memakan, memakai yang sudah tersedia melupakan akan adanya kehidupan yang mengharuskan sebuah kerja keras dan keseriusan. Kehidupan kampus yang penuh dengan teori kadang menjadikan seseorang idealis sehingga sulit untuk diajak realistis, pada tahapan berikutnya ketika kehidupan yang sesungguhnya tersuguhkan di depan mata, yang tercipta cuma sebuah kebingungan yang tak terumuskan.

Kehidupan sebenarnya bukanlah sesuatu yang kejam dan mengancam, sehingga harus ditakuti. Namun kehidupan harus dilewati sedikit demi sedikit dengan kemampuan dan kerja keras. Kehidupan menjadi kejam, ganas, membunuh atau istilah mengerikan lainnya yang lebih menegangkan, ketika seorang pribadi mengharap terlalu besar dari hidupnya sebelum ia bekerja. Mengharap kesuksesan di genggaman, sementara di lain sisi dia hanya penghayal, pengagum orang-orang di sekitarnya serta meniggalkan rumusan hidup atau sunnatullah yang berlaku.

Karena kehidupan bukanlah hal yang perlu ditakuti, maka sebagai langkah awal bagi mereka yang mengalami transisi seperti di atas adalah memahami hidup dengan merealistiskan ide bukan meng-idealiskan realita. Kehidupan menyuguhkan kenyataan, hanya kesadaran yang bisa membacanya, sedangkan ide hanya sebuah wacana bukanlah kenyataan, maka jika Anda bagian dari orang yang idealis maka beralihlah pada seorang idealis yang realistis. Berhentilah Anda menghayal tapi beralihlah untuk berbuat, karena hidup adalah perbuatan.[ijan]

*)Tulisan ini refleksiku sebelum aku diwisuda

Senin, 07 Juli 2008

TASYAKURAN SEBUAH NYANYIAN NAFSU BIOLOGIS

Menyelenggarakan tasyakuran bagi lembaga pendidikan di Madura setelah pengumuman kelulusan adalah sebuah tradisi yang sudah melekat lebih dari puluhan tahun yang silam. Acara tersebut bias any diadakan pada sekitar mulai awal bulan Juni hingga pertengahan bulan Juli. Acara yang cukup menelan biaya tidak sedikit ini, masyarakat menyebutnya dengan Haflatul Imtahan atau Imtihanan. Masyarakat sekitar atau para orang tua wali murid begitu cukup antusias mengikuti dan ikut serta dalam penyelenggaraan acara tersebut. Terlihat dari apa yang mereka lakukan untuk acara imtihanan ini dengan beberapa sumbangan yang mereka berikan, dari sesi financial hingga keterlibatan emosi mereka untuk melancarkan acara tersebut.

Terdapat berbagai macam acara dalam imtihanan ini. Penyelenggaraanya bisa satu hari penuh, bahkan di beberapa daerah lebih dari sehari hingga ada yang seminggu. Rentang waktu pelaksanaan tersebut sangat tergantung pada besar dan kecilnya lembaga terkait penyelenggara acara tersebut. Bagi lembaga besar bisa terdapat berbagai macam acara hingga akumulasi dari semua acara bisa memakan waktu lebih dari sehari. Ada yang mengemas acaranya dengan dimulai dari lomba-lomba lefel lembaga antar sesama siswa, kemudian diakhiri dengan acara puncak yaitu pelepasan siswa kelas akhir. Semua acara tersebut merupakan bentuk perayaan dari apa yang mereka rasakan setahun penuh di lembaga tersebut.

Kemarin hari Sabtu 5 Juli 2008 aku berkesempatan menyaksikan acara rangkaian mtihanan di Kec. Bluto dari awal rangkaian hingga pada acara inti. Cukup ramai, jalanan desa dengan ukuran standart dipenuhi oleh jejalan para pengunjung. Para calon wisudawan diarak mengelilingi kampung dengan iring-iringan berbagai macam hiburan. Drumband dan musik-musik tradisonal khas Bluto yang aku sendiri belum tahu namanya, ikut meramaikan acara tersebut.

Para wisudawan dari lulusan Tk, MI, MTs dan MA berada pada posisi depan dengan menggunakan pakaian kebanggan mereka. Unik dan cukup menarik serta yang lebih dari itu bisa dinikmati. Aku walaupun tidak lahir di pulau garam, namun adat serta budaya yang berkembang di rumahku tidak jauh beda dengan masyarakat Madura pada umumnya. Hiburan yang seperti itu sudah lama tidak pernah aku nikmati sejak aku berada di Pesantren. Cukup kangen dengan bentuk keramaian seperti itu. Akhirnya pucuk ulam pun tiba, hari itu aku pun dengan puas dan bisa mengobati rasa kangenku pada tradisi lama yang sudah terasa asing pada diriku.

Saat aku menikmati tontonan tradisional tersebut, ada perasaan yang berbeda dengan perasaan yang dulu pernah aku rasakan jauh sebelum aku menjadi pria dewasa. Tontonan itu tidak lagi hanya sekadar tontonan yang bernuansa hiburan ramai-ramai saja, tapi melahirkan gejolak perasaan kedewasaanku yang berkaitan dengan perasaan-perasan halus sebagai seorang pria terhadap lawan jenisnya. Keramaian serta hiruk pikuk berbagai jenis suara, suara senar, drum, trompet dan berbagai macam suara bising lainnya menjadi pengiring khayal kelaki-lakianku.

Mataku berbinar, lihat sana, lihat sini seperti orang sedang menacari barang yang hilang. Sempat aku geli merasakan gejala tersebut ketika sejenak aku berdialog dengan hati dan otakku. Aku bertanya “Ada apa denganku?”. Walau tidak sepenuhnya aku menolak gejolak tersebut, tapi aku berusaha menetralisirnya. Aku tidak ingin dikatakan kampungan atau apa saja yang sifatnya memalukan untuk orang seperti aku yang nota benenya seorang santri. Bukan sok suci sih loh, cuma aku ingin alami seperti orang-orang normal lainnya.

Diriku yang terasa aneh ini membawaku pada rengkuhan hati untuk memahami apa yang terjadi pada diriku, sehingga suguhan pestaporia orang-orang kampung tersebut tidak menjadi suguhan yang membawaku pada ketenangan. Aku mulai mengganjal otakku untuk berfikir keras di tengah-tengah keramaian. Dari setiap yang terlihat aku ingin mengolahnya menjadi hal yang bermakna pada diriku. Moment ini harus memeberiku pengetahuan yang menjadikan aku lebih bijak dan normal menjadi manusia sejati.

Banyak hal yang dapat aku lihat, namun satu hal yang sangat berkaitan dengan gejolak normal kedewasaanku yaitu, penontonnya. Para penonton yang kurang lebih banyak dipadati oleh para wanita membuatku silau untuk melihat lebih laluasa. Orang desa yang dulunya lugu, halus, sopan, rapi serta memegang teguh tradisi ke-desaanya, kini sudah berubah. Mereka kini mempunyai tren mode yang jauh berbeda dengan apa yang aku lihat sepuluh tahun silam. Cara berpakaian, berintraksi, berjalan, melihat, menyapa dan segala aspek prilaku keseharian tidak lagi mencerminkan orang desa yang pernah aku kenal dulu.

Lipstik merah serta pakaian seksi hampir tidak bisa dielakkan. Aku sih tidak risih-risih amat dengan hal seperti itu. Itu syah-syah saja, hanya aku sepertinya bingung dalam memperlakukan mereka, terutama beberapa orang yang sempat dulu aku kenal, dan sekarang dia datang menyapaku tentunya dengan suguhan penampilan seperti yang aku gambarkan. Nafsu biologisku bernyanyi dengan riang, namun hati kecil serta prinsip yang aku pegang risih dan terpojokkan. Entahlah…?! aku tertarik karena aku deawasa, atau karena aku dipancing?”. Dua pertanyaan ini yang membuat aku bingung.