Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 30 September 2011

Ideologi Pembasmi Terorisme

Hingga saat ini persoalan paling menonjol dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa adalah melemahnya solidaritas antar individu dan kelompok. Masing-masing kelompok selalu menampik adanya nilai-nilai luhur serta cita-cita suci pada kelompok yang lain. Pada sudut pandang yang lain sejumlah komponen kehidupan berbangsa ini mulai rapuh dan tercerai berai dalam hiruk pikuk sikap arogan yang terus menopang runtuhnya solidaritas kebangsaan. Hal ini mengindikasikan suatu perbedaan pandangan serta pemahaman yang unilateral, bukan multilateral (toleransi). Pada sudut pandang yang berbeda, menempatkan keberagaman tidak lagi menjadi warna yang indah dalam kehidupan berbangsa, bahkan yang mencuat adalah adanya praktek-praktek profokatif yang menodai kedamian bersama.

Keragaman yang bisa dinilai cukup indah dalam kehidupan berbangsa adalah keberagaman dalam agama. Keindahan tersebut hanya bisa digapai apabila masing-masing kelompok keberagamaan dan kepercayaan bisa menjalin solidaritas kebangsaan. Sedangkan maksud dari solidaritas kebangsaan adalah menempatkan segala tujuan hidup pada ikatan dan cita-cita bangsa. Menempatkan segala tujuan hidup pada cita-cita bangsa tentu bukan perkara yang mudah, hal itu sangat terkait dengan dogma pada masing-masing agama yang sering memberlakukan penilaian standard ganda dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman. Pada satu sisi, kelompok agama tertentu mempunyai penilaian yang sangat sempurna pada ajarannya sendiri, sementara di sisi yang lain pada pola hubungan kemanusiaan dan kebangsaan memberlakukan penilaian negatif pada kelompok agama yang lain. Pola seperti ini tentu sangat mengundang sikap kecemburuan yang berlebihan, kewaspadaan munculnya ancaman atau bahkan agresi antar kelompok menjadi suatu kondisi kehidupan yang mencekam dalam kehidupan berbangsa. Akibatnya, kelompok-kelompok agama yang ada selalu merasa tidak aman dengan kemungkinan-kemungkinan adanya teror dalam menjalankan agamanya (ajaran).

Sebagai salah satu segmen praktek keagamaan yang dihantui oleh kekhawatiran, yaitu adanya ancaman dari pihak luar berupa adanya penjagaan keamanan yang super ketat pada suatu ritual tertentu dalam sebuah agama. Misalnya; saat pelaksanaan Idul Fitri dalam agama Islam atau Natal dalam agama Kristen sering kali dijaga begitu sangat ketat oleh aparat keamanan dengan berpijak pada suatu kekhawatiran dan ketakutan munculnya teror pada saat pelaksanaan ritual tersebut. Kenyataan ini berlangsung secara terus menerus dan juga berlaku di berbagai tempat, bahkan mungkin di seluruh dunia. Bagi sebagian orang mungkin tidak ada yang menarik dari prosesi penjagaan yang begitu ketat tersebut, akan tetapi sejatinya ada sisi yang layak dicermati sebagai upaya menangkap sisi paling dalam dari kehidupan beragama dan berbangsa dalam lingkup keberagaman atau pluralitas. Kesigapan aparat keamanan dalam kasus ini patut diacungi jempol, tetapi menjadi suatu hal yang memalukan apabila disorot pada nilai-nilai yang dibawa oleh agama. Memalukan dalam arti ajaran agama secara universal tidak mampu memberikan rasa aman bagi pemeluk dan lingkungannya. Pluralitas yang merupakan keniscayaan telah meruntuhkan nilai-nilai kedamaian yang dibawa oleh masing-masing agama.

Menjadi keniscayaan bahwa kedamaian hidup itu merupakan bagian dari apa yang digagas oleh agama. Namun realitanya seperti yang tersuguhkan di atas, agama seakan menjadi problem dalam keharmonisan kehidupan berbangsa, alih-alih akan menyuguhkan kedamian, yang terjadi malah merebahnya kecemburuan antar agama. Sebagai akibatnya, identitas keagamaan menjadi satu hal yang terus dicurigai. Memelihara jenggot, memakai jilbab serta menggunakan simbol-simbol keagamaan menjadi deretan problem yang mengundang banyak diskusi terkait penggunaannya di ruang publik. Bahkan di sejumlah negara di Eropa penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik sudah menjadi larangan. Kondisi ini semakin menguatkan bahwa agama tidak lagi menjadi tempat yang sejuk untuk menawarkan kedamaian bagi pemeluk dan lingkungannya.

Ketakutan yang terus bergulir tersebut tidak lain diakibatkan oleh sejumlah konflik yang mempunyai kaitan erat dengan agama. Kasus-kasus kekerasan dan kriminalitas dengan berbagai bentuknya seakan menyudutkan agama pada suatu pojok tertentu dengan tuduhan sebagai biang dari menyuburnya teror dalam kehidupan berbangsa. Beragam bentuk aksi teror sebagai phobia publik menjadi sebuah keniscayaan untuk hidup damai. Ketakutan ini semakin nyata sejak terjadinya tragedi teror besar 11 September 2001 sepuluh tahun silam. Sejak saat itulah legitimasi agama sebagai sumber kekerasan dan teror semakin dikukuhkan dengan sejumlah kampanye yang digulirkan oleh Amerika Serikat dengan sebutan peran melawan terorisme (war on terrorism).

Ketakutan itu seakan terus bergulir, bahkan tanggal 25 September 2011 yang lalu sebuah bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo telah menambah ketakutan baru sekaligus mengindikasikan bahwa teror bermotif agama terus menghantui dinamika kehidupan berbangsa. Indikasi adanya motif agama dalam hal ini tentu tidak bisa dielakkan lagi, mengingat kejadian tersebut terjadi pada suatu tempat suci agama Kristen. Secara kasat mata indikasi adanya motif agama lebih dominan, walau kemungkinan ada penunggang lain yang mempunyai maksud memecah kerukunan umat beragama.

Terlepas dari adanya unsur lain yang menunggangi kasus bom bunuh diri di atas, ketakutan serta kecemburuan antar umat beragama tetap tidak bisa dipungkiri lagi. Phobia serta kecemburuan antar agama sedikit demi sedikit akan menggiring kesadaran publik (pemeluk agama) pada babak tertentu yaitu berupa keraguan terhadap ajaran agamanya. Prediksi ini bukan suatu hal yang mustahil, walau juga diakui bahwa manusia selamanya akan terus bergantung pada realitas mutlak (Tuhan) sebagai bentuk pengakuan (penghambaan) secara pribadi. Namun agama secara lembaga tentu akan mengalami masa suram ketika ketakutan yang dihembuskan melalui teror bermotif agama itu semakin akut.

Persoalan di atas tentu tidak hanya menjangkiti suatu agama tertentu,akan tetapi secara tidak langsung juga menjangkiti setiap agama yang ada. Pada saat itulah hendaknya setiap agama mulai merumuskan kembali pola kehidupan keberagamaannya dengan cara melihat pluralitas itu sebagai keniscayaan yang perlu diinsafi. Meniginsafinya tentu dalam bentuk perwujudan amal yang menyuguhkan kedamaian serta tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal.

Memahami Nilai-Nilai Kebangsaan

Mencermati pluralitas dalam kaitannya dengan kecemburuan dan ketakutan yang muncul dalam kehidupan beragama dan berbangsa dalam konteks ke-Indonesiaan tentu akan menggiring pada suatu keniscayaan pengkajian nilai-nilai kebangsaan. Pengkajian tersebut merupakan jalan yang representatif dalam mewujudkan kehidupan yang damai dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Nilai-nilai kebangsaan akan lebih terbuka dalam mewadahi berbagai bentuk keragaman bangsa ini, baik dalam agama ataupun keragaman yang lain. Melalui pengertian ini secara tidak langsung diantara agama yang berkembang di Indonesia tidak ada yang punya hak untuk memasukkan sebagian nilai-nilai agama pada kebijakan Negara apalagi sampai memaksakan agar berpedoman pada asas agama.

Sebagai langkah awal dalam menghadirkan nilai-nilai kebangsaan penelusuran historis menjadi salah satu pintu yang cukup terbuka untuk menghadirkan nilai-nilai tersebut. Suatu fakta sejarah telah menyuguhkan bahwa dari sejak awal bangsa ini tidak pernah menyatakan sebagai bangsa yang berpedoman pada asas agama tertentu. Oleh karena itu setiap agama dalam koridor kebangsaan mempunyai kedudukan serta kewajiban yang sama, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang diusung berupa kesejahteraan dan kedamaian dalam lingkup pluralitas yang ada.

Satu pijakan yang cukup populer dalam kerangka kebangsaan terdapat dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan bagian dari salah satu prinsip dalam kehidupan berbangsa di tengah-tengah pluralitas agama yang ada. Prinsip ini sangat representatif untuk kemudian bisa dibawa sebagai nilai-nilai kebangsaan yang terwujudkan dalam betuk prilaku nyata. Jika nilai-nilai ini benar-benar telah membumi dalam setiap prilaku individu, maka ketakutan, kekhawatiran serta kecemburuan di tengah-tengah pluralitas agama bisa dihindari.

Memupuk Ajaran Agama yang Konstributif

Sejatinya tidak ada satu agama apapun yang menhalalkan pencideraan terjadap nilai-nilai kemanusiaan. Kedamaian menjadi satu prioritas universal yang dimiliki oleh setiap agama. Maka ketika terjadi kekerasan atau teror yang bermotif agama pada dasarnya bukanlah ajaran agamanya yang salah, akan tetapi para pemeluknya yang mempunyai interpretasi yang salah terhadap ajaran agamanya. Legitimasi pada agama tertentu sebagai sarang terorisme juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tudingan tersebut tidak akan pernah memberikan solusi yang tepat dalam memberantas kasus teror yang terus bergulir, bahkan bisa semakin meruncingkan konflik antar agama. Maka terorisme bukanlah unsur dari ajaran agama apapun, trorisme adalah segmen lain yang nota benenya bisa dikatakan sebagai kelompok yang membenci nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian. Kesadaran inilah yang perlu disuburkan pada setiap individu beragama agar kemudian tidak terjebak pada pola profokasi yang tergelar.

Selain hal di atas, setiap pemeluk agama diharapkan kembali pada ajaran agamanya sendiri, namun tentu dengan pola pengertian dan pemaknaan yang konstributif. Sebagai bentuk nyata dari pemaknaan konstributif adalah pemakanaan ajaran agama yang mampu menhadirkan prestasi-prestasi prestesius yang membanggakan kehidupan bersama. Sebagai contoh, seyogyanya setiap agama mampu memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan sosial. Meminimalisir kemiskinan serta kebodohan adalah salah satu sektor konkret yang cukup mumpuni untuk dijadikan lahan dalam mengejawantahkan dari pola pemaknaan ajaran agama yang konstrbutif. Bersaing dalam menyuguhkan prestasi oleh setiap agama merupakan simbol dari pemaknaan ajaran agama yang konstributif.

Saatnya Menuju Kedamaian

Apapun alasannya aksi teror itu tetaplah bentuk kekejaman yang tidak bisa diterima oleh agama manapun. Ancamannya tidak hanya jiwa, akan tetapi agama itu sendiri akan mengalami kesuraman, bahkan bisa saja ditinggalkan oleh pemeluknya. Teror telah menebar kecurigaan yang berlebihan antar umat beragama, maka dalam rangka menyelamatkan agama dari kepunahan serta terciptanya kedamaian, hendaknya setiap pemeluk agama bisa mensinergikan wawasan kebangsaannya dan ajaran agamanya secara bersamaan. Integrasi nilai-nilai kebangsaan dan pemaknaan ajaran agama yang konstributif merupakan salah satu jalan dalam menumpas terorisme sekaligus sebagai jalan menuju kedamaian bersama. Semoga…

Minggu, 25 September 2011

SAATNYA MEMUTILASI MATEREALISME

Terjangan materealisme di era sekarang tidak hannya digandrungi oleh kalangan elit saja. Materealisme menjadi suatu gerakan baru dalam kehidupan masyarakat yang terus menggerus habis kesadaran religius. Ajaran agama yang semula menjadi salah satu penuntun bagi kehidupan manusia dalam menata dunia, saat ini hanya menjadi ritual formal yang hampa. Wasiat taqwa yang digemborkan dimana-mana lewat berbagai media tidak lain hanya bagian dari pergumulan dan penggemukan materealisme saja. Pada babak yang lebih mengerikan, agama menjadi kemasan paling menggiurkan dalam memoles tujuan-tujuan materealistik oleh pihak tertentu.

Tinjauan di atas bukan semata-mata bertolak dari kecemburuan semata, tetapi merupakan satu refleksi yang menghendaki agar setiap individu bisa menimbang dan menilai dari berbagai suguhan realitas yang terjadi. Berbagai even yang bernuansa relegi bisa saja menjadi ajang pengumpulan kekayaan oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan seringkali terdapat pungutan-pungutan yang tidak rasional untuk sejumlah kepentingan yang tidak jelas, sehingga kemudian yang mencuat ke permukaan adalah terciptanya wacana yang berkembang di masyarakat luas berupa komersialisasi pendidikan. Pada satu sisi dana memang menjadi syarat mutlak berjalannya suatu program pendidikan, selama kebutuhan dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan tentu tidak menjadi persoalan, akan tetapi yang banyak terjadi adalah penyelewengan serta kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan anak didik. Di berbagai sekolah atau lembaga pendidikan ternama seringkali terdapat sejumlah program-program yang sifatnya prestesius, namun tidak tepat sasaran. Efektifitas serta efisiensi kurang begitu dipedulikan, sehingga yang terjadi hanya berupa-berupa proyek-proyek tertentu yang sifatnya hanya mengejar rating atau popularitas dan kepentingan-kepentingan materi.

Bila melihat dan mencermati suguhan media baik cetak maupun elektronik kerap kali terdapat segmen yang menyuguhkan kehidupan hedon para publik figur yang membuat para penikmat media berdecak kagum dibuatnya. Selebritis, politisi serta para pengusaha menjadi figur yang seringkali mengisi ruang-ruang media dengan pola kehidupan yang serba mewah. Capaian-capaian materi menjadi ulasan paling menarik serta paling digandrungi oleh para penikmat media. Kontes kekayaan dengan lipatan serta tumpukan uang yang bertriliunan rupiah menghadirkan sejumlah orang yang lengkap dengan rankingnya dari sisi kekayaan materi. Suguhan ini sekilas bisa saja menstimulan agar setiap orang bisa bermimpi serta giat bekerja, namun ketika realiatas tersebut tidak diimbangi dengan keimanan dan kesadaran relegius akan berakibat pada pola kehidupan materealistik yang akut.

Realitas di atas tidak cukup hanya dikeluhkan saja, apalagi dengan hanya menyalahkan pihak-pihak lain. Media massa yang selama ini disinyalir menjadi penyubur pola kehidupan yang serba materi tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sejumlah sisi kehidupan yang lain juga perlu dicermati sebagai pola berfikir komprehensif untuk menghadirkan solusi yang tepat. Agama tentu menjadi sisi paling vital yang perlu dicermati dalam menyelesaiakan persoalan ini. Sejatinya persoalan materealisme sudah sejak dulu bergulir, di dalam al-Qur’an pola pandang kematerian dikisahkan pada kehidupan seorang Qorun. Maka secara prinsip agama Islam tentu sudah sejak kelahirannya bersentuhan dengan materealisme. Bahkan, pada penggalan kisah kelahiran Islam itu sendiri lahir di kota metropolitan yaitu Mekah sebagai pusat perekonomian kala itu.

Kelahiran Islam di tengah pusat perekonomian tentu mempunyai makna tersendiri yang perlu direfleksikan. Masyarakat Mekah waktu itu sebagian besar adalah saudagar, namun di tengah kedigdayaan materi yang melimpah telah melimbungkan masyarakat Mekah. Kebodohan semakin menjadi-jadi, ukuran kesuksesan selalu disandarkan pada capaian materi. Sebagai implikasinya yang nampak dalam kehidupan adalah pandangan yang tidak berimbang terhadap status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dianggap mampu mendatangkan keuntungan finasial yang lebih dibandingkan perempuan, sehingga sejumlah kasus penguburan anak perempuan oleh orang tuanya menjadi hal cukup lumrah waktu itu. Kasus ini walau tidak semata-mata karena tekanan dogma materealisme, namun paling tidak itu marupakan salah satu bias dari pola pandang materealisme yang menjangkiti masyarakat waktu itu.

Mengulas materealisme tentu juga sangat berkaitan dengan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Para pemimpin ini begitu sangat lemah ketika menghadapi kelihaian goadaan materi yang mengelilinginya. Suara dan janji para pemimpin ini untuk mensejahterakan rakayat hanya sebatas isapan jempol belaka. Hanya agama satu-satunya harapan yang mampu meneyelesaikan persolan ini. Sejumlah hal yang paling prinsip dalam agama perlu untuk kemudian dieja lalu kemudian menjadi wujud nyata dari prilaku sehari-hari. Salah satunya adalah ajaran keimanan kepada Tuhan. Iman kepada Tuhan (Allah) dalam konteks kajian agama merupakan salah satu hal yang cukup vital dan prinsip, ketika individu sudah kehilangan keimanannya maka secara tidak langsung status keagamaannya juga telah termutilasi. Namun kenyataannya keimanan yang mersauk pada diri setiap individu selalma ini masih sebatas keimanan pasif saja. Pasif dalam arti sebatas bentuk kepercayaan normatif yang tersimpan rapat dalam hati. Sementara prilaku belum bisa mewujudkannya.

Sebagai bentuk upaya dalam mengimbangi gempuran matarealisme adalah menempatkan keimanan kepada Tuhan sebagai satu-satunya prinsip hidup yang tidak boleh diduakan. Menduakan Tuhan sama dengan memutus kepercayaan kepada-Nya serta pada tahap yang sama menempatkan diri sebagai hamba-hamba yang pecundang. Jika ditarik dalam terminologi agama, orang yang sengaja menempatkan seluruh tujuan hidupanya pada materi adalah bagian dari prilaku syirik yang dosanya tidak terampuni. Penempatan ini tentu tidak berlebihan, karena sikap-sikap materelistik tidak hanya bernilai dosa pada pelakunya, tetapi jauh lebih dari itu telah merugikan lingkungan dan manusia di sekitarnya. Kini saatnya kita memutilasi Materealisme dan kembali pada Allah satu-satunya tujuan hidup. Mati kau materealisme hahahah...