Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 30 September 2011

Ideologi Pembasmi Terorisme

Hingga saat ini persoalan paling menonjol dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa adalah melemahnya solidaritas antar individu dan kelompok. Masing-masing kelompok selalu menampik adanya nilai-nilai luhur serta cita-cita suci pada kelompok yang lain. Pada sudut pandang yang lain sejumlah komponen kehidupan berbangsa ini mulai rapuh dan tercerai berai dalam hiruk pikuk sikap arogan yang terus menopang runtuhnya solidaritas kebangsaan. Hal ini mengindikasikan suatu perbedaan pandangan serta pemahaman yang unilateral, bukan multilateral (toleransi). Pada sudut pandang yang berbeda, menempatkan keberagaman tidak lagi menjadi warna yang indah dalam kehidupan berbangsa, bahkan yang mencuat adalah adanya praktek-praktek profokatif yang menodai kedamian bersama.

Keragaman yang bisa dinilai cukup indah dalam kehidupan berbangsa adalah keberagaman dalam agama. Keindahan tersebut hanya bisa digapai apabila masing-masing kelompok keberagamaan dan kepercayaan bisa menjalin solidaritas kebangsaan. Sedangkan maksud dari solidaritas kebangsaan adalah menempatkan segala tujuan hidup pada ikatan dan cita-cita bangsa. Menempatkan segala tujuan hidup pada cita-cita bangsa tentu bukan perkara yang mudah, hal itu sangat terkait dengan dogma pada masing-masing agama yang sering memberlakukan penilaian standard ganda dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman. Pada satu sisi, kelompok agama tertentu mempunyai penilaian yang sangat sempurna pada ajarannya sendiri, sementara di sisi yang lain pada pola hubungan kemanusiaan dan kebangsaan memberlakukan penilaian negatif pada kelompok agama yang lain. Pola seperti ini tentu sangat mengundang sikap kecemburuan yang berlebihan, kewaspadaan munculnya ancaman atau bahkan agresi antar kelompok menjadi suatu kondisi kehidupan yang mencekam dalam kehidupan berbangsa. Akibatnya, kelompok-kelompok agama yang ada selalu merasa tidak aman dengan kemungkinan-kemungkinan adanya teror dalam menjalankan agamanya (ajaran).

Sebagai salah satu segmen praktek keagamaan yang dihantui oleh kekhawatiran, yaitu adanya ancaman dari pihak luar berupa adanya penjagaan keamanan yang super ketat pada suatu ritual tertentu dalam sebuah agama. Misalnya; saat pelaksanaan Idul Fitri dalam agama Islam atau Natal dalam agama Kristen sering kali dijaga begitu sangat ketat oleh aparat keamanan dengan berpijak pada suatu kekhawatiran dan ketakutan munculnya teror pada saat pelaksanaan ritual tersebut. Kenyataan ini berlangsung secara terus menerus dan juga berlaku di berbagai tempat, bahkan mungkin di seluruh dunia. Bagi sebagian orang mungkin tidak ada yang menarik dari prosesi penjagaan yang begitu ketat tersebut, akan tetapi sejatinya ada sisi yang layak dicermati sebagai upaya menangkap sisi paling dalam dari kehidupan beragama dan berbangsa dalam lingkup keberagaman atau pluralitas. Kesigapan aparat keamanan dalam kasus ini patut diacungi jempol, tetapi menjadi suatu hal yang memalukan apabila disorot pada nilai-nilai yang dibawa oleh agama. Memalukan dalam arti ajaran agama secara universal tidak mampu memberikan rasa aman bagi pemeluk dan lingkungannya. Pluralitas yang merupakan keniscayaan telah meruntuhkan nilai-nilai kedamaian yang dibawa oleh masing-masing agama.

Menjadi keniscayaan bahwa kedamaian hidup itu merupakan bagian dari apa yang digagas oleh agama. Namun realitanya seperti yang tersuguhkan di atas, agama seakan menjadi problem dalam keharmonisan kehidupan berbangsa, alih-alih akan menyuguhkan kedamian, yang terjadi malah merebahnya kecemburuan antar agama. Sebagai akibatnya, identitas keagamaan menjadi satu hal yang terus dicurigai. Memelihara jenggot, memakai jilbab serta menggunakan simbol-simbol keagamaan menjadi deretan problem yang mengundang banyak diskusi terkait penggunaannya di ruang publik. Bahkan di sejumlah negara di Eropa penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik sudah menjadi larangan. Kondisi ini semakin menguatkan bahwa agama tidak lagi menjadi tempat yang sejuk untuk menawarkan kedamaian bagi pemeluk dan lingkungannya.

Ketakutan yang terus bergulir tersebut tidak lain diakibatkan oleh sejumlah konflik yang mempunyai kaitan erat dengan agama. Kasus-kasus kekerasan dan kriminalitas dengan berbagai bentuknya seakan menyudutkan agama pada suatu pojok tertentu dengan tuduhan sebagai biang dari menyuburnya teror dalam kehidupan berbangsa. Beragam bentuk aksi teror sebagai phobia publik menjadi sebuah keniscayaan untuk hidup damai. Ketakutan ini semakin nyata sejak terjadinya tragedi teror besar 11 September 2001 sepuluh tahun silam. Sejak saat itulah legitimasi agama sebagai sumber kekerasan dan teror semakin dikukuhkan dengan sejumlah kampanye yang digulirkan oleh Amerika Serikat dengan sebutan peran melawan terorisme (war on terrorism).

Ketakutan itu seakan terus bergulir, bahkan tanggal 25 September 2011 yang lalu sebuah bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo telah menambah ketakutan baru sekaligus mengindikasikan bahwa teror bermotif agama terus menghantui dinamika kehidupan berbangsa. Indikasi adanya motif agama dalam hal ini tentu tidak bisa dielakkan lagi, mengingat kejadian tersebut terjadi pada suatu tempat suci agama Kristen. Secara kasat mata indikasi adanya motif agama lebih dominan, walau kemungkinan ada penunggang lain yang mempunyai maksud memecah kerukunan umat beragama.

Terlepas dari adanya unsur lain yang menunggangi kasus bom bunuh diri di atas, ketakutan serta kecemburuan antar umat beragama tetap tidak bisa dipungkiri lagi. Phobia serta kecemburuan antar agama sedikit demi sedikit akan menggiring kesadaran publik (pemeluk agama) pada babak tertentu yaitu berupa keraguan terhadap ajaran agamanya. Prediksi ini bukan suatu hal yang mustahil, walau juga diakui bahwa manusia selamanya akan terus bergantung pada realitas mutlak (Tuhan) sebagai bentuk pengakuan (penghambaan) secara pribadi. Namun agama secara lembaga tentu akan mengalami masa suram ketika ketakutan yang dihembuskan melalui teror bermotif agama itu semakin akut.

Persoalan di atas tentu tidak hanya menjangkiti suatu agama tertentu,akan tetapi secara tidak langsung juga menjangkiti setiap agama yang ada. Pada saat itulah hendaknya setiap agama mulai merumuskan kembali pola kehidupan keberagamaannya dengan cara melihat pluralitas itu sebagai keniscayaan yang perlu diinsafi. Meniginsafinya tentu dalam bentuk perwujudan amal yang menyuguhkan kedamaian serta tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal.

Memahami Nilai-Nilai Kebangsaan

Mencermati pluralitas dalam kaitannya dengan kecemburuan dan ketakutan yang muncul dalam kehidupan beragama dan berbangsa dalam konteks ke-Indonesiaan tentu akan menggiring pada suatu keniscayaan pengkajian nilai-nilai kebangsaan. Pengkajian tersebut merupakan jalan yang representatif dalam mewujudkan kehidupan yang damai dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Nilai-nilai kebangsaan akan lebih terbuka dalam mewadahi berbagai bentuk keragaman bangsa ini, baik dalam agama ataupun keragaman yang lain. Melalui pengertian ini secara tidak langsung diantara agama yang berkembang di Indonesia tidak ada yang punya hak untuk memasukkan sebagian nilai-nilai agama pada kebijakan Negara apalagi sampai memaksakan agar berpedoman pada asas agama.

Sebagai langkah awal dalam menghadirkan nilai-nilai kebangsaan penelusuran historis menjadi salah satu pintu yang cukup terbuka untuk menghadirkan nilai-nilai tersebut. Suatu fakta sejarah telah menyuguhkan bahwa dari sejak awal bangsa ini tidak pernah menyatakan sebagai bangsa yang berpedoman pada asas agama tertentu. Oleh karena itu setiap agama dalam koridor kebangsaan mempunyai kedudukan serta kewajiban yang sama, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang diusung berupa kesejahteraan dan kedamaian dalam lingkup pluralitas yang ada.

Satu pijakan yang cukup populer dalam kerangka kebangsaan terdapat dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan bagian dari salah satu prinsip dalam kehidupan berbangsa di tengah-tengah pluralitas agama yang ada. Prinsip ini sangat representatif untuk kemudian bisa dibawa sebagai nilai-nilai kebangsaan yang terwujudkan dalam betuk prilaku nyata. Jika nilai-nilai ini benar-benar telah membumi dalam setiap prilaku individu, maka ketakutan, kekhawatiran serta kecemburuan di tengah-tengah pluralitas agama bisa dihindari.

Memupuk Ajaran Agama yang Konstributif

Sejatinya tidak ada satu agama apapun yang menhalalkan pencideraan terjadap nilai-nilai kemanusiaan. Kedamaian menjadi satu prioritas universal yang dimiliki oleh setiap agama. Maka ketika terjadi kekerasan atau teror yang bermotif agama pada dasarnya bukanlah ajaran agamanya yang salah, akan tetapi para pemeluknya yang mempunyai interpretasi yang salah terhadap ajaran agamanya. Legitimasi pada agama tertentu sebagai sarang terorisme juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tudingan tersebut tidak akan pernah memberikan solusi yang tepat dalam memberantas kasus teror yang terus bergulir, bahkan bisa semakin meruncingkan konflik antar agama. Maka terorisme bukanlah unsur dari ajaran agama apapun, trorisme adalah segmen lain yang nota benenya bisa dikatakan sebagai kelompok yang membenci nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian. Kesadaran inilah yang perlu disuburkan pada setiap individu beragama agar kemudian tidak terjebak pada pola profokasi yang tergelar.

Selain hal di atas, setiap pemeluk agama diharapkan kembali pada ajaran agamanya sendiri, namun tentu dengan pola pengertian dan pemaknaan yang konstributif. Sebagai bentuk nyata dari pemaknaan konstributif adalah pemakanaan ajaran agama yang mampu menhadirkan prestasi-prestasi prestesius yang membanggakan kehidupan bersama. Sebagai contoh, seyogyanya setiap agama mampu memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan sosial. Meminimalisir kemiskinan serta kebodohan adalah salah satu sektor konkret yang cukup mumpuni untuk dijadikan lahan dalam mengejawantahkan dari pola pemaknaan ajaran agama yang konstrbutif. Bersaing dalam menyuguhkan prestasi oleh setiap agama merupakan simbol dari pemaknaan ajaran agama yang konstributif.

Saatnya Menuju Kedamaian

Apapun alasannya aksi teror itu tetaplah bentuk kekejaman yang tidak bisa diterima oleh agama manapun. Ancamannya tidak hanya jiwa, akan tetapi agama itu sendiri akan mengalami kesuraman, bahkan bisa saja ditinggalkan oleh pemeluknya. Teror telah menebar kecurigaan yang berlebihan antar umat beragama, maka dalam rangka menyelamatkan agama dari kepunahan serta terciptanya kedamaian, hendaknya setiap pemeluk agama bisa mensinergikan wawasan kebangsaannya dan ajaran agamanya secara bersamaan. Integrasi nilai-nilai kebangsaan dan pemaknaan ajaran agama yang konstributif merupakan salah satu jalan dalam menumpas terorisme sekaligus sebagai jalan menuju kedamaian bersama. Semoga…

Minggu, 25 September 2011

SAATNYA MEMUTILASI MATEREALISME

Terjangan materealisme di era sekarang tidak hannya digandrungi oleh kalangan elit saja. Materealisme menjadi suatu gerakan baru dalam kehidupan masyarakat yang terus menggerus habis kesadaran religius. Ajaran agama yang semula menjadi salah satu penuntun bagi kehidupan manusia dalam menata dunia, saat ini hanya menjadi ritual formal yang hampa. Wasiat taqwa yang digemborkan dimana-mana lewat berbagai media tidak lain hanya bagian dari pergumulan dan penggemukan materealisme saja. Pada babak yang lebih mengerikan, agama menjadi kemasan paling menggiurkan dalam memoles tujuan-tujuan materealistik oleh pihak tertentu.

Tinjauan di atas bukan semata-mata bertolak dari kecemburuan semata, tetapi merupakan satu refleksi yang menghendaki agar setiap individu bisa menimbang dan menilai dari berbagai suguhan realitas yang terjadi. Berbagai even yang bernuansa relegi bisa saja menjadi ajang pengumpulan kekayaan oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan seringkali terdapat pungutan-pungutan yang tidak rasional untuk sejumlah kepentingan yang tidak jelas, sehingga kemudian yang mencuat ke permukaan adalah terciptanya wacana yang berkembang di masyarakat luas berupa komersialisasi pendidikan. Pada satu sisi dana memang menjadi syarat mutlak berjalannya suatu program pendidikan, selama kebutuhan dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan tentu tidak menjadi persoalan, akan tetapi yang banyak terjadi adalah penyelewengan serta kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan anak didik. Di berbagai sekolah atau lembaga pendidikan ternama seringkali terdapat sejumlah program-program yang sifatnya prestesius, namun tidak tepat sasaran. Efektifitas serta efisiensi kurang begitu dipedulikan, sehingga yang terjadi hanya berupa-berupa proyek-proyek tertentu yang sifatnya hanya mengejar rating atau popularitas dan kepentingan-kepentingan materi.

Bila melihat dan mencermati suguhan media baik cetak maupun elektronik kerap kali terdapat segmen yang menyuguhkan kehidupan hedon para publik figur yang membuat para penikmat media berdecak kagum dibuatnya. Selebritis, politisi serta para pengusaha menjadi figur yang seringkali mengisi ruang-ruang media dengan pola kehidupan yang serba mewah. Capaian-capaian materi menjadi ulasan paling menarik serta paling digandrungi oleh para penikmat media. Kontes kekayaan dengan lipatan serta tumpukan uang yang bertriliunan rupiah menghadirkan sejumlah orang yang lengkap dengan rankingnya dari sisi kekayaan materi. Suguhan ini sekilas bisa saja menstimulan agar setiap orang bisa bermimpi serta giat bekerja, namun ketika realiatas tersebut tidak diimbangi dengan keimanan dan kesadaran relegius akan berakibat pada pola kehidupan materealistik yang akut.

Realitas di atas tidak cukup hanya dikeluhkan saja, apalagi dengan hanya menyalahkan pihak-pihak lain. Media massa yang selama ini disinyalir menjadi penyubur pola kehidupan yang serba materi tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sejumlah sisi kehidupan yang lain juga perlu dicermati sebagai pola berfikir komprehensif untuk menghadirkan solusi yang tepat. Agama tentu menjadi sisi paling vital yang perlu dicermati dalam menyelesaiakan persoalan ini. Sejatinya persoalan materealisme sudah sejak dulu bergulir, di dalam al-Qur’an pola pandang kematerian dikisahkan pada kehidupan seorang Qorun. Maka secara prinsip agama Islam tentu sudah sejak kelahirannya bersentuhan dengan materealisme. Bahkan, pada penggalan kisah kelahiran Islam itu sendiri lahir di kota metropolitan yaitu Mekah sebagai pusat perekonomian kala itu.

Kelahiran Islam di tengah pusat perekonomian tentu mempunyai makna tersendiri yang perlu direfleksikan. Masyarakat Mekah waktu itu sebagian besar adalah saudagar, namun di tengah kedigdayaan materi yang melimpah telah melimbungkan masyarakat Mekah. Kebodohan semakin menjadi-jadi, ukuran kesuksesan selalu disandarkan pada capaian materi. Sebagai implikasinya yang nampak dalam kehidupan adalah pandangan yang tidak berimbang terhadap status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dianggap mampu mendatangkan keuntungan finasial yang lebih dibandingkan perempuan, sehingga sejumlah kasus penguburan anak perempuan oleh orang tuanya menjadi hal cukup lumrah waktu itu. Kasus ini walau tidak semata-mata karena tekanan dogma materealisme, namun paling tidak itu marupakan salah satu bias dari pola pandang materealisme yang menjangkiti masyarakat waktu itu.

Mengulas materealisme tentu juga sangat berkaitan dengan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Para pemimpin ini begitu sangat lemah ketika menghadapi kelihaian goadaan materi yang mengelilinginya. Suara dan janji para pemimpin ini untuk mensejahterakan rakayat hanya sebatas isapan jempol belaka. Hanya agama satu-satunya harapan yang mampu meneyelesaikan persolan ini. Sejumlah hal yang paling prinsip dalam agama perlu untuk kemudian dieja lalu kemudian menjadi wujud nyata dari prilaku sehari-hari. Salah satunya adalah ajaran keimanan kepada Tuhan. Iman kepada Tuhan (Allah) dalam konteks kajian agama merupakan salah satu hal yang cukup vital dan prinsip, ketika individu sudah kehilangan keimanannya maka secara tidak langsung status keagamaannya juga telah termutilasi. Namun kenyataannya keimanan yang mersauk pada diri setiap individu selalma ini masih sebatas keimanan pasif saja. Pasif dalam arti sebatas bentuk kepercayaan normatif yang tersimpan rapat dalam hati. Sementara prilaku belum bisa mewujudkannya.

Sebagai bentuk upaya dalam mengimbangi gempuran matarealisme adalah menempatkan keimanan kepada Tuhan sebagai satu-satunya prinsip hidup yang tidak boleh diduakan. Menduakan Tuhan sama dengan memutus kepercayaan kepada-Nya serta pada tahap yang sama menempatkan diri sebagai hamba-hamba yang pecundang. Jika ditarik dalam terminologi agama, orang yang sengaja menempatkan seluruh tujuan hidupanya pada materi adalah bagian dari prilaku syirik yang dosanya tidak terampuni. Penempatan ini tentu tidak berlebihan, karena sikap-sikap materelistik tidak hanya bernilai dosa pada pelakunya, tetapi jauh lebih dari itu telah merugikan lingkungan dan manusia di sekitarnya. Kini saatnya kita memutilasi Materealisme dan kembali pada Allah satu-satunya tujuan hidup. Mati kau materealisme hahahah...

Senin, 24 Januari 2011

ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA

A.Pendahuluan

Kehidupan ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan di dalamnya masih pada kondisi normal. Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beraneka macam tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan baik sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik jika bisa dihargai oleh setiap kelompok yang ada. Keberagaman atau pluralitas dalam dialektika kehidupan beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena yang menarik untuk diteropong lebih dekat lagi. Terdapat sejumlah persoalan yang perlu dicermati manakala agama bersinggugan dengan pluralitas sosial, dari mulai politik, adat, ekonomi serta fenomena yang relative paling sensitive manakala suatu agama menjumpai kelompok kepercayaan atau agama yang lain. Persoalan yang cukup rumit dalam konteks pergaulan agama-agama adalah pada persoalan cara bagaimana beragama atau berteologi di tengah-tengah adanya agama-agama yang lain.

Islam sebagai agama juga tidak lepas dari konteks pluralitas yang tesuguhkan tersebut. Perjumpaannya dengan sejumlah kepercayaan yang muncul terutama dalam konteks ke-Indonesiaan Islam harus menunjukkan identitasnya sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan. Identitas tersebut berbanding lurus dengan makna harfiah Islam itu sendiri yang berarti selamat, damai, berserah diri yang kemudian bisa dimplikasikan dalam kehidupan konkret berupa penghargaan terhadap pluralitas serta keberadaan agama atau kepercayaan yang lain. Dengan demikian diharapkan Islam menjadi perekat dan pelopor pemersatu bangsa serta menghindari dari berbagai konflik-konflik SARA yang memungkinkan terjadnya disintegrasi kehidupan berbangsa.

Tujuan luhur di atas sejatinya sangat relevan dengan Islam yang mempunyai rujukan doktrin yang kuat lewat Al-Qur’an dan Sunah Nabinya. Namun pada faktanya terdapat sejumlah kasus yang mencoreng wajah Islam di negeri ini, seperti mencuatnya berbagai macam kekerasan yang mengatasnamakan agama. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju Islam akhirnya dikaitkan dengan radikalisme, ekstremisme dan bahkan terorisme. Berbagai macam teror dalam berbagai bentuknya mulai dari pembantaian kelompok tertentu, pengrusakan, penghancuran gedung dan lain sebgainya menambah buruk wajah dunia Islam di negeri ini pada khususnya. Gejala-gejala ekstrem tersebut adalah bagian dari corak keberagaman yang bobrok, yang kemudian diidentifikasi sebagai bagian dari bangkitnya fenomena fundamentalisme agama.

Mencermati dari suguhan pola keberagaman yang kontraproduktif dari makna Islam tersebut tentu menjadi proyek tersendiri untuk kemudian diselesaikan. Selain cukup memalukan, tentu harus segera dituntaskan agar kemudian tidak memunculkan problem yang lain. Jika sedikit lebih dicermati gejala fundamnetalisme agama yang kemudian memunculkan sikap anarkis tersebut sangat terkait dengan munculnya ketersinggungan adanya kelompok lain atau agama lain. Teologi seperti ini tentu tidak bisa menampilkan wajah Islam yang ramah. Dalam konteks yang lain umat muslim dalam kehidupan beragamanya masih mengadopsi pemahaman double Standarts. Maksudnya, umat muslim selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya dan kelompok lain. Jika pada dirinya biasanya menggunakan standar yang relative ideal, sementara pada kelompok lain lebih bersifat realistis dan historis. Dari tradisi itulah kemudian memunculkan prasangka-prasangkan sosiologis dan teologis. Dalam persoalan telogis misalnya, memunculkan pengakuan bahwa agama sendiri sebagai agama yang dari Tuhan dan paling benar sementara agama yang lain dianggap konstruksi manusia.
Jika tradisi ini mengkristal dan kemudian menjadi pemahaman secara umum umat Islam maka konflik bermotif agama akan terus menggelinding. Perlu adanya sentuhan pendewasaan secara menyeluruh dalam konteks pengamalan agama di muka publik. Secara konkret umat Islam bsa dibilang mempunyai persoalan ketika Islam menjadi bagian dari elemen publik universal. Secara privat pengamalan keberagamaan bisa dituntaskan lebih cepat, karena hanya melibatkan wawasan normative intern dalam agama, akan tetapi agama dalam ruang publik menjadi lebih rumit karena adanya keterkaiatan dengan komunitas yang jauh lebih luas, memerlukan kedewasaan intlektual serta emosional yang stabil dengan mengintegrasikan seluruh aspek doktriner dan konteks secara bersamaan.

B.Upaya Memahami Ruang Publik yang Plural
Ruang public berarti ruang yang secara legal bisa diakses oleh siapapun tanpa adanya klaim apapun dari pihak tertentu untuk mendominasi. Jika dikaitkan pada tatanan kehidupan berbangsa, Indonesia dikatak bukan Negara agama akan tetapi Negara yang berasas Pancasila yang berpijakan pada keanekaragaman dalam satu (bhinneka tunggal ika). Maka Indonesia adalah Negara yang secara legal memberikan ruang adanya pertumbuhan dan keanekragaman dalam segala aspek termasuk dalam hal kepercayaan. Jika kemudian pada suatau saat ada kelompok tertentu memaksa untuk mendominasi ruang tersebut, secara tidak langsung kelompok tersebut telah melukai tatanan umum.
Dalam suasana berbangsa dalam Negara yang terbuka tersebut setiap kelompok meminta kesetaraan dalam berkehidupan. Agama dan kepercayaan yang ada juga memiliki hak kesetaraannya dalam menikmati kehidupan berbangsanya. Catatan sejarah menyatakan bahwa, Negara dan agama memang memiliki kekuatan untuk saling mendominasi. Tidak bisa dipungkiri agama dan Negara juga sangat mempengaruhi suatu kemajuan yang besar, akan tetapi sebaliknya keduanya bisa saja menjadi sumber kemunduran atau malapetaka. Adakalanya Negara bertatahta di atas agama (pra abad pertengahan), begitu juga agama pernah bertahta di atas Negara (abad pertengahan), tetapi pada kenyataan lain akhirnya Negara berpisah dari agama (pasca abad pertengahan hingga saat ini).

Hubungan Negara dan agama seperti yang terurai di atas jika dikaitkan dengan konteks negeri ini maka bisa dikatakan bahwa Indonesia berada pada Negara yang memisahkan dari agama walau di beberapa sisi terdapat hubungan yang cukup inten dalam beberapa persoalan. Indonesis secara khusus memang mempunya konteks historis yang unik terkait terdapat sejumlah kubu yang ikut serta dalam membangun negeri ini. Waktu itu ada kubu kebangsaan, nasionalis, agama dan Islam sekuler. Sehingga pada tahap perkembangannya akhirnya Indonesia menjadi Negara pancasila dimana pada sila pertama Indonesia tidak melepaskan keikutsertaan Negara dalam mengarahkan rakyatnya dalam hal beragama, tetapi tetap tidak ada unsur pemaksaan, akan tetapi hanya menyebutkan kebertuhanan kepada Tuhan yang Esa.

Selain itu masih dari dimensi sejarah masa lalu, bangsa ini mempunyai sejumlah kerajaan yang sejatinya juga mempunyai hubungan harmonis dengan agama-agama diantaranya ada Mataram pertama kalinya dengan agama Hindunya, Sriwijaya dengan agama Budhanya serta Majapahit dengan Hindu siwanya. Sejumlah warisan inilah yang kemudian tidak bisa menjadikan bangsa ini betul-betul berada pada titik sekuler seperti halnya Negara-negara Barat. Agama dan Negara dalam tatanan publik konteks keindonesiaan sama-sama memiliki legitimasi simbolik.

Seiring dengan semakin dewasanya bangsa ini nampaknya Islam menjadi suatu kekuatan tersendiri yang kemudian pada babak awal didirikannya bangsa ini terjadi perdebatan yang cukup alot mengenai pijakan dasar dari Negara ini. Walau Islam bisa dibilang sangat dominan ketika itu, tetapi pertautan sejarah masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja, kebhinnekaan bangsa ini tidak bisa dipugar begitu saja dengan memihak pada kubu tertentu yang kuat secara politis dan massa. Untuk menjawab semua itu akhirnya negeri ini secara khusus mendirikan suatu lembaga khusus yang membidangi hubungan Negara dan agama yang kemudian dikenal dengan Depertemen agama(sekarang kementerian agama). Namun maksud dari adanya kementrian agama tersebut bukan berarti Negara ikut campur dalam keberagamaan penduduknya, tetapi Negara tetap berpegang teguh pada dasar Negara yang memberikan kebebasan dalam memeluk agama yaitu bunyi sila pertama dari Pancasila dan pasal 29 ayat (2) UUD’ 45 yang berisi tentang kebebasan beragama dan jaminan tidak ada diskriminasi agama di Indonesia.

Keberadaan Negara dengan sejumlah catatan sejarah dan data di atas menempatkan Negara ini tidak akan pernah lepas dari pluralitas. Pada saat yang sama kondisi itulah yang kemudian memberikan kesadaran bagi setiap agama agar senantiasa melakukan pembacaan terhadap konteks yang ada dengan harapan agar tercipta kesepahaman akan adanya kelompok-kelompok lain yang juga punya hak yang sama di Negara ini. Setiap kelompok apapun harus tetap menjaga integrasi bangsa ini, beragam adalah keniscayaan sementara menjaga keutuhan bangsa adalah tugas bersama.
Upaya memuluskan hubungan yang harmonis dalam kehidupan beragama di Negara ini, maka kemudian menjadi keniscayaan menformulasikan satu ideologi yang bisa meghantarkan setiap agama tersebut pada kedamaian bersama dan ketenangan mengamalkan ajaran agama oleh masing-masing pemeluknya. Disinilah kemudian pluralisme agama bisa dilirik untuk kemudian diupayakan menjadi satu pola kehidupan beragama yang bersinergi dalam menggapai nilai kemanusiaan yang tinggi, dengan harapan kemejemukan di tubuh bangsa ini bisa terjaga sehingga kebesaran dari bangsa ini memunculkan peradaban-peradaban yang unggul di mata bangsa-bangsa yang lain.

C.Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme dalam arti yang sangat sederhana adalah kemajemukan. Pada kenyataannya pluralisme dianggap sebagai paham yang paling mengerikan ditinjau dari sudut pandang agama-agama samawi (Yahudi, Kristen da Islam). Hal itu karena adanya pengawetan yang cukup kental terhadap ideolgi ekslusif yang dikembangkan oleh agama-agama tersebut selama ratusan tahun yang silam. Ideology eklusifisme yang dimaksud adalah berupa claim of truth “klaim kebenaran” dan claim of salvation “klaim keselamatan” yang ada pada masing-masing agama tersebut. Dalam arti yang lebih sederhana masing-masing agama tersebut menilai agama yang lain dengan memakai teologinya agamanya sendiri tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati dan bersimpati tentang bagaimana orang lain memangdang agamanya sendiri. Dengan pola ekslufitas tersebut menemptakan pluralisme sebagai ancaman bagi agama yang disebutan di atas termasuk dalam Islam itu sendiri.

Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Gagasan yang dimaksudkan adalah dalam rangkan mencipatakan kesepahaman, toleransi dengan tujuan membentuk masyarakat plural yang produktif. Ada kenyamanan, ketentraman, keadilan dan kemerdekaan yang setara, sehingga secara tidak langsung mereka secara bersamaan menjadi masyarakat yang kokoh dalam memajukan lingkungannya.
Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme. Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas. Dari kemandegan tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalism yang kemudian merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung kemudian dari leiberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu pengharrgaan terhadap plualitas yang ada.

Pluralisme agama juga bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar agama yang satu dengan agama yang lainnya. Disitu kemudian terjadi perluasan wawasan dengan tidak bermaksud mendiskreditkan. Ada penghargaan terhadap perbedaan, bukan mencemooh perbedaan tersebut. Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan perbedaan tersebut sebagai nilai kebenaran bentuk lain daripada apa yang dinytakan dalam agama. Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya kelesuan moral, sehingga dengan pulralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan lingkungannya.

Pengertian pluralisme dalam konteks kontemporer bisa dinyatakan sebagai keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Menurut Nurcholis Madjid pluralisme itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan akan tetapi gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk tujuan-tujuan sosial yang luhur yaitu untuk kebersamaan dan peradaban.

D.Perkembangan Pluralisme Agama
Pluralisme pada perkembangannya menjadi suatu wacana yang cukup ramai dibicarakan, terutama pasca reformasi. Keramaian itu semakin menguat semenjak MUI memutuskan fatwanya yang mengharamkan terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005. Kemudian yang paling menarik untuk diperhatikan pasca keluarnya fatwa tersebut adalah semaraknya respon publik yang diwakili oleh sejumlah LSM Islam yang dengan antusias menyuarakan tiga isu tersebut, bahkan selama kurun lima tahun sejak pengharaman tersebut, tiga isu besar tersebut semakin menemukan performanya yang semakin matang.

Selain respon dari sejumlah LSM dua arus besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU juga ikut meramaikan wacana tersebut. Kelompok muslim lain seperti Persatuan Islam (PERSIS), Nahdatul Wathan di NTB, Darul Dakwah wa Irsyad (DDI) di Sulawesi, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga memainkan perannya dalam merespon tiga wacana tersebut. Ditenga-tengah tempratur terbukanya demokrasi, masing-masing kelompok tersebut mempunyai hak yang sama dalam mengungkapkan pendapatnya, sebagian ada yang bersikukuh menolak, sebagian yang lain dengan penuh kemantapan menerima pluralisme sebagai sebuah keniscayaan.

Jika dilihat lebih dekat dua mainstream NU dan Muhammadiyah telah banyak lahir dari rahim keduanya komonitas-komonitas Islam yang begitu gigih mengangkat isu pluralisme, sehingga pada sisi yang lain kedua mainstream tersebut dipercaya sebagai sisi Islam yang cukup moderat yang mampu meredam radikalisme dan militanisme Islam yang biasanya lahir dari kubu-kubu yang menamakan dirinya sebagai Islam puritan. Gerakan tradisional diwakili oleh NU sementara gerakan Islam modernis diwakili Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid dan Masdar F. Mas’ud dua tokoh representaif yang lahir dri NU telah memainkan perannya dalam mengapresiasi pularlisme. Bahkan Gusdur pada suatu mement dinobatkan sebagai bapak pluralisme.

Sementara Muhammadiyah yang sejak awal merepresentasikan dirinya sebagai gerakan Islam modernis tentu secara otomatis akan menerima pluralisme sebagai keniscayaan. Ahmad Dahlan misalnya sebagai pendiri Muhammadiyah mempunyai wawasan ke depan yang cukup progresif yang di dalamnya tertampung pluralisme sebagai suatu keharusan. Hal itu tercermin dari sikap riil KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai banyak kolega dari non muslim. Cerminan tersebut mengindikasikan bahwa Muhammadiyah sejatinya secara ideology telah menganut ideology inklusif dan plural. Syafi’I Ma’arif menjadi cerminan fundamental adanya penerimaan terhdap pluralism dalam tubuh Muhammadiyah.
Akan tetapi jika dibandinkan dengan NU, isu pulralisme dan sikap progresif yang dikembangkan di Muhammadiyah bisa terbilang tertinggal. NU sudah sejak tahun 1980-an sedangkan fenomena yang demikian dalam Muhammadiyah baru muncul pada paroh akhir tahun 1990-an. Ketertinggalan Muhammadiyah dalam menangkap keniscayaan tersebut menjadikan Muhammadiyah sedikit lebih tertutup mengingat sebagian massanya terjebak pada gerakan-gerakan ektrem yang menghendaki ideologi ekslusif yang pada akhirnya memunculkan gerakan puritanisme. Walau demikian di tubuh NU sendiri juga mengemukan sub kelompok yang juga cukup tetutup dalam menerima pluralisme.

Secara konkret Muhammadiyah dan NU benar-benar telah menelorkan pengarusutamaan (mainstreaming) ide-ide sekularalisme,liberalism dan pluralisme dalam beberapa kajian yang berafaliasi pada keudanya. Islam Liberal lewat artikel menggugahnya Ulil Absar Abdalla yang dipublikasikan di Kompas pada tahun 2002 membuka diskursus baru tentang tiga isu tersebut. Kelompok ini merupakan representasi dari kubu NU,kemudian sejumlah LSM lainnya seperti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institute (TWI) dan Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKiS) menjadi agen dari mainstreaming yang bekembang dalam NU. Sementara kajian-kajian yang merepesntasikan dari kubu Muhammadiyah seperti, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Yayasan Paramadina, Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP), Ma’arif Institute dan JIMM. Sejumlah kajian itulah yang kemudian menjadi media penghantar dari ide-ide teoritis untuk kemudian ditansmisikan pada dunia riil.
Sejumlah tokoh Muhammadiyah yang bisa dibilang cukup kuat dalam menyuarakan ide pluralisme pada tngkat kajian-kajian tersebut dan dunia intlektual adalah, Ahmad Syafii Maarif,M Dawam Raharjo,Moeslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah dan Abdul Munir Mulkhan. Merekalah para tokoh senior yang juga secara fisik terlibat dalam pengkaderan pemikir muda Muhammadiyah saat ini.

Selain dua ormas besar itu mainstreaming juga di dapati pada dunia kampus. UIN Jakarta dan UN Yogyakarta dua kampus yang representative secara aktif terlibat dalam menyuarakan tiga isu tesebut. Tokoh-tokoh yang terlibat di UIN Jakarta ada Harun Nasution yang mampu memberikan pandangan pulralisnya lewat teks bukunya denga judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang didalamnya terdapat pemahaman Islam secara komprehensif. Disusul kemudia oleh Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra yang menginginkan agar UIN tidak lagi hanya bersifat fiqih oriented tetapi harus dikembangkan pada wawasan keilsman yang lain menyagkut kemodernan, ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Sementara di Yogyakarata ada Mukti Ali dan Amin Abdullah yang dalam segmen wawancara di Kompas edisi 7 Oktober 2008 menyatkan bahwa UIN Sunan Kalijaga mendukung pluralisme.

Data-data di atas menunjukkan bahwa isu pluralism dalam perkembangannya memang telah diamini oleh dua ormas tebesar di Indonesia sekaligus juga didukung secara akdemis oleh dunia intlektual yang diwakili oleh dua Univesitas Islam Negeri Jakarta dan Yoyakarta yang sudah secara aktif ikut andil dalam laju perjalanan pulralisme di Indonesia.

E.Penutup
Pluralitas dalam konteks Indonesia merupakan keniscayaan sejak lahirnya bangsa ini. Catatan sejarah sejak pra terbentuknya bangsa ini memang telah banya disinggahi berbagai macam peradaban. Memberengus serta mengabaikan kemajemukan adalah kebrutalan yang menghantarkan pada disintegrasi bangsa. Dukungan secara hukum lewat undang-undang yang tersurat dalam tubuh bangsa ini serta tumpukan sejarah bangsa ini setidaknya menjadi pijakan utama dalam merumuskan eksistensi agama di lingkungan negeri ini. Islam sebagai bagian dari bangsa ini sudah selayaknya menjadi pelopor mengingat kondisi politk dan massa yang cukup domnan. Keangkuhan serat fanatisme buta perlu dihijrahkan kemudian mengambil pluralisme dengan melibatkan rasa kemanusiaan dan kebangsaan.

Menlanjutkan proyek mulia tesebut, ormas-ormas Islam dan dunia akademik Islam agar terus menopang gelaran puluralisme agama tersebut guna membangun kerjasama yang produktif dalam rangka membangun peradaban yang maju. Kini saatnya berubah, demi orentasi mulia menatap kesetaraan umat beragama serta masa depan bangsa yang cemerlang. Semoga…