Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 06 Agustus 2009

MEMBUKA KESADARAN BARU UNTUK BERFILSAFAT

Dunia tidak pernah lepas dari hiruk pikuk dinamika wacana pemikiran. Perkembangan dari berbagai sisinya memunculkan banyak problema yang melahirkan banyak persepsi dan wacana. Laju model kehidupan ini terus saja mengalir tanpa bisa dielakkan lagi sebagai sebuah konsekwensi logis dari adanya dunia sebagai tempat yang mewadahi segala bentuk hasil prilaku manusia yang mewujudkan peradaban. Untuk itu, peradaban dan wacana pemikiran, menjadi pasangan serasi yang terus mewarnai laju dinamika kehidupan. Lepas dari itu semua, agama sebagai salah satu komponen dinamika yang berpijak di bumi ini, tidak luput menjadi bagian yang terus diperbincangkan.
Agama menjadi sebuah perbincangan, tentunya sangat beralasan. Selain sebagai sentra kontrol yang selama ini menjadi daya dari gerak laju perkembangan manusia, juga menjadi sentra dari segala perkembangan dunia ini. Namun, agama tidaklah satu-satunya sentra yang menisbikan daya-daya lain penggerak dinamika. Ada sisi lain yang juga menjadi bagian penting dalam perkembangan dunia ini, yaitu akal. Agama dan akal inilah dua sisi penting yang terus mendampingi dan bertanggungjawab atas semua bentuk perkembangan yang terjadi.
Agama diwakili wahyu sebagai sebuah sumber dari berbagai implikasi dari gerak konkret yang bersentuhan dengan prilaku nyata. Sedangkan akal, berdiri sendiri sebagai sumber yang terwakili dengan sistem pencarian kebenaran yang dikenal dengan filsafat. Wahyu dan filsafat berjalan menuju sebuah sentra titik, yaitu kebenaran. Keduanya adalah, dua kubu yang berbeda yang bertolak dari titik yang berbeda, namun tertumpu pada satu tujuan yang sama tadi. Titik tolak yang berbeda inilah menjadi perbincangan sengit antara kaum agamawan dan para filosof. Kaum agamawan berpendapat bahwa, realita ini harus bertolak dari ketertundukan terhadap otoritas tuhan lewat wahyu yang diturunkannya. Pada sisi lain para filosof dengan percaya diri mengatakan tiada kebenaran tanpa menyoal kebenaran tersebut, lewat akal sebagai sumber dan penuntun yang absah dan nyata.
Diskursus akal sebagai penuntun dalam hidup ini, melahirkan banyak pendapat. Pada sisi tertentu diakui kalau kajian keagamaan begitu sangat membutuhkan rasio atau akal. Di sisi lain ada yang menyoal, kapan dan dimana akal akan ditempatkan. Akankah rasio menjadi hal primer menggusur kedudukan wahyu sebagai penuntun yang datang dari Tuhan. Bertolak dari wacana inilah perbincangan antar agamawan dan para filososf dimulai.
Pada perjalanan selanjutnya ternyata keberadaan filsafat banyak ditentang oleh para kaum agamawan. Pada saat itulah filsafat mengalami masa suram, tepatnya tatkala al-Mutawakkil (847-861M) berkuasa. Keberpihakan al-Mutawakkil pada kaum agamawan salafi (ortodok) begitu sangat nampak dengan dipecatnya Al-Kindi seorang ahli filsafat dari posisinya sebagai guru istana. Kesuraman filsafat kala itu benar-benar berada pada titik yang mengkhawatirkan. Muncul berbagai kecurigaan yang begitu mendalam terhadap filsafat serta berbagai macam tudingan miring terhadapnya.
Reaksi penolakan terhadap filsafat ini tertuang dari berbagai pernyataan para kaum salafi (ortodok) di berbagai kitab yang ditulisnya. Pada kitab Fiqh Akbar III misalnya, terdapat 33 fasal yang menolak filsafat. Filsafat dianggap sebagai bidáh, kufurat, zandiq, mulhid, haram dan majusi. Pada kitab Ibtal al-Falsafah karangan Ibnu Kholdun, menempatkan filsafat sebagai golongan-golongan ilmu tolol setingkat sihir, tenung, alkemi dan klenik.
Reaksi penolakan tersebut tidak hanya terendus lewat teks, namun juga telihat pada aksi konkret. Sultan Abu Yususf An-Nasr (1196) misalnya, melarang keras pelajaran filsafat di lingkungan kekuasaannya. Pada tataran akdemik formal beberapa perguruan tinggi dan sekolah memposisikan fisafat sebagai Úlum al-Ajam (ilmu-ilmu asing) dan ilmu alat (álliyah) saja. Jika pun ada beberapa perguruan tunggi yang mengajarkannya itu hanya sebatas apologi difensif yang hanya berada pada tataran kulit luarnya saja, bukan pada sisi substansialnya. Artinya filsafat dianggap sebagai ilmu yang tidak penting dan tidak perlu dikembangkan.
Dua gejala konket inilah mewakili bentuk penolakan terhadap filsafat. Penolakan itu tentunya mempunyai alasan-alasan jelas. Salah satu alasan yang menjadi dalil ditolaknya filsafat untuk berkecambah dan berkembang di tengah-tengah muslim adalah, lahirnya pernyataan ar-Rozi (865-925) yang menolak konsep kenabian. Pernyataan kontrofersial ini memunculkan emosi penolakan yang tinggi dari kaum ortodok, ditambah lagi dengan pernyataan Ibn. Rawandi (lahir825) yang juga menolak konsep kenabian. Penolakan konsep kenabian ini dianggap oleh kaun ortodok sebagai pengerogotan yang membahayakan, akhirnya dijadikan tameng untuk menolak filsafat.
Selain dari yang disebutkan diatas, permulaan ketegangan dan meruncingnya kecemburuan kaum salafi tersebut, disebabkan adanya agresi dari para filosof yang dituding sebagai sebuah pelecehan pada hirarki penempatan ilmu teologi pada tataran yang paling rendah. Kala itu kaum salafi menolak filsafat sebagai penuntun akal, kemudian memilih teologi sebagai rival yang bisa menyaingi filsafat. Jelas saja mereka para kaum salafi marah ketika al-Farobi seorang filosof yang kemudian menempatkan teologi pada ranking paling rendah. Kejadian tersebut menjadikan ketegangan dan penolakan kaum slafi terhadap filsafat semakin kentara saja.
Tudingan dan klaim miring terus datang beruntun hingga saat ini. Penolakan tersebut juga dilontarkan para kaum ortodoks nasional kontemporer. Hamka dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Agama Islam menyatakan bahwa, filsafat hanya mengacaukan fikiran. Tudingan miring ini adalah bentuk kecemburuan yang begitu sangat dalam dan mengakar. Selain Hamka, Munawar Halil dalam bukunya yang berjudul Kembali Kepada Al-Qurán dan Assunnah menyatakan, kaum muslimin agar menghindari pemakaian akal dan raý dalam urusan agama. Munculnya kekhawatiran ini menandakan secara eksplisit para cendikiawan ortodok masa kini juga menaruk kecurgaan yang mendalam pada filsafat.
Filsafat berada titik yang paling kritis tatkala diserang oleh lontaran al-Ghazali sang Hujjatul Islam lewat kitabnya Tahafut Falasifah, kemudian diulanginya pada kitab lainnya Munqid mina al-Dlolal. Serangan tersebut dititikberatkan pada persoalan metafisika dan logika. Posisi al-Ghazali saat itu sebagai seorang teolog benar-benar berada pada puncak persetagangan yang cukup akut, seklaigus juga menghanguskan wacana filosofis yang dihasilkan oleh al-Farobi dan Ibn Sina. Gaung persetagangan ini berujung pada antipasti yang sangat dalam dari kalangan muslim pada umumnya.
Selain dariapada antipati lainnya, ada pandangan pragmatis yang muncul di kalangan umat muslim terhadap filsafat. Filsafat dianggapnya tindakan sia-sia tanpa menghasilkan apa-apa. Misalnya seperti yang didengungkan oleh seorang seniman, menganggap filsafat hanya mencegah peleburan emosi dalam menikmati seni. Pandangan pragmatis ini merebah cukup luas sampai pada sisi kehidupan lainnya yang sedikit menyentuh area mterealisme. Lihat saja fenomena sosial di kalangan mahasiswa, mereka berpandangan kajian filsafat tidak bisa memberikan harapan masa depan dari sisi ekonomi.
Mencermati berbagai tudingan dan penolakan di atas, perlu kiranya pengkajian lebih dalam dan konprehensif mengenai wacana ini. Bila ditilik lebih dalam semua penolakan di atas bisa disimpulkan menjadi dua bagian. Pertama kecemburuan yang berangkat dari kekhawatiran adanya pengrusakan pada prisnsip-prinsip agama, karena filsafat dianggapnya ilmu asing yang berangkat dari Yunani dengan klaim adanya kepentingan-kepentingan penyerangan. Kedua, munculnya pandangan picik yang berorientasi pada pencapaian mater,biasa ikenal sebagai paham pragmatisme.
Semua fenomena di atas menstimulan siapa saja yang menghendaki kedinamisan. Beranjak dari peresetegangan ini, maka kajian filsafat menjadi kajian tak terelakakan lagi untuk menjadi sebuah pilihan bagi penulis secara pribadi. Hal itu dimaksudkan agar warisan kajian filsafat para pendahulu kita tidak usang termakan gosip miring, pada sisi yang lain mengharmoniskan hubungan kaum ortodoks dengan para filosof. Harapan terakhir adalah, mengembangkan, menambah dan menyempurnakan khazanah keilmuan Islam. [ijan09]