Refleksi Perkuliahan Akhir Semester II
A. Prolog
Satu pengalaman yang cukup mengesankan ketika penulis bisa mengikuti perkuliahan di Program Pasca Sarjana fakultas Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), setelah sebelumnya penulis hanya bisa bergulat dalam dinamika kehidupan pesantren yang begitu sangat kental dengan tekanan dogma-dogma agama saja. Pengalaman selama kurang lebih dua semester telah memberikan nuansa baru dalam pandangan hidup penulis, mulai dari cara merespon gejala yang mengemuka dalam gumulan pemikiran sampai pada sesuatu yang bersifat teknis sekalipun. Ada semacam wawasan yang lebih humanis, penulis tidak lagi dengan serta merta mendudukkan gejala-gejala keagamaan dan sosial pada teks agama saja, namun dengan suka rela penulis sedikit memberikan ruang ekspresi yang cukup luas terhadap nalar sebagai pendamping dari teks agama sebagai rujukan.
Tentu pencapaian di atas tergolong cukup signifikan setelah sebelumnya penulis dipandang kurang harmonis dalam mendamaikan persoalan sosial keagamaan dengan teks agama. Misalnya pada sejumlah persoalan yang diklaim oleh banyak orang sebagai produk Barat, seperti isu pluralisme, libaralisme, humanisme, HAM serta sejumlah isu lain yang cukup mengemuka yang berkelindan dengan ajaran-ajaran agama. Sejumlah isu tersebut dipandang sebagai produk Barat yang tidak layak untuk dirujuk sebagai fundamen dari gerak laju kehidupan sosial umat Islam. Pandangan miring terhadap Barat menjadi satu hantu yang terus menakut-nakuti dialektika pemikiran penulis dalam menjalankan keislaman penulis selama ini. Namun seiring dengan keikutsertaan penulis di sejumlah perkuliahan dan perkenalan yang cukup dekat dengan sejumlah wacana pemikiran yang berkembang, akhirnya perjalanan tersebut bisa membawa penulis pada satu gelaran kemerdekaan dalam menentukan sikap keagamaan dalam menjalani kehidupan riil.
Sejak dari awal Al-Qur’an dan Sunah merupakan rujukan paling fundamental yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika perkembangan umat Islam. Pencapaian umat Islam lewat peninggalan-peninggalan sejarah yang tergolong cukup memukau merupakan satu catatan bahwa Islam mempunyai potensi menjadi kaum yang terbaik di muka bumi ini. Sebagai contoh, pencapaian umat Islam pada dinasti Umayyah di Andalusia adalah satu cerminan bagaimana umat muslim menapaki titi klimaks dari peradaban yang tersuguhkan saat itu. Pada saat itu tercipta kesadaran yang begitu total tehadap pengetahuan dengan ditandai adanya hubungan yang sangat erat antar umara’, ulama’ dan aghniya’, sehingga kemudian bisa dikatakan Andalusia adalah cerminan dari bangkitnya ilmu pengetahuan dan filsafat.[1] Sejumlah pencapaian lainnya memang sempat membelalakkan dunia, terutama bagi dunia Barat saat itu. Namun saat ini, pencapaian yang gemilang tersebut hanya terlipat di lembaran masa lalu,dan yang tersisa adalah ketertinggalan umat Islam di berbagai lini kehidupan.
Kesadaran ini tentunya diharapkan bisa memantik potensi yang sempat tergulung arus romantisasi sejarah yang cukup lama menjangkiti umat Islam. Bergembira ria terhadap torehan sejarah kemeriahan umat Islam masa lalu walau tidak sampai dikatakan salah, tetapi memang perlu diluruskan pada pewarisan spiritnya. Tidak hanya berkisar pada apresiasi pasif, tetapi yang diharapkan adalah, apresiasi aktif yang ditandai dengan semangat yang kuat untuk terus maju dan maju. Pencapaian gemilang di masa lalu bukanlah potret statis dari Islam yang sebenarnya. Islam diharapkan terus mampu menyodorkan pencapian-pencapaian yang lain, tentu pencapian tersebut tidak harus sama dengan masa lalunya. Islam saat ini mempunyai potensi dan tantangan yang berbeda dengan apa yang dahadapi Islam masa lalu. Karenanya, Islam yang benar itu selalu mampu memberikan pencapaian yang gemilang bagi umat dan zamannya. Jika saat ini Islam yang mengemuka berupa representasi dari Islam masa lalu maka keberadaan Islam pada saat ini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Pada pandangan yang lain, jika seperti yang tergambarkan tersebut sebelumnya, Islam bisa dikatakan berada pada titik kejenuhan yang cukup akut. Jenuh dalam artian Islam tidak akan mampu lagi membuat dunia ini damai, sehingga pada saat yang sama Islam tidak lagi bisa dikatakan sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Suguhan yang mengemuka dengan ketertinggalan Islam di berbagai sektor kehidupan secara tidak langsung mejadi satu tanggung jawab yang harus dipikul oleh masing-masing individu muslim. Ketertinggalan tersebut bukan satu isapan jempol, tapi bsa dilihat pada beberapa Negara yang sangat tegantung dengan produk-produk Barat, mulai dari sistem ekonomi sampai pada ideologi politiknya begitu sangat tergantung pada dunia Barat. Kembali pada persoalan kadar tanggung jawab yang ditempakan pada masing-masing idividu tentu cukup beragam, tegantung seberapa besar potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tetapi secara umum, setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk membawa Islam pada kesempurnaan. Kalangan akademik atau cendikiawan muslim mempunyai tanggung jawab yang relative lebih besar dibandingkan kalangan awam.
Mengembalikan Islam menemukan jati dirinya tidak semudah yang diperkirakan, terdapat gejala pemetaan mengenai konsep idealitas Islam sebagai sebuah tuntunan. Jika dilihat dari gerakan yang mengemuka ke ranah publik, pandangan mengenai Islam sebagai seperangkat peradaban terbagi menjadi dua bagian, ada kelompok modernis yang cenderung membatasi Islam dengan batasan-batasan kesalehan pribadi, iman dan ritual. Kelompok kedua adalah, kelompok tradisionalis yang menggambarkan Islam sebagai suatu jalan hidup yang sempurna.[2] Pembagian ini nampak cukup berbeda dengan pendapat lain yang biasa dikenal, tadisionalis pada pada pandangan lain biasa dilekatkan sebagai kelompok yang bersikukuh pada ranah penghambaan saja, sedangkan kelompok modernis biasa dikenal sebagai keompok yang sedikit membuka diri pada sesuatu yang bersifat kemanusiaan. Telepas dari itu, kedua kelompok tersebut secara konkret masih bekerja pada ruang yang relative sempit dan terbatas, sehingga Islam dalam konteks sebagai frame dari peradaban yang maju masih menjadi proyek yang terus harus menjadi bagian yang terpikirkan oleh setiap individu.
Dari gambaran singkat di atas bisa dipetakan bahwa muslim saat ini yang berkelindan dengan kemunduran yang tidak disadari bermula dari romantisme sejarah yang berkepanjangan, kemudian akhirnya membuahkan polarisasi pandangan, ada yang hanya berkisar pada pandangan tradisonal dan modern yang merepresentasikan dari keterbatasan keduanya. Sehingga cita-cita untuk membagun Islam sebagai peradaban yang unggul tidak kunjung tergapai. Keberadaan inilah yang kemudian menjadikan umat muslim sejagat raya ini harus menyadari bahwa dibalik gemerlapnya dunia nyata ini terdapat seperangkat proyek besar yang cukup mendesak dan perlu penyelesaian secepatnya, agar cita-cita luhur menciptakan peradaban yang unggul dan mandiri bisa terealisasi. Secara garis besar rumusan masalah dari tulisan ini adalah, bagaiamana membangun peradaban Islam yang berkemajuan serta mampu menjamin kedamaian bagi umat dan dunia secara umum.
Mengamini dari proyek besar di atas, tentu dalam hal ini kalangan akademik menjadi garda depan sebagai pengemban amanah tersebut. Setidaknya dua potongan gambaran kecil dari pandangan umat muslim secara umum yang tersebut diatas adalah satu modal dalam merangkai cita-cita membangun peradaban yang utama. Melalui refleksi ringan gelaran perkuliahan di akhir semester ini, penulis mencoba mengkonstruksi Islam sebagai sebuah agama sekaligus juga sebagai frame dari sebuah peradaban yang maju. Pandangan-pandangan yang akan mengemuka dalam tulisan ini berupa tijauan filosofis mengenai dinamika Islam dalam konteks kekinian, pada sisi yang lain tulisan ini mengupayakan adanya bangunan wacana yang mampu mendobrak kejumudan dan menghantarkan Islam pada tingkat peradaban yang membanggakan. Tentu menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan adanya kritik ataupun apresiasi terhadap beberapa perkuliahan yang sempat penulis ikuti selama kurun waktu enam bulan yang lalu. Maksud dari refleksi ini tidak lain hanya gambaran kecil dari apa yang dapat dicerna penulis lewat perkuliahan yang disuguhkan oleh kampus. Pada dimensi pribadi, hal ini merupakan konsekwensi dari sebuah pilihan yang mewajibkan penulis harus mampu menjadi bagian akademisi yang aktif dan dinamis dari sisi intlektual, emosional serta spiritual.
B. Warisan Sejarah Islam
Islam kini dengan keadaannya yang bisa dibilang terpuruk seperti yang digambarkan pada uraian di atas memang tidak mudah untuk mengembalikannya pada kondisi yang semestinya. Kondisi Islam yang ideal adalah representasi dari satu peradaban yang maju. Memproyeksikan Islam pada tataran yang ideal nampaknya memang tidak bisa lepas dari kajian mengenai masa lalu. Mengurai masa lalu bukan berarti memupuk Islam saat ini kembali pada kondisi Islam di masa lalu, akan tetapi masa lalu atau sejarah merupakan starting poin dalam mengurai kondisi terdalam dari yang tergelar saat ini. Penuturan sejarah adalah fakta yang sudah jelas, sedangkan masa depan adalah gudang ketidakpastian.[3] Maka cukup tepat jika dalam memetakan keberadaan Islam masa depan yang sarat dengan pertanyaan-pertanyan yang tidak pasti tersebut, meniscayakan masa lalu sebagai penghantar pada kesempurnaan pandangan.
Sejarah tidak saja penuturan peristiwa-peristiwa tetapi terdapat di dalamnya seperangkat nilai yang menjanggkiti individu ataupun kelompok masyarakat yang kemudian membentuk seperangkat kebudayaan. Berawal dari inilah kemudian akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai manusia, pada saat yang lain kondisi ini kemudian melahirkan spektrum keilmuwan baru seperti filsafat ataupun beberapa aliran-aliran yang terdapat dalam agama.[4] Pada ranah nilai-nilai itulah sejarah dipandang cukup diperlukan untuk dilibatkan dalam mega proyek pengembalian Islam pada dimensinya.
Sejatinya pembacaan sejarah itu diperlukan dalam mengurai dimensi-dimensi yang berkaitan dengan persoalan saat ini. Politik, ekonomi dan kebebasan adalah beberapa gejala yang cukup mengemuka di era modern saat ini. Islam dalam catatan sejarah juga mempunyai khazanah yang sangat berkaiatan dengan beberapa hal tersebut. Gagasan yang bermunculan dari Islam tergolong cukup maju dibandingkan gagasan di luar Islam saat itu, bahkan mungkin untuk ukuran zaman modern dapat dikategorikan masih sangat layak untuk dirujuk kembali. Misalnya pada persoalan HAM, tatanan politik, ekonomi, pularalisme dan pemerintahan Rasulullah memberikan contoh konkret lewat nota kesepahaman Piagam Madinah. Adapun inti dari isi Piagam Madinah adalah seperangkat aturan politik yang diberlakukan oleh Rasulullah dengan memperhatikan pluralitas di lingkungan Madinah yang dipadati oleh berbagai kelompok, suku dan agama. Aturan tersebut menyepakati adanya kebebasan beribadah, hubungan antar kelompok, nuansa nasionalisme serta ada tatanan ekonomi yang berpijak pada keadilan sosial.[5] Sungguh deskripsi tersebut adalah satu contoh kepribadian Islam yang tercermin dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah tersebut.
Catatan sejarah tersebut semestinya menjadi rujukan bagi setiap muslim agar lebih terbuka dan ramah terhadap berbagai perbedaan. Merujuk pada Sunah tentu bukan sesutau yang keluar dari koridor Islam, maka sangat tidak layak jika kemudian konsep pluralisme dilebelkan hanya sebagai produk Barat, karena pada hakikatnya spirit yang dibawa di dalam pluralisme tersebut sama sekali tidak berseberangan dengan ajaran Sunah yang dicontohkan secara konret oleh Rasulullah. Menyepakati sejarah sebagai media untuk memahami masa kini dan merumuskan masa depan berarti secara tidak langsung juga menyepakati apa yang semestinya dirujuk dan diadopsi dari peninggalan masa lalu tersebut. Jika pada uraian di atas terdapat contoh konkret dari Nabi, maka keniscayaan kedua dari penuturan sejarah adalah Al-Qur’an. Penyebutan Al-Qur’an setelah sunah bukan berarti terejerambab pada persoalan hirarki, akan tetapi hanya bagian dari retorika penghantar pada pemahamanan yang lebih sederhana, mengingat sunah lebih bersifat praktis sedangkan Al-Qur’an lebih banyak berupa pandangan-pandangan universal mengenai kehidupan ini.
Al-Qur’an ditempatkan sebagai warisan dari sejarah adalah keniscayaan. Penempatan ini bukan bermaksud merendahkan Al-Qu’an sebagai kitab suci, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengurai kesadaran kemanusiaan pada tataran penghormatan yang proporsional terhadap korpus Islam tersebut. Al-Qur’an adalah bagian dari ledakan sejarah yang berhasil mengubah pola pandang kemanusiaan, karena apa yang tergelar dalam Al-Qur’an lewat ayat-ayat dan 114 surahnya mengandung momen psikologis yang berupa seruan moral dan religious yang mengarahkan pada penyusunan tata kemasyarakatan yang aktual. Dimensi tekanan yang termuat dalam ranah relegius berupa ajaran monotheisme, sedangkan pada ranah kemanusiaan adalah moral serta keadilan sosial.[6]
Nampaknya semangat dari spirit Al-Qur’an yang universal tersebut belum sepenuhnya dirangkul sebagai satu ajaran yang integral. Umat muslim secara umum cenderung hanya menyentuh bagian-bagian kecilnya saja, sehingga pengamalan keagamaan yang mengemuka tentu sangat terbatas. Hal tersebut sangat terkait dengan apa yang mereka pahami mengenai warisan sejarah ini. Ada kalanya dimensi kepentingan politik atau kelompok tertentu sering kali mendominasi pola pandang pada suatu kelompok. Secara umum terbelahnya pemahaman umat muslim mengenai warisan sejarah bisa dibedakan menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama disebutkan sebagai kelompok moderat yang mencerminkan dari pola pandang lebih progresif, reformis yang berorientasi pada penanggulangan tantangan modernitas. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok puritan yang diidentikkan oleh banyak pemikir sebagai kelompok ektrimis, radikal, fanatik, jahidis yang bercirikan adanya sikap intoleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai satu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.[7]
Tanpa memihak pada sis manapun, terbelahnya Islam menjadi kelompok moderat dan puritan adalah satu ketertinggalan yang semestinya tidak berlaku dalam Islam. Kedua-duanya sama-sama mempunyai tujuan dalam mengembalikan Islam pada dimensi idealnya. Keterbatsan dan kelebihan adalah keniscayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut. Namun kelompok puritan yang cenderung ektrimis nampaknya sedikit membekukan teks Al-Qur’an sebagai teks langit saja yang berkelindan pada taraf penghambaan saja. Al-Quran dalam legislasinya mempunyai dimensi ganda sebagai teks langit serta pada sisi yang lain sebagai teks bumi.[8] Maksud dari penyebutan teks bumi ini adalah, Al-Qur’an diharapkan mampu dimaksimalkan sebagai media penghantar antara apa yang difirmankan Allah terahadap apa yang dibutuhkan oleh manusia. Sejatinya pendapat ini sangat sejalan dengan pendapat yang menyatakan Al-Qur’an sebagai ajaran religious dan moral.
Gejala yang nampak, Islam yang mengatasnamakan kelompok kembali pada Al-Qur’an dan Sunah di sejumlah media banyak digambarkan sebagai Islam yang mengajarkan kekerasan. Kekerasan itu banyak dipicu dari sikap intoleran terhadap pluralitas yang melingkupi Islam itu sendiri. Bom bunuh diri serta sejumlah aksi teror lainnya cukup untuk menggambarkan pola pembacaan yang arogan tanpa mendialogkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang sejatinya merupakan salah satu bagian paling inti dalam Al-Qur’an.
Memahami Al-Qur’an secara komprehensip dengan melibatkan dialog antara dimensi kemanusiaan memang sebuah keniscayaan untuk mewujudkan sikap positif dalam menilai problem-problem aktual di gelaran zaman. Sebenarnya tidak terlalu sulit dalam mewujudkan pembacaan komprehensip tersebut, mungkin yang paling sederhana adalah melihat Al-Qur’an dan Nabi secara bersamaan dan tidak terpisah-pisah. Al-Qur’an diibaratkan sebagai regulasi dimensi ketuhanan sedangkan Nabi diibaratkan sebagai pembawa regulasi tesebut dengan kemampuan penterjemahan yang sangat gemilang dengan melibatkan dimensi kemanusiaan melalui seting sosial-politik yang kemudian merujuk pada etika sebagai pelengkap dari semua dialog tersebut.[9] Konsep ini cukup sederhana yan sejatinya mungkin bisa melepaskan Islam dari belahan dua kelompok moderat dan puritan. Secara konkret mengenai pembacaan AL-Qur’an dan Nabi bisa dibaca melalui catatan sejarah yang cukup melimpah, disitu terdapat contoh-contoh konkret bagaiamana ajaran-ajaran Al-Qur’an berhasil diimplemantasiakan oleh Nabi tanpa mencederai nuansa kemajemukan di sekitarnya.
Secara implisit Al-Quran dan Sunah merupakan warisan sejarah yang sangat mumpuni untuk melihat dan memetakan Islam ke depan. Keduanya adalah kenisacayaan untuk dilibatkan sebagai rujukan yang tidak tergantikan, memahami sajarah panjang Islam dengan menemukan inti sejarah tersebut melalui ajaran atau spirit dalam Al-Qur’an dan Sunah serta melakukan dialog yang proporsional dengan realita merupakan salah satu jalan dalam membangun Islam yang berkemajuan dengan pencapaian peradaban yang tinggi.
C. Tradisi Keilmuan Islam
Kaum intlektual secara implisit adalah kelompok yang mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada kelompok awam dalam rangka pembangunan peradaban Islam yang maju. Melihat tradisi yang melekat pada kaum intlektual tentu merupakan keniscayaan mengingat sebagian besar pencapaian peradaban itu sangat erat kaitannya dengan apa yang ada dalam tradisi kaum intelektual. Secara umum, golongan kaum intelektual jika dilihat dari perannya terbagi menjadi dua bagian. Pertama, golongan intlektual teoritis, merupakan kelompok intlektual yang berada pada dunia ide. Mereka adalah konseptor-konseptor yang terus punya pemikiran penyempurnaan terhadap dunia konkret.
Sedangakan yang kedua adalah intlektual praksis, mereka adalah orang-orang yang bergerak pada tataran dunia konkret dengan tugas melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan.[10] Kedua kelompok ini secara besamaan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam memajukan Islam kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian setidaknya kaum intlektual Islam diharapakan juga tidak hanya condong pada ranah gagasan dan ide, akan tetapi juga diharapakan dari mereka terdapat sekelompok orang dengan gigih menjadi pekerja keras di lapangan. Inilah satu kondisi integrasi yang kokoh antara gagasan dan aksi yang berjalan secara berimbang.
Islam dengan tradisi intlektualnya memberikan warna yang cukup beragam terhadap Islam itu sendiri. Ruang yang melingkupi Islam itu sendiri menjadikan wajah Islam tidak hanya sebagai sebuah ajaran akan tetapi memang sudah tereduksi dalam berbagai dimensi, kerenanya keragaman wajah Islam di dunia yang sudah global ini merupakan kepastian. Beragam kepentingan merasuk dalam agama sehingga kemudian memang terdapat kesembrautan yang kemudian melengkapi suburnya keremangan antara yang profane dan yang sakral. Dengan kondisi yang seperti itu mestinya tradisi intlektual Islam mampu sedikit menyingkap keremangan tersebut, salah satu solusi yang mungkin mampu menjamah keremangan antara yang sacral dan profane (din wa afkar addiniyah) adalah pendekatan filsafat keilmuan agama. Setidaknya lewat pendekatan filsafat dengan tiga penekanannya yaitu, pertama pencarian ide-ide dasar, kedua pendalaman persoalan-persoalan fundamental serta yang ketiga frame work intlektual freedom yang merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan pandangan dengan titik tekanan pada sikap toleran di dalamnya.[11]
Pendekatan filsafat yang ditawarkan di atas cukup untuk dijadikan pijakan dalam mengurai keremangan antara din dan afkar addiniyah, walau mungkin secara konkret mengenai konsep tersebut masih belum terdapat petunjuk teknisnya. Akan tetapi tawaran tersebut adalah proses untuk mengatasi keresahan yang menjangkiti beberapa kelompok ektrimis yang sangat takut dengan gejolak dunia luar tehadap keberadaan agama. Kondisi ini adalah dampak dari keremangan antara yang profan dan yang sakral.
Batasan agama dan ilmu bila ditelusuri memang terdapat pemisah yang cukup jauh. Ilmu relatif lebih terbuka sedangkan agama adalah sebaliknya. Nalar dalam agama cenderung defensive terhadap pemahaman-pemahaman baru. Walau demikian keduanya memungkinkan adanya titik temu, ilmu pengetahuan membantu memberikan kemampuan logis dan kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan sedangkan agama memberikan kesadaran agar ilmu itu tetap bersifat manusiawi. Integrasi keduanya bisa dilakukan namun otonomi tetap layak untuk bersanding pada keduanya, hal tersebut dimaksudkan sebagai kekuatan khas yang melekat pada keduanya.[12]
Cukup jelas bahwa agama dan ilmu dua kekuatan yang tidak boleh saling menikam. Keduanya setali mata uang yang mesti berdampingan dan bukan untuk dibenturkan. Maka jika kemudian tedapat kemajuan dalam ilmu pengetahuan, agama sangat tidak layak untuk menolaknya, tetapi yang semestinya adalah agama mengarahkan dan mengapresiasi dengan posisitif agar kemudian tercipta suatu peradaban yang unggul.
D. Epilog
Sebagai akhir dari rangkaian refleksi perkuliahan ini, maka catatan yang mungkin bisa penulis utarakan mengenai hubungan konsentrasi pilihan penulis dengan peradaban Islam yang perlu dibangun seperti yang diimpikan penulis sebelumnya, setidaknya perkuliahan tersebut didesain sebagai berikut :
Arah perkuliahan semestinya membidik mahasiswa lebih kreatif dengan penyuguhan isu-isu aktual, terutama pada materi-materi yang bernunasa sejarah. Selama ini yang terjadi hanya penuturan sejarah yang mati dengan penyebutan nama, lokasi dan waktu peristiwa-peristiwa saja. Disitu tidak terdapat adanya nilai-nilai serta semangat zaman yang bisa diadopsi dalam merespon gejala-gejala kekinian. Tentu hal yang seperti ini menjadikan perkuliahan terkesan lesu dan menjenuhkan.
Mengarahkan mahasiswa sebagai agamawan dan cendikiawan secara utuh. Harapan ini walau mungkin terlampau sempurna namun itulah yang semestinya bisa tercipta dalam suatu perkuliahan. Dalam hal ini memang sudah ada beberapa materi yang mampu memantik para mahasiswa berfikir mandiri, kritis dan kreatif. Misalnya pada mata kuliah Filsafat Islam yang nampak lebih serius dengan tekanan-tekanan aktual mengenai persoalan dalam tubuh Islam itu sendiri mengenai konsep, budaya, dogma agama serta hubunggannya dengan dunia luar Islam. Tentu ini perlu dilanjutkan dengan disertai wacana yang terus dinamis. Penulis dalam materi ini sangat puas karena bisa melebarkan wawasan sekaligus memberikan kesadaran akan perlunya peningkatan keilmuan secara terus menerus. Jika kondisi yang tercipta maka persoalan peradaban Islam yang gemilang akan berada dalam genggaman.
Penyuguhan perkuliahan dengan memunculkan wacana dan isu-isu aktual lewat fakta sejarah adalah keniscayaan. Berpulang pada Qur’an dan hadits serta metodologi dan pendekatan yang tepat merupakan langkah kedua setelah penangkapan warisan sejarah. Dua hal inilah salah satu dari sekian tawaran yang memungkinkan terciptanya peradaban Islam yang unggul dan mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah ,Amin, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA Press,2003
Abidin, Zainal (ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005
Ali, A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali, 1987
El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2005
Fauzi ,Ihsan Ali (ed), Demi Toleransi Demi Pularisme, Jakarta: Paramadina, 2007
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009
Maryam, Siti (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Zaman Kalsik Hingga Modern, Yogyakarta: SPI Adab SUKA, 2003
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka 1984
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual,Bandung: Pustaka, 1985
Sardar, Ziauddin,Masa depan Islam,terj. Rahman Astuti, Bandung: Pustaka, 1987
[1] Siti Maryam (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Zaman Kalsik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab SUKA, 2003), hlm. 114
[2] Ziauddin Sardar,Masa depan Islam,terj. Rahman Astuti (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 63
[3] Ibid, hlm. 1
[4] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 21
[5] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994). Hlm. 80-81.
[6] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka 1984), hlm. 14
[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,(Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 29
[8] Dikemukakan Zuhairi Misrawi dalam sebuah artikelnya yan berjudul Wawasan baru Islam: Kado Peikiran untuk Mas Dawam. Bagian artikel sebagai kado ulang tahun Dawam Raharjo yang ke-65, lebih jelasnya lihat Demi Toleransi Demi Pularisme, (Jakarta: Paramadina, 2007) hlm.403
[9] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 15
[10] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 11
[11] Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: SUKA Press,2003), hlm. 4-11
[12] Bambang Sugiharto, “Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi” dalam Zainal Abidin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 41-47
A. Prolog
Satu pengalaman yang cukup mengesankan ketika penulis bisa mengikuti perkuliahan di Program Pasca Sarjana fakultas Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), setelah sebelumnya penulis hanya bisa bergulat dalam dinamika kehidupan pesantren yang begitu sangat kental dengan tekanan dogma-dogma agama saja. Pengalaman selama kurang lebih dua semester telah memberikan nuansa baru dalam pandangan hidup penulis, mulai dari cara merespon gejala yang mengemuka dalam gumulan pemikiran sampai pada sesuatu yang bersifat teknis sekalipun. Ada semacam wawasan yang lebih humanis, penulis tidak lagi dengan serta merta mendudukkan gejala-gejala keagamaan dan sosial pada teks agama saja, namun dengan suka rela penulis sedikit memberikan ruang ekspresi yang cukup luas terhadap nalar sebagai pendamping dari teks agama sebagai rujukan.
Tentu pencapaian di atas tergolong cukup signifikan setelah sebelumnya penulis dipandang kurang harmonis dalam mendamaikan persoalan sosial keagamaan dengan teks agama. Misalnya pada sejumlah persoalan yang diklaim oleh banyak orang sebagai produk Barat, seperti isu pluralisme, libaralisme, humanisme, HAM serta sejumlah isu lain yang cukup mengemuka yang berkelindan dengan ajaran-ajaran agama. Sejumlah isu tersebut dipandang sebagai produk Barat yang tidak layak untuk dirujuk sebagai fundamen dari gerak laju kehidupan sosial umat Islam. Pandangan miring terhadap Barat menjadi satu hantu yang terus menakut-nakuti dialektika pemikiran penulis dalam menjalankan keislaman penulis selama ini. Namun seiring dengan keikutsertaan penulis di sejumlah perkuliahan dan perkenalan yang cukup dekat dengan sejumlah wacana pemikiran yang berkembang, akhirnya perjalanan tersebut bisa membawa penulis pada satu gelaran kemerdekaan dalam menentukan sikap keagamaan dalam menjalani kehidupan riil.
Sejak dari awal Al-Qur’an dan Sunah merupakan rujukan paling fundamental yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika perkembangan umat Islam. Pencapaian umat Islam lewat peninggalan-peninggalan sejarah yang tergolong cukup memukau merupakan satu catatan bahwa Islam mempunyai potensi menjadi kaum yang terbaik di muka bumi ini. Sebagai contoh, pencapaian umat Islam pada dinasti Umayyah di Andalusia adalah satu cerminan bagaimana umat muslim menapaki titi klimaks dari peradaban yang tersuguhkan saat itu. Pada saat itu tercipta kesadaran yang begitu total tehadap pengetahuan dengan ditandai adanya hubungan yang sangat erat antar umara’, ulama’ dan aghniya’, sehingga kemudian bisa dikatakan Andalusia adalah cerminan dari bangkitnya ilmu pengetahuan dan filsafat.[1] Sejumlah pencapaian lainnya memang sempat membelalakkan dunia, terutama bagi dunia Barat saat itu. Namun saat ini, pencapaian yang gemilang tersebut hanya terlipat di lembaran masa lalu,dan yang tersisa adalah ketertinggalan umat Islam di berbagai lini kehidupan.
Kesadaran ini tentunya diharapkan bisa memantik potensi yang sempat tergulung arus romantisasi sejarah yang cukup lama menjangkiti umat Islam. Bergembira ria terhadap torehan sejarah kemeriahan umat Islam masa lalu walau tidak sampai dikatakan salah, tetapi memang perlu diluruskan pada pewarisan spiritnya. Tidak hanya berkisar pada apresiasi pasif, tetapi yang diharapkan adalah, apresiasi aktif yang ditandai dengan semangat yang kuat untuk terus maju dan maju. Pencapaian gemilang di masa lalu bukanlah potret statis dari Islam yang sebenarnya. Islam diharapkan terus mampu menyodorkan pencapian-pencapaian yang lain, tentu pencapian tersebut tidak harus sama dengan masa lalunya. Islam saat ini mempunyai potensi dan tantangan yang berbeda dengan apa yang dahadapi Islam masa lalu. Karenanya, Islam yang benar itu selalu mampu memberikan pencapaian yang gemilang bagi umat dan zamannya. Jika saat ini Islam yang mengemuka berupa representasi dari Islam masa lalu maka keberadaan Islam pada saat ini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Pada pandangan yang lain, jika seperti yang tergambarkan tersebut sebelumnya, Islam bisa dikatakan berada pada titik kejenuhan yang cukup akut. Jenuh dalam artian Islam tidak akan mampu lagi membuat dunia ini damai, sehingga pada saat yang sama Islam tidak lagi bisa dikatakan sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Suguhan yang mengemuka dengan ketertinggalan Islam di berbagai sektor kehidupan secara tidak langsung mejadi satu tanggung jawab yang harus dipikul oleh masing-masing individu muslim. Ketertinggalan tersebut bukan satu isapan jempol, tapi bsa dilihat pada beberapa Negara yang sangat tegantung dengan produk-produk Barat, mulai dari sistem ekonomi sampai pada ideologi politiknya begitu sangat tergantung pada dunia Barat. Kembali pada persoalan kadar tanggung jawab yang ditempakan pada masing-masing idividu tentu cukup beragam, tegantung seberapa besar potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tetapi secara umum, setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk membawa Islam pada kesempurnaan. Kalangan akademik atau cendikiawan muslim mempunyai tanggung jawab yang relative lebih besar dibandingkan kalangan awam.
Mengembalikan Islam menemukan jati dirinya tidak semudah yang diperkirakan, terdapat gejala pemetaan mengenai konsep idealitas Islam sebagai sebuah tuntunan. Jika dilihat dari gerakan yang mengemuka ke ranah publik, pandangan mengenai Islam sebagai seperangkat peradaban terbagi menjadi dua bagian, ada kelompok modernis yang cenderung membatasi Islam dengan batasan-batasan kesalehan pribadi, iman dan ritual. Kelompok kedua adalah, kelompok tradisionalis yang menggambarkan Islam sebagai suatu jalan hidup yang sempurna.[2] Pembagian ini nampak cukup berbeda dengan pendapat lain yang biasa dikenal, tadisionalis pada pada pandangan lain biasa dilekatkan sebagai kelompok yang bersikukuh pada ranah penghambaan saja, sedangkan kelompok modernis biasa dikenal sebagai keompok yang sedikit membuka diri pada sesuatu yang bersifat kemanusiaan. Telepas dari itu, kedua kelompok tersebut secara konkret masih bekerja pada ruang yang relative sempit dan terbatas, sehingga Islam dalam konteks sebagai frame dari peradaban yang maju masih menjadi proyek yang terus harus menjadi bagian yang terpikirkan oleh setiap individu.
Dari gambaran singkat di atas bisa dipetakan bahwa muslim saat ini yang berkelindan dengan kemunduran yang tidak disadari bermula dari romantisme sejarah yang berkepanjangan, kemudian akhirnya membuahkan polarisasi pandangan, ada yang hanya berkisar pada pandangan tradisonal dan modern yang merepresentasikan dari keterbatasan keduanya. Sehingga cita-cita untuk membagun Islam sebagai peradaban yang unggul tidak kunjung tergapai. Keberadaan inilah yang kemudian menjadikan umat muslim sejagat raya ini harus menyadari bahwa dibalik gemerlapnya dunia nyata ini terdapat seperangkat proyek besar yang cukup mendesak dan perlu penyelesaian secepatnya, agar cita-cita luhur menciptakan peradaban yang unggul dan mandiri bisa terealisasi. Secara garis besar rumusan masalah dari tulisan ini adalah, bagaiamana membangun peradaban Islam yang berkemajuan serta mampu menjamin kedamaian bagi umat dan dunia secara umum.
Mengamini dari proyek besar di atas, tentu dalam hal ini kalangan akademik menjadi garda depan sebagai pengemban amanah tersebut. Setidaknya dua potongan gambaran kecil dari pandangan umat muslim secara umum yang tersebut diatas adalah satu modal dalam merangkai cita-cita membangun peradaban yang utama. Melalui refleksi ringan gelaran perkuliahan di akhir semester ini, penulis mencoba mengkonstruksi Islam sebagai sebuah agama sekaligus juga sebagai frame dari sebuah peradaban yang maju. Pandangan-pandangan yang akan mengemuka dalam tulisan ini berupa tijauan filosofis mengenai dinamika Islam dalam konteks kekinian, pada sisi yang lain tulisan ini mengupayakan adanya bangunan wacana yang mampu mendobrak kejumudan dan menghantarkan Islam pada tingkat peradaban yang membanggakan. Tentu menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan adanya kritik ataupun apresiasi terhadap beberapa perkuliahan yang sempat penulis ikuti selama kurun waktu enam bulan yang lalu. Maksud dari refleksi ini tidak lain hanya gambaran kecil dari apa yang dapat dicerna penulis lewat perkuliahan yang disuguhkan oleh kampus. Pada dimensi pribadi, hal ini merupakan konsekwensi dari sebuah pilihan yang mewajibkan penulis harus mampu menjadi bagian akademisi yang aktif dan dinamis dari sisi intlektual, emosional serta spiritual.
B. Warisan Sejarah Islam
Islam kini dengan keadaannya yang bisa dibilang terpuruk seperti yang digambarkan pada uraian di atas memang tidak mudah untuk mengembalikannya pada kondisi yang semestinya. Kondisi Islam yang ideal adalah representasi dari satu peradaban yang maju. Memproyeksikan Islam pada tataran yang ideal nampaknya memang tidak bisa lepas dari kajian mengenai masa lalu. Mengurai masa lalu bukan berarti memupuk Islam saat ini kembali pada kondisi Islam di masa lalu, akan tetapi masa lalu atau sejarah merupakan starting poin dalam mengurai kondisi terdalam dari yang tergelar saat ini. Penuturan sejarah adalah fakta yang sudah jelas, sedangkan masa depan adalah gudang ketidakpastian.[3] Maka cukup tepat jika dalam memetakan keberadaan Islam masa depan yang sarat dengan pertanyaan-pertanyan yang tidak pasti tersebut, meniscayakan masa lalu sebagai penghantar pada kesempurnaan pandangan.
Sejarah tidak saja penuturan peristiwa-peristiwa tetapi terdapat di dalamnya seperangkat nilai yang menjanggkiti individu ataupun kelompok masyarakat yang kemudian membentuk seperangkat kebudayaan. Berawal dari inilah kemudian akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai manusia, pada saat yang lain kondisi ini kemudian melahirkan spektrum keilmuwan baru seperti filsafat ataupun beberapa aliran-aliran yang terdapat dalam agama.[4] Pada ranah nilai-nilai itulah sejarah dipandang cukup diperlukan untuk dilibatkan dalam mega proyek pengembalian Islam pada dimensinya.
Sejatinya pembacaan sejarah itu diperlukan dalam mengurai dimensi-dimensi yang berkaitan dengan persoalan saat ini. Politik, ekonomi dan kebebasan adalah beberapa gejala yang cukup mengemuka di era modern saat ini. Islam dalam catatan sejarah juga mempunyai khazanah yang sangat berkaiatan dengan beberapa hal tersebut. Gagasan yang bermunculan dari Islam tergolong cukup maju dibandingkan gagasan di luar Islam saat itu, bahkan mungkin untuk ukuran zaman modern dapat dikategorikan masih sangat layak untuk dirujuk kembali. Misalnya pada persoalan HAM, tatanan politik, ekonomi, pularalisme dan pemerintahan Rasulullah memberikan contoh konkret lewat nota kesepahaman Piagam Madinah. Adapun inti dari isi Piagam Madinah adalah seperangkat aturan politik yang diberlakukan oleh Rasulullah dengan memperhatikan pluralitas di lingkungan Madinah yang dipadati oleh berbagai kelompok, suku dan agama. Aturan tersebut menyepakati adanya kebebasan beribadah, hubungan antar kelompok, nuansa nasionalisme serta ada tatanan ekonomi yang berpijak pada keadilan sosial.[5] Sungguh deskripsi tersebut adalah satu contoh kepribadian Islam yang tercermin dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah tersebut.
Catatan sejarah tersebut semestinya menjadi rujukan bagi setiap muslim agar lebih terbuka dan ramah terhadap berbagai perbedaan. Merujuk pada Sunah tentu bukan sesutau yang keluar dari koridor Islam, maka sangat tidak layak jika kemudian konsep pluralisme dilebelkan hanya sebagai produk Barat, karena pada hakikatnya spirit yang dibawa di dalam pluralisme tersebut sama sekali tidak berseberangan dengan ajaran Sunah yang dicontohkan secara konret oleh Rasulullah. Menyepakati sejarah sebagai media untuk memahami masa kini dan merumuskan masa depan berarti secara tidak langsung juga menyepakati apa yang semestinya dirujuk dan diadopsi dari peninggalan masa lalu tersebut. Jika pada uraian di atas terdapat contoh konkret dari Nabi, maka keniscayaan kedua dari penuturan sejarah adalah Al-Qur’an. Penyebutan Al-Qur’an setelah sunah bukan berarti terejerambab pada persoalan hirarki, akan tetapi hanya bagian dari retorika penghantar pada pemahamanan yang lebih sederhana, mengingat sunah lebih bersifat praktis sedangkan Al-Qur’an lebih banyak berupa pandangan-pandangan universal mengenai kehidupan ini.
Al-Qur’an ditempatkan sebagai warisan dari sejarah adalah keniscayaan. Penempatan ini bukan bermaksud merendahkan Al-Qu’an sebagai kitab suci, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengurai kesadaran kemanusiaan pada tataran penghormatan yang proporsional terhadap korpus Islam tersebut. Al-Qur’an adalah bagian dari ledakan sejarah yang berhasil mengubah pola pandang kemanusiaan, karena apa yang tergelar dalam Al-Qur’an lewat ayat-ayat dan 114 surahnya mengandung momen psikologis yang berupa seruan moral dan religious yang mengarahkan pada penyusunan tata kemasyarakatan yang aktual. Dimensi tekanan yang termuat dalam ranah relegius berupa ajaran monotheisme, sedangkan pada ranah kemanusiaan adalah moral serta keadilan sosial.[6]
Nampaknya semangat dari spirit Al-Qur’an yang universal tersebut belum sepenuhnya dirangkul sebagai satu ajaran yang integral. Umat muslim secara umum cenderung hanya menyentuh bagian-bagian kecilnya saja, sehingga pengamalan keagamaan yang mengemuka tentu sangat terbatas. Hal tersebut sangat terkait dengan apa yang mereka pahami mengenai warisan sejarah ini. Ada kalanya dimensi kepentingan politik atau kelompok tertentu sering kali mendominasi pola pandang pada suatu kelompok. Secara umum terbelahnya pemahaman umat muslim mengenai warisan sejarah bisa dibedakan menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama disebutkan sebagai kelompok moderat yang mencerminkan dari pola pandang lebih progresif, reformis yang berorientasi pada penanggulangan tantangan modernitas. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok puritan yang diidentikkan oleh banyak pemikir sebagai kelompok ektrimis, radikal, fanatik, jahidis yang bercirikan adanya sikap intoleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai satu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.[7]
Tanpa memihak pada sis manapun, terbelahnya Islam menjadi kelompok moderat dan puritan adalah satu ketertinggalan yang semestinya tidak berlaku dalam Islam. Kedua-duanya sama-sama mempunyai tujuan dalam mengembalikan Islam pada dimensi idealnya. Keterbatsan dan kelebihan adalah keniscayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut. Namun kelompok puritan yang cenderung ektrimis nampaknya sedikit membekukan teks Al-Qur’an sebagai teks langit saja yang berkelindan pada taraf penghambaan saja. Al-Quran dalam legislasinya mempunyai dimensi ganda sebagai teks langit serta pada sisi yang lain sebagai teks bumi.[8] Maksud dari penyebutan teks bumi ini adalah, Al-Qur’an diharapkan mampu dimaksimalkan sebagai media penghantar antara apa yang difirmankan Allah terahadap apa yang dibutuhkan oleh manusia. Sejatinya pendapat ini sangat sejalan dengan pendapat yang menyatakan Al-Qur’an sebagai ajaran religious dan moral.
Gejala yang nampak, Islam yang mengatasnamakan kelompok kembali pada Al-Qur’an dan Sunah di sejumlah media banyak digambarkan sebagai Islam yang mengajarkan kekerasan. Kekerasan itu banyak dipicu dari sikap intoleran terhadap pluralitas yang melingkupi Islam itu sendiri. Bom bunuh diri serta sejumlah aksi teror lainnya cukup untuk menggambarkan pola pembacaan yang arogan tanpa mendialogkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang sejatinya merupakan salah satu bagian paling inti dalam Al-Qur’an.
Memahami Al-Qur’an secara komprehensip dengan melibatkan dialog antara dimensi kemanusiaan memang sebuah keniscayaan untuk mewujudkan sikap positif dalam menilai problem-problem aktual di gelaran zaman. Sebenarnya tidak terlalu sulit dalam mewujudkan pembacaan komprehensip tersebut, mungkin yang paling sederhana adalah melihat Al-Qur’an dan Nabi secara bersamaan dan tidak terpisah-pisah. Al-Qur’an diibaratkan sebagai regulasi dimensi ketuhanan sedangkan Nabi diibaratkan sebagai pembawa regulasi tesebut dengan kemampuan penterjemahan yang sangat gemilang dengan melibatkan dimensi kemanusiaan melalui seting sosial-politik yang kemudian merujuk pada etika sebagai pelengkap dari semua dialog tersebut.[9] Konsep ini cukup sederhana yan sejatinya mungkin bisa melepaskan Islam dari belahan dua kelompok moderat dan puritan. Secara konkret mengenai pembacaan AL-Qur’an dan Nabi bisa dibaca melalui catatan sejarah yang cukup melimpah, disitu terdapat contoh-contoh konkret bagaiamana ajaran-ajaran Al-Qur’an berhasil diimplemantasiakan oleh Nabi tanpa mencederai nuansa kemajemukan di sekitarnya.
Secara implisit Al-Quran dan Sunah merupakan warisan sejarah yang sangat mumpuni untuk melihat dan memetakan Islam ke depan. Keduanya adalah kenisacayaan untuk dilibatkan sebagai rujukan yang tidak tergantikan, memahami sajarah panjang Islam dengan menemukan inti sejarah tersebut melalui ajaran atau spirit dalam Al-Qur’an dan Sunah serta melakukan dialog yang proporsional dengan realita merupakan salah satu jalan dalam membangun Islam yang berkemajuan dengan pencapaian peradaban yang tinggi.
C. Tradisi Keilmuan Islam
Kaum intlektual secara implisit adalah kelompok yang mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada kelompok awam dalam rangka pembangunan peradaban Islam yang maju. Melihat tradisi yang melekat pada kaum intlektual tentu merupakan keniscayaan mengingat sebagian besar pencapaian peradaban itu sangat erat kaitannya dengan apa yang ada dalam tradisi kaum intelektual. Secara umum, golongan kaum intelektual jika dilihat dari perannya terbagi menjadi dua bagian. Pertama, golongan intlektual teoritis, merupakan kelompok intlektual yang berada pada dunia ide. Mereka adalah konseptor-konseptor yang terus punya pemikiran penyempurnaan terhadap dunia konkret.
Sedangakan yang kedua adalah intlektual praksis, mereka adalah orang-orang yang bergerak pada tataran dunia konkret dengan tugas melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan.[10] Kedua kelompok ini secara besamaan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam memajukan Islam kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian setidaknya kaum intlektual Islam diharapakan juga tidak hanya condong pada ranah gagasan dan ide, akan tetapi juga diharapakan dari mereka terdapat sekelompok orang dengan gigih menjadi pekerja keras di lapangan. Inilah satu kondisi integrasi yang kokoh antara gagasan dan aksi yang berjalan secara berimbang.
Islam dengan tradisi intlektualnya memberikan warna yang cukup beragam terhadap Islam itu sendiri. Ruang yang melingkupi Islam itu sendiri menjadikan wajah Islam tidak hanya sebagai sebuah ajaran akan tetapi memang sudah tereduksi dalam berbagai dimensi, kerenanya keragaman wajah Islam di dunia yang sudah global ini merupakan kepastian. Beragam kepentingan merasuk dalam agama sehingga kemudian memang terdapat kesembrautan yang kemudian melengkapi suburnya keremangan antara yang profane dan yang sakral. Dengan kondisi yang seperti itu mestinya tradisi intlektual Islam mampu sedikit menyingkap keremangan tersebut, salah satu solusi yang mungkin mampu menjamah keremangan antara yang sacral dan profane (din wa afkar addiniyah) adalah pendekatan filsafat keilmuan agama. Setidaknya lewat pendekatan filsafat dengan tiga penekanannya yaitu, pertama pencarian ide-ide dasar, kedua pendalaman persoalan-persoalan fundamental serta yang ketiga frame work intlektual freedom yang merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan pandangan dengan titik tekanan pada sikap toleran di dalamnya.[11]
Pendekatan filsafat yang ditawarkan di atas cukup untuk dijadikan pijakan dalam mengurai keremangan antara din dan afkar addiniyah, walau mungkin secara konkret mengenai konsep tersebut masih belum terdapat petunjuk teknisnya. Akan tetapi tawaran tersebut adalah proses untuk mengatasi keresahan yang menjangkiti beberapa kelompok ektrimis yang sangat takut dengan gejolak dunia luar tehadap keberadaan agama. Kondisi ini adalah dampak dari keremangan antara yang profan dan yang sakral.
Batasan agama dan ilmu bila ditelusuri memang terdapat pemisah yang cukup jauh. Ilmu relatif lebih terbuka sedangkan agama adalah sebaliknya. Nalar dalam agama cenderung defensive terhadap pemahaman-pemahaman baru. Walau demikian keduanya memungkinkan adanya titik temu, ilmu pengetahuan membantu memberikan kemampuan logis dan kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan sedangkan agama memberikan kesadaran agar ilmu itu tetap bersifat manusiawi. Integrasi keduanya bisa dilakukan namun otonomi tetap layak untuk bersanding pada keduanya, hal tersebut dimaksudkan sebagai kekuatan khas yang melekat pada keduanya.[12]
Cukup jelas bahwa agama dan ilmu dua kekuatan yang tidak boleh saling menikam. Keduanya setali mata uang yang mesti berdampingan dan bukan untuk dibenturkan. Maka jika kemudian tedapat kemajuan dalam ilmu pengetahuan, agama sangat tidak layak untuk menolaknya, tetapi yang semestinya adalah agama mengarahkan dan mengapresiasi dengan posisitif agar kemudian tercipta suatu peradaban yang unggul.
D. Epilog
Sebagai akhir dari rangkaian refleksi perkuliahan ini, maka catatan yang mungkin bisa penulis utarakan mengenai hubungan konsentrasi pilihan penulis dengan peradaban Islam yang perlu dibangun seperti yang diimpikan penulis sebelumnya, setidaknya perkuliahan tersebut didesain sebagai berikut :
Arah perkuliahan semestinya membidik mahasiswa lebih kreatif dengan penyuguhan isu-isu aktual, terutama pada materi-materi yang bernunasa sejarah. Selama ini yang terjadi hanya penuturan sejarah yang mati dengan penyebutan nama, lokasi dan waktu peristiwa-peristiwa saja. Disitu tidak terdapat adanya nilai-nilai serta semangat zaman yang bisa diadopsi dalam merespon gejala-gejala kekinian. Tentu hal yang seperti ini menjadikan perkuliahan terkesan lesu dan menjenuhkan.
Mengarahkan mahasiswa sebagai agamawan dan cendikiawan secara utuh. Harapan ini walau mungkin terlampau sempurna namun itulah yang semestinya bisa tercipta dalam suatu perkuliahan. Dalam hal ini memang sudah ada beberapa materi yang mampu memantik para mahasiswa berfikir mandiri, kritis dan kreatif. Misalnya pada mata kuliah Filsafat Islam yang nampak lebih serius dengan tekanan-tekanan aktual mengenai persoalan dalam tubuh Islam itu sendiri mengenai konsep, budaya, dogma agama serta hubunggannya dengan dunia luar Islam. Tentu ini perlu dilanjutkan dengan disertai wacana yang terus dinamis. Penulis dalam materi ini sangat puas karena bisa melebarkan wawasan sekaligus memberikan kesadaran akan perlunya peningkatan keilmuan secara terus menerus. Jika kondisi yang tercipta maka persoalan peradaban Islam yang gemilang akan berada dalam genggaman.
Penyuguhan perkuliahan dengan memunculkan wacana dan isu-isu aktual lewat fakta sejarah adalah keniscayaan. Berpulang pada Qur’an dan hadits serta metodologi dan pendekatan yang tepat merupakan langkah kedua setelah penangkapan warisan sejarah. Dua hal inilah salah satu dari sekian tawaran yang memungkinkan terciptanya peradaban Islam yang unggul dan mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah ,Amin, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA Press,2003
Abidin, Zainal (ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005
Ali, A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali, 1987
El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2005
Fauzi ,Ihsan Ali (ed), Demi Toleransi Demi Pularisme, Jakarta: Paramadina, 2007
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009
Maryam, Siti (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Zaman Kalsik Hingga Modern, Yogyakarta: SPI Adab SUKA, 2003
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka 1984
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual,Bandung: Pustaka, 1985
Sardar, Ziauddin,Masa depan Islam,terj. Rahman Astuti, Bandung: Pustaka, 1987
[1] Siti Maryam (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Zaman Kalsik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab SUKA, 2003), hlm. 114
[2] Ziauddin Sardar,Masa depan Islam,terj. Rahman Astuti (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 63
[3] Ibid, hlm. 1
[4] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 21
[5] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994). Hlm. 80-81.
[6] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka 1984), hlm. 14
[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,(Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 29
[8] Dikemukakan Zuhairi Misrawi dalam sebuah artikelnya yan berjudul Wawasan baru Islam: Kado Peikiran untuk Mas Dawam. Bagian artikel sebagai kado ulang tahun Dawam Raharjo yang ke-65, lebih jelasnya lihat Demi Toleransi Demi Pularisme, (Jakarta: Paramadina, 2007) hlm.403
[9] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 15
[10] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 11
[11] Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: SUKA Press,2003), hlm. 4-11
[12] Bambang Sugiharto, “Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi” dalam Zainal Abidin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 41-47