A.Pengantar
Agama merupakan sisi kehidupan manusia yang cukup menarik untuk dipelajari, hal itu merupakan bagian dari konsekwensi posisi agama sebagai sebuah jalan yang menfasilitasi secara institusi kepada manusia untuk mencapai Tuhannya.
Mempelajarinya dari berbagai sisi atau sudut pandang adalah hal yang sangat mungkin, mengingat agama memang merupakan institusi sakral yang mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia. Artinya, agama membidangi berbagai dimensi kehidupan manusia, kemudian dalam tahap yang sama kemunculan agama sebagai institusi sakral tadi juga muncul dari sub dimensi kehidupan manusia. Secara lebih konkret terdapat keterkaitan yang saling aktif antara agama itu sendiri dengan sub dimensi kehidupan, pada sisi tertentu sub dimensi menjadi bagian dari agama, tetapi di sisi lain agama merupakan bagian dari sub dimensi kehidupan manusia. Berlandaskan gejala ini, mendekati agama dari berbagai sudut pandang adalah hal yang absah selagi dapat dituturkan secara berimbang dan bertanggung jawab.
Beberapa kasus terkait adanya hubungan dua arah yang aktif antara agama dan sub dimensi kehidupan bisa dilihat pada proses keberagamaan pemeluk agama itu sendiri. Banyak diceritakan seorang hamba pada agama tertentu bisa mensinergikan kesadaran keberagamaannya setelah beberapa proses kehidupan yang dilewatinya. Proses itu penulis bahasakan dalam tulisan ini sebagai sub dimensi kehidupan, misalnya ketika Tuhan sebagai sesuatu yang transenden mampu disadari oleh seorang indiividu setelah mengalami keterhimpitan dalam kehidupan. Tidak hanya itu, bisa saja gejala-gejala itu tidak melulu dari keterhimpitan, tetapi juga bisa saja datang dari gelimangan kesenangan, kematangan atau kemegahan duniawi yang diraih oleh seorang individu tadi. Artinya konteks yang melingkupi seorang individu bisa saja mematangkan kesadaran religiuitas, sehingga kemudian Tuhan bisa hadir pada kehidupan orang tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas walau masih sebatas pada tataran pemahaman subyektifiatas penulis, akan tetapi hal tersebut adalah hal yang ada, serta perlu didialogkan dengan berbagai hal, entah itu pada teks ataupun antar sesama. Secara garis besar kesadaran relegius yang kemudian terbahasakan dengan sebutan agama memang tidak terlalu jauh dengan pengalaman yang melingkupi manusia. Adapun pengalaman yang begitu sangat beragam, bisa muncul dari gesekan dengan alam, antar sesama manusia, teks atau apa saja yang memungkinkan adanya perjumpaan pada manusia. Adanya pengalaman yang beragam tersebut, mengukuhkan bahwa, mendekati studi agama dari berbagai sudut pandang adalah wajar. Pluralitas sudut pandang dalam mempelajari agama memungkinkan berkecambahnya berbagai macam pemahaman, sekaligus pada tahapan berikutnya akan menambah khazanah keilmuan.
Bermula dari pengalaman subyektif penulis yang tertuturkan di atas, maka dapat diruntut benang merah dari kajian yang akan diangkat oleh penulis dalam tulisan ini. Secara garis besar penulis ingin memberikan kejelasan adanya pluarilatas pendekatan dalam mengkaji agama. Kajian yang dimaksudkan penulis disini hanya merupakan review beberapa teori yang digulirkan oleh beberapa tokoh, lalu kemudian dipilah-pilah sebagai upaya memahami konstribusi dari tokoh-tokoh tersebut untuk diimplikasikan pada konteks studi keislaman.Adapun tekanan tema yang akan dipaparkan dalam kajian ini berupa pendekatan psikologi. Memahami agama dari gejala-gejala psikologi cukup menarik, walau memang juga ada sisi kesulitannya mengingat pendekatan ini memang cukup unik. Demikian kiranya ulasan penghantar ini cukup untuk menghantarkan pada penuturan pembahasan berikutnya.
B.Pendekatan Psikologi
Pada kajian ini secara spesifik akan dibahas satu pendekatan dalam studi agama, yaitu psikologi. Beberapa pandangan para ahli sangat beragam dalam hal ini, misalnya saja ada yang menyatakan bahwa tekanan terhadap seorang pribadi yang kemudian melahirkan pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan kepada yang transenden (Tuhan), pendapat lain ada yang beroposisi dengan pendapat ini yang menyatakan bahwa, tekanan atau pengalaman seorang individu merupakan persoalan murni psikologi. Secara khusus ada beberapa pemikir yang menempatkan persolaan psikologi tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan dengan yang transenden atau bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang berada pada kubu ini menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan persoalan transenden terdapat adanya saling keterkaitan. Jung, Campbel dan Eliade adalah tokoh yang menyandarkan agama pada sebuah ketidaksadaran kolektif yang merupakan bagian dari gejala psikologi universal. Kemudian Freud juga berpendapat bahwa agama secara esensial mempunyai gejala-gejala yang cukup unik yang perlu disingkap dan dikembangkan.
Secara garis besar kajian ini akan lebih dikonsentrasikan pada dua hal, yang pertama, pengujian teori agama sebagai sebuah keutuhan. Tekanannya adalah, pada sisi psikologi yang berkaitan pada agama dan perseorangan yang di dalamnya juga dikaitkan pada struktur keagamaan. Kemudian pada konsentrais yang kedua akan difokuskan pada pencarian platform atau landasan teoritis dalam mendekati dan memetakan kajian kegamaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus menjadi bahan diskusi sepanjang zaman.
Beberapa pendapat para tokoh yang akan penulis uraikan secara singkat adalah sebagai berikut :
1.Willian James
Sebagai pembuka dari kajian ini, William James ditempatkan sebagai tokoh pertama yang akan dijadikan bahan diskusi dalam kajian ini. Selayaknya para pendahulunya, William James mengembangkan teori keagamaan berlandaskan pengalaman pribadinya. Pengalamannya dengan pendekatan psikologi dan subyektivitas yang diusungnya menjadi pondasi bagi agama sebagai sebuah fenomena dan sebuah lembaga sosial. Dalam hal ini walau tidak secara vulgar, William menempatkan agama sebagai fenomena dan institusi sosial yang memungkinkan untuk didekati secara psikologi. William mendiksusikan agama sebagai sesutau yang muncul dari bagian terluas pengalaman manusia. Karenanya, dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan adalah hal yang serupa dengan perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian maka agama merupakan bagian ekspresi dari pengalaman psikologi individu.
Definisi agama yang dibangun oleh James juga meliputi beberapa hal yang terkait dengan obyek agama. Definisi yang dibangunnya tidak hanya berkisar pada satu obyek spesifikasi tipe keberagamaan, akan tetapi juga difokuskan pada karakteristik perseorangan atau kelompok dengan penekanan bahwa obyek keberagamaan adalah segala sesuatu yang mempunyai sifat ketuhanan. Definisi ini membuka kemungkinan masuknya ruang luas aktifitas dari mansuia sebagai sebuah agama.
Teori yang diusung James tidak hanya mempertahankan eksistensi dari dunia lain, dia juga tidak menolak keistimewaan umum dari gejala pengalaman keagamaan. Pengalaman tersebut berakar dari gejala psikologi yang kemudian secara tidak sadar terbawa pada obyek eksternal. Secara gamblang agama kemudian ditampilkan sebagai sebuah akumulasi dari gejala-gejala kejiwaan yang dirasakan oleh masing-masing individu lalu kemudian termanefestasikan pada sebuah obyek di luar dunia manusia, berupa keyakinan adanya yang maha Tinggi yaitu, Tuhan.
Agama jika dilirik pada bagian-bagiannya mempunyai aturan-aturan yang membentuk sisi-sisi kehidupan manusia atau pengalaman yang bergulir di tengah-tengah kehidupan. Sedangkan agama itu sendiri menjadikan sesuatu yang dibutuhkan dengan mudah dan tepat. Bila boleh disederhanakan yang dimaksudkan oleh James disini adalah, agama sebagai bagian dari fenomena psikologi yang dapat memberikan konstribusi kemudahan dan tepat untuk kepentingan manusia. Demikianlah kira-kira pemahaman yang dapat penulis rekam dari uraian rumit James dalam menuturkan definisi agama.
James juga berpendapat bahwa ada gejala pengalaman umum religius yang terseret pada konteks pengalaman relegius individu, lalu kemudian dibahasakan dengan pengalaman mistis. Mistis tersebut kemudian terdefinisikan pada empat kategori : (1) pendongengan (pengumpamaan), (2) kesementaraan, (3) pasif, dan (4) pelepasan dari nilai etika. Dari sekian pendapat yang dilontarkan oleh James, kemudian sampailah pada kesimpulan akhir yang menempatkan agama sebagai sebuah perjumpaan dari esensi dan sekian banyak fenomena.
Ternyata, dari sekian pendapat James tidak terlepas dari beberapa kritik terhadapnya. Adapun titik yang menjadi pusat diskusi terhadapnya adalah, teori yang digagasnya hanya sebuah upaya pemberian penjelasan tentang kepercayaan seorang individu, belum sampai pada penjelasan tentang ketekunan keagamaan sebagai institusi sosial manusia secara luas. Banyak hal penjelasannya tidak sinkron dengan komplektisitas obyek dan praktek yang ditemukan dalam struktur keagamaan. Hal itu ditandai dengan terpotongnya makna dan peran agama sebagai hal yang sangat penting sebagai sebuah institusi sosial. Artinya teori James hanya beberapa penjelasan yang sifatnya individual lalu kemudian dicoba untuk diseret pada ruang yang lebih luas tanpa mau tau ada struktur-struktur penting lainnya yang tersisihkan atau terlupakan. Sehingga beberapa penjelasannya tentang agama menjadi tidak akurat dan kurang, dikarenakan agama tidak bisa dia terjemahkan sebagai institusi sosial. Walau kesadaran akan adanya Tuhan sebagai akibat dari pengalaman individu, namun di lain sisi agama tetaplah mempunyai sisi-sisi praktis yang bersinggungan dengan ruang yang lebih luas dari sekadar individu. Dengan demikian signifikansi dari teori James ini lebih tepatnya digunakan pada penelusuran-penulusuran kesalihan individu bukan pada tataran memahami agama secara utuh.
2.Sigmund Freud
Analisis yang dibangun oleh Freud dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama merupakan penilaian agama sebagai sebuah khayalan yang kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul The Future of an Ilusion (1961) sedangkan yang kedua adalah, dasar-dasar agama dan ritual yang kemudian dikembangkan juga dalam bukunya yang berjudul Totem and Taboo (1950). Agama yang diseret sebagai sebuah khayalan adalah akibat dari titik pandang yang bertolak dari psikologi, sedangkan yang berkaitan dengan bahasan kedua dari apa yang didiskusikan oleh Freud merupakan dampak dari titik pandang yang bertolak dari fungsi agama bagi persorangan dan masyarakat umum. Maka kemudian jika boleh disedrhanakan apa yang akan digagas Freud disini merupakan pendekatan studi agama lewat psikologi dan fungsi agama itu sendiri.
Mencoba mengenal lebih dekat pada apa yang digagas pertama oleh Freud mengenai agama sebagai sebuah khayalan. Menurutnya agama merupakan bagian gejala psikologi yang berupa penggabungan pengalaman pribadi dengan pengalaman masyarakat. Sebagai sebuah analogi yang dibangunnya adalah, tatkala seorang bayi atau anak bepersepsi tentang pengendali dunia lalu kemudian sang bayi atau anak menisbatkan pengendali tersebut pada ayahnya. Pada tahap berikutnya masyrakat membawa image ini ke ruang yang lebih luas, kemudian akhirnya ayah sebagai seorang Tuhan menjadi kesadaran umum masyarakat yang mengakar kuat. Dari sinilah kemudian agama itu terbentuk, begitulah pengamatan Freud dalam memahami agama.
Secara prinsip garis besar teori yang digagas oleh Freud berikisar pada model perkembangan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyrakat yang progresif. Sebagai misal, apa yang ada pada kebudayaan Eropa yang tergolong sebagai bentuk budaya yang tinggi. Pada sisi ini Freud melihat peran agama yang bermain di tengah-tengah manusia dan masyarakat, kemudian juga tidak luput dari perhatiannya yaitu agama sebagai sebuah institusi.
Freud menyatakan yang dimaksud dengan khayalan bukanlah sesuatu yang janggal, akan tetapi sebagai bentuk kepercayaan yang dipegang untuk mengharap ketenangan dari berbagai bentuk pandangan yang saling bertubrukan. Banyak hal yang dipertentangkan oleh manusia, termasuk masalah pencipta dunia ini. Untuk menjadikan diri seseorang tenang maka kemudian seorang individu berilusinasi sebagai jawaban atas kegalauannya yang bergelimang dalam dirinya, hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan banyaknya argumen yang saling bertubrukan tadi. Hal ini juga merupakan upaya agar kehidupan seseorang tadi dapat berlanjut dan dapat berdampingan dengan Tuhan yang dicarinya.
Dari penjelasan di atas maka agama secara tidak sadar akan memberikan peran pada kehidupan manusia. Namun diperkirakan oleh Freud peran-peran agama di masa yang akan datang akan diambil alih oleh science. Pada perkembangan berikutnya manusia dengan secara sadar tidak akan menyediakan tempat untuk agama. Walau ini hanya berupa teori, tetapi juga sangat terkesan janggal, karena ilusi yang dibangun oleh Freud mengenai ilusi masa depan sangat memojokkan umat beragama.
Satu hal yang mengundang kontroversi dari uraian Freud mengenai pembunuhan dan perzinahan sedarah yang dilakukan oleh seorang anak yang membunuh ayahnya kemudian menzinahi ibunya. Menurutnya kejadian ini merupakan salah satu yang kemudian melahirkan pelarangan-pelarangan hukum terhadap perbuatan tercela tersebut yang terkemas dengan sebutan aturan agama. Menurutnya seluruh agama berkembang dan terbentuk lewat prilaku keras dan kesalahan. Secara lebih sederhana Freud menganggap agama merupakan sebuah kesadaran yang terbentuk lewat pengalaman kesalahan masa lalu yang kemudian memunculkan rumusan-rumusan aturan untuk menangani kejanggalan yang terjadi. Kisah ini memang terlalu mengejutkan bagi kalangan tertentu dengan contoh vulgar yang diangkatnya. Akan tetapi, hal itu merupakan cara Freud memberikan pemahaman bagi para pembaca idenya, agar apa yang digagasnya benar-benar dapat dipahami dengan baik. Menyisihkan kisah yang kontroversinya, terdapat pesan yang menyatakan bahwa agama merupakan sebuah kesadaran yang bermula dari prilaku asusila.
Terdapat juga kegamangan dalam teori yang digulirkan oleh Freud dikarenakan saking terlalu intimnya terhadap persolan perkembangan budaya dan individu, sehingga pada prakteknya sangat dekat dengan etnografi. Teori yang diwariskan Freud mengenai perkembangan budaya yang menyatakan bahwa semua budaya akan maju melewati satu jalan perkembangan saja tidak sejalan dengan data-data etnografi yang menyatakan setiap kelompok masyarakat berkembang dengan jalan dan pilihannya sendiri yang mengambil atau menolak dari kelompok masyarakat yang lain. Artinya, setiap masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri mengenai kemajuan dan perkembangannya, bisa saja pada satu sisi sama dengan kelompok masyarakat lainnya tapi juga bisa terdapat sisi yang berlawanan.
3.Carl Gustav Jung
Jung melihat bahwa agama merupakan landasan positif yang mengayomi aspek psikologi. Pandangannya yang lebih luas menyatakan bahwa, agama merupakan sebuah institusi yang tercipta dari pengalaman keagamaan. Adapun pengalaman keagamaan itu merupakan sekumpulan perasaan yang datang dari luar dunia manusia yang melewati perorangan ataupun kesadaran kelompok masyarakat tertentu. Apa yang ingin dikatakan Jung secara lebih sederhana adalah, agama secara institusi pada posisinya dalam kerangka kehidupan sosial merupakan suatu kesadaran yang datang dari luar dunia manusia lewat pengalaman-pengalaman individu ataupun kelompok yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah institusi yang dapat mewadahi persoalan psikologi manusia itu sendiri.
Pada waktu yang lain, Jung menyatakan bahwa agama merupakan wadah yang menyimpan warisan spiritual yang kemudian menjangkiti kelompok masyarakat tertentu setelah melewati berbagai macam transmisi. Akhirnya, secara tidak sadar kelompok-kelompok tersebut menerima warisan spiritual tersebut tanpa memperhitungkan rasinolitasnya. Untuk itu kemudian Jung menempatkan agama sebagai sesuatu yang berkembang pada kehidupan manusia tanpa melewati titik tekan rasionalitas. Secara komunal manusia menerima warisan spiritual itu dengan berlandaskan hati, sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa hati merupakan landasan dari agama. Dengan demikian, manusia secara kolektif menerima agama tanpa pertimbangan rasio, lalu kemudian Jung membahasakan proses ini sebagai teori ketidaksadaran kolektif (collective unconscious).
Teori ketidak sadaran atau dibawah sadar merupakan pola dasar yang secara signifikan mempersentasikan Tuhan sebagai basis perhatian obyektif psikologi. Pola dasar ini berkaitan dengan perkembangan aspek lain kemanusiaan dan kepribadian. Sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa dasar dari setiap agama bermula dari ketidaksadaran. Selain konsep ketidaksadaran konsep lain yang disodorkan Jung adalah mengenai pendongengan. Yang dimaksud pendongenan disini adalah suatu fantasi yang dibangun dari dalam dan luar kesadaran manusia yang berbentuk cerita-cerita bijak orang tua kepada anaknya mengenai Tuhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama merupakan bentuk fantasi atau imajinasi yang dibangun dari dalam dan luar diri manusia yang dialamatkan kepada Tuhan sebagai obyek fantasi. Lalu secara garis besar dari seluruh uraian teori yang yang digagas oleh Jung tidak jauh beda dengan para pendahulunya (Freud) yaitu hanya sebagai bagian sebuah pendekatan mistik serata belum sampai bisak representif sebagai bagian dari pendekatan ilmiah.
C.Implikasinya dalam Konteks Keislaman
Tiga tokoh psikologi di atas mencoba memahami agama dari sudut pandang yang dgeluti oleh mereka.Secara garis besar semua tokoh sepakat bahwa agama merupakan bagian dari ekspresi kejiwaan yang diejawantahkan dalam bentuk penyerahan dan pengenalan kepada Tuhan. Akan tetapi sudut pandang ini sebenarnya belum mampu mewadahi makna agama secara komprehensif. Apalagi ketika pendekatan ini diseret pada konteks ke-Islaman. Terkesan bengitu sangat dangkal untuk melahirkan sebuah pemahaman mengenai agama.
Perlu dipahami bahwa agama dalam konteks keislaman tidaklah melulu membahas ketertundukan manusia kepada Tuhan (Mu’amalah ma’a Allah), tetapi ada dua aspek lain yang juga menjadi bagian dari agama, yaitu hubungan antar sesama (mu’amalah ma’an nas) serta hubungan terhadap lingkungan (mua’amalah ma’al bi’ah). Karenanya sangat naïf jika agama ditempatkan sebagai bagian dari dongeng dan imajinasi bebas tanpa akar dan tujuan. Walau ekspresi kejiwaanjuga ada dalam Islam, tetapi pada bagian lain, Islam membentangkan ruang yang cukup luas terhadap rasio untuk berkreasi dalam rangka menerima dan menolaknya.
Yang paling kentara dari keganjilan pendekatan yang digunakan oleh tokoh di atas adalah, ketika pendekatan yang digunakan oleh mereka dengan secara egois dipaksakan untuk mendefinisikan agama. Padahal jika didekati lebih detil, apa yang mereka gunakan untuk mendekati agama baru bisa mengurai bagian kecil dari agama. Sehingga kemudian, definisi yang dibangunpun belum bisa mewakili dari agama. Kiranya lebih tepatnya pendekatan mereka baru saja pada salah satu tangga dari sekian tangga lainnya untuk menuju definisi yang valid. Kenisacyaan untuk bergandenan dengan pendekatan-pendekatan lainnya merupakan sebuah keharusan agar definisi yang dibangun bisa lebih mendekati kesempurnaan.
Secara partikular pendekatan psikologi yang digagas oleh beberpa tokoh di atas bisa diimplikasikan pada suatu bagian prilaku keagamaan saja, dan tidak bisa digunakan untuk memahami agama secara keseluruhan. Adapun yang relevan pada konteks Keislaman dari pendekatan psikologi ini menurut hemat penulis lebih tepatnya bisa diimplikasikan pada kasus mistisism (sufi). Sufisme dalam Islam yang lebih bersifat individu, kiranya memang sangat bisa didekati lewat psikologi, mengingat secara riil banyak para pelakunya lebih mengendepankan perasaan-perasaan halusnya dalam menjalani hidup, serta pada sisi yang lain para sufi cenderung mengesampingkan rasio dan mengedapankan perasaan (nafs,jiwa,psikologi).
D.Penutup
Melalui uraian serta pembacaan secara cermat dari penuturan tokoh psiiklogi di atas, dapat dipahami bahwa persoalan pendekatan psikologi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.Pendekata psikologi yang digagas oleh para tokoh di atas belum bisa mendefinisikan agama secara utuh, karena teori-teorinya hanya berkisar pada kesadaran individu serta hubungannya dengan Tuhan. Maka tidak tepat jika mencomoti pendekatan ini berdiri sendiri dengan angkuh dan mengabaikan pendekatan lainnya. Hal ini sangat terkait dengan agama yang mempunyai sisi-sisi yang sangat kompleks.
2.Dalam konteks keislaman, pendekatan psikologi ini cukup relevan untuk mengawal gejala atau prilaku mistisism (sufi),hal itu dinyatakan dengan adanya sisi sinkronisitas antara persoalan psikolgi yang berkaiatan dengan rasa. Demikian dengan gejala Sufism yang juga sangat erat dengan kerja-kerja perasaan (Nafs,jiwa,psikologi).
1 komentar:
sedang membutuhkan buku referensi Psikologi religius, bisa tolong bantu. catatan ini sebagai pembuka dan salah satu inspirasi untuk membuat thesis.
Posting Komentar