Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 18 September 2008

TADARUS JOGJA III (Habis)

Lepas paroh malam hari ke-19 Romadlan 1429 H, aku mencoba memunguti rentetan kesan pasca penyusuranku di kota Gudeg. Tidak terlalu lama keberadaanku di kota tersebut, tapi wajah kota dan berbagai macam corak warna kehidupannya dapat aku baca dengan baik, walau sesungguhnya masih merupakan rabaan pada kulit luarnya saja. Aku mencoba mentadarusi kota tersebut di sela lapar dan haus di perjalanan puasaku di bulan suci sebagai implementasi dari makna Ulil Albab yang difirmankan Allah dalam kitab suci-Nya. Sangat banyak pernak-pernik kehidupan yang diperlihatkan Allah di daerah Istemewa ini. Dari bangunan historisnya yang mengagumkan dan membuat otakku berfikir pada perjalanan bangsa ini dulu. Di lain sisi, kota ini juga menyuguhkan kebhinnekaan penghuninya.
Di sela penyusuranku di hari ke-2, aku sampai di jalan Malioboro. Sepanjang jalan tersebut dipenuhi oleh lalu lalang manusia, entah yang memakai alat transportasi atau mereka para pejalan kaki. Nampak kesibukan yang sulit aku pahami, yang jelas masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri. Shoping atau hanya sekadar menikmati pemandangan kota yang sibuk merupakan dua diantara sekian motivasi dari para pengunjung jalan ini. Jalan ini sangat pas bagi siapa saja dengan tujuan apapun, karena di sepanjang jalan ini semua kebutuhan tersedia. Bagi meraka yang ingin mengais rupiah dengan hanya menengadahkan tangan cukup berdiam saja di pintu-pintu masuk setiap toko atau supermarket dengan wajah memelas. Tidak sedikit orang yang seperti ini, kalau Anda berminat coba saja asal tidak malu pada diri Anda….!!! He….he…..
Malioboro merupakan ikon dari kota ini, dalam arti lain merupakan magnet Jogja yang menarik siapa saja untuk datang ke lokasi tersebut, termasuk juga diriku. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wajah-wajah kota lainnya. Kerawanan akan keamanan tetap menjadi menu peringatan yang tertempel lewat tulisan di fasilitas umum yang tersedia di kota ini. Misalnya di masjid Gedhe Kraton, masih terlihat beberapa peringatan tentang keamanan hak milik. Artinya potensi kriminal di kota ini masih perlu diwaspadai oleh para pengunjungnya. Sebagai bagian dari pengunjung kota ini, aku sedikit khawatir dengan keamanan diriku.
Realitas di atas sedikit membuat nuraniku berdialog dengan kejernihan otentitas nilai kemanusiaanku yang beriman. Dialogku dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana, “kenapa masalah keamanan tetap menjadi hal yang diwaspadai di tengah-tengah kota yang merupakan masih lingkungan terpelajar?”. Kota ini terdengar ke luar hingga sampai pada telingaku yang berada jauh di pulau terpencil di perairan Madura sebagai kota pelajar, tapi kenapa penghuninya harus dihantui oleh prilaku yang mencerminkan kebobrokan. Di benakku dulu sebelum kakiku menginjak kota ini tergambarkan suasana yang aman yang mencerminkan masyarakat madani terpelajar. Keamanan serta kriminal lainnya bukanlah sebuah masalah, jaminan keselamatan serta ketenangan menjadi nuansa kehidupan di kota ini. Begitulah rekaan awal diriku yang sama sekali berbeda dengan apa yang aku lihat saat itu.
Bersyukur selama penyusuranku di kota Gudeg ini aku belum bersentuhan dengan tindak kriminal konkrit fisik. Namun seperti pencekalan, memanfaatan kesempatan di saat keterhimpitanku masih terlihat walau tidak terlalu vulgar. Misalnya, mark up harga barang atau makanan di luar kewajaran selalu menjadi menu benturan tiap waktu bagi orang baru seperti aku. Awal aku menginjakkan kakiku di Jogja pada saat aku menyantap masakan soto Joga, dua porsi berharga Rp 25.000,-. Menurutku soto itu tidak jauh berbeda dengan soto buatan Pak Sahe di warung depan pondokku yang hanya seharga Rp. 4000,-.
Pengalaman di atas begitu terlihat kurang wajar atau juga bisa dibilang kurang ajar. Mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, tapi bagi diriku dengan keadaan ekonomi yang mepet hal itu menjadi buah pertanyaan yang perlu dipertanyakan, “kenapa?. Sejatinya aku tidak mempersoalkan kerugian finansial yang aku keluarkan. Tapi aku menangkap ada semacam keganjilan yang terencana dan sepertinya mewabah di kalangan masyarakat kita. Keganjilan menjadi nyata ketika pada suatu saat aku bersama temanku yang sudah lama berada di kota Gudeg ini makan pada menu yang sama dengan harga relatif wajar. Melalui pengalaman yang kedua ini, keganjilan itu benar-benar sebuah problem yang harus dikaji oleh diriku. Aku menilai keganjilan tersebut merupakan tindak kriminal yang bernilai pemerasan.
Diakui atau tidak fenomena yang aku temui tadi merupakan borok sosial yang perlu disembuhkan. Karena dari yang sederhana ini kemungkinan akan berdampak pada tingkat kriminal yang lebih besar. Banyak hal yang harus ditelusuri dari problem ini, dari sisi relegiutas, pendidikan sampai pada ekonomi. Tiga faktor ini menjadi titik kajian yang harus ditelusuri sebagai bentuk kuratif dari bobroknya moral tersebut.
Nampaknya wacana peras-memeras ini tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat bawah, tapi juga para pemimpin bangsa ini lewat praktik KKN yang mewabah. Konteksnya sama dengan problem sederhana tadi, hanya saja bentuk pemerasan yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini tidak dilakukan di warung kaki lima tapi di gedung ber-AC dan di atas kursi empuk. Langkah penyembuhannya jelas juga harus lewat tiga titik seperti yang tersebut di atas. Karena pada hakikatnya orang yang berprilaku demikian mengalami ketimpangan pada salah satu dari tiga titik kajian tadi.
Sebagai pesan bagi setiap insan yang mau berfikir dan mengiginkan bangsa ini keluar dari multikrisis agar mewaspadai dan menjauhi tindak pemerasan yang merugikan orang lain atau bahkan bangsa ini. Bagi para pemimpin bangsa yang sudah terlanjur, hubungi aku ya di 081805501428 tak bawa ke KPK biar tau rasa he….he……he…… [ijan08]

TADARUS JOGJA II

Cukup sulit aku merepro apa yang aku lihat selama 15 hari di kota Gudeg. Catatan ini merupakan catatan tunda, sehingga banyak hal yang tidak bisa secara konkrit aku catat di catatan ini. Aku harus memungut ceceran-ceceran kilasan sejarah yang aku jejali selama separoh bulan suci di kota Jogja ini. Namun secara umum kota ini menurutku mempunyai dua perguruan tinggi yang cukup menarik untuk diurai, diselami, dijejali, dieksplorasi atau apa saja yang mumungkinkan dapat tergelar hikmah atau pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar dari kehidupan para pelajar di kota ini. Perguruan tinggi tersebut yang aku anggap sebagai perguruan tinggi menarik adalah UGM dan UIN. Keduanya adalah cerminan dari ratusan perguruan tinggi di kota Gudeg ini. Pernyataan ini bukan berarti mendiskriminasikan PT (Perguruan Tinggi) lainnya. Tapi hanya merupakan keterbatasan diriku dan sangat jauh dari motiv tindak profokatif.
Aku memulai tadarusku pada catatan sebelumnya dari UGM. Banyak romantisme gelora cinta yang melebur pada kehidupan kampus. Aku akui hal itu cukup asyik, karena memang sangat sinkron dengan kedirianku saat ini sebagai manusia yang menginjak kepekaan-kepekaan bualan hangatnya cinta. Panorama tersebut cukup untuk membangkitkan pesona cinta yang bermuara birahi. Tapi aku tidak kehilangan control, sehingga panorama tersebut tetaplah ada di luar dimensiku dan tidak bisa mengusik kejernihan hati dan otakku. Semuanya tetap mengalir, sejernih air mengalir mengikuti lekukan-lekukan tanah, namun tetap menuju lembah hikmah yang aku cari.
Setelah empat hari aku mentadarusi UGM, selanjutnya aku menyusuri sasaran menarik berikutnya yaitu, UIN. Kehidupan di UIN lebih akrab dengan jalan alam fikirku. Di sini aku banyak bersentuhan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang sama denganku. Mahasiswanya banyak berangkat dari pesantren, kebiasaan santri terurai lebih dinamis setelah melebur dengan kehidupan kota. Walau seluruh penghuni UIN ini tidak lagi memakai sarung seperti lazimnya santri tradisional, namun dapat aku baca mereka tetap menyisakan warna-warna santrinya lewat kata dan idealisme mereka.
Semarak keilmuan begitu sangat kental tumbuh berkembang di tengah-tengah para mahasiswa. Diskusi atau berbagai macam halaqotul ‘ilmi terlihat di pojok-pojok kampus. Terlihat cukup menarik, mencengangkan setiap mata yang melihat suasana tersebut. Pembicaraan para mahasiswanya tidak terlepas dengan konteks keintlektualan. Pemandangan ini satu sisi menghantarkan aku untuk mengacungkan jempol.
Lazimnya kehidupan kota yang menyuguhkan banyak tradisi dan budaya, mahasiswa juga menjadi imbas dari dampak kemajemukan budaya tersebut. Satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan anak muda yaitu, kehidupan pacaran. Tradisi ini walaupun di sebagian wilayah di negeri ini dianggap legal, namun tetap banyak menyisakan sayatan luka bagi pelakunya. Disadari atau tidak tradisi pacaran lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dampak positif yang ditimbulkannya. Betapa banyak pelaku pacaran yang kemudian harus berakhir dengan tragis. Ada yang diakhiri dengan lenyapnya virgin dari seorang wanita, kemudian ditinggalkan kering oleh pasangannya untuk mengejar buaian cinta lainnya.
Tradisi ini sekilas nampak indah, seindah instrument penghantar kedekatan dua sejoli yang sedang berproses pacaran. Ada kata seindah kata penyair tanpa pengakuan, ada hadiah tanpa kesejukan hati, ada rabaan romantis tanpa legalitas syar’i, semua terasa hambar bagai makanan tanpa garam yang tak mengenal rasa nyaman. Perjalanan proses pacaran ini terjadi dengan berbagai bentuk praktiknya. Seiring dengan majunya tekhnologi yang berkembang, proses ini terimplikasi lewat Short Message Service (SMS), Calling Phone, Chatting Room atau media apa saja yang memungkinkan terjalinnya cinta berbuih birahi. Tataran proses yang melewati media ini bisa dibilang masih wajar, dan kalau boleh aku bilang mereka pelaku pacaran pasif.
Selain media tekhnologi di atas juga tergelar media Natural yang sedikit menggelitik dan membuat bulu roma berdiri. Berdiri karena ngeri dan di lain sisi berdiri karena normal. Media penghantar ini berupa Malioboro, taman kota, kraton, taman kampus, Mall, cafe bahkan kosan sekalipun, atau beberapa tempat indah lainnya yang memungkinkan bisa menggulingkan diri dan menumpahkan luapan cinta. Pada tataran ini aku sebut sebagai para pelaku aktif.
Sebenarnya dua kalsifikasi di atas merupakan kesatuan dan mempunyai kerawanan yang sama serta berpotensi pada tindak zina. Kalau pada media Tekhnologi uraian cinta hanya lewat gulingan kata dan nada, pada media Natural sebagai kelanjutan dari yang pertama berupa gulingan badan dan sentuhan peka erotis yang dapat menghilangkan keseimbangan nilai kemanusiaan. Pada titik kilmaks inilah satu hal yang paling ditakutkan oleh siapa saja yang merasa menjadi manusia bermoral yaitu titik perzinahan. Apapun alasannya yang namanya pergumulan dua insan tanpa ikatan sakral keagamaan yang mencerminkan nilai kemanusiaan sekaligus pembeda antara manusia dan hewan, hubungan tersebut bernilai negative dan berdosa di sisi Tuhan.
Gejala di atas aku dapati di kehidupan anak-anak UIN Jogja, walau wacana ini sebatas hipotesa sementara, namun gejala tersebut tetaplah kenyataan yang tidak bisa aku hindarkan sebagai bagian dari olah tadarusku dalam mengkaji setiap suguhan hidup ini. Kegelisahan dan rasa simpati yang mengharuskan aku mencatat guncangan nilai kemanusiaan ini untuk diperbincangkan di kalangan para ahli dalam mengatur pola hidup para mahasiswa muslim dan muslimah dalam berintraksi. Untuk itu suguhan kontemplasi ini bukanlah mencerca UIN sebagai institusi pendidikan, bagiku UIN tetaplah perguruan tinggi Islam yang diharapkan darinya lahir pejuang-pejuang Islam yang siap hidup bersama Islam hingga di penghujung sejarah ini. Selamat berjuang sobat & buanglah clitoris oriented serta beralihlah pada konsekwensi semual sebagai Tholibul ‘Ilmi. [ijan08]