Prolog
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan serta kesempurnaan ajarannya semestinya menjadikan umatnya unggul dari umat lainnya. Namun kenyataannya, umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat yang lain. Islam saat ini mudah diombang-ambingkan oleh pihak lain, bahkan cenderung berada di bawah pengawasan orang di luar Islam. Konkretnya, Islam saat ini mengalami kemunduran dari berbagai aspek kehidupan.
Setelah sedikit mengakui sejumlah kemunduran Islam dari berbagai sisinya, tentunya pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu akan berusaha sekuat mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kemunduran yang dimaksudkan tersebut. Kemunduran yang dimaksudkan bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada sistem pendidikan yang menyimpang dari sumber ajaran Islam. Penyimpangan tersebut tidak berupa penyimpangan yang brutal, akan tetapi bentuk penyimpangan yang terus bergulir sangat halus, yaitu berupa pengalihan orientasi pendidikan pada orientasi jangka pendek saja.
Pengalihan orientasi pendidikan di atas tentu sangat terstruktur dengan rapi sehingga sama sekali tidak disadari oleh umat Islam dewasa ini. Sebagai bentuk paling fundamental dari pergeseran orientasi pendidikan Islam tersebut adalah, berupa pemenuhan hasrat di bidang materi dan psikologi saja. Orientasi ini tentu mempunyai jangkauan yang cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu, sehingga dalam hal ini penulis menempatkan orientasi tersebut sebagai bentuk orientasi jangka pendek (temporer).
Sebagai contoh dari orientasi pendidikan Islam jangka pendek di atas bisa dilihat pada harapan-harapan orang tua anak didik yang menghendaki timbal balik materi setelah anaknya menuntaskan suatu level pendidikan tertentu. Fakta ini kemudian semakin dipertajam dengan sejumlah sambutan balik dari lembaga-lembaga pendidikan yang secara terus terang menjanjikan kemungkinan-kemungkinan capaian meteri yang bisa diraih oleh peserta didiknya. Disadari atau tidak, realitas ini terus menggiring orientasi pendidikan Islam menjauhi lajur yang semestinya.
Pola penyimpangan orientasi pendidikan Islam tersebut tidak hanya berhenti pada deskripsi di atas, akan tetapi bisa dilihat dari sejumlah fakta sosial-politik dengan sejumlah tingkah para pemimpin bangsa yang amoral. Sebagai bentuk konkret dari sikap para pemimpin yang lahir dari pergeseran orientasi pendidikan yang menyimpang tersebut adalah, munculnya para pemimpin yang rakus alias korup. Kondisi ini kemudian menempatkan bahwa muasal dari kesemberautan dan ketertinggalan Islam dalam konteks universal adalah, mewabahnya penyimpangan orientasi (disorientasi) pendidikan Islam itu sendiri. Dengan demikian, sudah selayaknya umat ini segera terbangun dari tidur pulasnya untuk memperbaiki sistem pendidikannya.
Mungkin untuk menggeser sistem pendidikan Islam pada lajur yang ideal tidak cukup mudah. Magis yang bernama modern dengan perangkat bius materialisme terus menggerogoti pandangan umum umat muslim. Himpitan ekonomi, kemiskinan serta ketergantungan dengan pihak luar menjadikan proses pelurusan orientasi pada titik ideal tidak mudah. Namun semua itu akan bisa dilewati jika umat muslim mau introspeksi secara jujur dan berimbang.
Apa sebenarnya yang terjadi di tengah-tengah kita?
Sengaja pada segmen ini dimulai dari sebuah pertanyaan, hal itu dimaksudkan agar masing-masing individu merasa bahwa ketertinggalan yang diakibatkan adanya disorientasi pendidikan Islam merupakan tanggung jawab bersama, serta butuh perubahan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun demikian, agar kemudian bisa terbentuk suatu komitmen dan pemahaman menuju perubahan yang dimaksudkan, perlu kiranya merefleksikan segala hal tentang lingkungan dan diri dari setiap individu pelaku pendidikan Islam.
Perlu disadari oleh setiap individu muslim, bahwa pasca perang dan penjajahan fisik di sejumlah bangsa-bangsa muslim (khususnya Indonesia), sebenarnya terjadi penjajahan model baru dengan dampak yang lebih mengerikan dari dampak penjajahan fisik sebelumnya. Pernyataan ini tentu tidak bermaksud memicu atau memprovokasi munculnya sikap anarkis terhadap pihak tertentu, akan tetapi hal ini dimaksdukan bahwa secara jujur bangsa ini masih berada di bawah jajahan bangsa lain.
Ketergantungan terhadap bangsa lain sampai saat ini tidak bisa dihindarkan, sehingga mau tidak mau hampir semua kebijakan pemerintah didikte dibawah kepentingan bangsa lain. Kondisi inilah yang kemudian menempatkan bangsa ini terus berada dalam penjajahan dan ketersiksaan. Agresi bangsa lain itu terus menghujam di berbagai lini kehidupan bangsa ini, termasuk pada sistem pendidikan yang dianut di sejumlah lembaga pendidikan yang ada sekarang.
Model agresi itu biasanya dikemas dengan baju modern yang membius sebagian umat muslim. Mulai dari pengakuan legalitas suatu lembaga, sampai pada hal-hal yang sifatnya teknis juga terus didikte. Pada saat yang sama, kemudian pemerintah mengeluarkan penyeragaman-penyeragaman kurikulum dan tujuan-tujuan satuan pendidikan, sehingga lambat laun karakteristik dan nilai-nilai ke-Islaman dan budaya asli dari bangsa ini luntur serta tergantikan dengan apa yang disebut dengan “sistem pendidikan Nasional” yang senyatanya sistem tersebut bergerak dibawah naungan kepentingan bangsa lain.
Penyataan di atas bukan tanpa alasan, bayang-bayang kepentingan bangsa lain itu begitu sangat terasa ketika standart-standart pendidikan nasional yang dimaksudkan sama sekali kurang memberikan konstribusi yang nyata untuk Islam dan umat Islam. Standart yang dimasukkan dalam sistem pendidikan Nasional sejatinya merupakan bentuk sekularisme yang tidak disadari. Dalam kasus ini begitu sangat jelas bagaimana agama (ilmu agama) sengaja dipisahkan dari kepentingan-kepentingan pendidikan nasional. “Ilmu-ilmu umum” (bukan bermaksud membedakan degan ilmu-ilmu agama) dianggap paling penting dengan predikatnya sebagai standart kelulusan nasional, sementara ilmu-ilmu agama dianggap pengetahuan lokal (tidak terlalu diperlukan dalam kehidupan).
Kemasan model penjajahan di bidang pendidikan di atas begitu cukup apik tersajikan, sehingga membuat banyak orang terbius. Secara praktis, kebijakan pemerintah memang tidak sampai pada larangan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi secara jujur ilmu-ilmu keislaman tersebut hanya sebatas diajarkan dan tidak sampai pada penanaman esensinya, karena sebagian besar lembaga pedidikan Islam sibuk memenuhi standart-standart pemerintah dan legalitasnya.
Setelah berhasil menyibukkan lembaga pendidikan Islam pada tujuan-tujuan temporal, kemudian pemerintah juga menerapkan standart kompetensi yang harus dimiliki oleh para guru. Standart tersebut terealisasi dalam bentuk sertifikasi tenaga pendidik pada setiap lembaga pendidikan yang ada. Program ini terus bergulir, seakan-akan memang menjadi sesuatu yang urgen untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun pada kenyataanya, guru-guru malah lebih sibuk memenuhi standart tersebut pada taraf administratif dengan maksud memperoleh materi saja. Sementara kualitas individu guru tidak kunjung membaik, bahkan yang muncul malah tindak amoral yang tidak mencerminkan seorang guru.
Apabila lembaga dan individu pelaksana pendidikan Islam sudah sama-sama sibuk dengan sesuatu yang bersifat temporal, maka bisa dipastikan arah dan karakter pendidikan Islam tidak hanya salah arah, akan tetapi berada pada titik akut yang luar biasa. Upaya deskriptif ini tentu sama sekali sangat jauh dari penistaan terhadap wajah lembaga pendidikan Islam dan indiidu pegiatnya, akan tetapi upaya ini hanya sebatas usaha untuk sebuah perubahan besar dalam rangka menyelamatkan pendidikan Islam dan Islam itu sendiri.
Apa yang harus dilakukan?
Untuk menambal atau menyulam benang kusut kondisi pendidikan Islam yang alpa seperti yang tergambarkan di atas, maka menjadi sangat penting langkah kuratif serta akurat untuk merubahnya. Mungkin langkah paling konkret adalah mengembalikan sistem pendidikan Islam kepada sumber nilai-nilai keislaman (al-Qur’an) dan tradisi lokal. Adapun manifestasi antara keduanya jika merujuk pada sejarah bergulirnya pendidikan Islam di Indonesia adalah, sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren nampaknya cukup representatif untuk kondisi di Indonesia. Karena sistem ini merupakan integralisasi dari nilai-nilai keislaman dan tradisi lokal yang dilakukan secara serempak. Sehingga dengan demikian, pendidikan model pesantren ini betul-betul akan menemukan karakternya tersendiri yang sangat Islami namun juga tidak terlalu menjauh dari karakter bumi Indonesia.
Pesantren sebagai sistem pendidikan secara utuh mempunyai nilai-nilai dasar yang tangguh dalam membentengi umat dari berbagai macam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh orang di luar Islam. Hal tersebut dikarenakan jiwa atau nilai-nilai yang ada dalam pesantren begitu sangat sinkron dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Nilai yang begitu sangat fundamental dalam dunia pesantren adalah keikhlasan. Nilai keikhlasan ini menjadi pondasi dari setiap bentuk kegiatan pendidikan yang ada dalam pesantren. Nilai ini mengalir dengan begitu sangat natural, sebagai bentuk nyatanya bisa ditemukan pada diri seorang kiyai yang hidup bersama santri-santrinya tanpa mengharap pamrih apapun dari santrinya.
Gambaran seorang kiyai di atas bukan merupakan kultus yang menempatkan kiyai sebagai manusia suci (holy man) yang tidak membutuhkan materi sama sekali. Penggambaran tersebut dikarenakan adanya nilai pendidikan pesantren yang tidak menjadikan kiyai sebagai pelaksana kegiatan pendidikan menggantungkan kebutuhan materi pada santrinya. Adapun nilai tersebut yaitu berupa nilai kemandirian. Kemandirian inilah yang menjadikan pesantren tidak sama sekali tergantung pada banyak dan tidaknya jumlah santrinya. Bagi pesantren kebutuhan materi itu merupakan persoalan yang berbeda yang tidak boleh dicampur adukkan dengan kegiatan-kegiatan pendidikan. Karenanya di sejumlah lembaga pendidikan Islam yang masih menganut sistem pendidikan pesantren selalu mempunyai usaha ekonomi sebagai bentuk kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan materi bagi para pelaku pendidikan yang ada di dalamnya.
Dari bentuk kemandirian seperti di atas itulah pesantren bisa melaju dengan berbagai program pendidikannya. Bentuk pemenuhan materi yang mandiri tersebut kemudian mengharuskan pesantren harus sederhana dalam berbagai aspek. Kesederhanaan inilah juga menjadi bagian ketiga dari nilai-nilai yang ada dalam pesantren. Aspek ini menjadikan dunia pesantren betul-betul sebagai lahan pendidikan murni yang jauh dari kesan mewah apalagi sebagai ladang pencari kehidupan.
Adapun nilai selanjutnya yang menjadi karakteristik dunia pesantren adalah, adanya ukhuwah Islamiyah diantara para penghuninya. Dalam pesantren terjalin hubungan yang mesra antar kiyai dengan santrinya yang berbasis ukhuwah Islamiyah. Selanjutnya nilai pamungkas dalam dunia pesantren berupa bentuk penghormatan terhadap hak asasi setiap individu pesantren yang berupa nilai kebebasan (kemerdekaan). Nilai ini dianggap perlu sebagai bentuk penghargaan untuk berfikir dan mengemukakan pendapat dalam rangka kemajuan pesantren.
Lima nilai yang ada dalam sistem pendidikan pesantren di atas merupakan nilai yang semestinya juga ada pada setiap lembaga pendidikan yang berlebel Islam. Karena dengan lima nilai itulah kondisi memilukan dari wajah pendidikan saat ini bisa menemukan karakternya yang sejati.
Epilog
Secara umum, disorientasi yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam disebabkan karena adanya hilangnya kepekaan terhadap arah pergeseran yang disekenariokan oleh orang di luar Islam. Selain daripada itu, ketergantungan secara materi menjadikan wajah pendidikan Islam harus mengais belas kasihan dari pihak luar yang semestinya tidak perlu dilakukan. Maka, sebagai jawaban terhadap kondisi tersebut memilih pendidikan pesantren sebagai format baru dari sistem pendidikan Islam adalah hal yang tepat. Lima nilai yang ada dalam pesantren menjadi senjata pamungkas yang cukup ampuh untuk membentengi dari pola penjajahan yang licik oleh pihak-pihak asing, sekaligus pada saat yang sama merupakan upaya dalam rangka mengembalikan wajah pendidikan Islam yang gemilang. Wallahu ‘alam…
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan serta kesempurnaan ajarannya semestinya menjadikan umatnya unggul dari umat lainnya. Namun kenyataannya, umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat yang lain. Islam saat ini mudah diombang-ambingkan oleh pihak lain, bahkan cenderung berada di bawah pengawasan orang di luar Islam. Konkretnya, Islam saat ini mengalami kemunduran dari berbagai aspek kehidupan.
Setelah sedikit mengakui sejumlah kemunduran Islam dari berbagai sisinya, tentunya pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu akan berusaha sekuat mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kemunduran yang dimaksudkan tersebut. Kemunduran yang dimaksudkan bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada sistem pendidikan yang menyimpang dari sumber ajaran Islam. Penyimpangan tersebut tidak berupa penyimpangan yang brutal, akan tetapi bentuk penyimpangan yang terus bergulir sangat halus, yaitu berupa pengalihan orientasi pendidikan pada orientasi jangka pendek saja.
Pengalihan orientasi pendidikan di atas tentu sangat terstruktur dengan rapi sehingga sama sekali tidak disadari oleh umat Islam dewasa ini. Sebagai bentuk paling fundamental dari pergeseran orientasi pendidikan Islam tersebut adalah, berupa pemenuhan hasrat di bidang materi dan psikologi saja. Orientasi ini tentu mempunyai jangkauan yang cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu, sehingga dalam hal ini penulis menempatkan orientasi tersebut sebagai bentuk orientasi jangka pendek (temporer).
Sebagai contoh dari orientasi pendidikan Islam jangka pendek di atas bisa dilihat pada harapan-harapan orang tua anak didik yang menghendaki timbal balik materi setelah anaknya menuntaskan suatu level pendidikan tertentu. Fakta ini kemudian semakin dipertajam dengan sejumlah sambutan balik dari lembaga-lembaga pendidikan yang secara terus terang menjanjikan kemungkinan-kemungkinan capaian meteri yang bisa diraih oleh peserta didiknya. Disadari atau tidak, realitas ini terus menggiring orientasi pendidikan Islam menjauhi lajur yang semestinya.
Pola penyimpangan orientasi pendidikan Islam tersebut tidak hanya berhenti pada deskripsi di atas, akan tetapi bisa dilihat dari sejumlah fakta sosial-politik dengan sejumlah tingkah para pemimpin bangsa yang amoral. Sebagai bentuk konkret dari sikap para pemimpin yang lahir dari pergeseran orientasi pendidikan yang menyimpang tersebut adalah, munculnya para pemimpin yang rakus alias korup. Kondisi ini kemudian menempatkan bahwa muasal dari kesemberautan dan ketertinggalan Islam dalam konteks universal adalah, mewabahnya penyimpangan orientasi (disorientasi) pendidikan Islam itu sendiri. Dengan demikian, sudah selayaknya umat ini segera terbangun dari tidur pulasnya untuk memperbaiki sistem pendidikannya.
Mungkin untuk menggeser sistem pendidikan Islam pada lajur yang ideal tidak cukup mudah. Magis yang bernama modern dengan perangkat bius materialisme terus menggerogoti pandangan umum umat muslim. Himpitan ekonomi, kemiskinan serta ketergantungan dengan pihak luar menjadikan proses pelurusan orientasi pada titik ideal tidak mudah. Namun semua itu akan bisa dilewati jika umat muslim mau introspeksi secara jujur dan berimbang.
Apa sebenarnya yang terjadi di tengah-tengah kita?
Sengaja pada segmen ini dimulai dari sebuah pertanyaan, hal itu dimaksudkan agar masing-masing individu merasa bahwa ketertinggalan yang diakibatkan adanya disorientasi pendidikan Islam merupakan tanggung jawab bersama, serta butuh perubahan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun demikian, agar kemudian bisa terbentuk suatu komitmen dan pemahaman menuju perubahan yang dimaksudkan, perlu kiranya merefleksikan segala hal tentang lingkungan dan diri dari setiap individu pelaku pendidikan Islam.
Perlu disadari oleh setiap individu muslim, bahwa pasca perang dan penjajahan fisik di sejumlah bangsa-bangsa muslim (khususnya Indonesia), sebenarnya terjadi penjajahan model baru dengan dampak yang lebih mengerikan dari dampak penjajahan fisik sebelumnya. Pernyataan ini tentu tidak bermaksud memicu atau memprovokasi munculnya sikap anarkis terhadap pihak tertentu, akan tetapi hal ini dimaksdukan bahwa secara jujur bangsa ini masih berada di bawah jajahan bangsa lain.
Ketergantungan terhadap bangsa lain sampai saat ini tidak bisa dihindarkan, sehingga mau tidak mau hampir semua kebijakan pemerintah didikte dibawah kepentingan bangsa lain. Kondisi inilah yang kemudian menempatkan bangsa ini terus berada dalam penjajahan dan ketersiksaan. Agresi bangsa lain itu terus menghujam di berbagai lini kehidupan bangsa ini, termasuk pada sistem pendidikan yang dianut di sejumlah lembaga pendidikan yang ada sekarang.
Model agresi itu biasanya dikemas dengan baju modern yang membius sebagian umat muslim. Mulai dari pengakuan legalitas suatu lembaga, sampai pada hal-hal yang sifatnya teknis juga terus didikte. Pada saat yang sama, kemudian pemerintah mengeluarkan penyeragaman-penyeragaman kurikulum dan tujuan-tujuan satuan pendidikan, sehingga lambat laun karakteristik dan nilai-nilai ke-Islaman dan budaya asli dari bangsa ini luntur serta tergantikan dengan apa yang disebut dengan “sistem pendidikan Nasional” yang senyatanya sistem tersebut bergerak dibawah naungan kepentingan bangsa lain.
Penyataan di atas bukan tanpa alasan, bayang-bayang kepentingan bangsa lain itu begitu sangat terasa ketika standart-standart pendidikan nasional yang dimaksudkan sama sekali kurang memberikan konstribusi yang nyata untuk Islam dan umat Islam. Standart yang dimasukkan dalam sistem pendidikan Nasional sejatinya merupakan bentuk sekularisme yang tidak disadari. Dalam kasus ini begitu sangat jelas bagaimana agama (ilmu agama) sengaja dipisahkan dari kepentingan-kepentingan pendidikan nasional. “Ilmu-ilmu umum” (bukan bermaksud membedakan degan ilmu-ilmu agama) dianggap paling penting dengan predikatnya sebagai standart kelulusan nasional, sementara ilmu-ilmu agama dianggap pengetahuan lokal (tidak terlalu diperlukan dalam kehidupan).
Kemasan model penjajahan di bidang pendidikan di atas begitu cukup apik tersajikan, sehingga membuat banyak orang terbius. Secara praktis, kebijakan pemerintah memang tidak sampai pada larangan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi secara jujur ilmu-ilmu keislaman tersebut hanya sebatas diajarkan dan tidak sampai pada penanaman esensinya, karena sebagian besar lembaga pedidikan Islam sibuk memenuhi standart-standart pemerintah dan legalitasnya.
Setelah berhasil menyibukkan lembaga pendidikan Islam pada tujuan-tujuan temporal, kemudian pemerintah juga menerapkan standart kompetensi yang harus dimiliki oleh para guru. Standart tersebut terealisasi dalam bentuk sertifikasi tenaga pendidik pada setiap lembaga pendidikan yang ada. Program ini terus bergulir, seakan-akan memang menjadi sesuatu yang urgen untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun pada kenyataanya, guru-guru malah lebih sibuk memenuhi standart tersebut pada taraf administratif dengan maksud memperoleh materi saja. Sementara kualitas individu guru tidak kunjung membaik, bahkan yang muncul malah tindak amoral yang tidak mencerminkan seorang guru.
Apabila lembaga dan individu pelaksana pendidikan Islam sudah sama-sama sibuk dengan sesuatu yang bersifat temporal, maka bisa dipastikan arah dan karakter pendidikan Islam tidak hanya salah arah, akan tetapi berada pada titik akut yang luar biasa. Upaya deskriptif ini tentu sama sekali sangat jauh dari penistaan terhadap wajah lembaga pendidikan Islam dan indiidu pegiatnya, akan tetapi upaya ini hanya sebatas usaha untuk sebuah perubahan besar dalam rangka menyelamatkan pendidikan Islam dan Islam itu sendiri.
Apa yang harus dilakukan?
Untuk menambal atau menyulam benang kusut kondisi pendidikan Islam yang alpa seperti yang tergambarkan di atas, maka menjadi sangat penting langkah kuratif serta akurat untuk merubahnya. Mungkin langkah paling konkret adalah mengembalikan sistem pendidikan Islam kepada sumber nilai-nilai keislaman (al-Qur’an) dan tradisi lokal. Adapun manifestasi antara keduanya jika merujuk pada sejarah bergulirnya pendidikan Islam di Indonesia adalah, sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren nampaknya cukup representatif untuk kondisi di Indonesia. Karena sistem ini merupakan integralisasi dari nilai-nilai keislaman dan tradisi lokal yang dilakukan secara serempak. Sehingga dengan demikian, pendidikan model pesantren ini betul-betul akan menemukan karakternya tersendiri yang sangat Islami namun juga tidak terlalu menjauh dari karakter bumi Indonesia.
Pesantren sebagai sistem pendidikan secara utuh mempunyai nilai-nilai dasar yang tangguh dalam membentengi umat dari berbagai macam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh orang di luar Islam. Hal tersebut dikarenakan jiwa atau nilai-nilai yang ada dalam pesantren begitu sangat sinkron dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Nilai yang begitu sangat fundamental dalam dunia pesantren adalah keikhlasan. Nilai keikhlasan ini menjadi pondasi dari setiap bentuk kegiatan pendidikan yang ada dalam pesantren. Nilai ini mengalir dengan begitu sangat natural, sebagai bentuk nyatanya bisa ditemukan pada diri seorang kiyai yang hidup bersama santri-santrinya tanpa mengharap pamrih apapun dari santrinya.
Gambaran seorang kiyai di atas bukan merupakan kultus yang menempatkan kiyai sebagai manusia suci (holy man) yang tidak membutuhkan materi sama sekali. Penggambaran tersebut dikarenakan adanya nilai pendidikan pesantren yang tidak menjadikan kiyai sebagai pelaksana kegiatan pendidikan menggantungkan kebutuhan materi pada santrinya. Adapun nilai tersebut yaitu berupa nilai kemandirian. Kemandirian inilah yang menjadikan pesantren tidak sama sekali tergantung pada banyak dan tidaknya jumlah santrinya. Bagi pesantren kebutuhan materi itu merupakan persoalan yang berbeda yang tidak boleh dicampur adukkan dengan kegiatan-kegiatan pendidikan. Karenanya di sejumlah lembaga pendidikan Islam yang masih menganut sistem pendidikan pesantren selalu mempunyai usaha ekonomi sebagai bentuk kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan materi bagi para pelaku pendidikan yang ada di dalamnya.
Dari bentuk kemandirian seperti di atas itulah pesantren bisa melaju dengan berbagai program pendidikannya. Bentuk pemenuhan materi yang mandiri tersebut kemudian mengharuskan pesantren harus sederhana dalam berbagai aspek. Kesederhanaan inilah juga menjadi bagian ketiga dari nilai-nilai yang ada dalam pesantren. Aspek ini menjadikan dunia pesantren betul-betul sebagai lahan pendidikan murni yang jauh dari kesan mewah apalagi sebagai ladang pencari kehidupan.
Adapun nilai selanjutnya yang menjadi karakteristik dunia pesantren adalah, adanya ukhuwah Islamiyah diantara para penghuninya. Dalam pesantren terjalin hubungan yang mesra antar kiyai dengan santrinya yang berbasis ukhuwah Islamiyah. Selanjutnya nilai pamungkas dalam dunia pesantren berupa bentuk penghormatan terhadap hak asasi setiap individu pesantren yang berupa nilai kebebasan (kemerdekaan). Nilai ini dianggap perlu sebagai bentuk penghargaan untuk berfikir dan mengemukakan pendapat dalam rangka kemajuan pesantren.
Lima nilai yang ada dalam sistem pendidikan pesantren di atas merupakan nilai yang semestinya juga ada pada setiap lembaga pendidikan yang berlebel Islam. Karena dengan lima nilai itulah kondisi memilukan dari wajah pendidikan saat ini bisa menemukan karakternya yang sejati.
Epilog
Secara umum, disorientasi yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam disebabkan karena adanya hilangnya kepekaan terhadap arah pergeseran yang disekenariokan oleh orang di luar Islam. Selain daripada itu, ketergantungan secara materi menjadikan wajah pendidikan Islam harus mengais belas kasihan dari pihak luar yang semestinya tidak perlu dilakukan. Maka, sebagai jawaban terhadap kondisi tersebut memilih pendidikan pesantren sebagai format baru dari sistem pendidikan Islam adalah hal yang tepat. Lima nilai yang ada dalam pesantren menjadi senjata pamungkas yang cukup ampuh untuk membentengi dari pola penjajahan yang licik oleh pihak-pihak asing, sekaligus pada saat yang sama merupakan upaya dalam rangka mengembalikan wajah pendidikan Islam yang gemilang. Wallahu ‘alam…