Aku malam ini atau tepatnya beberapa hari di minggu ini tidak menemukan performa hidup yang pas dan menyenangkan. Terasa begitu sangat menggerahkan hidup ini. Panas bak matahari sejengkal di atas jidadku. Enggan untuk melakukan aktifitas, semua gerak kreatif yang biasanya mengalir tiba-tiba terhenti seketika melebur dengan deburan arus malas yang menghanyutkan kendali diriku. Serasa mati namun tak berkafan, tubuh ini tak mampu lagi melahirkan hidmah bagi umat, akhirnya aku luapkan sejenak di paruh malam-malamku lewat senandung do'a dan ampunku kepada-Nya.
Hidup terus melaju tak menghiraukan aku yang terseok-seok diterjang arus malas yang menelan berbagai macam kesempatan emas. Tertindih diri ini dalam kerugian,sementara beberapa orang di sekitarku banyak yang sudah melangkah melewati levelku, sebagian mereka telah mampu menabung pundi-pundi kebajikan. Sementara yang lain ada yang sibuk menata dirinya dengan menambal beberapa kebobrokannya selama ini. Aku sendiri tertunduk kaku tak sempat melangkah bahkan terasa beku tertutup salju tak bergerak. Hati kecil mulai merintih meneriakkan kejujurannya meminta haknya untuk dipenuhi. Haknya untuk menggubrisi anak didikku yang terbengkalai akibat deraan badai dan arus malas. Terus peperangan sengit itu terjadi antara hati nurani versus nafsu angkara murka. Letupannya tak kalah dengan tebaran roket Israel yang diledakkan di tanah Palestina yang menelan banyak korban itu. Adapun korban terparah pada peperangan itu adalah harga diriku sebagai manusia.
Hampir mendekati dua minggu malas itu mengamuk diriku, banyak luka borok di sana sini akibat bacokan para tentara kemalasan. Terasa nyeri tak terhingga sehingga tanpa disuruhpun aku mulai menggeliat mengumpulkan sisa-sisa amunisi untuk kembali berjuang lewat tilawah Wahyu-Nya dalam lima kesemptan berjumpa dengan-Nya. Aku tuturkan secara jujur di Haribaan-Nya dengan muka dan hati yang tunduk pasrah memohon taufik dan hidayah-Nya. Terasa angin segar membawa embun semngat menyapu mukaku yang kusam. Mata hati kembali melihat jernih dan menuntun diri ini untuk kembali berjalan di atas lorong semangat. Tatapan kembali menyoroti masa depan,sehingga lambat laun tubuh ini kembali terasa ringan bergerak dan meniti jalan menuju ridla-Nya lewat titipan yang diamanahkahkan padaku.Entah itu amanah untuk mengayomi anak-anak didik atau kepercayaan lainnya yang berupa tugas untuk menjadi kholifah di muka bumi ini.
Amukan itu sedikit demi sedikit lenyap dari diriku walau sebenarnya tidak bisa dianggap enteng apalagi menganggapnya telah kapok. Pada suatu saat amukan malas itu akan datang lebih ganas lagi karenanya kewaspadaan terus harus dijaga agar tidak menelan banyak kerugian pada diri ini. Ketegaran perjuangan dan perlindungan Allah saja yang bisa menyingkirkan rasa malas itu. Kini saatnya aku kembali menjemput performa hidupku yang sempat mendekati kepunahan. Aku berteriak " Aku ingin merdeka dan menang".
Hidup terus melaju tak menghiraukan aku yang terseok-seok diterjang arus malas yang menelan berbagai macam kesempatan emas. Tertindih diri ini dalam kerugian,sementara beberapa orang di sekitarku banyak yang sudah melangkah melewati levelku, sebagian mereka telah mampu menabung pundi-pundi kebajikan. Sementara yang lain ada yang sibuk menata dirinya dengan menambal beberapa kebobrokannya selama ini. Aku sendiri tertunduk kaku tak sempat melangkah bahkan terasa beku tertutup salju tak bergerak. Hati kecil mulai merintih meneriakkan kejujurannya meminta haknya untuk dipenuhi. Haknya untuk menggubrisi anak didikku yang terbengkalai akibat deraan badai dan arus malas. Terus peperangan sengit itu terjadi antara hati nurani versus nafsu angkara murka. Letupannya tak kalah dengan tebaran roket Israel yang diledakkan di tanah Palestina yang menelan banyak korban itu. Adapun korban terparah pada peperangan itu adalah harga diriku sebagai manusia.
Hampir mendekati dua minggu malas itu mengamuk diriku, banyak luka borok di sana sini akibat bacokan para tentara kemalasan. Terasa nyeri tak terhingga sehingga tanpa disuruhpun aku mulai menggeliat mengumpulkan sisa-sisa amunisi untuk kembali berjuang lewat tilawah Wahyu-Nya dalam lima kesemptan berjumpa dengan-Nya. Aku tuturkan secara jujur di Haribaan-Nya dengan muka dan hati yang tunduk pasrah memohon taufik dan hidayah-Nya. Terasa angin segar membawa embun semngat menyapu mukaku yang kusam. Mata hati kembali melihat jernih dan menuntun diri ini untuk kembali berjalan di atas lorong semangat. Tatapan kembali menyoroti masa depan,sehingga lambat laun tubuh ini kembali terasa ringan bergerak dan meniti jalan menuju ridla-Nya lewat titipan yang diamanahkahkan padaku.Entah itu amanah untuk mengayomi anak-anak didik atau kepercayaan lainnya yang berupa tugas untuk menjadi kholifah di muka bumi ini.
Amukan itu sedikit demi sedikit lenyap dari diriku walau sebenarnya tidak bisa dianggap enteng apalagi menganggapnya telah kapok. Pada suatu saat amukan malas itu akan datang lebih ganas lagi karenanya kewaspadaan terus harus dijaga agar tidak menelan banyak kerugian pada diri ini. Ketegaran perjuangan dan perlindungan Allah saja yang bisa menyingkirkan rasa malas itu. Kini saatnya aku kembali menjemput performa hidupku yang sempat mendekati kepunahan. Aku berteriak " Aku ingin merdeka dan menang".