Agama secara normatif adalah seperangkat tawaran yang mengarahkan manusia menjadi semakin tahu terhadap penciptanya. Di sisi lain agama adalah jalan hidup yang menghantarkan pada kedamaian. Begitu sangat ideal makna dari sebuah agama, walau wajah agama secara riil sering kali mencumbui substansi normatif tersebut. Kondisi yang demikian sedikit membuat sekelompok orang berkecil harapan tehadap solusi-solusi yang ditawarkan oleh agama. Agama yang sejak awal sebagai media untuk membagi kedamaian diantara manusia, kini terdapat sejumlah kasus yang bermuatan konflik akibat kecemburuan yang berangkat atas nama agama. Lambat laun seiring dengan kesadran manusia agama akan menjadi cermin dari sejumlah kekerasan dan konflik yang membelah perdamaian dunia.
Kebencian, permusuhan bahkan mungkin perang adalah penuturan sejarah yang tidak bisa disisihkan begitu saja sebagai akibat dari wajah ekstrim dari agama. Kedamaian dan ketenangan akhirnya menjadi satu cita-cita yang tidak pernah kunjung terwujud. Semua itu mungkin diakibatkan dari paradigma keberagamaan yang beranjak dari pandangan teosentris, sehingga nilai-nilai kemanusiaan menjadi terabaikan. Agama seakan-akan untuk Tuhan atau dalam pandangan lain Tuhan-Tuhan yang ada itu mesti dibela walau darah menjadi taruhannya. Sungguh kondisi ini adalah bagian terburuk dari wajah Tuhan yang semestinya mengasihi dan menyayangi manusia berubah menjadi Tuhan-Tuhan yang bringas yang menyengsarakan manusia.
Sungguh Tuhan mungkin tidak akan pernah mau jika ditempatkan sebagai sumber kesenjangan dan konflik di dunia ini. Tuhan dengan segala kebesaran-Nya terdapat ruang yang cukup luas untuk mengelak dari berbagai tuduhan. Sejumlah kasus pertumpahan darah atas nama besar-Nya nampaknya tidak cukup untuk menempatkan Tuhan pada ruang pesakitan. Lihat saja beberapa orang yang menjadi korban dari Tuhan-Tuhan yang berwajah bringas. Salah satu tokoh sufi dalam dunia Islam misalnya Al-Hallaj dengan argumennya “Ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan) dinilai menyalahi syariat dan dianggap sesat. Sebagai hukuman baginya beliau dijatuhi hukuman mati di tiang salib, dipotong kedua tangan dan kakinya lalu kemudian mayatnya dibakar serta dibuang di sungai tigris. Semua kronologi memalukan ini adalah bagian kecil dari Tuhan-Tuhan yang meminta dibela, sehingga darah dan jiwa manusia menjadi tidak berharga. Sejumlah tokoh lainnya seperti Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi juga diakhiri hayatnya dengan hukuman mati dengan tuduhan yang sama yaitu menyimpang dari syari’at.
Pembantaian atau pembunuhan sadis di atas adalah serangkaian peristiwa yang menodai kesucian agama dan Tuhan itu sendiri. Kreatifitas dan ruang berfikir manusia seakan disekat dan dibatasi oleh keangkuhan Tuhan sebagai sang Maha Besar. Sejatinya Tuhan dalam arti Tuhan yang sejati tentu tidak akan pernah bringas, kebesaran-Nya akan mewadahi seluruh kreatifitas manusia dalam mencari kebenaran-Nya. Bila dilihat lebih detail, Tuhan akan tersenyum melihat perbedaan itu sebagai konsekwensi kebebasan yang dianugerahkan kepada manusia, hanya saja manusia sajalah yang mendahului Tuhan dalam bersikap, seakan sekelompok orang ekstrimis ini berlomba menjadi pahlawan di hadapan Tuhan (syahid).
Ekslusivitas adalah corak dari pemikiran yang sempit yang menghadirkan cinta kepada Tuhan yang buta. Cinta buta dalam arti tidak mengindahkan kelompok lain sebagai sebuah usaha yang juga berpotensi menghadirkan cinta kepada Tuhan. Jalan atau pilihan orang lain dianggap keliru dan perlu dibasmi dari muka bumi. Cinta seperti inilah dikategorikan oleh novelis Inggris A.N. Wilson sebagai cinta yang mengakari segala kejahatan. Secara tegas dia menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan sebagai sumber dari segala kejahatan. Pernyataan tegas ini diikuti sejumlah tragedi tragis seperti yang tertuturkan di sebelumnya, sehingga pada tahap pernyataan akhir bisa dinyatakan bahwa tidak ada suatu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas segala perang, tirani dan penindasan.
Gelaran sejarah panjang agama yang kelam di atas apakah kemudian akan mengubur agama, ataukah manusia akan gerah dan memilih alternatif lain? Semua kemungkinan serba terbuka, seluas alam pikiran manusia dan kebenaran Tuhan yang ada. Kondisi ini tentu sedikit mengkhawatirkan institusi agama yang ada, Islam, Kristen dan Yahudi sebagai agama Ibrahim dengan predikat agama samawi juga akan mengalami kondisi yang sama yaitu keusangan. Usang dalam arti akan ditinggalkan oleh manusia secara institusi walau mungkin secara esensi akan tetap berlanjut. Pada saatnya, dalam percaturan kehidupan manusia masa depan tidak akan pernah lagi mengenal nama agama secara institusi. Artinya, agama-agama saat ini yang menjadi anutan akan tersisa sebagai sebuah cerita saja seperti halnya agama-agama kuno yang saat ini hanya tertinggal guratan sejarahnya saja.
Guncangan New Religious Movement (NRM) sebagai sebuah wacana memang sudah sejak lama mengakar di pergumulan pemikiran manusia modern. Sebagai akarnya bisa dilihat dari pernyataan Arrazi yang menolak konsep kenabian. Arrazi berpendapat bahwa, akal secara potensi sangat mampu membedakan antara yang baik dan buruk, serta pada taraf tertentu akal juga mempunyai kemampuan mengurai rahasia-rahasia ilahi. Seluruh manusia dianugerahkan pada standart yang sama, munculnya nabi pada suatu kelompok hanya memancing adanya fanatisme yang kemudian pada akhirnya akan terjadi jegal menjegal antar kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Keberadaan para nabi hanya membentuk institusi-institusi agama yang mengarah pada perpecahan. Bermula dari keberanian ini, gerakan-gerakan makar terhadap institusi agama bermunculan dan membentuk komonitas yang meminta satu kebebasan untuk menjumpai Tuhannya secara individu menurut cara dan kapasitas nalarnya masing-masing.
Arazi dengan pendapatnya di atas dianggap membahayakan sehingga kehidupannya juga diakhiri dengan pertumpahan darah. Sejumlah kejadian tragis akibat sikap ektrimis kaum agamawan tidak akan pernah membuat otak manusia berhenti untuk berfikir mencari kebenaran Tuhan, sehingga perbedaan dan keragaman akan terus bergulir hingga akhir masa. Arrazi, al-Hallaj serta sejumlah tokoh lainnya dengan pandangannya yang berbeda boleh mati di tiang gantungan, akan tetapi spiritnya dalam mencari kebenaran Tuhan akan terus mengalir deras pada generasi selanjutnya. Tindakan fisik yang anarkis tidak akan pernah merubah keadaan, hanya dengan pesan-pesan bijaksana dan argumentatif saja manusia itu akan tunduk, hal itu merupakan konsekwensi dari predikat manusia sebagai makhluk yang berakal.
Uraian di atas menggambarkan suatu keadaan yang cukup kritis yang menghendaki jalan alternatif untuk mendamaikan Tuhan dan manusia. Mendamaikan dalam arti menjadikan agama yang diturunkan oleh Tuhan benar-benar kembali sebagai jalan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya secara harmonis dan berimbang, tidak melulu penghambaan, akan tetapi juga sebagai media perdamaian diantara banyak perbedaan yang ada. Satu solusi sebagai salah satu tawaran adalah, sikap pluralis yang mesti ditumbuh-kembangkan dalam setiap agama yang ada. Pluralisme agama diharapkan juga tidak hanya sebatas idealitas tetapi bisa mampu mengakar sebagai bagian dari aktualitas konkret di tengah-tengah umat beragama. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung seberapa jauh suatu agama dalam mengembangkan daya kreatifnya dalam mengemas ajaran pluralisme ini sebagai upaya mendamaikan dunia, sekaligus juga pada sisi yang lain adalah mendamaikan kepentingan Tuhan dan manusia. Tawaran ini cukup layak untuk dipertimbangkan agar kemudian bisa mengentas posisi intitusi agama dari keusangan yang mengancam. Semoga…….[ijan
0 komentar:
Posting Komentar