Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

Minggu, 25 September 2011

SAATNYA MEMUTILASI MATEREALISME

Terjangan materealisme di era sekarang tidak hannya digandrungi oleh kalangan elit saja. Materealisme menjadi suatu gerakan baru dalam kehidupan masyarakat yang terus menggerus habis kesadaran religius. Ajaran agama yang semula menjadi salah satu penuntun bagi kehidupan manusia dalam menata dunia, saat ini hanya menjadi ritual formal yang hampa. Wasiat taqwa yang digemborkan dimana-mana lewat berbagai media tidak lain hanya bagian dari pergumulan dan penggemukan materealisme saja. Pada babak yang lebih mengerikan, agama menjadi kemasan paling menggiurkan dalam memoles tujuan-tujuan materealistik oleh pihak tertentu.

Tinjauan di atas bukan semata-mata bertolak dari kecemburuan semata, tetapi merupakan satu refleksi yang menghendaki agar setiap individu bisa menimbang dan menilai dari berbagai suguhan realitas yang terjadi. Berbagai even yang bernuansa relegi bisa saja menjadi ajang pengumpulan kekayaan oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan seringkali terdapat pungutan-pungutan yang tidak rasional untuk sejumlah kepentingan yang tidak jelas, sehingga kemudian yang mencuat ke permukaan adalah terciptanya wacana yang berkembang di masyarakat luas berupa komersialisasi pendidikan. Pada satu sisi dana memang menjadi syarat mutlak berjalannya suatu program pendidikan, selama kebutuhan dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan tentu tidak menjadi persoalan, akan tetapi yang banyak terjadi adalah penyelewengan serta kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan anak didik. Di berbagai sekolah atau lembaga pendidikan ternama seringkali terdapat sejumlah program-program yang sifatnya prestesius, namun tidak tepat sasaran. Efektifitas serta efisiensi kurang begitu dipedulikan, sehingga yang terjadi hanya berupa-berupa proyek-proyek tertentu yang sifatnya hanya mengejar rating atau popularitas dan kepentingan-kepentingan materi.

Bila melihat dan mencermati suguhan media baik cetak maupun elektronik kerap kali terdapat segmen yang menyuguhkan kehidupan hedon para publik figur yang membuat para penikmat media berdecak kagum dibuatnya. Selebritis, politisi serta para pengusaha menjadi figur yang seringkali mengisi ruang-ruang media dengan pola kehidupan yang serba mewah. Capaian-capaian materi menjadi ulasan paling menarik serta paling digandrungi oleh para penikmat media. Kontes kekayaan dengan lipatan serta tumpukan uang yang bertriliunan rupiah menghadirkan sejumlah orang yang lengkap dengan rankingnya dari sisi kekayaan materi. Suguhan ini sekilas bisa saja menstimulan agar setiap orang bisa bermimpi serta giat bekerja, namun ketika realiatas tersebut tidak diimbangi dengan keimanan dan kesadaran relegius akan berakibat pada pola kehidupan materealistik yang akut.

Realitas di atas tidak cukup hanya dikeluhkan saja, apalagi dengan hanya menyalahkan pihak-pihak lain. Media massa yang selama ini disinyalir menjadi penyubur pola kehidupan yang serba materi tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sejumlah sisi kehidupan yang lain juga perlu dicermati sebagai pola berfikir komprehensif untuk menghadirkan solusi yang tepat. Agama tentu menjadi sisi paling vital yang perlu dicermati dalam menyelesaiakan persoalan ini. Sejatinya persoalan materealisme sudah sejak dulu bergulir, di dalam al-Qur’an pola pandang kematerian dikisahkan pada kehidupan seorang Qorun. Maka secara prinsip agama Islam tentu sudah sejak kelahirannya bersentuhan dengan materealisme. Bahkan, pada penggalan kisah kelahiran Islam itu sendiri lahir di kota metropolitan yaitu Mekah sebagai pusat perekonomian kala itu.

Kelahiran Islam di tengah pusat perekonomian tentu mempunyai makna tersendiri yang perlu direfleksikan. Masyarakat Mekah waktu itu sebagian besar adalah saudagar, namun di tengah kedigdayaan materi yang melimpah telah melimbungkan masyarakat Mekah. Kebodohan semakin menjadi-jadi, ukuran kesuksesan selalu disandarkan pada capaian materi. Sebagai implikasinya yang nampak dalam kehidupan adalah pandangan yang tidak berimbang terhadap status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dianggap mampu mendatangkan keuntungan finasial yang lebih dibandingkan perempuan, sehingga sejumlah kasus penguburan anak perempuan oleh orang tuanya menjadi hal cukup lumrah waktu itu. Kasus ini walau tidak semata-mata karena tekanan dogma materealisme, namun paling tidak itu marupakan salah satu bias dari pola pandang materealisme yang menjangkiti masyarakat waktu itu.

Mengulas materealisme tentu juga sangat berkaitan dengan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Para pemimpin ini begitu sangat lemah ketika menghadapi kelihaian goadaan materi yang mengelilinginya. Suara dan janji para pemimpin ini untuk mensejahterakan rakayat hanya sebatas isapan jempol belaka. Hanya agama satu-satunya harapan yang mampu meneyelesaikan persolan ini. Sejumlah hal yang paling prinsip dalam agama perlu untuk kemudian dieja lalu kemudian menjadi wujud nyata dari prilaku sehari-hari. Salah satunya adalah ajaran keimanan kepada Tuhan. Iman kepada Tuhan (Allah) dalam konteks kajian agama merupakan salah satu hal yang cukup vital dan prinsip, ketika individu sudah kehilangan keimanannya maka secara tidak langsung status keagamaannya juga telah termutilasi. Namun kenyataannya keimanan yang mersauk pada diri setiap individu selalma ini masih sebatas keimanan pasif saja. Pasif dalam arti sebatas bentuk kepercayaan normatif yang tersimpan rapat dalam hati. Sementara prilaku belum bisa mewujudkannya.

Sebagai bentuk upaya dalam mengimbangi gempuran matarealisme adalah menempatkan keimanan kepada Tuhan sebagai satu-satunya prinsip hidup yang tidak boleh diduakan. Menduakan Tuhan sama dengan memutus kepercayaan kepada-Nya serta pada tahap yang sama menempatkan diri sebagai hamba-hamba yang pecundang. Jika ditarik dalam terminologi agama, orang yang sengaja menempatkan seluruh tujuan hidupanya pada materi adalah bagian dari prilaku syirik yang dosanya tidak terampuni. Penempatan ini tentu tidak berlebihan, karena sikap-sikap materelistik tidak hanya bernilai dosa pada pelakunya, tetapi jauh lebih dari itu telah merugikan lingkungan dan manusia di sekitarnya. Kini saatnya kita memutilasi Materealisme dan kembali pada Allah satu-satunya tujuan hidup. Mati kau materealisme hahahah...

0 komentar: