Salah satu hal yang paling ditakutkan oleh para pengusa dzalim adalah menigkatnya kesadaran intelektual di tengah-tengah rakyatnya. Kesadaran intelektual merupakssan kunci utama untuk sebuah perubahan. Apapun bentuk perubahan yang diinginkan, intlektualitas menjadi syarat tak tergantikan oleh sesuatu apapun. Namun wacana intelektualitas belum bisa digarap dengan sempurna, sehingga berbagai bentuk perubahan yang diinginkan belum bisa dicapai dengan baik. Sebagai bentuk nyata dari garapan intelektual yang selama ini terkesan mandul adalah laju dan arah pendidikan yang semata-mata berujung pada kemapanan materi saja, sementara garapan intelektual yang sejati belum sepenuhnya bisa berjalan. Adapun yang berlaku pada proses intelektual di sejumlah lembaga pendidikan masih terkesan transaksional-profan saja. Singkatnya, laju intelektualitas yang digarap di negeri ini belum bisa memberikan perubahan yang berarti pada tingkat kamaslahatan dan kenyamanan hidup berbangsa dan bertanah air.
Kemapanan intelektualitas tidak hanya bisa diukur dengan adanya gerakan massif para orang tua yang menyekolahkan anaknya pada suatu lembaga pendidikan tertentu. Begitu juga kemapanan yang tersebut juga tidak bisa dilihat dengan semakin menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang ada, akan tetapi kemapanan tersebut hanya bisa dilihat dari adanya semangat dan spirit yang mempunyai relevansi pada kemaslahatan bersama. Sejauh ini, realitas yang tersuguhkan masih sangat jauh dari harapan.
Bila melihat lebih dekat, kualitas intelektualitas di negeri ini masih banyak dihardik oleh nafsu yang menggiring pada pola pandang hedonistis-psikologis.
Kesemberautan yang terjadi pada bangsa ini adalah salah satu dampak dari kualitas intlektualitas yang hedonis-psikologis tadi. Korupsi, kasus suap, kesejahteraan yang tidak merata serta segudang persoalan bangsa ini merupakan indikasi dari menjamurnya hedonisme-psikologis tersebut. Indikasi tersebut bermula dari intelektualitas yang dibangun di atas pondasi keinginan dan kepuasan yang dangkal.
Wajah intelektualitas yang kusut di atas kemudian dijadikan lahan untuk mengafirmasi suatu rezim dzalim yang menghabisi seluruh hak-hak rakyat. Para intelektualnya dihardik untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan para penguasa. Pembenaran atas tindakan konyol para penguasa seakan menjadi lumrah di negeri ini. Jual beli hukum begitu cukup marak di tengah-tengah para ahli hukum, sehingga pada akhirnya keadilan menjadi barang langka, mungkin pada taraf tertentu bisa betul-betul punah dari negeri ini.
Sejuta persoalanpun melilit bangsa ini, belenggu yang bernama penghianatan terhadap amanah rakyat bergilri dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Tahun 1998 merupakan tahun tumbangnya rezim orde baru sekaligus juga awal babakan baru yang bernama reformasi. Sejuta harapan mulai mekar, tetapi lebih dari satu dasawarsa reformasi telah bergulir perkembangan bangsa ini semakin tidak karuan. Janji kemaslahatan untuk rakyat dari para aktifis reformasi seakan lenyap begitu saja, bahkan sebagian aktifis yang dulu begitu geram terhadap tindak dzalim rezim orde baru kini bisa duduk santai menjadi penikmat nyamannya kursi empuk pemerintahan.
Realita di atas jika tidak mau dikatakan sebagai indikasi dari kemunafikan, maka paling tidak bisa dikatakan sebagai suatu rezim yang penuh dengan sejuta alibi. Reformasi oleh sejumlah mantan pengusungnya dikatakan mampu menggapai sejumlah capaian positif. Salah satu alibi yang biasa didengungkan oleh para aktifis mantan penggagas reformasi adalah, membaiknya demokrasi di negeri ini. Sungguh capaian ini bukan perubahan yang monumental walau tidak bermaksud meniadakan, akan tetapi rasanya kurang pantas jika membaiknya demokrasi tersebut dijadikan suatu capaian. Padahal sejauh ini demokrasi itu hanya barupa sarana bukanlah tujuan yang sebenarnya. Karenanya capaian membaikanya demokrasi ini merupakan bagian pembodohan terhadap rakyat demi meredam kegeraman semata.
Kini para aktifis mulai bergejolak, sejumlah aksi digelar di sejumlah kota menolak kenaikan BBM. Mahasiswa seakan benar-benar menjadi corong suara rakyat. Aksi yang dilakukan pada intinya tentu mempunyai nilai yang positif, selain daripada itu hal tersebut sudah menjadi kewajiban mereka sebagai garda intelektual yang mampu berdialog lebih impressif dari sekadar orang awam. Sederhananya, rakyat betul-betul menginginkan mereka bisa memberikan konstribusi positif terhadap kehidupan nyata.
Sungguh suatu usaha mulia jika aksi yang ditunjukkan para mahasiswa itu adalah cerminan dari hati nurani rakyat. Tetapi jika kemudian aksi tersebut berupa aksi anarkis, penjarahan dan sejumlah aksi kekerasan lainnya tentu sangat berlawanan dengan niat suci mereka. Karenanya aksi unjuk rasa bukan aksi egoisme melainkan harus berpijar dari hati yang ikhlas demi suatu perubahan yang lebih baik.
Sekain dari pada itu, satu hal yang mungkin harus diwaspadai adalah, keterulangan sejarah para mantan aktifis reformasi seperti yang digambarkan di atas tidak boleh terwariskan kepada mereka yang sekarang rajin unjuk aksi menyuarakan nurani rakyat. Sebagai salah satu jawaban untuk sebuah benang kusut tersebut adalah, lembaga pendidikan dari setiap jenjangnya harus benar-benar terhindar dari intimidasi kepentingan kelompok tertentu. Lembaga pendidikan harus konsentrasi memupuk intlektualitas suci yang berimplikasi pada kemaslahatan bangsa, bukan pada sesuatu yang bernuansa hedonistis-psikologis.
Sebagai kelanjutan dari hal di atas adalah, setiap proses perubahan yang digandrungi oleh para aktifis harus bersandar pada kematangan intlektualitas serta hedonistis-spritual yang berbasis kebangsaan. Dari situlah akan terbangun tanggung jawab yang tidak semata-mata tanggung jawab duniawi tetapi mereka juga mempunyai keyakinan akan adanya konsekwensi di luar dunia ini. Dengan demikian kemaslahatan dan cita-cita bangsa ini akan secepatnya tercapai. Wallahu a’lam bisshowab…
0 komentar:
Posting Komentar