Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

Senin, 02 Juni 2008

FPI MEMBUAT BOROK LAGI “MANA MALU-MU?”

Suguhan berita pers saat ini banyak dipenuhi dengan tingkah umat kita yang masih belum juga dewasa. Bahkan untuk kali pertama aku membuka mataku di awal pagi 2 Juni 2008 kemarin, ada sebuah berita yang memalukan sekaligus memilukan bagi bangsa ini. Bagaimana tidak memalukan, sekelompok massa yang dituai oleh orang-orang tua (syeikh taman-tamanku meneyebut) berjenggot, bertindak brutal layak anak kecil tak tau malu. Kekerasan yang berupa penyerangan dari massa yang beratribut FPI (Front Pembela Islam) terhadap anggota Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) tersebut, menjadi head line dari setiap media pemberitaan di tanah air. Cukup menarik dan mempunyai daya jual luar biasa bagi publik (apalagi saat ini BBM sedang naik) jadi bisa dibuat kesempatan bagi para pelaku media untuk menambah omzet-nya. Satu pihak memang sangat menguntungkan, namun di sisi lain harga diriku sebagai bagian dari bangsa dan umat beragama turut terjual tak berharga.
Hatiku menangis setengah jengkel. Kali ini kembali Islam sebagai frame yang membungkus FPI akan mendapatkan tudingan-tudingan miring dari dunia Internasional. Aku menangis karena kedamaian, kerukunan serta kepercayan dunia internasional terhadap Islam yang dibangun oleh berjuta-juta umat muslim sedunia, dalam hitungan menit dibongkar paksa dari tubuh Islam itu sendiri. Menyedihkan bukan?!! Selanjutnya aku juga jengkel bagi mereka yang sengaja merongrong Islam dari dalam. Yang menambah aku tambah jengkel, konon gerakan ini katanya dituai oleh para Habaib yang nota benenya mempunyai pemahaman yang dalam terhadap Islam, tapi tindakannya tidak mencerminkan Islam. Selain dari pada , kelompok seperti ini malah menambah borok di tubuh umat Islam (meminjam bahasa Ulil).
Insiden kekerasan FPI terhadap AKKBB yang terjadi di Jakarta tepatnya di Monomen Nasional menuai banyak kecaman dari kalangan tokoh Nasional. Gus Dur menilainya sebagai sebuah penodaan terhadap pluralisme Pancasila (dikutip dari TV One). Ungkapan beliau cukup tepat, karena memang saat itu adalah hari lahirnya Pancasila sebagai pedoman bangsa ini. Bahkan ungkapan kecaman senada dengan beliau, juga datang dari tokoh Muhammadiyah dan NU. Semua tidak ada yang setuju dengan kekerasan, apapun jenis motifasinya, kekerasan tetap anarkis dan di mata Internasional dinilai sebagai tindakan kriminal.
Kalau boleh aku menilai tingkat kedalaman spritualitas keagamaan tokoh-tokoh FPI sebatas ujung kuku, dan belum bisa memaknai Islam sebagai sebuah agama. Penilaian ini tidak berlebihan dan sama sekali tidak bermaksud menggurui para pemimpin FPI. Hanya saja aku sebagai bagian dari muslim, ingin mengeskspresikan kejengkelenku secara bebas tapi yang jelas tidak anarkis. Mereka begitu sangat gampang melayangkan kekerasan sebagai sesuatu yang biasa. Nilai-nilai keislaman serta kemanusiaannya tidak sesubur semangat berantemnya yang dinilainya sebagai jihad. Mereka memandang Islam hanya ritual-ritual serta simbol-sombol sakral saja, namun mereka sama sekali melupakan sisi yang paling substansional dalam Islam. Sehingga kemudian segala yang nampak dan tidak selaras dengan ritual serta simbol sakral tadi, dinilai sebagai kafir yang boleh diperangi.
Pada titik di atas inilah bermula segala bentuk penyerangan yang terjadi di Monas. Melalui catatan harian ini, aku ingin sedikit menyumbangkan hasil diskusi batinku selama selang beberapa detik setelah mendengar serta melihat siaran kekerasan yang merindingkan bulu kudukku. Bagi umat muslim, hendaknya menjadikan Islam sebagai sebuah sistem dalam kehidupan ini. Selama ini yang terjadi atau yang dipahami oleh Habib Rizik beserta FPI-nya, menilai agama hanya sebatas subsistem saja dalam kehidupan dan belum menjadikan agama sebagai sebuah sistem. Makna subsistem disini, hanya berupa ritual serta simbol saja, atau konkritnya seperi ritual keseharian sholat, shoum, zakat dll. Sedangkan sistem adalah berupa iman yang berbentuk keyakinan akan adanya Tuhan sebagai dunia luar yang mempunyai otoritas akan keberadaan seluruh yang tercipta, belum pernah tersentuh oleh mereka. Dalam sistem keagamaan ini, terdapat ajaran yang menjunjung tinggi perbedaan, sehingga kesadaran akan adanya kepercayaan lain di luar diri masing-masing individu umat beragama, dinilai sebagai fenomena universal kemanusiaan yang lepas dari salah atau benar. Kemudian jika kita lihat pada tataran hukum kemanusiaan, hal yang demikian dinilai sebagai sesuatu yang syah-syah saja. Terakhir aku ingin menyelipkan salah satu ungkapan dari salah satu buku yang pernah aku baca, mungkin bisa dijadikan renungan kita bersama yang berbunyi sebagai berikut “ Tuhan sendiri tidak pernah ngotot untuk menjadikan manusia satu warna, lalu kenapa manusia yang sibuk untuk menjadikan semua manusia satu warna? ”

Buat bung Roland, aku ingin banyak belajar dari Anda. Mimpi dalam hidup anda atau hidup dalam mimpi anda segera taransfer ke duniaku yang gersang. Aku ingin hidupkan Al-Azhar dalam maduraku, sehingga aku tidak usah pergi jauh ke Mesir sana. Aku ingin dinamis searah dengan roda zaman yang semakin melaju ke depan. Masa kelamku dalam kejahilan ingin aku kubur secepatnya, pencerahan saat ini aku harapkan dapat hantarkan mimpi tidur panjangku pada kenyataan. Yuk kita semangat lagi belajarnya!!!!!!!!!!!
Thanks bung Roland atas desain blognya yang lumayan keren ini. Aku tunggu di pondok.

0 komentar: