Cukup sulit aku merepro apa yang aku lihat selama 15 hari di kota Gudeg. Catatan ini merupakan catatan tunda, sehingga banyak hal yang tidak bisa secara konkrit aku catat di catatan ini. Aku harus memungut ceceran-ceceran kilasan sejarah yang aku jejali selama separoh bulan suci di kota Jogja ini. Namun secara umum kota ini menurutku mempunyai dua perguruan tinggi yang cukup menarik untuk diurai, diselami, dijejali, dieksplorasi atau apa saja yang mumungkinkan dapat tergelar hikmah atau pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar dari kehidupan para pelajar di kota ini. Perguruan tinggi tersebut yang aku anggap sebagai perguruan tinggi menarik adalah UGM dan UIN. Keduanya adalah cerminan dari ratusan perguruan tinggi di kota Gudeg ini. Pernyataan ini bukan berarti mendiskriminasikan PT (Perguruan Tinggi) lainnya. Tapi hanya merupakan keterbatasan diriku dan sangat jauh dari motiv tindak profokatif.
Aku memulai tadarusku pada catatan sebelumnya dari UGM. Banyak romantisme gelora cinta yang melebur pada kehidupan kampus. Aku akui hal itu cukup asyik, karena memang sangat sinkron dengan kedirianku saat ini sebagai manusia yang menginjak kepekaan-kepekaan bualan hangatnya cinta. Panorama tersebut cukup untuk membangkitkan pesona cinta yang bermuara birahi. Tapi aku tidak kehilangan control, sehingga panorama tersebut tetaplah ada di luar dimensiku dan tidak bisa mengusik kejernihan hati dan otakku. Semuanya tetap mengalir, sejernih air mengalir mengikuti lekukan-lekukan tanah, namun tetap menuju lembah hikmah yang aku cari.
Setelah empat hari aku mentadarusi UGM, selanjutnya aku menyusuri sasaran menarik berikutnya yaitu, UIN. Kehidupan di UIN lebih akrab dengan jalan alam fikirku. Di sini aku banyak bersentuhan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang sama denganku. Mahasiswanya banyak berangkat dari pesantren, kebiasaan santri terurai lebih dinamis setelah melebur dengan kehidupan kota. Walau seluruh penghuni UIN ini tidak lagi memakai sarung seperti lazimnya santri tradisional, namun dapat aku baca mereka tetap menyisakan warna-warna santrinya lewat kata dan idealisme mereka.
Semarak keilmuan begitu sangat kental tumbuh berkembang di tengah-tengah para mahasiswa. Diskusi atau berbagai macam halaqotul ‘ilmi terlihat di pojok-pojok kampus. Terlihat cukup menarik, mencengangkan setiap mata yang melihat suasana tersebut. Pembicaraan para mahasiswanya tidak terlepas dengan konteks keintlektualan. Pemandangan ini satu sisi menghantarkan aku untuk mengacungkan jempol.
Lazimnya kehidupan kota yang menyuguhkan banyak tradisi dan budaya, mahasiswa juga menjadi imbas dari dampak kemajemukan budaya tersebut. Satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan anak muda yaitu, kehidupan pacaran. Tradisi ini walaupun di sebagian wilayah di negeri ini dianggap legal, namun tetap banyak menyisakan sayatan luka bagi pelakunya. Disadari atau tidak tradisi pacaran lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dampak positif yang ditimbulkannya. Betapa banyak pelaku pacaran yang kemudian harus berakhir dengan tragis. Ada yang diakhiri dengan lenyapnya virgin dari seorang wanita, kemudian ditinggalkan kering oleh pasangannya untuk mengejar buaian cinta lainnya.
Tradisi ini sekilas nampak indah, seindah instrument penghantar kedekatan dua sejoli yang sedang berproses pacaran. Ada kata seindah kata penyair tanpa pengakuan, ada hadiah tanpa kesejukan hati, ada rabaan romantis tanpa legalitas syar’i, semua terasa hambar bagai makanan tanpa garam yang tak mengenal rasa nyaman. Perjalanan proses pacaran ini terjadi dengan berbagai bentuk praktiknya. Seiring dengan majunya tekhnologi yang berkembang, proses ini terimplikasi lewat Short Message Service (SMS), Calling Phone, Chatting Room atau media apa saja yang memungkinkan terjalinnya cinta berbuih birahi. Tataran proses yang melewati media ini bisa dibilang masih wajar, dan kalau boleh aku bilang mereka pelaku pacaran pasif.
Selain media tekhnologi di atas juga tergelar media Natural yang sedikit menggelitik dan membuat bulu roma berdiri. Berdiri karena ngeri dan di lain sisi berdiri karena normal. Media penghantar ini berupa Malioboro, taman kota, kraton, taman kampus, Mall, cafe bahkan kosan sekalipun, atau beberapa tempat indah lainnya yang memungkinkan bisa menggulingkan diri dan menumpahkan luapan cinta. Pada tataran ini aku sebut sebagai para pelaku aktif.
Sebenarnya dua kalsifikasi di atas merupakan kesatuan dan mempunyai kerawanan yang sama serta berpotensi pada tindak zina. Kalau pada media Tekhnologi uraian cinta hanya lewat gulingan kata dan nada, pada media Natural sebagai kelanjutan dari yang pertama berupa gulingan badan dan sentuhan peka erotis yang dapat menghilangkan keseimbangan nilai kemanusiaan. Pada titik kilmaks inilah satu hal yang paling ditakutkan oleh siapa saja yang merasa menjadi manusia bermoral yaitu titik perzinahan. Apapun alasannya yang namanya pergumulan dua insan tanpa ikatan sakral keagamaan yang mencerminkan nilai kemanusiaan sekaligus pembeda antara manusia dan hewan, hubungan tersebut bernilai negative dan berdosa di sisi Tuhan.
Gejala di atas aku dapati di kehidupan anak-anak UIN Jogja, walau wacana ini sebatas hipotesa sementara, namun gejala tersebut tetaplah kenyataan yang tidak bisa aku hindarkan sebagai bagian dari olah tadarusku dalam mengkaji setiap suguhan hidup ini. Kegelisahan dan rasa simpati yang mengharuskan aku mencatat guncangan nilai kemanusiaan ini untuk diperbincangkan di kalangan para ahli dalam mengatur pola hidup para mahasiswa muslim dan muslimah dalam berintraksi. Untuk itu suguhan kontemplasi ini bukanlah mencerca UIN sebagai institusi pendidikan, bagiku UIN tetaplah perguruan tinggi Islam yang diharapkan darinya lahir pejuang-pejuang Islam yang siap hidup bersama Islam hingga di penghujung sejarah ini. Selamat berjuang sobat & buanglah clitoris oriented serta beralihlah pada konsekwensi semual sebagai Tholibul ‘Ilmi. [ijan08]
0 komentar:
Posting Komentar