Lepas paroh malam hari ke-19 Romadlan 1429 H, aku mencoba memunguti rentetan kesan pasca penyusuranku di kota Gudeg. Tidak terlalu lama keberadaanku di kota tersebut, tapi wajah kota dan berbagai macam corak warna kehidupannya dapat aku baca dengan baik, walau sesungguhnya masih merupakan rabaan pada kulit luarnya saja. Aku mencoba mentadarusi kota tersebut di sela lapar dan haus di perjalanan puasaku di bulan suci sebagai implementasi dari makna Ulil Albab yang difirmankan Allah dalam kitab suci-Nya. Sangat banyak pernak-pernik kehidupan yang diperlihatkan Allah di daerah Istemewa ini. Dari bangunan historisnya yang mengagumkan dan membuat otakku berfikir pada perjalanan bangsa ini dulu. Di lain sisi, kota ini juga menyuguhkan kebhinnekaan penghuninya.
Di sela penyusuranku di hari ke-2, aku sampai di jalan Malioboro. Sepanjang jalan tersebut dipenuhi oleh lalu lalang manusia, entah yang memakai alat transportasi atau mereka para pejalan kaki. Nampak kesibukan yang sulit aku pahami, yang jelas masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri. Shoping atau hanya sekadar menikmati pemandangan kota yang sibuk merupakan dua diantara sekian motivasi dari para pengunjung jalan ini. Jalan ini sangat pas bagi siapa saja dengan tujuan apapun, karena di sepanjang jalan ini semua kebutuhan tersedia. Bagi meraka yang ingin mengais rupiah dengan hanya menengadahkan tangan cukup berdiam saja di pintu-pintu masuk setiap toko atau supermarket dengan wajah memelas. Tidak sedikit orang yang seperti ini, kalau Anda berminat coba saja asal tidak malu pada diri Anda….!!! He….he…..
Malioboro merupakan ikon dari kota ini, dalam arti lain merupakan magnet Jogja yang menarik siapa saja untuk datang ke lokasi tersebut, termasuk juga diriku. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wajah-wajah kota lainnya. Kerawanan akan keamanan tetap menjadi menu peringatan yang tertempel lewat tulisan di fasilitas umum yang tersedia di kota ini. Misalnya di masjid Gedhe Kraton, masih terlihat beberapa peringatan tentang keamanan hak milik. Artinya potensi kriminal di kota ini masih perlu diwaspadai oleh para pengunjungnya. Sebagai bagian dari pengunjung kota ini, aku sedikit khawatir dengan keamanan diriku.
Realitas di atas sedikit membuat nuraniku berdialog dengan kejernihan otentitas nilai kemanusiaanku yang beriman. Dialogku dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana, “kenapa masalah keamanan tetap menjadi hal yang diwaspadai di tengah-tengah kota yang merupakan masih lingkungan terpelajar?”. Kota ini terdengar ke luar hingga sampai pada telingaku yang berada jauh di pulau terpencil di perairan Madura sebagai kota pelajar, tapi kenapa penghuninya harus dihantui oleh prilaku yang mencerminkan kebobrokan. Di benakku dulu sebelum kakiku menginjak kota ini tergambarkan suasana yang aman yang mencerminkan masyarakat madani terpelajar. Keamanan serta kriminal lainnya bukanlah sebuah masalah, jaminan keselamatan serta ketenangan menjadi nuansa kehidupan di kota ini. Begitulah rekaan awal diriku yang sama sekali berbeda dengan apa yang aku lihat saat itu.
Bersyukur selama penyusuranku di kota Gudeg ini aku belum bersentuhan dengan tindak kriminal konkrit fisik. Namun seperti pencekalan, memanfaatan kesempatan di saat keterhimpitanku masih terlihat walau tidak terlalu vulgar. Misalnya, mark up harga barang atau makanan di luar kewajaran selalu menjadi menu benturan tiap waktu bagi orang baru seperti aku. Awal aku menginjakkan kakiku di Jogja pada saat aku menyantap masakan soto Joga, dua porsi berharga Rp 25.000,-. Menurutku soto itu tidak jauh berbeda dengan soto buatan Pak Sahe di warung depan pondokku yang hanya seharga Rp. 4000,-.
Pengalaman di atas begitu terlihat kurang wajar atau juga bisa dibilang kurang ajar. Mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, tapi bagi diriku dengan keadaan ekonomi yang mepet hal itu menjadi buah pertanyaan yang perlu dipertanyakan, “kenapa?. Sejatinya aku tidak mempersoalkan kerugian finansial yang aku keluarkan. Tapi aku menangkap ada semacam keganjilan yang terencana dan sepertinya mewabah di kalangan masyarakat kita. Keganjilan menjadi nyata ketika pada suatu saat aku bersama temanku yang sudah lama berada di kota Gudeg ini makan pada menu yang sama dengan harga relatif wajar. Melalui pengalaman yang kedua ini, keganjilan itu benar-benar sebuah problem yang harus dikaji oleh diriku. Aku menilai keganjilan tersebut merupakan tindak kriminal yang bernilai pemerasan.
Diakui atau tidak fenomena yang aku temui tadi merupakan borok sosial yang perlu disembuhkan. Karena dari yang sederhana ini kemungkinan akan berdampak pada tingkat kriminal yang lebih besar. Banyak hal yang harus ditelusuri dari problem ini, dari sisi relegiutas, pendidikan sampai pada ekonomi. Tiga faktor ini menjadi titik kajian yang harus ditelusuri sebagai bentuk kuratif dari bobroknya moral tersebut.
Nampaknya wacana peras-memeras ini tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat bawah, tapi juga para pemimpin bangsa ini lewat praktik KKN yang mewabah. Konteksnya sama dengan problem sederhana tadi, hanya saja bentuk pemerasan yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini tidak dilakukan di warung kaki lima tapi di gedung ber-AC dan di atas kursi empuk. Langkah penyembuhannya jelas juga harus lewat tiga titik seperti yang tersebut di atas. Karena pada hakikatnya orang yang berprilaku demikian mengalami ketimpangan pada salah satu dari tiga titik kajian tadi.
Sebagai pesan bagi setiap insan yang mau berfikir dan mengiginkan bangsa ini keluar dari multikrisis agar mewaspadai dan menjauhi tindak pemerasan yang merugikan orang lain atau bahkan bangsa ini. Bagi para pemimpin bangsa yang sudah terlanjur, hubungi aku ya di 081805501428 tak bawa ke KPK biar tau rasa he….he……he…… [ijan08]
0 komentar:
Posting Komentar