Aku dirajam habis oleh teman-teman sekelas dalam persentasi paperku yang dinilai amburadul oleh banyak orang waktu itu. Komentar bemunculan bermacam-macam, mulai dari kritik sampai pada lontaran komentar anarkis yang mencemooh begitu kentara terdengar jelas di telingaku. Hari Kamis sore 29 Oktober 2009 di ruang kuliah 203 Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga menjadi saksi bisu kebobrokanku. Paper tentang Francis Bacon dan Rene Descartes yang dikorelasikan untuk mengkritik tradisi Keilmuan Islam dinilai kurang sinkron dan dangkal.
Aku terpojok, seakan disorong oleh banyak orang pada salah satu sudut di ring pergulatan intelektual. Walau masih mempertahankan wajah simpelku dalam performa, tetapi pada hakikatnya darah emosi melonjak menapaki titik paling menggemaskan. Gemas ingin memuntahkan kekesalan dengan berjingkra-jingkrak sambil mempelintir telinga mereka satu persatu. Kekesalan yang begitu sangat bergejolak itu tak mampu malabrak kesadaran etikaku. Sehingga raut muka dan nada suaraku tetap mengalun sahdu serta menebar sinyal-sinyal persaudaaan yang begitu erat.
Terus bergulir kritik dan komentar dari teman-temanku membabat habis hasil kajianku selama seminggu. Pengetahuan mereka seakan mengakar ke bumi dan menjulang ke langit. Begitu mudah mementahkan olahan masak buah pikirku. Sodoran wacana yang digagas olehku seakan menjadi bahan lelucon yang menggelikan. Sejarah dan akar epistemologi dari kedua tokoh yang menjadi kajian utamaku terlihat begitu renyah, kering-kerontang dan kropos. Ulasan panjang yang menghabiskan 18 halaman itu seakan hanya butiran-butiran pasir belaka tanpa adanya serpihan mutiara yang berharga.
Walau dalam posisi yang terpojok, aku tetap bergairah meladeni mereka dengan terus memberikan kalarifikasi walau hanya sebatas mencari celah untuk mengelak dan bertahan dalam kekalahan. Senyam-senyum dari teman-teman dengan raut mengecilkan kedigdayaanku sebagai manusia seakan menjadi siraman menghangatkan naluri dan hatiku untuk bangkit dari tidur lama dan kegelapan. Renaisanse yang digagas Bacon layaknya memang pantas dikobarkan dalam merevolusi diriku. Saatnya aku arus beranjak dari kegelapan menuju titik terang yang menghantarkan aku pada kedamaian.
Dosen pembimbing juga tak mau kalah memberikan komentar yang mencambuki habis kebobrokanku. Judul paper “Epistemologi Keilmuan Islam Transformatif, Studi atas Pemikiran Francis Bacon dan Rene Descartes dalam Menformulasikan Keilmuan Islam” menjadi judul pertama paperku yang mengajakku untuk lebih dalam menyelami lautan buku. Kebobrokanku saat itu walau tidak secara implisit menunjukkan otensitas kemampuanku, tepapi aku sadar bahwa untuk masa yang akan datang perlu keseriusan lebih intensif lagi dalam studiku. Aku yakin kemampuanku secara natural masih layak untuk diikut sertakan dalam studi di program magister ini, walau mungkin harus lebih ekstra dibandingkan teman-temanku yang lain.
Diakui hasil kajianku ini merupakan paper pertama yang dipersentasikan dalam studi tema-tema epistemologi pada semester ini di kelasku. Kekurangan serta berbagai macam kedangkalan tentunya menjadi hal yang tidak bisa dielakkan, mengingat belum ada contoh yang mendahului kajianku ini. Alasan ini walau bukan satu-satunya yang mejadikan hasil kajianku begitu sangat kering, tetapi paling tidak cukup untuk memberikan siraman sejuk (hiburan) bagi diriku. Sejatinya kendala serta satu-satunya yang menempatkan kajianku menjadi hambar karena tema yang aku angkat merupakan tema luas yang memerlukan ulasan panjang. Tema yang luas serta kemampuan intelektualku yang begitu minim semakin mengukuhkan kajian yang aku angkat tidak menemukan titik jelas (gamang).
Lepas dari semua itu, aku ingin mengentas diriku dari tudingan peremehan yang mungkin sempat tersirat di benak teman-teman atau dosen. Tudingan miring itu bisa berupa sangkaan negative yang menempatkan aku sebagai seorang pemalas yang tidak mau belajar. Tudingan ini tidak sepenuhnya benar, karena secara jelas aku sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik pada kajian ini. Usaha itu dimulai dengan pencarian bahan bacaan yang sedikit menguras tenaga dan materi. Beberapa buku memang aku beli langsung di ‘Shoping”, serta sebagian yang lain dari usaha pinjam ke teman yang tempat tinggalnya cukup jauh dari tempatku. Usaha tersebut di atas cukup membuktikan bahwa aku secara konkret telah serius dan antusias dalam mengerjakan tugas ini.
Merinci usaha serta keseriuasanku di atas memang tidak akan bisa menjadikan kajian yang aku angkat menjadi lebih baik. Tetapi dengan rincian tersebut persepsi miring itu tidak mengubur dengan serta merta usaha kerasku. Walau bagaimanapun hasil buruk dari kajianku ini adalah bagian pemahamanku yang secara pribadi menjadi pengetahuan. Penilaian keliru, kurang tepat atau mungkin penilaian salah terhadap kajianku merupakan bagian dari hasil usaha. Hasil usaha dalam tradisi keagamaan adalah tangga kedua setelah proses. Walau kevalidan hasil dari sebuah kerja adalah penting tetapi proses itu sendiri aku anggap bagian yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam kacamata agama, paling tidak dari proses dan apresiasiku terhadap tugas kuliah ini aku akan mendapat pahala dari Tuhan.
Akhirnya dari pengalaman yang berharga ini, aku mencoba meramu diriku lebih energik lagi dalam mengeksplorasi ilmu Tuhan yang sangat luas. Kesibukanku yang banyak bersinggungan dengan para santri serta pekerjaan-pekerjaan teknis di linkungan pendidikan, setidaknya menjadi nilai lebih dari sekian banyak kekurangan dan kebobrokanku dalam bidang ini. Melalui pengalaman tersebut, aku akan mencoba bangkit untuk lebih baik lagi. Bagi ustadz Dr. Alim Ruswantoro, M.Ag serta seluruh rekan-rekan kuliah, ucapan terima kasih yang mendalam bagi kalian atas pecutan dan sikap kooperatifnya bagi perkembangan intelektualku ke depan adalah hal yang tidak akan aku lupakan. Kajian telah merajamku dalam peluk mesra. Terima kasih teman, aku yakin tidak hanya aku yang duntungkan dari kejadian ini. I Love U Full….. [ijan]
0 komentar:
Posting Komentar