Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 23 Agustus 2010

MENDAMAIKAN TUHAN DAN MANUSIA

Agama secara normatif adalah seperangkat tawaran yang mengarahkan manusia menjadi semakin tahu terhadap penciptanya. Di sisi lain agama adalah jalan hidup yang menghantarkan pada kedamaian. Begitu sangat ideal makna dari sebuah agama, walau wajah agama secara riil sering kali mencumbui substansi normatif tersebut. Kondisi yang demikian sedikit membuat sekelompok orang berkecil harapan tehadap solusi-solusi yang ditawarkan oleh agama. Agama yang sejak awal sebagai media untuk membagi kedamaian diantara manusia, kini terdapat sejumlah kasus yang bermuatan konflik akibat kecemburuan yang berangkat atas nama agama. Lambat laun seiring dengan kesadran manusia agama akan menjadi cermin dari sejumlah kekerasan dan konflik yang membelah perdamaian dunia.

Kebencian, permusuhan bahkan mungkin perang adalah penuturan sejarah yang tidak bisa disisihkan begitu saja sebagai akibat dari wajah ekstrim dari agama. Kedamaian dan ketenangan akhirnya menjadi satu cita-cita yang tidak pernah kunjung terwujud. Semua itu mungkin diakibatkan dari paradigma keberagamaan yang beranjak dari pandangan teosentris, sehingga nilai-nilai kemanusiaan menjadi terabaikan. Agama seakan-akan untuk Tuhan atau dalam pandangan lain Tuhan-Tuhan yang ada itu mesti dibela walau darah menjadi taruhannya. Sungguh kondisi ini adalah bagian terburuk dari wajah Tuhan yang semestinya mengasihi dan menyayangi manusia berubah menjadi Tuhan-Tuhan yang bringas yang menyengsarakan manusia.

Sungguh Tuhan mungkin tidak akan pernah mau jika ditempatkan sebagai sumber kesenjangan dan konflik di dunia ini. Tuhan dengan segala kebesaran-Nya terdapat ruang yang cukup luas untuk mengelak dari berbagai tuduhan. Sejumlah kasus pertumpahan darah atas nama besar-Nya nampaknya tidak cukup untuk menempatkan Tuhan pada ruang pesakitan. Lihat saja beberapa orang yang menjadi korban dari Tuhan-Tuhan yang berwajah bringas. Salah satu tokoh sufi dalam dunia Islam misalnya Al-Hallaj dengan argumennya “Ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan) dinilai menyalahi syariat dan dianggap sesat. Sebagai hukuman baginya beliau dijatuhi hukuman mati di tiang salib, dipotong kedua tangan dan kakinya lalu kemudian mayatnya dibakar serta dibuang di sungai tigris. Semua kronologi memalukan ini adalah bagian kecil dari Tuhan-Tuhan yang meminta dibela, sehingga darah dan jiwa manusia menjadi tidak berharga. Sejumlah tokoh lainnya seperti Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi juga diakhiri hayatnya dengan hukuman mati dengan tuduhan yang sama yaitu menyimpang dari syari’at.

Pembantaian atau pembunuhan sadis di atas adalah serangkaian peristiwa yang menodai kesucian agama dan Tuhan itu sendiri. Kreatifitas dan ruang berfikir manusia seakan disekat dan dibatasi oleh keangkuhan Tuhan sebagai sang Maha Besar. Sejatinya Tuhan dalam arti Tuhan yang sejati tentu tidak akan pernah bringas, kebesaran-Nya akan mewadahi seluruh kreatifitas manusia dalam mencari kebenaran-Nya. Bila dilihat lebih detail, Tuhan akan tersenyum melihat perbedaan itu sebagai konsekwensi kebebasan yang dianugerahkan kepada manusia, hanya saja manusia sajalah yang mendahului Tuhan dalam bersikap, seakan sekelompok orang ekstrimis ini berlomba menjadi pahlawan di hadapan Tuhan (syahid).

Ekslusivitas adalah corak dari pemikiran yang sempit yang menghadirkan cinta kepada Tuhan yang buta. Cinta buta dalam arti tidak mengindahkan kelompok lain sebagai sebuah usaha yang juga berpotensi menghadirkan cinta kepada Tuhan. Jalan atau pilihan orang lain dianggap keliru dan perlu dibasmi dari muka bumi. Cinta seperti inilah dikategorikan oleh novelis Inggris A.N. Wilson sebagai cinta yang mengakari segala kejahatan. Secara tegas dia menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan sebagai sumber dari segala kejahatan. Pernyataan tegas ini diikuti sejumlah tragedi tragis seperti yang tertuturkan di sebelumnya, sehingga pada tahap pernyataan akhir bisa dinyatakan bahwa tidak ada suatu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas segala perang, tirani dan penindasan.

Gelaran sejarah panjang agama yang kelam di atas apakah kemudian akan mengubur agama, ataukah manusia akan gerah dan memilih alternatif lain? Semua kemungkinan serba terbuka, seluas alam pikiran manusia dan kebenaran Tuhan yang ada. Kondisi ini tentu sedikit mengkhawatirkan institusi agama yang ada, Islam, Kristen dan Yahudi sebagai agama Ibrahim dengan predikat agama samawi juga akan mengalami kondisi yang sama yaitu keusangan. Usang dalam arti akan ditinggalkan oleh manusia secara institusi walau mungkin secara esensi akan tetap berlanjut. Pada saatnya, dalam percaturan kehidupan manusia masa depan tidak akan pernah lagi mengenal nama agama secara institusi. Artinya, agama-agama saat ini yang menjadi anutan akan tersisa sebagai sebuah cerita saja seperti halnya agama-agama kuno yang saat ini hanya tertinggal guratan sejarahnya saja.

Guncangan New Religious Movement (NRM) sebagai sebuah wacana memang sudah sejak lama mengakar di pergumulan pemikiran manusia modern. Sebagai akarnya bisa dilihat dari pernyataan Arrazi yang menolak konsep kenabian. Arrazi berpendapat bahwa, akal secara potensi sangat mampu membedakan antara yang baik dan buruk, serta pada taraf tertentu akal juga mempunyai kemampuan mengurai rahasia-rahasia ilahi. Seluruh manusia dianugerahkan pada standart yang sama, munculnya nabi pada suatu kelompok hanya memancing adanya fanatisme yang kemudian pada akhirnya akan terjadi jegal menjegal antar kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Keberadaan para nabi hanya membentuk institusi-institusi agama yang mengarah pada perpecahan. Bermula dari keberanian ini, gerakan-gerakan makar terhadap institusi agama bermunculan dan membentuk komonitas yang meminta satu kebebasan untuk menjumpai Tuhannya secara individu menurut cara dan kapasitas nalarnya masing-masing.

Arazi dengan pendapatnya di atas dianggap membahayakan sehingga kehidupannya juga diakhiri dengan pertumpahan darah. Sejumlah kejadian tragis akibat sikap ektrimis kaum agamawan tidak akan pernah membuat otak manusia berhenti untuk berfikir mencari kebenaran Tuhan, sehingga perbedaan dan keragaman akan terus bergulir hingga akhir masa. Arrazi, al-Hallaj serta sejumlah tokoh lainnya dengan pandangannya yang berbeda boleh mati di tiang gantungan, akan tetapi spiritnya dalam mencari kebenaran Tuhan akan terus mengalir deras pada generasi selanjutnya. Tindakan fisik yang anarkis tidak akan pernah merubah keadaan, hanya dengan pesan-pesan bijaksana dan argumentatif saja manusia itu akan tunduk, hal itu merupakan konsekwensi dari predikat manusia sebagai makhluk yang berakal.

Uraian di atas menggambarkan suatu keadaan yang cukup kritis yang menghendaki jalan alternatif untuk mendamaikan Tuhan dan manusia. Mendamaikan dalam arti menjadikan agama yang diturunkan oleh Tuhan benar-benar kembali sebagai jalan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya secara harmonis dan berimbang, tidak melulu penghambaan, akan tetapi juga sebagai media perdamaian diantara banyak perbedaan yang ada. Satu solusi sebagai salah satu tawaran adalah, sikap pluralis yang mesti ditumbuh-kembangkan dalam setiap agama yang ada. Pluralisme agama diharapkan juga tidak hanya sebatas idealitas tetapi bisa mampu mengakar sebagai bagian dari aktualitas konkret di tengah-tengah umat beragama. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung seberapa jauh suatu agama dalam mengembangkan daya kreatifnya dalam mengemas ajaran pluralisme ini sebagai upaya mendamaikan dunia, sekaligus juga pada sisi yang lain adalah mendamaikan kepentingan Tuhan dan manusia. Tawaran ini cukup layak untuk dipertimbangkan agar kemudian bisa mengentas posisi intitusi agama dari keusangan yang mengancam. Semoga…….[ijan

Selasa, 13 Juli 2010

MEMBANGUN PERADABAN ISLAM BERKEMAJUAN DAN MANDIRI

Refleksi Perkuliahan Akhir Semester II


A. Prolog

Satu pengalaman yang cukup mengesankan ketika penulis bisa mengikuti perkuliahan di Program Pasca Sarjana fakultas Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), setelah sebelumnya penulis hanya bisa bergulat dalam dinamika kehidupan pesantren yang begitu sangat kental dengan tekanan dogma-dogma agama saja. Pengalaman selama kurang lebih dua semester telah memberikan nuansa baru dalam pandangan hidup penulis, mulai dari cara merespon gejala yang mengemuka dalam gumulan pemikiran sampai pada sesuatu yang bersifat teknis sekalipun. Ada semacam wawasan yang lebih humanis, penulis tidak lagi dengan serta merta mendudukkan gejala-gejala keagamaan dan sosial pada teks agama saja, namun dengan suka rela penulis sedikit memberikan ruang ekspresi yang cukup luas terhadap nalar sebagai pendamping dari teks agama sebagai rujukan.

Tentu pencapaian di atas tergolong cukup signifikan setelah sebelumnya penulis dipandang kurang harmonis dalam mendamaikan persoalan sosial keagamaan dengan teks agama. Misalnya pada sejumlah persoalan yang diklaim oleh banyak orang sebagai produk Barat, seperti isu pluralisme, libaralisme, humanisme, HAM serta sejumlah isu lain yang cukup mengemuka yang berkelindan dengan ajaran-ajaran agama. Sejumlah isu tersebut dipandang sebagai produk Barat yang tidak layak untuk dirujuk sebagai fundamen dari gerak laju kehidupan sosial umat Islam. Pandangan miring terhadap Barat menjadi satu hantu yang terus menakut-nakuti dialektika pemikiran penulis dalam menjalankan keislaman penulis selama ini. Namun seiring dengan keikutsertaan penulis di sejumlah perkuliahan dan perkenalan yang cukup dekat dengan sejumlah wacana pemikiran yang berkembang, akhirnya perjalanan tersebut bisa membawa penulis pada satu gelaran kemerdekaan dalam menentukan sikap keagamaan dalam menjalani kehidupan riil.

Sejak dari awal Al-Qur’an dan Sunah merupakan rujukan paling fundamental yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika perkembangan umat Islam. Pencapaian umat Islam lewat peninggalan-peninggalan sejarah yang tergolong cukup memukau merupakan satu catatan bahwa Islam mempunyai potensi menjadi kaum yang terbaik di muka bumi ini. Sebagai contoh, pencapaian umat Islam pada dinasti Umayyah di Andalusia adalah satu cerminan bagaimana umat muslim menapaki titi klimaks dari peradaban yang tersuguhkan saat itu. Pada saat itu tercipta kesadaran yang begitu total tehadap pengetahuan dengan ditandai adanya hubungan yang sangat erat antar umara’, ulama’ dan aghniya’, sehingga kemudian bisa dikatakan Andalusia adalah cerminan dari bangkitnya ilmu pengetahuan dan filsafat.[1] Sejumlah pencapaian lainnya memang sempat membelalakkan dunia, terutama bagi dunia Barat saat itu. Namun saat ini, pencapaian yang gemilang tersebut hanya terlipat di lembaran masa lalu,dan yang tersisa adalah ketertinggalan umat Islam di berbagai lini kehidupan.

Kesadaran ini tentunya diharapkan bisa memantik potensi yang sempat tergulung arus romantisasi sejarah yang cukup lama menjangkiti umat Islam. Bergembira ria terhadap torehan sejarah kemeriahan umat Islam masa lalu walau tidak sampai dikatakan salah, tetapi memang perlu diluruskan pada pewarisan spiritnya. Tidak hanya berkisar pada apresiasi pasif, tetapi yang diharapkan adalah, apresiasi aktif yang ditandai dengan semangat yang kuat untuk terus maju dan maju. Pencapaian gemilang di masa lalu bukanlah potret statis dari Islam yang sebenarnya. Islam diharapkan terus mampu menyodorkan pencapian-pencapaian yang lain, tentu pencapian tersebut tidak harus sama dengan masa lalunya. Islam saat ini mempunyai potensi dan tantangan yang berbeda dengan apa yang dahadapi Islam masa lalu. Karenanya, Islam yang benar itu selalu mampu memberikan pencapaian yang gemilang bagi umat dan zamannya. Jika saat ini Islam yang mengemuka berupa representasi dari Islam masa lalu maka keberadaan Islam pada saat ini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Pada pandangan yang lain, jika seperti yang tergambarkan tersebut sebelumnya, Islam bisa dikatakan berada pada titik kejenuhan yang cukup akut. Jenuh dalam artian Islam tidak akan mampu lagi membuat dunia ini damai, sehingga pada saat yang sama Islam tidak lagi bisa dikatakan sebagai agama rahmatan lil’alamin.

Suguhan yang mengemuka dengan ketertinggalan Islam di berbagai sektor kehidupan secara tidak langsung mejadi satu tanggung jawab yang harus dipikul oleh masing-masing individu muslim. Ketertinggalan tersebut bukan satu isapan jempol, tapi bsa dilihat pada beberapa Negara yang sangat tegantung dengan produk-produk Barat, mulai dari sistem ekonomi sampai pada ideologi politiknya begitu sangat tergantung pada dunia Barat. Kembali pada persoalan kadar tanggung jawab yang ditempakan pada masing-masing idividu tentu cukup beragam, tegantung seberapa besar potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tetapi secara umum, setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk membawa Islam pada kesempurnaan. Kalangan akademik atau cendikiawan muslim mempunyai tanggung jawab yang relative lebih besar dibandingkan kalangan awam.

Mengembalikan Islam menemukan jati dirinya tidak semudah yang diperkirakan, terdapat gejala pemetaan mengenai konsep idealitas Islam sebagai sebuah tuntunan. Jika dilihat dari gerakan yang mengemuka ke ranah publik, pandangan mengenai Islam sebagai seperangkat peradaban terbagi menjadi dua bagian, ada kelompok modernis yang cenderung membatasi Islam dengan batasan-batasan kesalehan pribadi, iman dan ritual. Kelompok kedua adalah, kelompok tradisionalis yang menggambarkan Islam sebagai suatu jalan hidup yang sempurna.[2] Pembagian ini nampak cukup berbeda dengan pendapat lain yang biasa dikenal, tadisionalis pada pada pandangan lain biasa dilekatkan sebagai kelompok yang bersikukuh pada ranah penghambaan saja, sedangkan kelompok modernis biasa dikenal sebagai keompok yang sedikit membuka diri pada sesuatu yang bersifat kemanusiaan. Telepas dari itu, kedua kelompok tersebut secara konkret masih bekerja pada ruang yang relative sempit dan terbatas, sehingga Islam dalam konteks sebagai frame dari peradaban yang maju masih menjadi proyek yang terus harus menjadi bagian yang terpikirkan oleh setiap individu.

Dari gambaran singkat di atas bisa dipetakan bahwa muslim saat ini yang berkelindan dengan kemunduran yang tidak disadari bermula dari romantisme sejarah yang berkepanjangan, kemudian akhirnya membuahkan polarisasi pandangan, ada yang hanya berkisar pada pandangan tradisonal dan modern yang merepresentasikan dari keterbatasan keduanya. Sehingga cita-cita untuk membagun Islam sebagai peradaban yang unggul tidak kunjung tergapai. Keberadaan inilah yang kemudian menjadikan umat muslim sejagat raya ini harus menyadari bahwa dibalik gemerlapnya dunia nyata ini terdapat seperangkat proyek besar yang cukup mendesak dan perlu penyelesaian secepatnya, agar cita-cita luhur menciptakan peradaban yang unggul dan mandiri bisa terealisasi. Secara garis besar rumusan masalah dari tulisan ini adalah, bagaiamana membangun peradaban Islam yang berkemajuan serta mampu menjamin kedamaian bagi umat dan dunia secara umum.

Mengamini dari proyek besar di atas, tentu dalam hal ini kalangan akademik menjadi garda depan sebagai pengemban amanah tersebut. Setidaknya dua potongan gambaran kecil dari pandangan umat muslim secara umum yang tersebut diatas adalah satu modal dalam merangkai cita-cita membangun peradaban yang utama. Melalui refleksi ringan gelaran perkuliahan di akhir semester ini, penulis mencoba mengkonstruksi Islam sebagai sebuah agama sekaligus juga sebagai frame dari sebuah peradaban yang maju. Pandangan-pandangan yang akan mengemuka dalam tulisan ini berupa tijauan filosofis mengenai dinamika Islam dalam konteks kekinian, pada sisi yang lain tulisan ini mengupayakan adanya bangunan wacana yang mampu mendobrak kejumudan dan menghantarkan Islam pada tingkat peradaban yang membanggakan. Tentu menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan adanya kritik ataupun apresiasi terhadap beberapa perkuliahan yang sempat penulis ikuti selama kurun waktu enam bulan yang lalu. Maksud dari refleksi ini tidak lain hanya gambaran kecil dari apa yang dapat dicerna penulis lewat perkuliahan yang disuguhkan oleh kampus. Pada dimensi pribadi, hal ini merupakan konsekwensi dari sebuah pilihan yang mewajibkan penulis harus mampu menjadi bagian akademisi yang aktif dan dinamis dari sisi intlektual, emosional serta spiritual.

B. Warisan Sejarah Islam

Islam kini dengan keadaannya yang bisa dibilang terpuruk seperti yang digambarkan pada uraian di atas memang tidak mudah untuk mengembalikannya pada kondisi yang semestinya. Kondisi Islam yang ideal adalah representasi dari satu peradaban yang maju. Memproyeksikan Islam pada tataran yang ideal nampaknya memang tidak bisa lepas dari kajian mengenai masa lalu. Mengurai masa lalu bukan berarti memupuk Islam saat ini kembali pada kondisi Islam di masa lalu, akan tetapi masa lalu atau sejarah merupakan starting poin dalam mengurai kondisi terdalam dari yang tergelar saat ini. Penuturan sejarah adalah fakta yang sudah jelas, sedangkan masa depan adalah gudang ketidakpastian.[3] Maka cukup tepat jika dalam memetakan keberadaan Islam masa depan yang sarat dengan pertanyaan-pertanyan yang tidak pasti tersebut, meniscayakan masa lalu sebagai penghantar pada kesempurnaan pandangan.

Sejarah tidak saja penuturan peristiwa-peristiwa tetapi terdapat di dalamnya seperangkat nilai yang menjanggkiti individu ataupun kelompok masyarakat yang kemudian membentuk seperangkat kebudayaan. Berawal dari inilah kemudian akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai manusia, pada saat yang lain kondisi ini kemudian melahirkan spektrum keilmuwan baru seperti filsafat ataupun beberapa aliran-aliran yang terdapat dalam agama.[4] Pada ranah nilai-nilai itulah sejarah dipandang cukup diperlukan untuk dilibatkan dalam mega proyek pengembalian Islam pada dimensinya.

Sejatinya pembacaan sejarah itu diperlukan dalam mengurai dimensi-dimensi yang berkaitan dengan persoalan saat ini. Politik, ekonomi dan kebebasan adalah beberapa gejala yang cukup mengemuka di era modern saat ini. Islam dalam catatan sejarah juga mempunyai khazanah yang sangat berkaiatan dengan beberapa hal tersebut. Gagasan yang bermunculan dari Islam tergolong cukup maju dibandingkan gagasan di luar Islam saat itu, bahkan mungkin untuk ukuran zaman modern dapat dikategorikan masih sangat layak untuk dirujuk kembali. Misalnya pada persoalan HAM, tatanan politik, ekonomi, pularalisme dan pemerintahan Rasulullah memberikan contoh konkret lewat nota kesepahaman Piagam Madinah. Adapun inti dari isi Piagam Madinah adalah seperangkat aturan politik yang diberlakukan oleh Rasulullah dengan memperhatikan pluralitas di lingkungan Madinah yang dipadati oleh berbagai kelompok, suku dan agama. Aturan tersebut menyepakati adanya kebebasan beribadah, hubungan antar kelompok, nuansa nasionalisme serta ada tatanan ekonomi yang berpijak pada keadilan sosial.[5] Sungguh deskripsi tersebut adalah satu contoh kepribadian Islam yang tercermin dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah tersebut.

Catatan sejarah tersebut semestinya menjadi rujukan bagi setiap muslim agar lebih terbuka dan ramah terhadap berbagai perbedaan. Merujuk pada Sunah tentu bukan sesutau yang keluar dari koridor Islam, maka sangat tidak layak jika kemudian konsep pluralisme dilebelkan hanya sebagai produk Barat, karena pada hakikatnya spirit yang dibawa di dalam pluralisme tersebut sama sekali tidak berseberangan dengan ajaran Sunah yang dicontohkan secara konret oleh Rasulullah. Menyepakati sejarah sebagai media untuk memahami masa kini dan merumuskan masa depan berarti secara tidak langsung juga menyepakati apa yang semestinya dirujuk dan diadopsi dari peninggalan masa lalu tersebut. Jika pada uraian di atas terdapat contoh konkret dari Nabi, maka keniscayaan kedua dari penuturan sejarah adalah Al-Qur’an. Penyebutan Al-Qur’an setelah sunah bukan berarti terejerambab pada persoalan hirarki, akan tetapi hanya bagian dari retorika penghantar pada pemahamanan yang lebih sederhana, mengingat sunah lebih bersifat praktis sedangkan Al-Qur’an lebih banyak berupa pandangan-pandangan universal mengenai kehidupan ini.

Al-Qur’an ditempatkan sebagai warisan dari sejarah adalah keniscayaan. Penempatan ini bukan bermaksud merendahkan Al-Qu’an sebagai kitab suci, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengurai kesadaran kemanusiaan pada tataran penghormatan yang proporsional terhadap korpus Islam tersebut. Al-Qur’an adalah bagian dari ledakan sejarah yang berhasil mengubah pola pandang kemanusiaan, karena apa yang tergelar dalam Al-Qur’an lewat ayat-ayat dan 114 surahnya mengandung momen psikologis yang berupa seruan moral dan religious yang mengarahkan pada penyusunan tata kemasyarakatan yang aktual. Dimensi tekanan yang termuat dalam ranah relegius berupa ajaran monotheisme, sedangkan pada ranah kemanusiaan adalah moral serta keadilan sosial.[6]

Nampaknya semangat dari spirit Al-Qur’an yang universal tersebut belum sepenuhnya dirangkul sebagai satu ajaran yang integral. Umat muslim secara umum cenderung hanya menyentuh bagian-bagian kecilnya saja, sehingga pengamalan keagamaan yang mengemuka tentu sangat terbatas. Hal tersebut sangat terkait dengan apa yang mereka pahami mengenai warisan sejarah ini. Ada kalanya dimensi kepentingan politik atau kelompok tertentu sering kali mendominasi pola pandang pada suatu kelompok. Secara umum terbelahnya pemahaman umat muslim mengenai warisan sejarah bisa dibedakan menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama disebutkan sebagai kelompok moderat yang mencerminkan dari pola pandang lebih progresif, reformis yang berorientasi pada penanggulangan tantangan modernitas. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok puritan yang diidentikkan oleh banyak pemikir sebagai kelompok ektrimis, radikal, fanatik, jahidis yang bercirikan adanya sikap intoleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai satu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.[7]

Tanpa memihak pada sis manapun, terbelahnya Islam menjadi kelompok moderat dan puritan adalah satu ketertinggalan yang semestinya tidak berlaku dalam Islam. Kedua-duanya sama-sama mempunyai tujuan dalam mengembalikan Islam pada dimensi idealnya. Keterbatsan dan kelebihan adalah keniscayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut. Namun kelompok puritan yang cenderung ektrimis nampaknya sedikit membekukan teks Al-Qur’an sebagai teks langit saja yang berkelindan pada taraf penghambaan saja. Al-Quran dalam legislasinya mempunyai dimensi ganda sebagai teks langit serta pada sisi yang lain sebagai teks bumi.[8] Maksud dari penyebutan teks bumi ini adalah, Al-Qur’an diharapkan mampu dimaksimalkan sebagai media penghantar antara apa yang difirmankan Allah terahadap apa yang dibutuhkan oleh manusia. Sejatinya pendapat ini sangat sejalan dengan pendapat yang menyatakan Al-Qur’an sebagai ajaran religious dan moral.

Gejala yang nampak, Islam yang mengatasnamakan kelompok kembali pada Al-Qur’an dan Sunah di sejumlah media banyak digambarkan sebagai Islam yang mengajarkan kekerasan. Kekerasan itu banyak dipicu dari sikap intoleran terhadap pluralitas yang melingkupi Islam itu sendiri. Bom bunuh diri serta sejumlah aksi teror lainnya cukup untuk menggambarkan pola pembacaan yang arogan tanpa mendialogkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang sejatinya merupakan salah satu bagian paling inti dalam Al-Qur’an.

Memahami Al-Qur’an secara komprehensip dengan melibatkan dialog antara dimensi kemanusiaan memang sebuah keniscayaan untuk mewujudkan sikap positif dalam menilai problem-problem aktual di gelaran zaman. Sebenarnya tidak terlalu sulit dalam mewujudkan pembacaan komprehensip tersebut, mungkin yang paling sederhana adalah melihat Al-Qur’an dan Nabi secara bersamaan dan tidak terpisah-pisah. Al-Qur’an diibaratkan sebagai regulasi dimensi ketuhanan sedangkan Nabi diibaratkan sebagai pembawa regulasi tesebut dengan kemampuan penterjemahan yang sangat gemilang dengan melibatkan dimensi kemanusiaan melalui seting sosial-politik yang kemudian merujuk pada etika sebagai pelengkap dari semua dialog tersebut.[9] Konsep ini cukup sederhana yan sejatinya mungkin bisa melepaskan Islam dari belahan dua kelompok moderat dan puritan. Secara konkret mengenai pembacaan AL-Qur’an dan Nabi bisa dibaca melalui catatan sejarah yang cukup melimpah, disitu terdapat contoh-contoh konkret bagaiamana ajaran-ajaran Al-Qur’an berhasil diimplemantasiakan oleh Nabi tanpa mencederai nuansa kemajemukan di sekitarnya.

Secara implisit Al-Quran dan Sunah merupakan warisan sejarah yang sangat mumpuni untuk melihat dan memetakan Islam ke depan. Keduanya adalah kenisacayaan untuk dilibatkan sebagai rujukan yang tidak tergantikan, memahami sajarah panjang Islam dengan menemukan inti sejarah tersebut melalui ajaran atau spirit dalam Al-Qur’an dan Sunah serta melakukan dialog yang proporsional dengan realita merupakan salah satu jalan dalam membangun Islam yang berkemajuan dengan pencapaian peradaban yang tinggi.



C. Tradisi Keilmuan Islam

Kaum intlektual secara implisit adalah kelompok yang mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada kelompok awam dalam rangka pembangunan peradaban Islam yang maju. Melihat tradisi yang melekat pada kaum intlektual tentu merupakan keniscayaan mengingat sebagian besar pencapaian peradaban itu sangat erat kaitannya dengan apa yang ada dalam tradisi kaum intelektual. Secara umum, golongan kaum intelektual jika dilihat dari perannya terbagi menjadi dua bagian. Pertama, golongan intlektual teoritis, merupakan kelompok intlektual yang berada pada dunia ide. Mereka adalah konseptor-konseptor yang terus punya pemikiran penyempurnaan terhadap dunia konkret.

Sedangakan yang kedua adalah intlektual praksis, mereka adalah orang-orang yang bergerak pada tataran dunia konkret dengan tugas melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan.[10] Kedua kelompok ini secara besamaan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam memajukan Islam kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian setidaknya kaum intlektual Islam diharapakan juga tidak hanya condong pada ranah gagasan dan ide, akan tetapi juga diharapakan dari mereka terdapat sekelompok orang dengan gigih menjadi pekerja keras di lapangan. Inilah satu kondisi integrasi yang kokoh antara gagasan dan aksi yang berjalan secara berimbang.

Islam dengan tradisi intlektualnya memberikan warna yang cukup beragam terhadap Islam itu sendiri. Ruang yang melingkupi Islam itu sendiri menjadikan wajah Islam tidak hanya sebagai sebuah ajaran akan tetapi memang sudah tereduksi dalam berbagai dimensi, kerenanya keragaman wajah Islam di dunia yang sudah global ini merupakan kepastian. Beragam kepentingan merasuk dalam agama sehingga kemudian memang terdapat kesembrautan yang kemudian melengkapi suburnya keremangan antara yang profane dan yang sakral. Dengan kondisi yang seperti itu mestinya tradisi intlektual Islam mampu sedikit menyingkap keremangan tersebut, salah satu solusi yang mungkin mampu menjamah keremangan antara yang sacral dan profane (din wa afkar addiniyah) adalah pendekatan filsafat keilmuan agama. Setidaknya lewat pendekatan filsafat dengan tiga penekanannya yaitu, pertama pencarian ide-ide dasar, kedua pendalaman persoalan-persoalan fundamental serta yang ketiga frame work intlektual freedom yang merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan pandangan dengan titik tekanan pada sikap toleran di dalamnya.[11]

Pendekatan filsafat yang ditawarkan di atas cukup untuk dijadikan pijakan dalam mengurai keremangan antara din dan afkar addiniyah, walau mungkin secara konkret mengenai konsep tersebut masih belum terdapat petunjuk teknisnya. Akan tetapi tawaran tersebut adalah proses untuk mengatasi keresahan yang menjangkiti beberapa kelompok ektrimis yang sangat takut dengan gejolak dunia luar tehadap keberadaan agama. Kondisi ini adalah dampak dari keremangan antara yang profan dan yang sakral.

Batasan agama dan ilmu bila ditelusuri memang terdapat pemisah yang cukup jauh. Ilmu relatif lebih terbuka sedangkan agama adalah sebaliknya. Nalar dalam agama cenderung defensive terhadap pemahaman-pemahaman baru. Walau demikian keduanya memungkinkan adanya titik temu, ilmu pengetahuan membantu memberikan kemampuan logis dan kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan sedangkan agama memberikan kesadaran agar ilmu itu tetap bersifat manusiawi. Integrasi keduanya bisa dilakukan namun otonomi tetap layak untuk bersanding pada keduanya, hal tersebut dimaksudkan sebagai kekuatan khas yang melekat pada keduanya.[12]

Cukup jelas bahwa agama dan ilmu dua kekuatan yang tidak boleh saling menikam. Keduanya setali mata uang yang mesti berdampingan dan bukan untuk dibenturkan. Maka jika kemudian tedapat kemajuan dalam ilmu pengetahuan, agama sangat tidak layak untuk menolaknya, tetapi yang semestinya adalah agama mengarahkan dan mengapresiasi dengan posisitif agar kemudian tercipta suatu peradaban yang unggul.



D. Epilog

Sebagai akhir dari rangkaian refleksi perkuliahan ini, maka catatan yang mungkin bisa penulis utarakan mengenai hubungan konsentrasi pilihan penulis dengan peradaban Islam yang perlu dibangun seperti yang diimpikan penulis sebelumnya, setidaknya perkuliahan tersebut didesain sebagai berikut :

Arah perkuliahan semestinya membidik mahasiswa lebih kreatif dengan penyuguhan isu-isu aktual, terutama pada materi-materi yang bernunasa sejarah. Selama ini yang terjadi hanya penuturan sejarah yang mati dengan penyebutan nama, lokasi dan waktu peristiwa-peristiwa saja. Disitu tidak terdapat adanya nilai-nilai serta semangat zaman yang bisa diadopsi dalam merespon gejala-gejala kekinian. Tentu hal yang seperti ini menjadikan perkuliahan terkesan lesu dan menjenuhkan.

Mengarahkan mahasiswa sebagai agamawan dan cendikiawan secara utuh. Harapan ini walau mungkin terlampau sempurna namun itulah yang semestinya bisa tercipta dalam suatu perkuliahan. Dalam hal ini memang sudah ada beberapa materi yang mampu memantik para mahasiswa berfikir mandiri, kritis dan kreatif. Misalnya pada mata kuliah Filsafat Islam yang nampak lebih serius dengan tekanan-tekanan aktual mengenai persoalan dalam tubuh Islam itu sendiri mengenai konsep, budaya, dogma agama serta hubunggannya dengan dunia luar Islam. Tentu ini perlu dilanjutkan dengan disertai wacana yang terus dinamis. Penulis dalam materi ini sangat puas karena bisa melebarkan wawasan sekaligus memberikan kesadaran akan perlunya peningkatan keilmuan secara terus menerus. Jika kondisi yang tercipta maka persoalan peradaban Islam yang gemilang akan berada dalam genggaman.

Penyuguhan perkuliahan dengan memunculkan wacana dan isu-isu aktual lewat fakta sejarah adalah keniscayaan. Berpulang pada Qur’an dan hadits serta metodologi dan pendekatan yang tepat merupakan langkah kedua setelah penangkapan warisan sejarah. Dua hal inilah salah satu dari sekian tawaran yang memungkinkan terciptanya peradaban Islam yang unggul dan mandiri.



DAFTAR PUSTAKA



Abdullah ,Amin, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA Press,2003

Abidin, Zainal (ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005

Ali, A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali, 1987

El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2005

Fauzi ,Ihsan Ali (ed), Demi Toleransi Demi Pularisme, Jakarta: Paramadina, 2007

Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009

Maryam, Siti (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Zaman Kalsik Hingga Modern, Yogyakarta: SPI Adab SUKA, 2003

Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka 1984

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual,Bandung: Pustaka, 1985

Sardar, Ziauddin,Masa depan Islam,terj. Rahman Astuti, Bandung: Pustaka, 1987






[1] Siti Maryam (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Zaman Kalsik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab SUKA, 2003), hlm. 114

[2] Ziauddin Sardar,Masa depan Islam,terj. Rahman Astuti (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 63

[3] Ibid, hlm. 1

[4] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 21

[5] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994). Hlm. 80-81.

[6] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka 1984), hlm. 14

[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,(Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 29

[8] Dikemukakan Zuhairi Misrawi dalam sebuah artikelnya yan berjudul Wawasan baru Islam: Kado Peikiran untuk Mas Dawam. Bagian artikel sebagai kado ulang tahun Dawam Raharjo yang ke-65, lebih jelasnya lihat Demi Toleransi Demi Pularisme, (Jakarta: Paramadina, 2007) hlm.403

[9] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 15

[10] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 11

[11] Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: SUKA Press,2003), hlm. 4-11

[12] Bambang Sugiharto, “Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi” dalam Zainal Abidin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 41-47

Selasa, 06 Juli 2010

POLITIK SEBAGAI PELUANG ATAUKAH ANCAMAN BAGI MUHAMMADIYAH?*

Kemiskinan, kebodohan, penindasan dan ketertinggalan adalah sederet gejala mengkhawatirkan yang menghantarkan suatu kelompok masyarakat atau bangsa berada pada titik terhina. Terhina dalam arti bangsa tersebut akan tereleminasi dari dinamika kehidupan Internasional jika beberapa gejala tersebut menjangkiti suatu bangsa. Walau mungkin tidak sampai pada titik terhina, maka bangsa tersebut paling tidak, akan sangat mudah diarahkan atau dikontrol oleh bangsa-bangsa lain. Disitulah kemerdekaan menjadi keniscayaan yang harus direngkuh oleh setiap bangsa, merdeka dalam arti tergelarnya kebebasan yang menghendaki setiap individu mampu menentukan sikap dan kreasinya sebagai manusia seutuhnya.

Gambaran mengkhawatirkan akibat gejala yang mengemuka tersebut diatas tentu akan menjadi suatu kegalauan yang mugkin dirasakan oleh setiap kelompok masyarakat. Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan sudah sejak lama menyadari hal tersebut. Peran Muhammadiyah dalam gerakan pencerahannya telah memberikan konstribusi yang cukup signifikan dalam mengentas bangsa ini dari penindasan, mulai dari penindasan kaum penjajah hingga kemudian akhirnya mampu mengisi menyemarakkan zaman kemerdekaan. Pergerakan Muhammadiyah yang bernuansa progresif adalah representasi dari sebuah organisasi keagamaan yang menghendaki kemajuan. Maju dari berbagai sisi, pendidikan, ekonomi dan budaya.

Seperangkat cita-cita luhur Muhammadiyah lewat pemikiran Ahmad Dahlan dalam menghantarkan Islam sebagai agama berkemajuan tentu sangat terkait dengan gerakan-gerakan pembaharuan di dunia Internasional. Misalnya saja dalam perjalanan studi KH. Ahmad Dahlan yang bersentuhan erat dengan beberapa pemikir dunia ketika itu. Waktu itu KH. Ahmad Dahlan sudah sangat akrab dengan pemikiran beberapa tokoh diantaranya, Muhammad Abduh , Jamaluddi Al-Afghani, Rasid Ridha, Muhammad Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Sejumlah tokoh tersebut telah banyak memberikan inspirasi terhadapa KH. Ahmad Dahlan dalam pemahaman keagamaan dan pergerakan Muhammadiyah di tanah air. Begitu cukup segar apa yang dibawa oleh Ahmad Dahlan waktu itu, sehingga cukup untuk menggerakkan bangsa ini dari kebodohan, kemiskinan dan penjajajahan.

Waktu terus bergulir, tanpa terasa saat ini usia Muhammadiyah sebagai pergerakan dan organisasi Islam memasuki abad ke-2. Artinya, sudah seratus tahun Muhammadiyah memainkan perannya di jagat nusantara dalam memajukan bangsa ini. Penjajahan sudah terlewati, persoalan bangsa semakin kompleks tidak hanya terhenti pada persoalan kemiskinan, kebodohan ataupun penjajahan. Sejumlah persoalan baru mulai muncul di seputar gerak lintas Muhammadiyah, salah satunya misalnya, maraknya gerakan makar para elit politik terhadap bangsa yang sudah lepas dari penjajahan. Para elit politik mulai doyan mengahbisi uang Negara (korupsi) untuk kepentingan pribadi atau kelompok, gejala ini kemudian cukup membuat resah bangsa ini.

Gejala baru di atas tentu kurang mengemuka pada masa Muhammadiyah di tangan KH. Ahmad Dahlan. Persoalan yang tergolong baru ini tentu harus menjadi bagian yang mesti direspon oleh Muhammadiyah sebagai bagian dar gerakan pencerahan di negeri ini. Jika KH. Ahmad Dahlan mampu mengubah pemahaman keagamaan warga Muhammadiyah dari prilaku serong ke paham keagamaan yang murni berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah, maka saat ini sprit tersebut perlu dianjutkan dengan problem dan nuansa yang berebeda. Pada masa KH. Ahmad Dahlan yang mengemuka adalah dangkalnya ketauhidan bangsa dengan marakanya prilaku Tahayyul, Bid’ah dan Churafat (TBC) dapat diselesaikan dengan dakwah keagamaan dari masjid-ke masjid. Saat ini perilaku tersebut walau tidak sepenuhnya hilang, tapi bisa dikatakan dakwah Muhammadiyah dalam memurnikan ajaran Islam menemui titik keberhasilannya.

Beranjak pada persoalan yang melilit bangsa ini, yaitu gejala korupsi berjamaah di kalangan elit politik merupakan problem yang cukup kritis untuk direspon. Muhammadiyah sebagai ormas yang menginginkan pencerahan dan pengentasan dari berbagai penindasan menjadi harapan terakhir untuk memberikan solusi terhadap persoalan ini. Gerakan dakwah Muhammadiyah perlu diarahkan pada penyelesaian isu ini, tentu mengenai cara penyampaiannya sangat berbeda dengan dakwah penyelesaian TBC yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dahulu.

Nuansa serta problem yang mengemuka di atas memang jauh berbeda dengan problem pada masa awal Muhammadiyah muncul. Dakwah dari masjid ke masjid denga ayat-ayat tentu tidak relevan lagi diterapkan di tengah-tengah tantangan dan isu tersebut di atas. Muhammadiyah butuh strategi lagi untuk mengurai dan menyelesaikan persoalan tersebut. Jika melihat pada gejala yang mengemuka, dosa-dosa korupsi ini marak terjadi di lingkungan pemerintahan dan dunia perpolitikan. Melihat gejala tersebut,maka sangat mungkin Muhammadiyah masuk pada pusaran politik sebagai media penghantar misi sucinya dalam memberantas korupsi di lingkungan elit bangsa ini.
Di sisi lain, ada stigma yang cukup mengakar di kalangan elit Muhammadiyah yang menempatkan politik sebagai segmen terburuk dari sederet media dakwah dalam menyampaikan kebenaran. Maka tidak mustahil ketika banyak warga Muhammadiyah yang memandang buruk terhadap politik, politik terkesan korup dan jorok. Sungguh satu pandangan yang perlu dirubah demi pemberantasan korupsi yang akut. Kalau boleh disadari secara mendalam, politik sejatinya adalah media membangun bangsa yang cukup strategis. Berawal dari politik inilah wajah suatu bangsa bisa ditentukan apakah menapaki martabat yang tinggi atau malah sebaliknya.

Jika yang tersuguhkan adalah fakta yang menunjukkan politik itu cenderung korup, hal itu hanyalah sisi lain dari dunia perpolitikan. Pada sisi yang berbeda dunia perpolitikan sungguh media dakwah yang cukup subur dalam membangun negeri ini. Politik bukan satu hal harus ditakuti, Muhammadiyah perlu melakukan teroboson yang cukup terbilang baru dan berani seperti halnya apa yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan yang berkfrontasi dengan pandangan umum waktu itu. Walau Muhammadiyah tidak secara total mengalihkan gerakannya pada dunia politik, akan tetapi politik tetaplah satu wadah media dakwah yang jitu dalam mewujudkan politik yang bersih dari tindak korupsi. Jika Muhamadiyah mampu memaksimalkan media politik ini sebagai penghantar misi pemberantasan korupsi, maka Muhamamadiyah benar-benar mampu melanjutkan misi KH. Ahmad Dahlan dalam menghantarkan bangsa ini pada puncak peradaban yang terlepas dari tindak asusila apapun temasuk gejala korupsi ini.

Tentu apapun alasannya dalam mendiskreditkan dunia politik sebagai bingkai dari jalur pembawa petaka moral adalah pandangan yang tidak benar. Dunia politik tetaplah suci, sesuci misinya dalam membangun bangsa yang maju dan bermartabat. Memilih politik sebagai media dalam membangun bangsa tentu adalah salah satu jawaban terhadap kejumudan yang menghinggapi bangsa ini. Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa ini jangan sampai termakan wacana untuk menjauh dari politik. Politik tanpa peran dari dunia ormas akan terasa sangat nakal yang sering menggagahi bangsanya sendiri. Jika sekiranya Muhammadiyah belum berani masuk pada tataran politik paktis, tapi setidaknya Muhamamdiyah tidak perlu terlalu takut dengan politik. Politik perlu digauli, dicumbui dan dan digeluti agar nantinya warna perpolitikan bangsa ini akan semakin menunjukkan perpolitikan yang bersih, dewasa dan bermartabat. Semoga saja Muhammadiyah berani dan tidak takut lagi..!!! [ijan2010]

*Refleksi Muktamar Muhamadiyah ke-46 di Yogyakarta

Kamis, 25 Maret 2010

MENEMUKAN MUTIARA CINTA*

Pengantar
Menjadi sangat hangat ketika cinta menjadi suatu perbincangan. Jika boleh dikatakan, cinta merupakan magnet terhebat yang mampu menyeret siapa saja untuk mendekat padanya tanpa memandang perbedaan suku, ras dan agama. Artinya, cinta tanpa disadari adalah hal yang melekat secara natural pada diri manusia. Untuk itulah, persoalan cinta tetap merupakan persoalan yang cukup sensitif dan aktual untuk dibicarakan kapan dan dimana saja.

Cinta memang mempunyai banyak dimensi. Para kaum spiritual mengkorelaiskan cinta dengan bergumulnya kepasrahan bersama sang Maha Pencita. Para filsuf melekatkan cinta sebagai sebuah media penghantar pada sebuah kebenaran. Demikian cukup plural dimensi cinta tersebut, namun yang menjadi titik persoalan pada perbincangan cinta yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah, cinta yang biasa menjadi konsumsi kaum muda-mudi pra nikah.

Setiap yang merasakan muda jika mau jujur pasti berjumpa dengan persoalan cinta. Realita banyak menyuguhkan, begitu banyak persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh cinta. Jika merujuk pada cerita-cerita fiktif, begitu cukup banyak tokoh fiktif dalam pesoalan cinta. Sebut saja, Qois dan Laila di Timur Tengah, Romeo dan Juliet di Barat,mereka adalah tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sebagai orang-orang yang mabuk asmara lalu kemudian berujung dengan kondisi semi gila. Adapun yang lebih aktual bisa dilihat pada KCB-nya Habiburrahman El-Sirazi, disitu terdapat gambaran kepanikan, kekecewaan dan kebahagiaan yang diakibatkan oleh cinta. Dengan demikian, persolan cinta tidak terhenti hanya pada suka atau tidak suka, akan tetapi ada sisi-sisi lain yang perlu mendapat eksplorasi lebih jauh.

Salah satu hal yang cukup representatif untuk menjadi titik perbincangan pada persolan ini adalah, ketika cinta itu hinggap pada setiap hati muda-mudi di negeri ini. Distulah kemudian banyak persoalan yang sering terungkap ke permukaan, diantaranya banyak muda-mudi yang belum mampu memaknai cinta yang sebenarnya. Sering kali persoalan birahi lebih dominan daripada kesucian cinta itu sendiri. Sehingga banyak persoalan yang muncul setelahnya. Sebagai akibat yang cukup vatal adalah, adanya kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak-pihak tertentu. Secara konkret banyak ditemui di pojok-pojok negeri ini perempuan-perempuan terlantar bersama anaknya tanpa pertanggung jawaban dari pasangannya. Hal ini salah satu bukti adanya ketimpangan interpretasi terhadap cinta.

Ketimpangan yang demikian tentunya adalah bagian dari tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab yang perlu digagas adalah, adanya semacam pengarahan atau pendidikan cinta di kalangan anak muda. Karena jika dilirik lebih dekat, kasus-kasus asusila yang tersuguhkan pada tatanan sosial tesebut merupakan akibat minimnya pengetahuan mereka terhadap agungnya cinta. Salah satu cara untuk mengajarkan pendidikan cinta kepada mereka adalah kembali pada tatanan dan tuntunan agama.

Tulisan ini akan menghadirkan seperangkat tuntunan (guide) untuk kaum muda-mudi muslim dalam menyelami samudera cinta pada perjumpaan mutiara cinta. Secara konkret, tulisan ini akan memaparkan bagaimana semestinya seorang pemuda atau pemudi muslim dalam membangun cinta yang dapat membawa kehidupan pada kedamaian dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak. Selanjutnya adalah suatu harapan agar pemuda atau pemudi bisa lebih menghargai cinta sebagai anugerah terindah dari Allah SWT.

Menuju Mutiara Cinta
Sebagai muslim, mengembalikan pada ajaran Islam adalah keniscayaan. Islam sebagai agama yang sangat manusiawi (Relegion of Humanity) memberikan keluasan kreatifitas kepada setiap umatnya, termasuk di dalamnya dalam hal cinta. Islam tidak pernah menyalahkan seorang pria menyukai seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi regulasi pemanfaatan anugerah Allah yang berupa cinta tersebut terdapat dalam ajaran Islam. Salah satu bentuk ajaran Islam dalam hal bercinta adalah menjadikan cinta sebagai sarana untuk menggapai dunia sekaligus kebahagiaan akhirat.

Secara hirarki, ada tahapan-tahapan yang memperbolehkan sepasang pria wanita untuk saling “mengenal”. Proses itu dihalalkan kalau seandainya memang terdapat keseriusan untuk menuju jenjang pernikahan sebagai sarana pendidikan cinta yang legal dalam syariah Islam. Adapun tahapannya yang biasa dikenal dalam regulasi pendidikan cinta dalam Islam adalah : proses ta’aruf, nadhr, khitbah dan sebagai finalnya adalah nikah. Inilah proses yang harus dijalani sepasang kekasih jika memang cinta telah menghinngapinya.

Satu hal yang cukup penting sebelum akhirnya benar-benar menapaki jenjang regulasi tadi adalah, kewajiban setiap individu untuk mengetahui profil-profil ideal yang akan bisa membawa hidup pada kesenangan dunia dan kesenangan akhirat. Jika merujuk pada Hadist Nabi ada empat kreteria pasangan yang ideal diantaranya adalah, kecantikan, agama, harta dan nasabnya. Walaupun secara literal hadits ini dialamatkan kepada seorang laki-laki, tetapi secara substansi perempuan juga punya hak untuk menggunakan kreteria tersebut.

Empat kereteria yang disarankan oleh Nabi merupakan seperangkat pertimbangan yang setidaknya bisa dijadkan patokan oleh pemuda atau pemudi muslim sebelum akhirnya masuk pada jenjang pernikahan. Empat kreteria itu menjadi penting untuk diperhatikan agar sebuah pernikahan (pendidikan cinta) bisa mencapai cita-cita universal kehidupan. Cita-cita universal dalam Islam itu berupa keridlaan Allah yang berupa firdaus-Nya kelak di akhirat. Namun, empat keteria itu adalah kondisi sempurna (perfect) yang cukup sulit ditemukan dalam kehidupan riil. Lalu bagaimana seharusnya?
Diakui, memang cukup sulit menemukan pasangan sempurna seperti profil yang disarankan Nabi. Berikut penulis mencoba menyeret persolan ini pada tataran praktisnya. Sejatinya, tujuan dari sebuah bangunan cinta adalah membentuk generasi penerus yang lebih baik. Jika merujuk pada tujuan ini maka yang perlu disiapkan adalah pasangan yang mampu meramu penerus masa depan yang handal. Meminjam istilah K. Idris dalam buku pesan-pesan untuk para santrinya ada empat kreteria seorang wanita untuk dinikahi. Empat kreteria itu adalah; Sholehah linafsiha, Ro’iyah fi Baiti Zaujiha, Murobbiyah li auladiha, Qoidah Liqoumiha. Inilah seperangkat rujukan bagi seorang laki-laki untuk membangun cinta.

Jika memahami lebih dalam dari empat kreteria yang disarankan di atas, maka yang tergambar adalah seorang calon ibu rumah tangga yang mapan secara spiritual dan intlektual. Sholehah linafsiha bisa diartikan sebagai seorang wanita yang taat pada agamanya. Roi’iyah fi Baiti Zaujiha berarti seoang wanita yang mampu memenij lingkungan rumah tangga, sehingga tercipta kondisi yang membangun terbentuknya rumah tangga yang harmonis. Morobbiyah li awladiha adalah cerminan seorang ibu yang cakap dalam mendidik anaknya sebagai generasi pelanjut. Ibu adalah manusia pertama yang dikenal oleh seorang anak, maka keberadaan ibu begitu sangat signifikan di tengah-tengah anaknya, untuk itula profil seorang yang cakap secara intlektual adalah modal utama dalam mebimbing anak menadi generasi yang unggul. Kemudian sebagai yang terakhir dari empat kreteria tadi adalah, Qoidah Liqoumiha yang berarti seorang ibu itu juga dituntut untuk mampu berperan di tengah-tengah kaumnya (wanita) di lingkungan ia hidup. Artinya seorang wanita itu juga punya kesempatan untuk beperan dalam pembangunan di lingkungannya,khususnya di kalangan kaumnya sendiri.
Demikian cukup jelas empat kreteria itu sangat praktis sebagai seperangakt pijakan bagi laki-laki muslim dalam membangun cinta. Tentunya tidak adil rasanya jika kemudian hanya seorang laki-laki yang boleh mempunyai profil mengenai pasangan hidup. Para wanita sebenanrnya juga mempunyai profil, secara garis besar ada dua profil laki-laki yang mungkin bisa dipertimbangkan oelh seorang wanita. Pertama Al-Qowi yang berarti seorang pria yang diidamkan oleh wanita itu adalah seorang pria yang kuat. Kuat dalam arti yang luas, kuat secara financial,fisik, spiritual, intlektual dan lain sebagainya. Memang seorang laki diperankan sebagai seorang penaggung jawab dalam rumah tangga. Bagaiman mungkin laju pertumbuhan rumah tangga bisa stabil kalau seorang kepala rumah tangganya loyo, untuk itulah pria yang akuat adalah suatu idaman seorang wanita. Profil yang kedua adalah, Al-amien yang berarti seorang laki-laki selain kuat juga harus yang terpercaya. Banyak kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki, hal itu mengindikasikan seorang laki-laki cenderung menyeleweng. Untuk itulah seorang laki-laki terpercaya adalah profil laki-laki idaman bagi seorang perempuan.

Dengan melihat profil-profil yang disuguhkan di atas, rasanya pemuda-pemudi muslim akan lebih memaknai cinta sebagai sebuah anugerah Allah yang berorientasi pada keridlaannya. Cinta tidak sekadar gumulan nafsu tetapi cinta itu merupakan kesucian dan keindahan hidup yang perlu dijaga. Jika pofil-profil tersebut menjadi panduan dalam mebangun cinta, maka disitulah sebenarnya mutiara cinta itu.

Kesimpulan
Ulasan singkat di atas cukup untuk menggambarkan bagaiman cinta itu adalah satu kmponen hidup yang mempunyai peran besar dalam laju kehidupan manusia. Sehingga cinta tidak boleh diabaikan sebagai puncak klimaks yang hanya bernuansa keduniaan belaka, tetapi cinta adalah sarana penunjang kehidupan dunia yang dinamis dan kebahagian akhirat. Untuk memakmurkan dan mensucikan cinta dari berbagai amukan birahi hayawaniyah, manusia perlu pijakan dalam membangun cinta, adapun pijakan tersebut adalah agama dan ilmu (intlektualitas). Berpijak pada agama dan ilmu inilah akan ditemukan mutiara cinta yang akan semakin menggemerlapkan cinta. Cinta… cinta……..he,,,hehe….he…he….

*) Tulisan ini diadaptasi dari diskusi SMS Andria’s Happy

Jumat, 19 Maret 2010

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDUN

A. Pengantar
Terlalu naïf jika ada sekelompok manusia yang mengabaikan sejarah. Sejarah merupakan elemen penghantar pada pemahaman keadaan masa kini. Keberadaanya merupakan hal yang sangat penting dan signifikan. Tanpa sejarah, masa kini merupakan belantara gelap yang sulit untuk dilewati. Apapun perkembangan yang terjadi di dunia kekinian mempunyai keterkaitan erat dengan masa lalu. Mendampingkan sejarah dalam ruang multi dimensi dalam kehidupan adalah keniscayaan sebagai upaya mematangkan langkah laju peradaban dalam menapaki puncaknya.

Bila boleh dikaitkan dengan dunia keilmuan, sejarah menempati posisi yang cukup strategis. Dikatakan bahwa, sejarah merupakan ibu dari ilmu pengetahuan (mother of knowledge) . Posisi sejarah yang cukup medasar dalam ilmu pengetahuan semakin mengukuhkan bahwa sejarah bukanlah hal yang hanya sekadar berkutat pada penuturan nama, tahun dan tempat suatu kejadian. Terpenting dari sekadar penuturan normatif tersebut adalah, analisa dari setiap kejadian yang diikuti dengan kesadaran filosofis guna menguak nilai-nilai pelajaran yang bisa diangkat ke ruang yang lebih luas. Artinya, nilai-nilai yang berhasil diangkat dari keterasingan masa lalu bisa diimplikasikan pada kebutuhan publik saat ini. Sehingga pada taraf tertentu terbentuklah semacam teori-teori baru (pengetahuan) dalam rangka menyelesaikan persoalan yang melilit kehidupan manusia.

Sebagai penuntun untuk mencapai kesadaran akan urgensnya sejarah bisa dilihat dari makna sejnnarah itu sendiri dari sudut pandang para sejarawan. Makna sejarah dalam persepsi para sejarawan paling tidak mempunyai dua arti. Pertama, sejarah merupakan serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman manusia. Kedua, sejarah merupakan fakta-fakta masa lalu yang sengaja dianalisa dan dijabarkan . Maksud dari dijabarkan disini adalah sebuah usaha pembangunan konteks sebuah peistiwa untuk ditemukan nilai dan ajaran yang bisa ditransformansikan pada dunia kekinian. Dalam analisa tersebut dengan sengaja juga dibangun analisa-analisa seorang sejarawan tentang apa yang dia temukan dalam studi kesejarahan dan fakta riil ruang pergaulan sejarawan itu sendiri dalam rangka mengambarkan gagasan sejarah yang terdapat dalam bukti sejarah yang dia temukan .

Pergumulan hasil pengamatan seorang sejarawan dengan alam fikirnya sendiri menjadikan sejarah mempunyai tiga tipikal yang saling berhubungan. Pada mulanya sejarah ditempatkan hanya sebagai ulasan peristiwa-peristiwa masa lampau lalu kemudian dikaitkan dengan nuansa kekinian, biasanya model ini disebut dengan tipe naqli. Dapat diartikan tipe model ini kisaran tekanannya berupa telaah instan penuturan tanpa mengedepankan analisa-analisa yang mengakar, karenanya tipenya ini disebut dengan tipe naqli yang berarti hanya memindahkan. Menapaki tangga berikutnya, sejarah diidentikkan dengan pengetahuan tentang hukum-hukun yang menguasai kehidupan masa lampau, yang diperoleh dari analisa-analisa secara rasional atas berbagai macam peristiwa, tipe ini disebut dengan sejarah rasional (tarikh aqli). Dikatakan aqli karena kisaran tekanannya lebih mengutamakan rasio sebagai pisau irisnya. Pada tipe yag terakhir atau yang ketiga sejarah ditempatkan sebagai falsafah. Pada tipe ini kisaran tekanannya disandarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat . Transisi antara satu periode dengan periode lain dimungkinkan ada semacam titik nilai yang berharga yang berupa pola pandang (falsafah), entah faktanya semakin manapaki klimak atau mungkin malah sebaliknya anti-klimaks. Persoalan perubahan-perubahan yang cukup erat dengan word view tersebut yang kemudian mengidentifikasikan model sejarah ini sebagai sejarah tipe falsafah.

Antara satu tipe dengan tipe yang lainnya seyogyanya adalah kesatuan yang utuh tanpa harus mencerai beraikan. Keutuhannya adalah menghendaki pemahaman sejarah yang holistik, sehingga dari pemahaman yang utuh tersebut akan tercipta semacam sikap bijak dan mengagungkan sejarah sebagai bagian laju peradaban yang represntatif untuk dihormati oleh setiap kalangan. Terlebih jika sejarah itu masih berkaitan dengan subyek atau pembacanya. Misalnya, seorang muslim sangat wajar ketika dengan sadar mau mempelajari sejarah orang-orang terdahulunya guna memperoleh pemahaman yang utuh dan mendapat nilai-nilai berupa inspirasi, motivasi atau apa saja yang mengajarkan padanya sikap progresifitas dalam memakmurkan dunianya.

Walau sejarah merupakan kekayaan peradaban yang perlu mendapat penghormatan dari orang-orang saat ini, tetapi jangan sampai kekayaan tersebut membutakan nalar. Bangga atas kejayaan orang-orang terdahulu sangat wajar selagi para generasi berikutnya mampu memaksimalkan lebih matang lagi. Seorang muslim wajar jika bangga dengan masa keemasan Islam abad ke-12. Tetapi masa keemasan itu jangan sampai ditelan mentah-mentah lalu kemudian memabukkan muslim saat ini. Memandang dari berbagai aspek adalah keniscayaan aga terhindar dari kemelut kemesaraan dalam gumulan historisisme yang kemudian memasung pemikiran progresif kemanusiaan .

Melewati tiga tipe sejarah yang didengungkan sebelumnya memungkinkan terhindar dari ta’asshub yang dikhawatirkan Aljabiri. Berikut penulis mencoba mengangkat satu episode sejarah perdaban Islam masa klasik yaitu semasa Khulafaur Rasyidun untuk digali kekayaan nilai sejarahnya secara komprehensif menyangkut penuturan peristiwa-peristiwa hingga pola pandang atau nilai falsafah yang diadopsi oleh orang-orang pada saat itu. Nilai-nilai sejarah tersebut bisa saja berupa tekanan-tekanan politik, guliiran kebijakan ekonomi atau mungkin bisa saja juga dadapati nilai-nilai kesenian. Mengurai perincian tersebut tentunya sangat luas, dengan demikian kajian ini berupa kilasan singkat sekadar memulihkan kesadaran setiap muslim untuk lebih menghargai sejarah orang-orang terdahulunya serta mampu bangkit dari keterpurukan.

B. Kilasan Sejarah Khulafaur Rasyidun
Khulafaur Rasyidun merupakan kepanjangan dunia Islam dari masa Rasulullah. Mata rantai periode tangga pertama yang bergulir di seputar masa Khulafaur Rasyidun patut untuk didekati, kemungkinan di dalamnya ada perubahan-perubahan pola pandang sebagai konsekwensi logis dari mangkatnya Rasulullah sebagai tempat bertanya umat muslim saat itu. Khulafaur Rasyidun mempunyai dua fungsi pokok yaitu,sebagai pemimpin pada tatanan politik sekaligus sebagai panutan spritual di kalangan umat Islam kala itu, tentunya kepemimpinan Khulafaur Rasyidun mempunyai perbedaan dengan semasa Rasulullah. Kemungkinan adanya gejala-gejala karakteristik di dalamnya dengan masa berikutnya adalah keniscayaan. Misalnya, corak politik yang berkaitan dengan pemilihan kholifah yang mempunyai banyak komentar di tengah-tengah umat Islam. Untuk menguak beberapa gejala yang muncul, berikut akan diurai masing-masing periode dari kekholifahan semasa Khulafaur Rasyidun yang diawali oleh Abu Bakar hingga berakhir pada masa Ali.

1. Abu Bakar Shiddiq
Masa Abu Bakar merupakan fase pertama kekholifahan setelah meninggalnya Rasulullah. Naiknya Abu Bakar sebagai kholifah merupakan awal bergulirnya politik yang demokratis pasca Rasulullah meninggal. Abu Bakar terpilih secara demokratis setelah menyisihkan pesaingnya dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali. Waktu itu Ahlul Bait mempunyai pandangan bahwa Ali yang paling berhak menempati posisi kholifah setelah Rasulullah. Akan tetapi, forum mempunyai wacana yang beragam, sehingga terjadilah diskursus yang cukup alot, hingga kemudian bergegaslah Abu Bakar dan Umar menuju Tsaqifah Bani Sa’adah tempat berkumpulnya kaum Anshor. Adapun yang berkembang wacana di kalangan Anshor adalah, menginginkan Sa’ad bin Ubadah seorang suku Khazraj sebagai pengganti Nabi . Akan tetapi, usulan tersebut direspon oleh Abu Bakar dengan sembari memberikan komentar logisnya bahwa kaum jazirah Arab sepanjang sejarahnya sangat tidak suka dengan pemimpin yang datang dari luar suku Quraish. Apa yang dikatakan oleh Abu Bakar sangat berkaitaan dengan stigma yang berkembang saat itu yang konon datang dari hadits Nabi yang berbunyi : “Al-Aimmatu min Quraish (kepemimpinan dalam Islam adalah kalangan Quraish) . Setelah pemaparan Abu Bakar yang santun serta pengetahuannya yang luas dan lugas akhirnya kaum Anshor datang mengelilingi Abu Bakar dengan diikuti pernyataan tunduk dan memilih Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Keputusan kaum Anshor ini kemudian diikuti leh kabilah-kabilah lainnya sehingga dibaiatlah Abu Bakar sebagai Kholifah pertama setelah Nabi .
Periode Abu Bakar begitu sangat singkat terhitung 632-634 M. Tetapi bila diikuti secara singkat, pemerintahan Abu Bakar bisa dibilang mampu melewati masa-masa kritis,terutama yang berkaitan dengan Negara Islam yang baru dia rintis. Tentunya tekanan dari luar maupun dari dalam datang secara bergiliran seumpama mengamuk pemerintahan Abu Bakar saat itu, akan tetapi realitasnya Abu Bakar mampu melewatinya dengan baik.

Sebagai Negara rintisan baru tentunya banyak guliran amukan pembankangan yang terjadi di sana sini. Sebagai sebuah gejala yang paling menonjol waktu itu munculnya pengakuan-pengakuan nabi palsu. Adapun gejala yang menusuk dari dalam masih seputar pergolakan ahlul bait yang kurang suka dengan kekholifahan Abu Bukar. Konon diceritakan bahwa Ali tidak datang pada pembaiatan Abu Bakar, akan tetapi selang waktu enam bulan berikutnya Ali baru bisa membaiat atas dasar penghormatan terhadap istrinya Fatimah binti Muhammad yang mendukung pemerintahan Abu Bakar. Namun kesan angkuh dari Ali ternyata tidak terbuktikan secara riil, hal itu terbukti dengan kelapangan Ali yang mau menjalankan tugas dari Abu Bakar untuk mengamankan Madinah dengan baik. Hal itu dilakukan oleh Ali setelah Kholifah Abu Bakar membagi kekuasaannya menjadi 12 wilayah dan salah satunya diamanahkan kepada Ali .

Terkesan ada konflik intern yang menggejolak terkait naiknya Abu Bakar sebagai Kholifah. Bila boleh ditelusuri lebih dekat, naiknya Abu Bakar jika disandarkan pada kejadian kronologisnya oleh banyak kalangan sudah memenuhi ketegori demokrasi. Gejolak terjadinya diskursus pengganti Nabi sangat terkait dengan tidak adanya wasiat yang ditinggalkan oleh Nabi sebagai bakal kholifah setelahnya. Tetapi, hal itu mungkin dimaksudkan sebagai pembelajaran politik bagi umat Islam pada saat itu. Dengan kondisi yang cukup rumit, kemudian terjadilah musyawarah multi kalangan seperti yang telah dituturkan sebelumnya. Adanya wadah musyawarah Nadi Al-Qoum (semacam MPR masa dahulu) akhirnya mampu menyelesaikan persoalan imamah tersebut . Proses semacam ini tentunya patut mendapat penghormatan dari semua kalangan dengan mengakui dan mendukung seluruh proses pemerintahan yang berjalan pada saat itu termasuk oleh Ali sebagai bagian dari ahlul bait.

Setelah melalui proses demokrasi yang begitu alot, selanjutnya melajulah Abu Bakar mejadi kholifah pertama. Sebagai penanda dari terpilihnya Abu bakar, maka Abu Bakar kemudian menyampaikan pidato kenegaraannya yang pertama. Poin yang menarik dari pidatonya adalah adanya benh-benih demokrasi yang patut ditiru oleh para birokrat saat ini. Hal itu tertuang dalam salah satu ungkapannya yang bebunyi “bantulah saya jika saya di jalan yang benar. Koreksilah saya bila saya bersalah” . Demikian cukup mendasar substansi pidatonya, akan tetapi hal itu mengindisikan begitu sangat sederhanya seorang yang canggih seperti Abu Bakar masih bersedia menerima kritik dan dukungan dari rakyatnya. Seumpama Abu Bakar ingin mengatakan bahwa apapun keberadaan dirinya tidak berarti apa-apa tanpa dampingan dari masyrakat luas, entah berupa dukungan atau tegran jika sekiranya nanti dalam perjalanan kepemerintahannya terdapat kekeliruan. Luwes dan menyegarkan jika dalam bernegara subsatansi pidato ini dimiliki oleh pemimpin bangsa ini.

Di sisi lain, musuh luar tidak kalah kuatnya mengintai pemerintahan Abu Bakar. Selain banyak munculnya nabi-nabi palsu, beberapa daerah ada yang membangkang dengan tidak mau membayar pajak lagi pada pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar menghadapinya dengan tegas dan lugas terhadap berbagai macam gejolak tersebut. Abu Bakar mengeluarkan dua alternative bagi mereka, tunduk tanpa syarat atau diperangi. Sebagai awal dari manuver politiknya, Abu Bakar memulai dengan memberantas kaum murtad yang terjadi di dearah Syam dengan kemenangan di pihaknya yang kemudian dikenal dengan perang riddah. Kemampuan serta keberanian Abu Bakar mengirim ekspedisi ke luar yang jauh dari kekuasannya adalah salah satu keunggulan dari Abu Bakar. Walau banyak sahabat lain yang meragukan pilihannya, tetapi pada kenyataannya Abu Bakar mampu membasmi kaum riddah tepat waktu, sekaligus mencegah munculnya perpecahan yang akut di kalangan umat Islam .

Selain prestasinya dalam menumpas kaum riddah, Abu Bakar juga memulai merintis pengkodifikasian Al-Qur’an yang diusulkan oleh Umar,lalu kemudian dilanjutkan oleh Ustman yang kemudian mushaf tersebut dikenal dengan mushaf Utsmani. Yang juga menjadi titik perhatian ketika berbicara tentang kholifah yang pertama yaitu tentang penunjukan Umar sebagai pengganti setelahnya. Penunjukan tersebut dilakukannya menjelang wafatnya yang kemudian juga diamini oleh mayoritas umat Islam saat itu .
Demikian kemampuan seorang Abu Bakar dalam melewati gejolak-gejolak awal berdirinya kekholifahan Islam. Pada akhirnya Islam tetap bisa berjaya pada priode berikutnya dan semakin menapaki titik klimaksnya. Berkat sepak terjangnya serta sumbangsihnya pada peradaban Islam para sejarawan kemudian menggelarinya sebagai penyelamat Islam setelah Muhammad (Abu Bakar is the savior of Islam after the prophet Muhammad) .

2. Umar Bin Khottab
Umar merupakan kholifah kedua, dikenal juga dengan panggilan Abu Hafs dan juga mendapat julukan Faruq (orang yang berani memisahkan antara kebenaran dan kepalsuan) . Umar naik menjadi kholifah atas penunjukan Abu Bakar menjelang wafatnya. Hal itu dilakukan oleh Abu Bakar ketika melihat kondisi Negara yang masih labil, tidak boleh tergoncang dengan perbedaan pendapat tentang siapa yang akan menggantikan setelah dia wafat. Penunjukannyapun sudah melewati penawaran demokratis, sehingga naiknya umar menjadi Kholifah adalah hal yang valid secar juridis. Berikut adalah potongan dari kalimat yang diucapkan Abu Bakar ketika penunjukan Umar sebagai Kholifah : “orang yang saya tunjuk bukan dari keluargaku dan kalian mendengar kata-kata dan mematuhi perintah” rakyat yang hadirpun serentak menjawab “kami menerimanya” .

Pada periode kholifah Umar (634-644), peta Islam sudah meluas ke Timur sampai perbatasan India dan sebagian Asia Tengah sedangkan di Barat sampai ke Afrika Utara. Dengan semakin meluasnya peta Islam tersebut Umar semakin mantap menjalankan pemerintahannya dengan melanjutkan apa yang dicanangkan pada pemerintahan Abu Bakar yaitu, menghadapi tentara Sasania maupun Bizantium baik di front Timur (Persia), Utara (Syam) maupun di Barat (Mesir). Adapun alasan mendasar ekspansi yang dilaksanakan Umar adalah bermula dari persoalan yang mengakar, dimana mereka pada hakikatnya sejak dari dulu mempunyai hubugan yang tidak harmonis dengan bangsa Arab. Salah saunya yang menunjukkan ketidaksukaan mereka adalah dibunuhnya duta Nabi oleh oang Kristen di Syiria atas restu Raha Heraklitus. Kemudian alasan selanjutnya adalah, pada saat itu Nil (Mesir) merupakan daerah yang subur dibandingkan dengan keadaan Arab yang tandus, maka hal it snagat menarik untuk dijadikan sentaral perjuangan dakwah di luar jazirah Arab .

Pada saat pemerintahan Umar Islam semakin kuat, dapat menundukkan daerah-daerah yang ada. Hal itu lalu memunculkan kecemburuan yang kuat di kalangan Bizantium dan Sasania. Pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh Kholifah waktu itu lebih didasarkan pada gerakan dakwah Islamiyah dibandingkan dengan penaklukan-penaklukan semata, sehingga yang diharaakan dari para prajuritnya agar lebih mendahulukan spirit keislaman. Selain dari pada itu, pada saat itu ditemukan masyrakkat berada di bawah tekanan kekuasaan hegemoni Bizantium dan Sasania yang mempunyai ajaran membingungkan. Untuk itulah lalu kemudian Islam datang seagai jalan tengah untuk meluruskan ajaran yang ada dengan keyakinan tauhid .

Kurun waku sepuluh tahun masa pemerintahan Umar bin Khattab terdapat berbagai macam perkembangan yang dapat dilakukan oleh kholifah. Diantaranya, terbentuknya majlis syura yang merupakan wadah untuk musyawarah menampung aspirasi rakyat. Umar berkeyakinan bahwa tanpa musyawarah pemerintahan tidak akan jalan . Selain daripada itu, Umar menanamkan spirit keislaman secara global yang tidak hanya berkutat pada nasionalisme Arab, hal itu terbukti dengan diusirnya Yahudi dari Khoibar dan Kristen di Nazran yang sering merongrong pemerintahan Islam. Diyakini olehnya, mereka adalah termasuk kafir dzimmi yang harus disingkirkan dan berkewajiban bagi mereka untuk membayar pajak kepada pemerintahan Islam sebaai jaminan keamanannya . Dalam tatanan kenegaraan Umar membagi daerah kekuasaanya pada sejumlah distrik atau propinsi dan juga terbentuk di dalamnya dipertamen-dipertemen, hal itu dimaksudkan untuk mempermudah penyelenggaraan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya .

Pada sisi ekonomi ada kebijakan Umar yang cukup fenomenal yang memancing reaksi anggota syura yaitu berupa dekrit yang melarang orang Arab melakukan transakasi jual beli tanah di luar Arab (kebijakan pertanahan), kebijakan ini diberlakukan di daerah sawad (daerah subur). Kebijakan tersebut didasarkan pada produksi yang menurun sehingga Negara merugi 80% dari pendapatan, hal itu dipicu oleh banyaknya transaksi penjualan tanah yang dilakukan di daerah tersebut yang kemudian mengakibatkan para petani kehilangan sawahnya. Selain daripada itu, Umar memberlakukan pajak perdagangan yang dikenal dengan sebutan dengan al-‘ushur . Selanutnya mengenai Al-Mal al-Ghanimah yang selama ini dibagikan pada Negara 20% dan tentara 80%, pada saat Umar seluruhnya dimasukkan ke kas Negara, lalu para tentara digaji bulanan .

Di akhir pemerintahan Umar berakhir dengan terbunuhnya kholifah oleh Abu Lu’lu’ (orang Persia) yang dipicu oleh pemecatan yang dilakukan Umar terhadap Mughirah Ibn Syu’ba sebagai gubernur Kufah. Sebagai langkah terakhir mejelang wafatnya Umar membentuk tim Syura untuk memilih pengganti dirinya. Hal itu diambilnya sebagai jalan tengah anatara apa yang dilakukan oleh Nabi yang membiarkan rakyat memilih kholifah dan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar yang menunjuknya lansung sebelum Abu Bakar wafat. Adapun para anggota tim diantaranya adalah, Abdurahaman bin Auf, Talhah, Zubair, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Sa’ad bin Waqas. Kemudian terjadilah voting, maka terpilihlah Usman ibn Affan sebagai Kholifah, pengganti Umar .

Priode Umar jika dibandingkan dengan semasa Abu Bakar mempunyai banyak perkembangan. Dari sisi daeah kekuasaan semakin luas yang kemudian diikuti dengan tata Negara yang lebih sempurna dengan terbentuknya distrik-dstrik dan dipertemen-dipertemen.Darsi diemnsi ekonomi, tedapat kebijakan-kebijakan regulasi penggunaan harta rampasan dan pemeberlakuan pajak pedagangan yang tentunya sangat mendukung perekembangan ekonomi Negara. Kemudian dalam perkembangan politik yang berkaitan dengan demokrasi tentunya semakin baik, dengan dibentuknya majlis Syura yang mewadahi masukan dari rakyat. Yang paling monumental apa yang dilakukan oleh kholifah dalam menentukan penggantinya dengan jalan voting dibawah panitia khusus yang dibentuknya. Hal ini tentunya merupakan suatu pembelajaran demokratis yang cukup baik bagi umat Islam secara umum.

3. Usman Ibn ‘Affan
Di antara Khulafaur Rasyidun adalah Usman kholifah ketiga yang memerintah Islam paling lama jika dibandingkan dengan ketiga kholifah lainnya. Ia memerintah selama kurun waktu 12 tahun. Dalam pemerintahannya, sejarah mencatat telah banyak kemajuan yang dicapai oleh umat Islam saat itu, wlalau tentunya juga tidak sedikit polemic yang muncul.

Secara gamblang pada masa pemerintahan Usman dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama, pemerintahan Usman mampu menapaki titik klimaksnya hingga bendera Islam meluas hingga perbatasan AlJazair bahkan sebagian riwayat menyebutkan sampai pada Tunisia di Al-Maghrib, sedangkan di Utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia Kecil, di Timur Laut sampai ma wara al-Nah,dan si sebelah Timur seluruh Persia bahkan sampai pada perbatasan Balucistan (wilayah Pakistan sekarang). Selain daripada itu Usman berhasil membentuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh dan menghalau serangan-serangan di Laut Tengah yang dilancarkan oleh tentara Bizantium dengan kemenangan di pihak Islam .

Kemudian periode kedua yang diidentkkan dengan dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai Usman wafat. Hal itu ditandai dengan adanya nepotisme yang dilakukan Usman. Ia mengangkat sanak saudaranya dalam jabatan-jabatan strategis, kemudian beurjung dengan rasa pahit yang dirasakan oleh kabilah-kabilah lainnya . Hampir semua pejabat di era Umar dipecat oleh Usman lalu kemudian mengangkat keluarganya sendiri. Oleh karena itu Usman disinyalir telah ber-KKN. Sebagai contoh apa yang dilakukan Usman yang mengindikasikan adanya praktek KKN adalah, ditempatkannya Mu’awiyah ibn Abi Sofyan sebagai Gubenur di Syam, selain dia sebagai keluarga dekat kholifah juga sesama dari satu suku yaitu umayah .
Pihak kholifahpun menepis tudingan miring yang dialamatkan pada dirinya. Kholifah berpendapat bahwa para pejabat itu dipilh berdasar kapabilitas serta loyalitasnya yang tinggi, hal itu bisa dilihat pola kerja yang diperlihatkan oleh masing-masing pejabat yang dipilih Usman yang mampu menampilkan pencapaian prestasi yang gemiliang. Sebagai tameng dari semua tudingan tersebut bisa dilihat bagaimana Abdullah Ibn Amir merupakan orang yang mempunyai andil yang besar dalam penaklukan Persia, maka kemudian wajar jika kemudian Kholifah menghadiahkan padanya sebagai Gubenur di Basrah. Begitu juga dengan pejabat-pejabat lainnya, kholifah mengangkat mereka berdasar kemampuan, loyalitas dan prestasinya . Jika memang hal ini adalah kebenaran, maka tudingan praktek nepotisme yang dialamatkan padanya adalah bentuk manuver politik yang biasa terjadi di tengah-tengah laju sebuah pemerintahan.

Langkah kontroversial Usman memang lebih condong gegabah dan memicu prasangka politik yang tidak sedap. Penunjukan pejabat-pejabat yang mempunyai hubungan kekerabatan semakin mempertajam wacana nepotisme yang terjadi di tengah laju pemerintahannya. Walaupun ternyata Usman mempunyai pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi hal itu tidak mampu membendung hembusan isu politik saat itu.
Beberapa kasus yang sengaja diangkat untuk membendung isu politik yang berkembang, seperti dihukumnya Walid yang merupakan pejabat memiliki hubungan keluarga dengan Usman setelah Walid terbukti bermasalah. Hal ini seakan-akan menggambarkan ketegasan Usman dalam menjalankan hukum serta ketidak-berpihakan dirinya. Akan tetapi setelah melalui telaah, ternyata Usman masih setengah-setengah dalam menjalankan hukum yang berlaku, hal itu terbukti dengan dibiarkannya Walid, kemudian pada akhirnya menjadi batu sandungan pada diri Usman sendiri, karena ternyata pada episode yang lain Walid menjadi orang yang melawan pemerintahan Usman .

Sisi lain lain lagi yang menjadi catatn penting dalam pemerintahan Usman adalah, mengenai kebijakan pertanahan yang diberlakukan pada masa Umar tidak dijalankan sepenuhnya oleh Usman. Beberap kasus yang terkait pada konteks ini adalah, banyak kaum kerabat Usman menjadi kaya raya dan mengusai banyak tanah diluar Arab. Hal itu tentunya sangat meresahkan rakyat seperti di Kufah dan Mesir. Dominasi tanah subur tersebut dari kalangan orang Arab dan keluarga dekat Usman menjadi catatan hitam pemerintahan Usman sekaligus dapat merugikan Negara seperti pada salah satu pertimbangan diberlakukannya regulasi petanahan yang dicanangkan pada masa Umar .

Apa yang dilakukan Usman terkait penyelewenagan regulasi pertanahan tersebut, lambut laun menjadikan para keluarga dekatnya dari bani Umayah mejadi deretan orang-orang kaya. Pada saat itu terjadi semacam ketimpangan sosial, seperti adanya kesenjangan kesejahteraan diantara rakyatnya, sekaligus pada saat yang sama semakin menanjaknya angka kemiskinan waktu itu. Pada saat yang sama, muncullah Abu Dzar Al-Ghifari sebagai seorang yang sholeh di zamannya yang menyarankan agar orang-orang kaya waktu itu diharuskan memberikan hartanya untuk menyantuni fakir miskin. Akan tetapi usulan mulia ini disikapi sebagai manuver politik yang kemudian akhirnya Al-Ghifari dibuang ke Rabaza, daerah gurun pasir, kemudian meninggal di sana dalam keadaan lapar . Sikap Usman yang demikian tentunya sangat memicu terjadinya kemarahan rakyat, sehingga bisa diprediksikan situasi politik waktu itu mendekati taraf gejolak yang tinggi.

Suhu politik yang memanas tersebut kemudian dijadikan kesempatan oleh banyak pengacau untuk meruntuhkan pemerintahan Usman, salah satunya adalah seorang Yahudi yang bernama Ibn Saba’. Kesempatan emas yang digunakan Ibn Saba’ tatkala kholifah membujuk para pembangkang dari Mesir untuk kembali ke tempatnya masing-masing. Pada saat mereka pulang, mereka mendapati surat dari kurir pemerintah yang menyatakan فاقتلوهم (bunuhlah mereka) yang seharusnya فاقبلوهم (terimalah mereka) namun karena tulisan kholifah waktu itu merupakan B.Arab Gundul akirnya dipahami dan dislahbacakan. Keadaan yang demikian digunakan oleh Ibn Saba’ untuk membakar emosi mereka, lalu kemudian mereka mendatangi rumah kholifah yang kemudian berakhir dengan terbunuhnya kholifah dalam keadaan membaca Al-Qur’an .

Demikian perjalanan pemerintahan Usman yang mempunyai banyak polemik politik dengan dihembuskan isu sentral nepotisme yang kemudian merembet pada persoalan ekonomi. Sekaligus bisa diindikasikan dalam pemerintahan Usman terkesan gegabah, sehingga sering kali digunakan oleh pihak luar untuk kepentingan golongan tertentu. Artinya kondisi Usman waktu itu yang sudah senja secara usia digunakan oleh pihak kerabatnya untuk memperkaya diri.

4. Ali Ibn Abi Thalib
Terbunuhnya Usman meninggalkan polemik yang cukup serius di peredaran politik umat Islam saat itu. Kemudian Ali maju menjadi kholifah atas desakan kelompok para pembunuh Usman dari Mesir. Hal itu diterima oleh Ali setelah adanya permintaan serius dari sahabat-sahabatnya, tepat hari ke-enam pasca terbunuhnya Usman, Ali resmi menjadi Kholifah pengganti Usman bin Affan .

Pesoalan pertama yang dihadapi Ali adalah perang melawan kelompok yang tidak mengakui kekholifahan Ali yang bermarkas di Hijaz dan Iraq, termasuk di dalamnya ummul Mu’mnin Aisyah yang bergabung dengan mereka yang menentang Ali. Peristiwa tersebut dikenal dengan perang jamal (unta), karena Aisyah menunggangi seekor unta. Pada saat itu dua rival politiknya terbunuh pada malam hari yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, sementara Aisyah kalah perang lalu kemudian dipulangkan ke Madinah serta diperlakukan secara terhormat selayaknya seorang “ibu Negara”. Kemudian, salah satu langkah pentingnya pada awal Ali memangku jabatan sebagai kholifah adalah mengembalikan stabilitas politik seperti masa pemerintahan Umar yaitu dengan memecat para gubernur yang sewenang-wenang. Selain darip ada itu Ali juga mengambil alih kepemilikan tanah-tanah yang dihadiahkan kepada para pendukung Usman ke kas Negara.

Kejadian yang paling monumental pada masa pemerintahan Ali adalah terjadinya perang Shiffin yang mempertemukan dua kekuatan antara kubu Ali dengan Mu’awiyah. Melalui perang ini melahirkan dua front ekstrem yang kemudian berpijar hingga saat ini. Tentunya bukan sesuatu yang asing ketika disebut sebuah kelompok yang bernama khawarij dan syi’ah. Dua kubu ini bermula dari perang shiffin tadi. Kelompok yang keluar dari kubu Ali dan Mu’awiyah lalu kemudian membentuk pandangan politik dan keagamaan sendiri. Secara politik kubu khawarij mempunyai pandangan bahwa seorang kholifah itu harus dipilih langsung oleh rakyat serta tidak terbatas pada laki-laki orang Arab saja. Bagi mereka sangat legal seorang perempuan jadi seorang pemimpin selama perempuan tersebut teruji secara kemampuan. Dengan demikian secara konkret mereka menolak kekholifahan Ali dan Mu’awiyah karena keduanya tidak berangkat dari pemilihan oleh rakyat .

Sementara dalam pandangan keagamaan kelompok khowarij terkesan keras dan tegas. Misalnya saja salah satu pandangannya yang mewajibkan sesorang muslim itu dibunuh jika meninggalkan sholat. Sedangkan seseorang yang tidak berhati bersih maka ia termasuk murtad dan baginya nerak selamanya. Kemudian yang paling ekstrim dari pandangannya menganggap Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir. Pada perkembangan berikutnya kelompok khawarij banyak melakukan kerusuhan, kemudian kahirnya berujung pada pembunuhan kholifah Ali oleh Abdurrahman ibn Muljam .

Kubu yang kedua adalah kubu yang setia pada Ali yang kemudian disebut dengan Syiahtu Ali. Pada awalnya kubu syi’ah ini juga dikenal pada pengikut Mu’awiyah namun yang bertahan dan yang lebih dominan adalah kubunya Ali, sehingga lambat laun syiah Muawiyah hilang tertelan dominasi syiahnya Ali. Sejatinya benih-benih syiah sudah bermula sejak masa Abu Bakar, namun istilah syi’ah secara riil baru muncul kemudian setelah wafatya Ali, hal itu muncul karena rivalitas politik yang cukup ketat. Kelompok syiah begitu sangat ekstrim dalam mendukung Ali, bahkan mempunyai pandangan agama yang seakan-akan kurang mengakui kenabian Muhammad dengan sebuah pandangannya yang menyatakan bahwa wahyu sesungguhnya diperuntukkan untuk Ali, kelompok ini dinamai dengan kelompk syi’ah ghurobiyah (ekstrem). Sejak terbunuhnya Ali oleh Abdurahman ibn Muljam hal itu sekaligus juga menandai berakhirnya kepemimpinan khulafaur Rasyidun .

C. Penutup
Teurai sudah kilasan perjalanan khulafaur rasyidun dengan bebagai prestasi dan kekurangannya. Tentunya hal itu merupakan kekayaan sejarah Islam yang patut untuk diungkap dalam rangka membangun pemahaman yang komprehensif tentang sejarah masa lalu sekaligus sebagai upaya ‘itibar bagi muslim saat ini sebagai kelanjutan perjalanan Islam. Banyak hal yang dapat dipahami dari sejarah peradaban Islam masa khlafaur rsyidun diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Masa khulafaur rasyidun merupakan masa awal yang cukup sulit setelah nabi yang berhasil dapat dilewati dengan baik oleh Abu Bakar. Hal itu ditandai dengan diberunggusnya para kaum murtad dari dunia Islam, sehingga kemudian akhirnya Islam dapat berlanjut hingga sampai pada masa Umar.
2. Pada masa Umar bisa dibilang sebagai awal perintisan kekuatan Islam untuk melakukan ekspansi ke luar jazirah Arab. Hal itu kemudian dilanjutkan oleh Usman sehingga secara peta kekuasaan pada masa Usman dunia Islam sudah mapan.
3. Pada masa Ali merupakan puncak rival perpolitikan yang disinyalir bermula sejak masa Usman dengan indikasi adanya tindak nepotisme yang dilakukan Usman. Pergolakan politik yang berupa perebutan kekuasaan pada masa Ali ini begitu sangat kentara, hal itu sangat wajar mengingat keadaan Islam sebagai sebuah kekuasaan memang cukup menggairahkan untuk dikuasai oleh masing-masing kubu politik waktu itu. Hal itu ditandai dengan memburamnya solidaritas antar sesama muslim, namun yang dikedepankan adalah kepentingan politik dan kekuasaan. Kawan dan lawan-pun sudah tidak jelas, tikam menikam adalah tradisi politik secara umum, dan seterusnya tetap menjadi lebel abadi hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Mohamed Abed, Problem peradaban: penelusuran atas jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur, Yogyakarta: Belukar, 2004
Husaini, Arab Administration, Madras: Soldent & Co, 1949
Lewis,Bernard, Islam Forom the Muhammad to The Capture of Constantinople, New York: The Macmilan Press Ltd, 1974
Maryam, Siti (edit), Sejarag Perdaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern ,Yogyakarta: Lesfi, 2004
Mutahhari ,Murtadha, Masyrakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme terj. M.Hashem, Bandung: Mizan, 1986
Maulana Muhammad Ali, Early Caliphate, terj. Imam Musa , Jakarta: Darul Kutubil Islam, 2007
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam ,Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2004
Muir ,Wiliam, The Caliphate: Its Rice, Declain , and Fall ,Esinbagh: The RT. Society, 1982
Maududi, Abul al-‘Ala, Nazariyah al-Islamiyah wa Hadihi fi al-Siyasah wa al-Qonun wa al-Dustur t.tp: Dar Fikr,1967
Rahman ,Syaikh Muhammad Lutfar, Islam, (Dhaka: Bangla Academy, 1977
Sardar ,Ziuddin, Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam, terj. Rahmani AstutiBandung: Mizan, 1986

Sabtu, 27 Februari 2010

PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM MEMAHAMI AGAMA

A.Pengantar

Agama merupakan sisi kehidupan manusia yang cukup menarik untuk dipelajari, hal itu merupakan bagian dari konsekwensi posisi agama sebagai sebuah jalan yang menfasilitasi secara institusi kepada manusia untuk mencapai Tuhannya.

Mempelajarinya dari berbagai sisi atau sudut pandang adalah hal yang sangat mungkin, mengingat agama memang merupakan institusi sakral yang mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia. Artinya, agama membidangi berbagai dimensi kehidupan manusia, kemudian dalam tahap yang sama kemunculan agama sebagai institusi sakral tadi juga muncul dari sub dimensi kehidupan manusia. Secara lebih konkret terdapat keterkaitan yang saling aktif antara agama itu sendiri dengan sub dimensi kehidupan, pada sisi tertentu sub dimensi menjadi bagian dari agama, tetapi di sisi lain agama merupakan bagian dari sub dimensi kehidupan manusia. Berlandaskan gejala ini, mendekati agama dari berbagai sudut pandang adalah hal yang absah selagi dapat dituturkan secara berimbang dan bertanggung jawab.

Beberapa kasus terkait adanya hubungan dua arah yang aktif antara agama dan sub dimensi kehidupan bisa dilihat pada proses keberagamaan pemeluk agama itu sendiri. Banyak diceritakan seorang hamba pada agama tertentu bisa mensinergikan kesadaran keberagamaannya setelah beberapa proses kehidupan yang dilewatinya. Proses itu penulis bahasakan dalam tulisan ini sebagai sub dimensi kehidupan, misalnya ketika Tuhan sebagai sesuatu yang transenden mampu disadari oleh seorang indiividu setelah mengalami keterhimpitan dalam kehidupan. Tidak hanya itu, bisa saja gejala-gejala itu tidak melulu dari keterhimpitan, tetapi juga bisa saja datang dari gelimangan kesenangan, kematangan atau kemegahan duniawi yang diraih oleh seorang individu tadi. Artinya konteks yang melingkupi seorang individu bisa saja mematangkan kesadaran religiuitas, sehingga kemudian Tuhan bisa hadir pada kehidupan orang tersebut.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas walau masih sebatas pada tataran pemahaman subyektifiatas penulis, akan tetapi hal tersebut adalah hal yang ada, serta perlu didialogkan dengan berbagai hal, entah itu pada teks ataupun antar sesama. Secara garis besar kesadaran relegius yang kemudian terbahasakan dengan sebutan agama memang tidak terlalu jauh dengan pengalaman yang melingkupi manusia. Adapun pengalaman yang begitu sangat beragam, bisa muncul dari gesekan dengan alam, antar sesama manusia, teks atau apa saja yang memungkinkan adanya perjumpaan pada manusia. Adanya pengalaman yang beragam tersebut, mengukuhkan bahwa, mendekati studi agama dari berbagai sudut pandang adalah wajar. Pluralitas sudut pandang dalam mempelajari agama memungkinkan berkecambahnya berbagai macam pemahaman, sekaligus pada tahapan berikutnya akan menambah khazanah keilmuan.

Bermula dari pengalaman subyektif penulis yang tertuturkan di atas, maka dapat diruntut benang merah dari kajian yang akan diangkat oleh penulis dalam tulisan ini. Secara garis besar penulis ingin memberikan kejelasan adanya pluarilatas pendekatan dalam mengkaji agama. Kajian yang dimaksudkan penulis disini hanya merupakan review beberapa teori yang digulirkan oleh beberapa tokoh, lalu kemudian dipilah-pilah sebagai upaya memahami konstribusi dari tokoh-tokoh tersebut untuk diimplikasikan pada konteks studi keislaman.Adapun tekanan tema yang akan dipaparkan dalam kajian ini berupa pendekatan psikologi. Memahami agama dari gejala-gejala psikologi cukup menarik, walau memang juga ada sisi kesulitannya mengingat pendekatan ini memang cukup unik. Demikian kiranya ulasan penghantar ini cukup untuk menghantarkan pada penuturan pembahasan berikutnya.

B.Pendekatan Psikologi
Pada kajian ini secara spesifik akan dibahas satu pendekatan dalam studi agama, yaitu psikologi. Beberapa pandangan para ahli sangat beragam dalam hal ini, misalnya saja ada yang menyatakan bahwa tekanan terhadap seorang pribadi yang kemudian melahirkan pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan kepada yang transenden (Tuhan), pendapat lain ada yang beroposisi dengan pendapat ini yang menyatakan bahwa, tekanan atau pengalaman seorang individu merupakan persoalan murni psikologi. Secara khusus ada beberapa pemikir yang menempatkan persolaan psikologi tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan dengan yang transenden atau bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang berada pada kubu ini menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan persoalan transenden terdapat adanya saling keterkaitan. Jung, Campbel dan Eliade adalah tokoh yang menyandarkan agama pada sebuah ketidaksadaran kolektif yang merupakan bagian dari gejala psikologi universal. Kemudian Freud juga berpendapat bahwa agama secara esensial mempunyai gejala-gejala yang cukup unik yang perlu disingkap dan dikembangkan.

Secara garis besar kajian ini akan lebih dikonsentrasikan pada dua hal, yang pertama, pengujian teori agama sebagai sebuah keutuhan. Tekanannya adalah, pada sisi psikologi yang berkaitan pada agama dan perseorangan yang di dalamnya juga dikaitkan pada struktur keagamaan. Kemudian pada konsentrais yang kedua akan difokuskan pada pencarian platform atau landasan teoritis dalam mendekati dan memetakan kajian kegamaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus menjadi bahan diskusi sepanjang zaman.

Beberapa pendapat para tokoh yang akan penulis uraikan secara singkat adalah sebagai berikut :
1.Willian James
Sebagai pembuka dari kajian ini, William James ditempatkan sebagai tokoh pertama yang akan dijadikan bahan diskusi dalam kajian ini. Selayaknya para pendahulunya, William James mengembangkan teori keagamaan berlandaskan pengalaman pribadinya. Pengalamannya dengan pendekatan psikologi dan subyektivitas yang diusungnya menjadi pondasi bagi agama sebagai sebuah fenomena dan sebuah lembaga sosial. Dalam hal ini walau tidak secara vulgar, William menempatkan agama sebagai fenomena dan institusi sosial yang memungkinkan untuk didekati secara psikologi. William mendiksusikan agama sebagai sesutau yang muncul dari bagian terluas pengalaman manusia. Karenanya, dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan adalah hal yang serupa dengan perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian maka agama merupakan bagian ekspresi dari pengalaman psikologi individu.

Definisi agama yang dibangun oleh James juga meliputi beberapa hal yang terkait dengan obyek agama. Definisi yang dibangunnya tidak hanya berkisar pada satu obyek spesifikasi tipe keberagamaan, akan tetapi juga difokuskan pada karakteristik perseorangan atau kelompok dengan penekanan bahwa obyek keberagamaan adalah segala sesuatu yang mempunyai sifat ketuhanan. Definisi ini membuka kemungkinan masuknya ruang luas aktifitas dari mansuia sebagai sebuah agama.

Teori yang diusung James tidak hanya mempertahankan eksistensi dari dunia lain, dia juga tidak menolak keistimewaan umum dari gejala pengalaman keagamaan. Pengalaman tersebut berakar dari gejala psikologi yang kemudian secara tidak sadar terbawa pada obyek eksternal. Secara gamblang agama kemudian ditampilkan sebagai sebuah akumulasi dari gejala-gejala kejiwaan yang dirasakan oleh masing-masing individu lalu kemudian termanefestasikan pada sebuah obyek di luar dunia manusia, berupa keyakinan adanya yang maha Tinggi yaitu, Tuhan.

Agama jika dilirik pada bagian-bagiannya mempunyai aturan-aturan yang membentuk sisi-sisi kehidupan manusia atau pengalaman yang bergulir di tengah-tengah kehidupan. Sedangkan agama itu sendiri menjadikan sesuatu yang dibutuhkan dengan mudah dan tepat. Bila boleh disederhanakan yang dimaksudkan oleh James disini adalah, agama sebagai bagian dari fenomena psikologi yang dapat memberikan konstribusi kemudahan dan tepat untuk kepentingan manusia. Demikianlah kira-kira pemahaman yang dapat penulis rekam dari uraian rumit James dalam menuturkan definisi agama.

James juga berpendapat bahwa ada gejala pengalaman umum religius yang terseret pada konteks pengalaman relegius individu, lalu kemudian dibahasakan dengan pengalaman mistis. Mistis tersebut kemudian terdefinisikan pada empat kategori : (1) pendongengan (pengumpamaan), (2) kesementaraan, (3) pasif, dan (4) pelepasan dari nilai etika. Dari sekian pendapat yang dilontarkan oleh James, kemudian sampailah pada kesimpulan akhir yang menempatkan agama sebagai sebuah perjumpaan dari esensi dan sekian banyak fenomena.

Ternyata, dari sekian pendapat James tidak terlepas dari beberapa kritik terhadapnya. Adapun titik yang menjadi pusat diskusi terhadapnya adalah, teori yang digagasnya hanya sebuah upaya pemberian penjelasan tentang kepercayaan seorang individu, belum sampai pada penjelasan tentang ketekunan keagamaan sebagai institusi sosial manusia secara luas. Banyak hal penjelasannya tidak sinkron dengan komplektisitas obyek dan praktek yang ditemukan dalam struktur keagamaan. Hal itu ditandai dengan terpotongnya makna dan peran agama sebagai hal yang sangat penting sebagai sebuah institusi sosial. Artinya teori James hanya beberapa penjelasan yang sifatnya individual lalu kemudian dicoba untuk diseret pada ruang yang lebih luas tanpa mau tau ada struktur-struktur penting lainnya yang tersisihkan atau terlupakan. Sehingga beberapa penjelasannya tentang agama menjadi tidak akurat dan kurang, dikarenakan agama tidak bisa dia terjemahkan sebagai institusi sosial. Walau kesadaran akan adanya Tuhan sebagai akibat dari pengalaman individu, namun di lain sisi agama tetaplah mempunyai sisi-sisi praktis yang bersinggungan dengan ruang yang lebih luas dari sekadar individu. Dengan demikian signifikansi dari teori James ini lebih tepatnya digunakan pada penelusuran-penulusuran kesalihan individu bukan pada tataran memahami agama secara utuh.

2.Sigmund Freud
Analisis yang dibangun oleh Freud dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama merupakan penilaian agama sebagai sebuah khayalan yang kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul The Future of an Ilusion (1961) sedangkan yang kedua adalah, dasar-dasar agama dan ritual yang kemudian dikembangkan juga dalam bukunya yang berjudul Totem and Taboo (1950). Agama yang diseret sebagai sebuah khayalan adalah akibat dari titik pandang yang bertolak dari psikologi, sedangkan yang berkaitan dengan bahasan kedua dari apa yang didiskusikan oleh Freud merupakan dampak dari titik pandang yang bertolak dari fungsi agama bagi persorangan dan masyarakat umum. Maka kemudian jika boleh disedrhanakan apa yang akan digagas Freud disini merupakan pendekatan studi agama lewat psikologi dan fungsi agama itu sendiri.

Mencoba mengenal lebih dekat pada apa yang digagas pertama oleh Freud mengenai agama sebagai sebuah khayalan. Menurutnya agama merupakan bagian gejala psikologi yang berupa penggabungan pengalaman pribadi dengan pengalaman masyarakat. Sebagai sebuah analogi yang dibangunnya adalah, tatkala seorang bayi atau anak bepersepsi tentang pengendali dunia lalu kemudian sang bayi atau anak menisbatkan pengendali tersebut pada ayahnya. Pada tahap berikutnya masyrakat membawa image ini ke ruang yang lebih luas, kemudian akhirnya ayah sebagai seorang Tuhan menjadi kesadaran umum masyarakat yang mengakar kuat. Dari sinilah kemudian agama itu terbentuk, begitulah pengamatan Freud dalam memahami agama.

Secara prinsip garis besar teori yang digagas oleh Freud berikisar pada model perkembangan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyrakat yang progresif. Sebagai misal, apa yang ada pada kebudayaan Eropa yang tergolong sebagai bentuk budaya yang tinggi. Pada sisi ini Freud melihat peran agama yang bermain di tengah-tengah manusia dan masyarakat, kemudian juga tidak luput dari perhatiannya yaitu agama sebagai sebuah institusi.

Freud menyatakan yang dimaksud dengan khayalan bukanlah sesuatu yang janggal, akan tetapi sebagai bentuk kepercayaan yang dipegang untuk mengharap ketenangan dari berbagai bentuk pandangan yang saling bertubrukan. Banyak hal yang dipertentangkan oleh manusia, termasuk masalah pencipta dunia ini. Untuk menjadikan diri seseorang tenang maka kemudian seorang individu berilusinasi sebagai jawaban atas kegalauannya yang bergelimang dalam dirinya, hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan banyaknya argumen yang saling bertubrukan tadi. Hal ini juga merupakan upaya agar kehidupan seseorang tadi dapat berlanjut dan dapat berdampingan dengan Tuhan yang dicarinya.
Dari penjelasan di atas maka agama secara tidak sadar akan memberikan peran pada kehidupan manusia. Namun diperkirakan oleh Freud peran-peran agama di masa yang akan datang akan diambil alih oleh science. Pada perkembangan berikutnya manusia dengan secara sadar tidak akan menyediakan tempat untuk agama. Walau ini hanya berupa teori, tetapi juga sangat terkesan janggal, karena ilusi yang dibangun oleh Freud mengenai ilusi masa depan sangat memojokkan umat beragama.

Satu hal yang mengundang kontroversi dari uraian Freud mengenai pembunuhan dan perzinahan sedarah yang dilakukan oleh seorang anak yang membunuh ayahnya kemudian menzinahi ibunya. Menurutnya kejadian ini merupakan salah satu yang kemudian melahirkan pelarangan-pelarangan hukum terhadap perbuatan tercela tersebut yang terkemas dengan sebutan aturan agama. Menurutnya seluruh agama berkembang dan terbentuk lewat prilaku keras dan kesalahan. Secara lebih sederhana Freud menganggap agama merupakan sebuah kesadaran yang terbentuk lewat pengalaman kesalahan masa lalu yang kemudian memunculkan rumusan-rumusan aturan untuk menangani kejanggalan yang terjadi. Kisah ini memang terlalu mengejutkan bagi kalangan tertentu dengan contoh vulgar yang diangkatnya. Akan tetapi, hal itu merupakan cara Freud memberikan pemahaman bagi para pembaca idenya, agar apa yang digagasnya benar-benar dapat dipahami dengan baik. Menyisihkan kisah yang kontroversinya, terdapat pesan yang menyatakan bahwa agama merupakan sebuah kesadaran yang bermula dari prilaku asusila.

Terdapat juga kegamangan dalam teori yang digulirkan oleh Freud dikarenakan saking terlalu intimnya terhadap persolan perkembangan budaya dan individu, sehingga pada prakteknya sangat dekat dengan etnografi. Teori yang diwariskan Freud mengenai perkembangan budaya yang menyatakan bahwa semua budaya akan maju melewati satu jalan perkembangan saja tidak sejalan dengan data-data etnografi yang menyatakan setiap kelompok masyarakat berkembang dengan jalan dan pilihannya sendiri yang mengambil atau menolak dari kelompok masyarakat yang lain. Artinya, setiap masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri mengenai kemajuan dan perkembangannya, bisa saja pada satu sisi sama dengan kelompok masyarakat lainnya tapi juga bisa terdapat sisi yang berlawanan.

3.Carl Gustav Jung
Jung melihat bahwa agama merupakan landasan positif yang mengayomi aspek psikologi. Pandangannya yang lebih luas menyatakan bahwa, agama merupakan sebuah institusi yang tercipta dari pengalaman keagamaan. Adapun pengalaman keagamaan itu merupakan sekumpulan perasaan yang datang dari luar dunia manusia yang melewati perorangan ataupun kesadaran kelompok masyarakat tertentu. Apa yang ingin dikatakan Jung secara lebih sederhana adalah, agama secara institusi pada posisinya dalam kerangka kehidupan sosial merupakan suatu kesadaran yang datang dari luar dunia manusia lewat pengalaman-pengalaman individu ataupun kelompok yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah institusi yang dapat mewadahi persoalan psikologi manusia itu sendiri.

Pada waktu yang lain, Jung menyatakan bahwa agama merupakan wadah yang menyimpan warisan spiritual yang kemudian menjangkiti kelompok masyarakat tertentu setelah melewati berbagai macam transmisi. Akhirnya, secara tidak sadar kelompok-kelompok tersebut menerima warisan spiritual tersebut tanpa memperhitungkan rasinolitasnya. Untuk itu kemudian Jung menempatkan agama sebagai sesuatu yang berkembang pada kehidupan manusia tanpa melewati titik tekan rasionalitas. Secara komunal manusia menerima warisan spiritual itu dengan berlandaskan hati, sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa hati merupakan landasan dari agama. Dengan demikian, manusia secara kolektif menerima agama tanpa pertimbangan rasio, lalu kemudian Jung membahasakan proses ini sebagai teori ketidaksadaran kolektif (collective unconscious).

Teori ketidak sadaran atau dibawah sadar merupakan pola dasar yang secara signifikan mempersentasikan Tuhan sebagai basis perhatian obyektif psikologi. Pola dasar ini berkaitan dengan perkembangan aspek lain kemanusiaan dan kepribadian. Sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa dasar dari setiap agama bermula dari ketidaksadaran. Selain konsep ketidaksadaran konsep lain yang disodorkan Jung adalah mengenai pendongengan. Yang dimaksud pendongenan disini adalah suatu fantasi yang dibangun dari dalam dan luar kesadaran manusia yang berbentuk cerita-cerita bijak orang tua kepada anaknya mengenai Tuhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama merupakan bentuk fantasi atau imajinasi yang dibangun dari dalam dan luar diri manusia yang dialamatkan kepada Tuhan sebagai obyek fantasi. Lalu secara garis besar dari seluruh uraian teori yang yang digagas oleh Jung tidak jauh beda dengan para pendahulunya (Freud) yaitu hanya sebagai bagian sebuah pendekatan mistik serata belum sampai bisak representif sebagai bagian dari pendekatan ilmiah.
C.Implikasinya dalam Konteks Keislaman
Tiga tokoh psikologi di atas mencoba memahami agama dari sudut pandang yang dgeluti oleh mereka.Secara garis besar semua tokoh sepakat bahwa agama merupakan bagian dari ekspresi kejiwaan yang diejawantahkan dalam bentuk penyerahan dan pengenalan kepada Tuhan. Akan tetapi sudut pandang ini sebenarnya belum mampu mewadahi makna agama secara komprehensif. Apalagi ketika pendekatan ini diseret pada konteks ke-Islaman. Terkesan bengitu sangat dangkal untuk melahirkan sebuah pemahaman mengenai agama.

Perlu dipahami bahwa agama dalam konteks keislaman tidaklah melulu membahas ketertundukan manusia kepada Tuhan (Mu’amalah ma’a Allah), tetapi ada dua aspek lain yang juga menjadi bagian dari agama, yaitu hubungan antar sesama (mu’amalah ma’an nas) serta hubungan terhadap lingkungan (mua’amalah ma’al bi’ah). Karenanya sangat naïf jika agama ditempatkan sebagai bagian dari dongeng dan imajinasi bebas tanpa akar dan tujuan. Walau ekspresi kejiwaanjuga ada dalam Islam, tetapi pada bagian lain, Islam membentangkan ruang yang cukup luas terhadap rasio untuk berkreasi dalam rangka menerima dan menolaknya.

Yang paling kentara dari keganjilan pendekatan yang digunakan oleh tokoh di atas adalah, ketika pendekatan yang digunakan oleh mereka dengan secara egois dipaksakan untuk mendefinisikan agama. Padahal jika didekati lebih detil, apa yang mereka gunakan untuk mendekati agama baru bisa mengurai bagian kecil dari agama. Sehingga kemudian, definisi yang dibangunpun belum bisa mewakili dari agama. Kiranya lebih tepatnya pendekatan mereka baru saja pada salah satu tangga dari sekian tangga lainnya untuk menuju definisi yang valid. Kenisacyaan untuk bergandenan dengan pendekatan-pendekatan lainnya merupakan sebuah keharusan agar definisi yang dibangun bisa lebih mendekati kesempurnaan.

Secara partikular pendekatan psikologi yang digagas oleh beberpa tokoh di atas bisa diimplikasikan pada suatu bagian prilaku keagamaan saja, dan tidak bisa digunakan untuk memahami agama secara keseluruhan. Adapun yang relevan pada konteks Keislaman dari pendekatan psikologi ini menurut hemat penulis lebih tepatnya bisa diimplikasikan pada kasus mistisism (sufi). Sufisme dalam Islam yang lebih bersifat individu, kiranya memang sangat bisa didekati lewat psikologi, mengingat secara riil banyak para pelakunya lebih mengendepankan perasaan-perasaan halusnya dalam menjalani hidup, serta pada sisi yang lain para sufi cenderung mengesampingkan rasio dan mengedapankan perasaan (nafs,jiwa,psikologi).

D.Penutup
Melalui uraian serta pembacaan secara cermat dari penuturan tokoh psiiklogi di atas, dapat dipahami bahwa persoalan pendekatan psikologi dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.Pendekata psikologi yang digagas oleh para tokoh di atas belum bisa mendefinisikan agama secara utuh, karena teori-teorinya hanya berkisar pada kesadaran individu serta hubungannya dengan Tuhan. Maka tidak tepat jika mencomoti pendekatan ini berdiri sendiri dengan angkuh dan mengabaikan pendekatan lainnya. Hal ini sangat terkait dengan agama yang mempunyai sisi-sisi yang sangat kompleks.
2.Dalam konteks keislaman, pendekatan psikologi ini cukup relevan untuk mengawal gejala atau prilaku mistisism (sufi),hal itu dinyatakan dengan adanya sisi sinkronisitas antara persoalan psikolgi yang berkaiatan dengan rasa. Demikian dengan gejala Sufism yang juga sangat erat dengan kerja-kerja perasaan (Nafs,jiwa,psikologi).