Bagitu sangat subur bangsa ini melahirkan para penguasa dari setiap masa, tetapi sangat sedikit yang mampu menjadi seorang pemimpin. Penggalan gambaran tersebut tentu sangat sinkron dengan kondisi bangsa ini yang seakan sedang meregang nyawa akibat amukan kejam para penguasanya yang tidak mampu menjadi seorang pemimpin sejati. Setiap gerak para penguasa bangsa ini layaknya sebuah cambukan mematikan yang siap menghabisi kedamaian, kenyamanan, keadilan dan kesejahtearaan rakyat. Sedangkan setiap retorika para penguasa tidak lebih sebagai bualan belaka yang menentramkan sejenak, tetapi menyisakan lara sepanjang masa.
Menjadi pemimpin memang tidaklah mudah, akan tetapi hal itu tetap menjadi mungkin untuk diwujudkan. Kesulitan tidak berarti apa-apa jika diiringi dengan kemauan dan cinta untuk bangsa. Namun bila kemauan dan cinta itu hanya retorika semata, maka sesungguhanya hal tersebut adalah permulaan dari sebuah kehancuran.
Selain daripada cinta dan kemauan yang gigih untuk membangun bangsa, para pemimpin itu hendaknya harus meredam dari segala birahinya. Pemimpin memang diharapkan tampil mendekati layaknya malaikat (al-malaikatu ‘ala shurati al-nas), dimana segala pola dan tindak tanduknya harus benar-benar lepas dari birahi tadi. Birahi keangkuhan, kekerasan, kebencian, ketamakan serta birahi untuk melakukan skandal seks.
Sungguhpun kreteria itu bukan hal yang mengada-ngada, akan tetapi semua itu merupakan konsekwensi logis yang harus dijalankan untuk setiap individu yang memilih jalur birokrasi atau kekuasaan sebagai jalan mewujudkan ibadah sosialnya. Artinya, kreteria tersebut tidak mungkin bisa ditukar dengan hal apapun, kecuali hanya dengan keikhlasan untuk menjalankannya.
Mental Tempeyek
Bila melihat situasi terkini, kondisi para birokrat di negeri ini masih sangat jauh dari kondisi yang semestinya. Bahkan bila mau jujur, para birokrat hanya bisa bangga dengan sematan jabatan di pundaknya, namun enggan menjalankan konsekwensinya. Mungkin para pembaca juga tidak asing dengan beberapa berita di media yang mengabarkan bagaimana bobroknya kualitas etika para birokrat bangsa ini. Sebagai sebuah contoh, baru-baru ini rakyat dikejutkan oleh merebahnya berita adanya video porno yang salah satu pemerannya mirip dengan salah satu anggota parlemen. Berita buruk ini tidak hanya menodai lembaga legislatif di negeri ini, tetapi lebih dari itu sangat menciderai kehormatan bangsa secara umum.
Bukan dalam rangka mendramatisir berita tersebut, tetapi bagi siapa saja yang masih mengagungkan etika dan moralitas tentu akan menganggap bahwa tindakan bejat itu bukan hanya angin lalu saja. Cerminan buruk yang dipertontonkan tersebut mempunyai dampak dan kemungkinan-kemungkinan negatif terhadap laju kehidupan berbangsa. Sejenak seakan biasa saja, tetapi bila dilihat dari terminologi kepantasan (moralitas) tentu menjadi sebuah problem besar untuk segera dituntaskan dengan solusi-solusi alternative yang memungkinkan terjadinya perbaikan di dalamnya. Selain dari pada itu, tontontanan amoral tersebut adalah kejadian kesekian kalinya setelah sebelumnya sempat beberapa kali dipertontonkan oleh sejumlah anggota legislatif juga. Dengan demikian, persoalan skandal seks berbentuk video ini tidak bisa lagi dianggap kecil dan spele.
Lembaga sebesar DPR dimana di dalamnya adalah orang-orang yang menyatakan dirinya hebat, tetapi dalam kenyataannya adalah kumpulan orang-orang bermental tempeyek. Bagaimana mungkin sosok yang menyatakan dirinya adalah wakil rakyat yang terhormat, lalu kemudian belum bisa meredakan detak birahinya sendiri. Sungguh pernyataan ini terasa kurang elok, bahkan mungkin terasa pahit, namun hal yang pahit tersebut jika berguna bagi kebaikan tentu menjadi legal untuk diungkapkan (qulil haqqa walau kana morron).
Siapa yang bertanggung jawab?
Beranjak dari kejadian memalukan tersebut, maka penting untuk bangsa ini agar terus melakukan evaluasi dan pembelajaran secara terus menerus pada pola dan sistem perekrutan keanggotaan DPR ke depan. Mungkin lebih tepatnya, tugas ini merupakan juga milik sejumlah partai politik yang ada agar tidak sembarangan menempatkan kader-kadernya untuk duduk di parlemen.
Hal tersebut merupakan langkah antisipatif, mengingat kejadian memalukan tersebut di atas dimungkinkan tidak dengan serta merta muncul pada saat itu saja. Bisa jadi tindakan tersebut merupakan salah satu kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh salah seorang kader partai, maka individu semacam ini tentu tidak boleh dipasang sebagai kader yang duduk di kursi parlemen.
Pada sudut pandang yang lain, uang memang adalah penguasa tak terbantahkan dalam kehidupan, terutama bagi para penganut materealisme sejati. Dengan uang seseorang bisa membeli apa saja, termasuk di dalamnya adalah pemenuhan birahi. Sejatinya hal tersebut merupakan tindakan di atas kewajaran (amoral). Deskripsi ini jika dikorelasikan pada skandal video porno tersebut di atas, maka bisa diterka bahwa anggota DPR yang bersangkutan sejatinya mengidap penyakit berbahaya yang bernama materelisme.
Kedua sudut pandang analisis di atas, baik tindak amoral yang muncul dari kebiasaan ataupun yang distimulan oleh meningkatnya finansial, keduanya tentu menjadi penghalang untuk duduknya seorang kader partai di lembaga terhormat DPR. Maka, tidak ada jalan lain bagi lembaga terhormat tersebut untuk mengeluarkannya dari keanggotaan, kemudian juga dikenakan padanya ganjaran setimpal, baik secara institusional DPR dan institusional intern partai yang bersangkutan.
Secara gamblang, kasus video porno di institusi DPR merupakan tanggung jawab DPR itu sendiri serta seluruh partai yang ada saat ini. DPR secara institusional, benar-benar harus tegas menindak setiap anggota DPR yang melakukan tindak amoral dengan mengeluarkan dari keanggotaan serta memberikan sanksi sosial yang setimpal bagi yang bersangkutan.
Adapun kewajiban bagi seluruh partai, agar melakukan perkaderan yang baik dengan sistem karir berjenjang, hal itu dimaksudkan agar terjadi proses pendewasaan mental di tubuh kader yang bersangkutan. Selanjutnya, harus ada uji kelayakan pada setiap kader yang akan didudukkan di parlemen. Kualifikasi tersebut, tidak hanya mereka yang lolos dari sisi penguasaan ideologi partai, tetapi juga tidak boleh mempunyai catatan cacat moral.
Jika partai dan DPR bisa menyadari bahwa kasus video porno dan tindak amoral lainnya adalah tanggung jawab bersama untuk dituntaskan, maka kepercayaan rakyat serta wajah parlemen yang terhormat tidak akan pernah ternodai lagi sampai kapanpun. Semoga….
0 komentar:
Posting Komentar