Sungguh tidak ada
alasan untuk berputus asa dalam membangun bangsa ini. Segala kekurangannya
adalah bagian dari lahan jihad untuk terus menyempurnakan cita-cita mulia para
pendiri bangsa. Kemungkinan apapun dari niat suci itu adalah konsekwensi yang
harus diterima walau pahit sekalipun. Realitas yang kurang elok dari dinamika
bangsa saat ini bukanlah suatu kendala untuk terus mewujudkan Indonesia yang
sejahtera dan bermartabat. Di atas fundamen idealitas inilah semua gerak
perjuangan itu harus dipijakkan.
Mewacanakan idealitas
dari setiap motivasi untuk beranjak dari keterpurukan adalah hal yang sangat
dibutuhkan untuk kondisi seperti saat sekarang ini. Hal itu dimaksudkan sebagai
bentuk respon dari menciutnya kadar idealisme dari setiap perjuangan yang
digulirkan oleh setiap anak bangsa. Indikasi dari gejala tersebut bisa dilihat
dari berbagai sisi kehidupan profil tokoh-tokoh bangsa yang saat ini menikmati
empuknya kursi birokrasi di pemerintahan. Ada dimensi-dimensi tertentu yang terbilang
di luar kewajaran, seakan sebagian mereka tidak mengenal lagi makna moralitas
dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Kasus yang lebih dekat
dengan hal di atas selain dari kasus korupsi adalah, fenomena hilangnya rasa
malu yang menjangkiti hampir dari setiap lembaga pemerintahan di negeri ini. Rasa
malu itu seakan telah tergantikan oleh birahi-birahi yang menuntun sebagian
mereka pada tindakan bejat (fakhsya’). Tindak-tanduk sebagian mereka yang
terjerumus dalam sensasi fakhsya’ kadang mengundang tawa karena terkesan
lucu, tapi tidak sedikit juga yang mengundang rasa geram.
Adapun indikasi paling
riil dari hilangnya rasa malu itu betul-betul sangat kentara ketika menyebarnya
video porno yang mirip dengan dua anggota DPR dari suatu partai tertentu. Kasus
tersebut adalah kasus yang ke sekian kalinya yang menempatkan lembaga terhormat
di negeri ini pada kondisi yang sangat hina. Terlepas apakah hal itu bagian
dari manuver politik yang digulirkan dari rivalitas yang cukup ketat di ranah
perpolitikan di negeri ini, atau kemungkinan terdapat indikasi lainnya, yang
jelas moralitas tidaklah bisa ditawar dalam kehidupan berbangsa.
Segmen lain dari
fenomena hilangnya rasa malu juga terlihat dari geliat sejumlah tokoh yang
meleburkan dirinya dalam bursa capres pada pilpres 2014 nanti. Indikasi
hilangnya rasa malu itu cukup terlihat ketika salah satu tokoh di kubu partai
tertentu yang notabene masih mempunyai hutang berat terhadap rakyat Sidoarjo
terkait kasus lumpur Lapindo maju sebagai kandidat capres. Gejala ini tentu
masih bisa dikategorikan sebagai bagian dari tindakan yang menyisihkan rasa
malu. Titik malu yang semestinya dipertimbangkan itu terdapat pada penyelesaian
lumpur Lapindo yang tak kunjung selesai. Tetapi nyatanya, titik malu tersebut
tidak pernah menjadi bagian dari pertimbangannya, bahkan sang tokohpun maju
dengan rasa percaya diri (pede) luar biasa.
Di kubu partai yang
lain, dalam pantauan media disinyalir ada partai yang mau mencalonkan kandidat
capresnya di luar partainya. Walau isu ini baru berupa desas-desus, namun bisa
diindikasikan bahwa kondisi partai tersebut tergolong sebagai partai yang
sedang galau. Kondisi ini semestinya patut dirasa sebagai hal yang cukup
memalukan, karena perkaderan dalam partai tersebut bisa dinilai gagal.
Kasus dan fenomena di
atas cukup representatif untuk menggambarkan bagaimana rasa malu itu sudah
demikian tipis. Kondisi tersebut secara umum tidak hanya menjangkiti ruang
individu saja akan tetapi sudah menjangkiti ruang komonitas. Gejala tersebut
bila ditarik pada tegaknya idealisme di negeri ini, maka tentu hal tersebut masih
jauh dari yang semestinya. Kesungguhan untuk menegakkan idealisme tentu tidak
mungkin bisa berjalan mulus, kalau individu dan komonitas (partai) tidak bisa
membangun rasa malu terhadap kekurangan yang menganga dan menjadi tontotan
publik tersebut.
Mengukuhkan rasa malu
dalam memupuk idealisme kebangsaan tentu sudah menjadi pilihan mutlak untuk
sebuah perubahan yang lebih baik. Kemudian hal yang penting berikutnya adalah,
mengurai motif dari geliat perpolitikan yang mengemuka saat ini. Mengukur
motivasi tentu tidaklah mudah, karena hal tersebut bila dilihat dalam kaca mata
agama merupakan bagian dari pekerjaan hati. Tetapi dalam konteks dunia politik,
ukuran motivasi itu bisa dibilang lebih mudah untuk diurai.
Sejatinya penyisihan
rasa malu itu tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Beban psikologis
untuk individu, serta beban sosiologis untuk suatu komonitas tentu menjadi hal
yang tidak bisa dihindari. Namun dalam ranah intern baik yang individu maupun
dalam konteks komonitas terjadi suatu benturan yang luar biasa antara rasa malu
dan ambisi (kepentingan). Malu dan ambisi inilah kemudian saling menikam satu
sama lain, namun akhirnya yang keluar menjadi sang jawara adalah ambis itu
sendiri.
Kemenangan ambisi dalam
menghabisi rasa malu menjadi benang merah yang bisa diangkat ke permukaan
sebagai bentuk motivasi dari geliat pepolitikan yang menggejolak tersebut. Dari
situ kemudian bisa disimpulkan bahwa, motif nyata dari geliat politik dalam
bentuk personal ataupun komunal adalah berangkat dari ambisi (agresifitas).
Gejala adanya motif
ambisius (agresifitas) sejatinya merupakan salah satu potensi alami seorang
manusia. Bahkan bila merujuk pada Sigmund Freud, dinyatakan bahwa agresifitas
itu merupakan instink bawaan manusia sebagai bagian dari hewan (animal
power). Potensi ini sebenarnya cukup potensial untuk melahirkan
individu-individu kuat yang pantang menyerah. Namun potensi tersebut seakan
tidak berarti apa-apa ketika hanya dibiarkan memisah dari potensi-potensi lain
dalam diri manusia. Bahkan pada taraf tertentu, potensi tersebut justru
melahirkan tindakan destruktif.
Kekuatan yang lahir
dari ambisi, sedangkan akurasi yang lahir dari nalar belumlah menjadi potensi sempurna
untuk membangun suatu bangsa. Aspek etis dan kontinuitas adalah aspek paling
krusial yang dibutuhkan ketika ambisi dan nalar dalam kondisi lesu. Adapun hal
yang bisa melahirkan kedua aspek tersebut adalah hati yang mengembangkan cinta.
Jadi secara garis besar, ambisi, nalar dan cinta adalah sumber motivasi yang
tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus bisa menjadi landasan
dari setiap niat individu atau komonitas (partai) dalam setiap tindak
perpolitikan di negeri ini.
Akhirnya, dari uraian
singkat di atas melalui fakta dan idealita hendaknya setiap kandidat pemimpin
negeri ini secara khusus, serta rakyat semesta Nusantara secara umum bisa mampu
memilih pilihan niat politiknya dengan cerdas, apakah memilih salah satu dari
tiga sumber niat tersebut di atas, atau memilih ketiganya secara bersama-sama.
Pilihan dan konsekwensinya ada di tangan Anda…
0 komentar:
Posting Komentar