Sunggguh suatu hal yang paling sulit ketika kita mencoba mengurai faktor penggerak di balik dari setiap tindakan. Bagi orang tertentu mungkin hal ini tidak dianggap perlu, namun tidak bagi kelompok lain yang memandangnya sebagai hal yang sangat penting. Bagaimanapun respon tersebut tentu mempunyai alasan dan pijakan yang menjadikan setiap kelompok meyakini bahwa pilihannya berada pada titik yang benar. Sungguhpun hal yang semacam ini sejatinya merupakan bagian dari pola setiap indvidu atau kelompok dalam mengurai pondasi paling pokok dari setiap tindakan.
Untuk kelompok yang tidak menganggap penting, pada hakikatnya juga termasuk menjadi kelompok yang juga ikut berusaha mengungkap setiap faktor penggerak dari apa yang mereka pilih. Jadi, bila sengaja dibuat semacam anggapan sementara, bahwa tidak ada suatu tindakan atau pilihan yang bergerak tanpa suatu alasan tertentu, sekalipun kelompok yang melebelkan dirinya tidak mau tertarik untuk mengurai penggerak tersebut.
Tindakan paling prinsip yang bisa dikategorikan sebagai tindakan yang paling banyak diperbincangkan oleh sejumlah ahli adalah persoalan moral. Perbincangan moral sangat begitu pelik, menempatkan pada posisi sebatas pengetahuan atau justru hanya sebatas tindakan. Tarik ulur antara keduanya memunculkan banyak pemahaman, ada yang menyatakan moral itu merupakan tindakan nyata yang bisa dinilai baik ataupun buruk, kemudian kelompok kedua menyatakan bahwa moral itu apa yang dipahami oleh nalar manusia sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk.
Sungguh ini bukanlah hal yang mudah untuk menyatakan posisi moral yang sebenarnya. Sebagian yang lain menyatakan bahwa sebagian moral adalah pengetahuan, kemudian sebagian yang lain adalah tindakan. Sejenak argumentasi ini cukup mewadahi makna moral tersebut walau masih memungkinkan dimintakan sejumlah faktor-faktor pendukungnya. Kerancuan ini satu sisi adalah bentuk paling memuakkan, tetapi pada sisi yang lain merupakan jalan terang menuju suatu konsepsi yang bisa divaliditasi secara logis dan diterima oleh khalayak.
Diakui, memang tidak banyak individu yang berminat meluangkan waktunya untuk sesuatu yang dianggap kecil namun urgensinya cukup besar dalam kehidupan. Manusia pada dasarnya tidak mau terlalu susah dengan sesuatu yang sifatnya sederhana dan prinsip, kecenderungan yang lebih dominan pada hal-hal yang bisa dirasakan secara fisik. Namun demikian, bangunan konsepsi dibalik dari yang tersurat mesti juga harus terus diusahakan agar sejumlah tindakan atau amalan menjadi tindakan yang produktif dan bermanfaat pada kehidupan jangka pendek (temporal) dan jangka panjang (abadi). Dalam hal ini penulis ingin menyatakan bahwa diskusi mengenai moral tentu merupakan diskusi yang cukup penting dan menarik.
Terlepas apakah diskusi ini disukai atau tidak, moral tetap menjadi suatu bangunan konsepsi yang cukup memberikan dampak signifikan pada kehidupan nyata. Banyak orang menilai, merebahnya perzinahan, korupsi, penjarahan, perampokan dan tindakan-tindakan sejenisnya merupakan bagian dari bobroknya moral. Sejumlah argumentasi dilontarkan untuk situasi yang kacau tersebut, cercaan, hinaan dan ketidakberpihakan terhadap tindakan keji itu mengalir dari berbagai arah. Pada intinya manusia secara umum tidak menyukai kekacauan tersebut, yang pada dasarnya ketidak sukaan itu karena dilahirkan dari konsepsi moral yang kurang akurat. Namun hal ini tidak bisa dirasakan oleh kebanyakan orang. Segelintir orang hanya berdiskusi pada dimensi luarnya saja, sementara perubahan diminta bisa terjadi secepatnya. Kondisi ini tentu tidak akan memberikan perubahan yang berarti, malah pada taraf yang lebih memilukan hanya akan menumbuhkan kejenuhan sosial yang akut.
JIka dipahami lebih bijak, kekacauan yang terjadi selama ini karena sebagian besar manusia masih belum begitu mengerti persoalan konsepsi dibalik setiap tindakan yang dipertontonkan. Nilai baik dan buruk hanya berkisar pada satu persepsi, sementara perspektif yang lain dirasa tidak diperlukan. Sebagai contoh, bahwa makna moral itu hanya dimiliki oleh individu bukan milik halayak ramai. Nyaman, baik dan senang diborong menjadi milik pribadi, sehingga ruang publik tidak punya hak untuk menuntutnya. Kondisi inilah kemudian membutakan setiap mata akan adanya kemiskinan, kelaparan dan kekurangan finansial dan logistik di setiap sudut negeri ini. Uang milik rakyat (publik) banyak dimiliki sah secara hukum oleh individu dan kelompok-kelompok tertentu, sementara rakyat pemilik yang sejati menerima deritanya akibat kerakusan mereka.
Begitu rendah dan sempitnya pemahaman moral yang berlaku di tengah-tengah umat sehingga terjadi seperti gambaran di atas. Sebagai bentuk respon sederhana adalah mencoba menilik sejumlah dimensi yang memungkinkan melahirkan nilai moral yang lebih luas. Salah satu hal yang harus dipahami lebih awal bahwa moral sebagai nilai keberadaannya sudah ada sejak awal diciptakannya manusia. Dengan demikian, secara instinktif manusia berpotensi menemukan kebenaran, kenyamanan, ketentraman dari dalam dirinya. Begitu juga dengan penanda yang disebut moral tentu bisa didapat dari dalam diri manusia. Tetapi setelah manusia bersinggungan dengan sesamanya, kenyamanan, kebenaran dan ketentraman seakan bergesekan dan saling mendesak untuk muncul sebagai sang pelopor. Benturan atauu gesekan inilah memunculkan banyak diskusi, persepsi serta tindakan nyata dengan berbagai macam dampaknya. Tetapi pada dasarnya seluruh proses gesekan itu menginginkan suatu kedamaian, walaupun yang termuat dalam ruang publik bisa berbentuk kekejian.
Uraian di atas jika disederhanakan, dunia ini adalah lahan berjumpanya nilai-nilai kebenaran subyektif yang sedang mencari lingkungannya sendiri. Jika berpijak pada konsepsi ini maka segala tindakan tidak akan pernah mempunyai nilai salah, keji ataupun jelek, akan tetapi segala bentuk tindakan semua bernilai sama. Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu sendiri juga tidak pernah memberi sekat atau ruang-ruang tertentu terhadap segala bentuk tindakan yang lahir dari manusia. Karenanya dalam hal ini neraka, surga, pahala dan dosa merupaka isapan jempol belaka yang tidak jauh berbeda dengan kebohongan.
Salah satu kesalahan besar dalam memahami moral adalah sudut pandang yang kurang pas. Dalam hal ini moral dimasukkan dalam sekat-sekat kepentingan dimensi tertentu. Agamawan misalnya, menempatkan moral sebagai bentuk tindakan yang berniali baik, jika tidak dikerjakan maka akan mendapat dosa serta masuk neraka. Moral dipahami sebagai perintah Tuhan semata, sedangkan korelasi kegunaan sosial dan individu menjadi sesuatu yang sekunder. Untuk kondisi seperti saat ini, menakut-nakuti manusia dengan neraka atau memberikan janji-janji masuk surga tentu tidak lagi mujarab menyembuhkan dekadensi moral yang terjadi.
Agama di era yang meminta konsepsi serta penafsiran yang dinamis harus lebih kreatif mengemas ajarannya tanpa mengurangi substansinya. Penafsiran lama yang mengahadirkan jawaban-jawaban sementara dari sutau kewajiban atau perbutan baik harus direvisi dengan model teranyar. Tentu propaganda in tidak semata-mata mengkerdilkan agama, tetapi hal ini justru sebagai bentuk keprihatinan dimana agama dalam hal ini hanya sebatas bentuk legitimasi dari bentuk dekadensi moral yang sesungguhnya.
Sejatinya keprihatinan ini bermula dari realita sosial dimana moral yang dikendalikan dalam ajaran-ajaran normative agama terkesan mandul. Sumpah dibawah naungan kitab suci atas nama agama untuk melaksanakan amanah kepemerintahan tidak mampu melahirkan individu dan pemimpin yang bermoral. Bahkan kalau mau dimaknai lebih dalam lagi, agama menjadi alat untuk melanggengkan suatu tindakan yang jauh dari apa yang disebut dengan moral. Berdasar fakta ini, maka mau tidak mau makna moral itu harus betul-betul dikembalikan pada posisinya. Agama yang semula banyak diyakini sebagai kemasan paling manjur, tapi ternyata untuk kondisi saat ini malah menjadi biang dari sejumlah tindakan amoral.
Merevisi makna moral terkesan cukup janggal, tetapi hal ini bukan bermaksud meladeni pandangan imaginative nalar semata, tetapi merupakan suatu keharusan yang berpijar dari fakta-fakta. Secara psikologis tumpulnya nilai moral dalam tradisi agama mungkin karena kejumudan makna yang sudah tidak memadai untuk menyapa zaman, sehingga kemudian muncul semacam kejenuhan dari ranah psikologi manusia. Pada saat yang sama, manusia meminta suatu pandangan baru untuk menuntaskan pelik problem yang melilit dirinya. Maka secara jujur, revisi atau rekonstruksi makna moral itu memang dirasa sangat perlu guna suatu perubahan positif.
Merekonstruksi bukan berarti membongkar kemudian membangun kembali dan membuang semua yang lama, akan tetapi disitu masih ada ruang akomodatif untuk berbagai kemungkinan terhadap suatu tujuan positif tadi. Sebagai bentuk nyata dari rekonstruksi yang dimaksudkan adalah, agama diharapkan juga harus melibatkan manusia dalam kapasitasnya sebagai pribadi ataupun sebagai kelompok masyarakat dalam merumuskan makna moral baru.
Jika kembali pada kondisi mansuia secara personal bisa dipahami bahwa takaran baik atupun buruk adalah pembawaan secara natural. Sementara agama merupakan pengagas komitmen teologis adanya suatu ikatan antara manusia (kolektif) yang profan dengan Tuhan yang sakral. Bangunan komitmen tersebut kemudian melahirkan konsekwensi logis yang menggiring manusia semakin mengerti tentang potensi moral yang bercokol dalam dirinya sejak ia diciptakan. Kebaikan akhirnya bermunculan secara kolektif, setelah sebelumnya manusia hanya mampu melahirkan moral kebaikan secara pribadi. Dengan demikian, agama dalam hal ini berfungsi sebagai penggagas moral kolektif yang bernuansa spiritual, sehingga pada saat bersamaan manusia mulai mengenal common vision dalam konteks moral spiritual. Baik, buruk, halal dan haram menjadi simbol-simbol familiar yang membatasi dari setiap tindak-tanduk masyarakat spiritual (beragama).
Kematangan agama dalam meramu nilai-nilai moral rasanya tidak tergoyahkan pada mulanya. Namun seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan, disana sini terjadi pinjam-meminjam tradisi dan konsep, maka pada tahap berikutnya kematangan tersebut perlu dilihat kembali. Jalan ini dirasa memang cukup perlu sebagai upaya mejawab komplektfitas yang ada serta menanggapi konsekwensi yang semakin tidak berpihak pada komitmen yang dibangun oleh agama tadi. Salah satunya adalah mendengarkan lebih banyak lagi nilai-nilai pembawaan manusia sejak lahir. Hal ini dirasa perlu ketika agama terlalu jauh memainkan perannya dalam ranah pribadi. Agama dengan semena-mena menyeret setiap individu bergantung pada komitmen-komitmen yang dibangun oleh agama tanpa mau memberi liang yang cukup lebar pada potensi yang ada dalam pribadi seorang manusia. Potensi berfikirnya tidak diberi kebebasan, ruang munajat qolbunya dibatasi formalitas, sehingga wajah Tuhan yang menjadi tujuan agama sendiri tak kunjung hadir secara holistik dalam diri manusia. Tuhan-tuhan yang dihadirkan oleh agama-agama sebagai hakim yang siap mengetok palu, sementara wajah Tuhan yang Maha Pengasih jarang ditampilkan, hal tersebut dikarenakan potensi dan nilai-nilai moral bawaan manusia dilupakan.
Kemudian untuk selanjutnya, agama dalam menggagas moral harus menggandeng potensi kolektif manusia. Sebagai bentuk konkretnya adalah, bahwa dalam nilai-nilai moral itu harus disuguhkan cita-cita kebangsaan yang merupakan potensi bawaan manusia secara kolektif. Cita-cita, visi kebangsaan dirasa cukup penting untuk bersama menyulam sisi kekurangan nilai moral dalam agama, karena dengan adanya integralisasi nilai tersebut seorang manusia akan mempunyai konsekwensi ganda antara tanggung jawab pribadi pada Tuhan serta tanggung jawabnya kepada bangsanya. Bentuk aksinya merupakan tugas para ahli hukum untuk menerjemahkan seluruh rangkaian integralisasi nilai-nilai tersebut dalam suatu undang-undang yang akan mengawasi setiap individu.
Sebagai penutup, bahwa moral itu satu sisi adalah bawaan (nature) tetapi pada sisi lain juga berjalan di atas pengalaman (nurture). Karenanya dari setiap nilai yang dibawanya harus terjadi integralisasi yang kuat antara yang nature dan nurture. Nature itu berupa bawaan sejak lahir, bahwa manusia secara natural berpotensi mengenal kebaikan, baik secara pribadi ataupun kolektif (berbangsa), sedangkan yang nurture itu adalah nilai-nilai moral dalam agama yang diketahui oleh manusia setelah adanya tuturan wahyu ilahi. Jika keduanya bisa diintegralisasikan secara utuh, maka itulah makna sejati serta makna rekosntruksi yang dimaksudkan. Sebagai bentuk konstribusinya, amoralisasi yang mewabah akan terjawab dengan sendirinya, pada akhirnya akan tercipta kedamaian sejati. Semoga…..