Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

Kamis, 14 Agustus 2008

EXPLORASI JIMAT DALAM TINJAUAN ANTROPOLOGI

A. Pengertian Jimat

Bagian ini merupakan bagian penting sebelum pembahasan lainnya. Karena pada bagian ini akan dijelaskan apa sebenarnya jimat pada tataran teoritis. Menjadi penting, karena pembahasan berikutnya akan tidak jelas tanpa lebih dulu mengetahui makna dari jimat tersebut. Pembahasan sengaja ditilik dari hal yang paling luas agar nantinya bisa didapatkan pengertian yang valid.

Sebelum mengeskplorasi labih jauh tentang fenomena jimat maka langkah awal yang tepat adalah mencoba memahami jimat dari sisi pengertiannya. Hal ini menjadi penting karena jimat bukanlah benda yang hanya bersifat fisik, namun dibalik yang nampak terdapat ada kekuatan yang sifatnya metafisik yang diyakini oleh para penggunanya.

Dalam mencari makna jimat yang relatif konkrit dan tepat perlu kiranya menarik dari istilah yang jauh lebih luas dari sekadar jimat. Istilah yang sering digunakan oleh orang dalam hal yang berbau metafisik adalah mistik. Mistik ini merupakan istilah terluas dari jimat. Secara bahasa mistik berasal dari bahasa Yunani yaitu, Mystikokos yang artinya rahasia (geheim) serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman (Wikipedia, 2008: Tanpa halaman). Menempatkan mistik sebagai istilah yang menaungi jimat cukup tepat, karena jimat juga menyimpan sesuatu yang rahasia. Pada pendapat lain dikatakan bahwa mistik adalah, penyatuan total dengan realitas yang lebih tinggi (Chodjim, 2003:300).

Dari arti di atas maka mistik berarti adanya sesuatu yang terselubung dan rahasia yang bersatu total dengan realitas tinggi atau dalam hal ini adalah Tuhan. Pengertian tersebut sangat terkait dengan fakta hidup yang hampir ada pada lini strata sosial masyarakat luas. Dalam kehidupan nyata banyak ditemukan di masyarakat sebuah kepercayaan terhadap adanya kekuatan, namun kekuatan tersebut tidak bisa dipantau secara inderawi. Termasuk kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib pada sebuah benda tertentu.

Benda-benda yang diyakini mempunyai kekuatan gaib banyak dicari orang sebagai barang pegangan. Barang pegangan yang mempunyai kekuatan tersebut, orang jawa menyebutnya sebagai jimat (Suyono, 2007 : 236). Kekuatan gaib yang terdapat pada benda tersebut kemudian diyakini oleh para pemiliknya dapat membantu mengatasi permasalahan hidup (Sukarto, 2007:241).

Jimat dalam bahasa Arab disebut dengan Tamimah yang berarti pernik-pernik yang digantung, yang diyakini dapat memberikan manfa’at agar terhindar dari bencana (Qordlawi, 2003 : 151). Dalam hal ini orang berkeyakinan bahwa di dalam barang atau benda yang berupa jimat tersebut diyakini mempunyai kekuatan.

Pendapat lain ada yang mengatakan kalau jimat adalah, sebuah benda yang dianggap mempunyai kekuatan sebab akibat yang tidak masuk akal pikiran. (Hasyim, 1975: 207).

Setelah mengurai dari istilah terluas serta pendapat dari berbagai orang, maka dapat disimpulkan bahwa jimat adalah benda dengan berbagai macam bentuknya yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural di luar jangkaun pikir manusia, serta diyakini dapat membantu menyelesaikan persoalan hidup.

B. Jimat dalam Praktik Dagang

Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana jimat sebagai barang yang diyakini mempunyai kekuatan yang digunakan oleh para pedagang dalam praktik dagangnya. Penelusuran yang akan menjadi bahasan pada bagian ini akan dimulai dari yang paling luas hingga pada bagian-bagian yang semakin konkrit.

Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Dalam arti lain manusia dalam kehidupannya selalu hidup berdampingan, maka dengan keadaan yang seperti itu akhirnya manusia menghasilkan budaya. Hal ini sesuai dengan tiga fungsi manusia dalam hidupnya yaitu sebagai makhluk Tuhan, individu dan sosial-budaya (Setiadi dkk, 2005 : 48).

Disebutkan di atas bahwa budaya bagian dari fungsi manusia. Sedangkan budaya sendiri mempunyai cakupan yang sangat luas dan terus berkembang. Budaya adalah keseluruhan yang sangat kompleks yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian moral, hukum dan adat istiadat (Taylor, 2008: tanpa halaman). Dalam pengertian ini terdapat poin yang menunjukkan pada sistem kepercayaan. Pada poin ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia pasti ada sebuah kepercayaan yang menjadi pola atau pegangan hidupnya. Kepercayaan tersebut bisa berupa kepercayaan kepada Tuhan atau hal-hal lain di luar dunia fisik.

Dalam budaya itu terdapat empat unsur penting salah satunya adalah sistem ekonomi (Kovits, 2008: tanpa halaman). Selain dari apa yang tersebut sebelumnya, sistem ekonomi juga menjadi bagian dari budaya. Sistem ekonomi yang paling dekat pada dunia riil yang bisa diamati setiap hari adalah, perilaku perdagangan yang terjadi diantara manusia. Perilaku perdagangan tidak bisa dipungkiri sebagai bagian dari sistem ekonomi yang selama ini sudah ribuan tahun berjalan.

Sistem kepercayaan dan sistem ekonomi merupakan bagian kecil dari sekian banyak budaya yang kompleks yang berkembang di tengah-tengah manusia. Dari setiap bagian yang ada mempunyai relefansi yang dekat, sehingga memungkinkan adanya titik temu yang bisa diungkap ke permukaaan. Begitu juga dengan kepercayaan serta sistem ekonomi juga bisa ditemukan titik relefansinya.

Untuk memudahkan menemukan titik relefansi diantara keduanya maka tidak bisa dielakkan lagi pembahasan ini harus feed back pada sejarah dari manusia itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa manusia juga berfungsi sebagai makhluk Tuhan. Makhluk tuhan disini berarti bahwa, manusia mempunyai kecenderungan mempercayai Tuhan, fakta konkrit ini biasa tertuang dalam bentuk agama. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib (Agus, 2005: 1). Jadi jauh beribu-ribu tahun yang lalu manusia sudah mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan di luar fisik. Kepercayaan tersebut dalam sejarah nenek moyang kita tertuang dalam bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme (Wikipedia, 2008: Tanpa Halaman).

Kepercayaan nenek moyang dalam bentuk di atas walau tidak disebut sebagai agama, namun substansinya sama dengan agama itu sendiri. Persamaan yang ada di dalamnya adalah, adanya ritual dan anggapan akan adanya kekuatan gaib yang menempati suatu benda. Pengakuan adanya kekuatan gaib ini bermakna agama yang merupakan gejala universal dari manusia secara umum, begitulah yang diakui oleh Begrson (Agus, 2005: 3).

Kepercayaan pada dunia luar menjadi keunikan mendasar dalam kehidupan manusia. Pada masyarakat primitif, kepercayaan menjadi sistem yang terpadu dengan segala aspek kehidupan lain (Agus, 2005: 9). Artinya segala aspek kehidupan manusia dari yang paling kecil hingga pada hal yang paling besar berada pada tatanan kepercayaan atau agama. Tradisi ini kemudian direduksi oleh masyarakat kita saat ini termasuk dalam dunia dagang. Dalam dunia dagang muncul sebuah kepercayaan terhadap kekuatan di luar yang fisik atau supranatural yang diyakini dapat membantu profesi mereka.

Kepercayaan kepada dunia supranatural dari zaman manusia dahulu hingga saat ini akan terus berlangsung. Sebagi contoh berikut survei yang dilakukan di Australia dan Amerika Serikat 80 % penduduknya mengaku memiliki satu atau lebih keyakinan metafisika (Daruputra, 2007: 21). Fakta ini cukup untuk dijadikan sebagai pijakan tentang kehadiran kepercayaan pada dunia supranatural di zaman modern saat ini.

Fakta riil di atas bisa dilihat dari beberapa fenomena yang terungkap. Diantaranya adalah kepercayaan terhadap kekuatan pada benda. Benda tersebut kemudian dikenal dengan azimat atau jimat. Azimat ini sangat populer diperjual belikan antara dukun dan kliennya (Daruputra, 2007: 32). Keberadaan jimat di tengah-tengah masyarakat cukup dikenal dan dalam praktiknya juga telah melebur pada setiap sisi kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai macam dukun yang mengeluarkan jimat. Dunia dagang pun juga mengenal hal tersebut, salah satu dukun yang mengeluarkan jimat dengan kegunaan pada bidang ekonomi adalah, dukun pesugihan (Daraputra, 2007: 113). Adanya dukun pesugihan ini, menunjukkan kalau praktik perdagangan sangat berkaitan dengan jimat, jadi jimat mempunyai peran dalam dunia dagang.

Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa jimat menjadi bagian dari kehidupan dagang. Fenomena yang terangkat dari fakta riil serta dari sejarah dan budaya menjadi hal yang tak terbantahkan bahwa jimat sampai saat ini masih jadi life style dari perilaku perdagangan. Karena antara budaya dan kepercayaan selamanya akan tetap menjadi bagian dari hidup manusia.

C. Fenomena Jimat dalam Tinjauan Antropologi Agama

Pembahasan pada sub ini akan lebih ditekankan pada posisi jimat dalam kajian Antropologi Agama. Namun akan dimulai dari beberapa penjelasan pengantar dari kajian Antropologi Umum guna mengantarkan pada pemahaman yang jelas serta agar didapat akar teoritis dari kajian fenomena ini.

Gejala pengunaan jimat merupakan salah satu gejala produk dari budaya yang berkembang di tengah-tengah kehidupan manusia. Gejala riilnya sudah dijelaskan pada sub di atas. Sebelum fenomena tersebut menjadi populer lalu kemudian menjadi sebuah budaya. Fenomena tersebut berangkat dari perseorangan. Untuk itu fakta ini tidak salah jika ditempatkan pada ruang lingkup pembahasan Antropologi.

Antropologi berasal dari dua kata Yunani yaitu, Anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti kajian. Jadi, dalam arti yang lebih luas Antropologi berarti kajian tentang manusia baik yang masih hidup atau yang sudah mati, yang sedang berkembang ataupun yang sudah punah. (Coleman, 2005: 8). Demikian cukup luas kajian Antropologi mengenai manusia dengan segala aspeknya. Pada tataran pembahasan ini yang dimaksudkan adalah, fenomena jimat.

Antropologi dengan cakupannya yang begitu luas mempunyai pembagian sebanyak tiga kelompok besar yaitu, Antropologi Fisik, Antropologi Budaya serta yang terakhir Antropologi Linguistik (Huky, 1994 : 16). Tiga kelompok besar ini membawahi berbagai macam bagian kecil. Hirarki kalsifikasi ini ternyata akhir-akhir ini mengalami perkembangan sehingga Antropologi tidak hanya terbagi menjadi tiga bagian saja. Perkembangannya memunculkan dua bidang garapan baru yaitu Antropologi Politik dan Hukum (Coleman, 2005: 10). Sedangkan bagian baru yang kedua adalah Antropologi Agama (Coleman, 2005: 130).

Pembagian Antropologi seperti yang disebutkan di atas mempunyai cakupan pembahasan dan batasan-batasan yang jelas. Sehingga di dalamnya tidak memungkinkan adanya kerancuan, kemudian jika dikorelasikan dengan fenomena jimat, maka jimat bisa ditilik dari dua bagian Antropologi yang berbeda. Jimat sebagai produk dari budaya menjadi garapan dari Antropologi Budaya, sedangkan jika kehadiran jimat dilihat dari sisi kepercayaan maka jimat masuk pada bidang garapan Antropologi Agama.

Agar lebih konkrit dalam memetakan posisi jimat dalam kajian Antropologi, maka perlu kiranya mengkomparasikan antara gejala yang berbentuk budaya dengan gejala kepercayaan. Maka dalam hal ini perlu adanya diskusi mendalam dalam memahami dua gejala tersebut. Sebagai langkah yang bijak, perlu penelusuran dari dua unsur gejala tadi.

Budaya merupakan sebuah karya dari manusia. Budaya menurut Coon adalah jumlah menyeluruh dari cara-cara dimana manusia tinggal dari generasi yang satu ke genarasi yang lain (Huky, 1994: 64). Artinya budaya hanya sebatas karya dari pola pikir manusia yang terealisasi dalam bentuk perilaku.

Kemudian pada sisi yang kedua bisa dilihat dari uraian mengenai kepercayaan yang terurai dalam agama. Agama merupakan sifat esensial manusia (Morris, 2007: 21). Selain itu agama juga sebagai watak esensial manusia (Morris, 2007: 22). Jadi segala bentuk macam kepercayaan, baik yang sudah terealisasi dalam bentuk agama ataupun hanya sebatas kepercayaan merupakan satu hal yang paling esensi dalam diri manusia sebelum yang lainnya. Kepercayaan bukan sebuah karya, tapi bisa dikatakan sebagai sifat bawaan sejak lahir.

Dua sisi dari fenomena jimat di atas sudah terurai, kini tinggal mebandingkan mana yang lebih dominan diantara keduanya. Kalau yang pertama berupa hasil produk yang tertuang dalam bentuk perilaku, pada sisi kedua yaitu dari kepercayaan yang merupakan watak atau sifat esensi dari diri manusia. Artinya sisi tinjauan Antropologi Agama lebih dominan, karena sifat dan watak datang lebih awal dari pada perilaku. Dalam maksud yang lebih konkrit, setiap manusia dalam berkarya atau beperilaku berangkat dari wataknya atau kebiasaan bawaannya.

Dari penjelasan simpel di atas akhirnya melahirkan sebuah kesimpulan bahwa perilaku jimat lebih dekat dan tepat sebagai bagian dari kajian Antropologi Agama.

1. Motivasi Penggunaan Jimat

Setelah menetapkan jimat sebagai bagian Antropologi Agama, maka dalam poin ini akan diuraikan motivasi penggunaanya dilihat dari sudut pandang Antropologi Agama. Uraian pada kajian ini berangkat dari pandangan-pandangan umum kemudian mengkrucut pada pembahasan yang lebih konkrit dan jelas.

Mengakui adanya kekuatan gaib merupakan pengakuan universal manusia (Agus, 2006: 3). Jadi berkepercayaan merupakan pembawaan murni dari seorang individu. Kepercayaan tersebut tentunya sebuah kepercayaan yang bersentuhan dengan hal yang gaib atau metafisik. Seperti yang terjadi pada fenomena penggunaan jimat.

Manusia memang tidak akan lepas dari hal yang berbau metafisik. Keberadaan manusia saja dibentuk oleh hal yang fisik biasa dsebut dengan badan, dan metafisik yang biasa disebut dengan rohani. Pada sisi roh inilah manusia dapat dibedakan dengan makhluk lainnya. Karena pada sisi ini terdapat tipe yang bercorak ilahi (Bakker, 2000: 97). Berangkat dari material ini manusia akhirnya mempunyai kecenderungan untuk selalu bertatutan dengan dunia di luar manusia.

Dunia di luar manusia itu merupakan daerah kelam yang tidak bisa disentuh dengan pengamatan fisik. Untuk area ini orang menyebutnya sebagai mistik. Dalam aplikasinya pada kehidupan riil menurut Van Herringen dalam bukunya Nederlands Woordennboek 1948, dia menyatakan bahwa mistik adalah adanya kontak manusia di bumi (aardse mens) dan Tuhan (Wikipedia, 2008: tanpa halaman). Kontak yang dimaksudkan disini adalah bentuk kesadaran manusia yang berangkat dari tipe ilahi yang menjadi material pembentuknya.

Mensejajarkan fenomena jimat pada fenomena agama secara umum merupakan keterkaitan yang cukup dekat. Seperti apa yang tertulis dalam sejarah panjang kehidupan manusia, yaitu mengenai tentang kehidupan nenek moyang kita dahulu. Mereka berangkat dari kesejajaran nilai badan dan roh ilahiahnya serta dengan kesadaran universalnya mengakui adanya kekuatan di luar mereka. Dengan keterbatasan ilmu pengetahuan, kala itu nenek moyang kita mengekspresikannya dengan mendatangi dan menyembah pohon-pohon besar yang dianggap di dalamnya terdapat kekuatan luar biasa.

Gambaran di atas mencerminkan bahwa secara umum nenek moyang kita percaya pada dinamisme dan animisme (Daraputra, 2007: 20). Bentuk kepercayaan nenek moyang kita merupakan bagian dari fitrah dia sebagai seorang manusia yang disebut dengan ekspresi relegius (Agus, 2006: 5). Bentuk kepercayaan ini tereduksi pada perilaku penggunaan jimat yang merupakan benda yang diyakini mempunyai kekuatan.

Semua uraian di atas kemudian melahirkan sebuah kesimpulan bahwa motivasi penggunaan jimat adalah bentuk ekspresi relegius murni seorang individu yang berangkat dari kelemahannya untuk meminta pertolongan lewat dimensi-dimensi pengantar yang berupa jimat.

2. Bentuk dan kegunaan Jimat

Kehadiran jimat sebagai benda yang mempunyai kekuatan sudah diakui oleh banyak orang. Pada sub bahasan ini akan diulas bagaimana Antropologi Agama menempatkan posisi jimat sebagai sebuah benda yang bermuatan mistik. Berikut ulasan mengenai jimat pada aspek bentuk yang dihantarkan melalui berbagai sisi. Hal ini dilakukan agar nantinya melahirkan kesimpulan yang memuaskan.

Berawal dari keyakinan animisme dan dinamisme banyak diantara masyarakat umum yang masih menyimpan beberapa pusaka yang dianggapnya mempunyai kekuatan serta dapat berpengaruh pada sukses dan gagalnya usaha manusia (Daruputra, 2007: 25).

Pada masyarakat Jawa mereka lebih banyak menggunakan keris sebagai barang pegangan. Ada sebuah kepercayaan Jawa yang dilekatkan pada keris sebagai barang pegangan yaitu mnifestasi do’a, harapan dan cita-cita atau disebut dalam bahasa Jawa dengan ‘sipat kandel’ pada keris tersebut (Bangunjiwo, 2007: 20). Orang Jawa begitu cukup dekat dengan keris hingga harapan dan do’a mereka lekatkan pada keris, sebuah kepercayaan yang kemudian menjelma menjadi budaya.

Menurut orang Jawa jimat mempunyai bentuk yang beragam, namun secara umum jimat itu berupa lembaran tipis dengan panjang kurang lebih 10 cm dan lebar 4 cm. Lembaran tersebut kemudian ditulisi beberapa huruf atau mantra yang hanya diketahui oleh pemiliknya (Suyono, 2007: 236).

Begitu sangat beragam bentuk jimat, diantaranya juga disebutkan yaitu, batu akik, keris, tomba, rajah (transkip tertulis) dan lain-lain (Daruputra, 2007: 32). Jadi jimat pada sisi bentuk fisiknya tidak mempunyai bentuk yang permanen. Sangat beragam, namun kekuatan supranatural yang ada pada benda tersebut tetap ada sejalan dengan keyakinan yang ada pada masing-masing penggunanya.

Dari bentuk fisik jimat seperti terurai di atas, Antropologi mempunyai persepsi yang berbeda terhadap jimat dalam segi bentuk. Antropologi menyebutnya sebagai benda sakral atau suci (Agus, 2006: 80). Sebutan ini terlepas dari pengertian bentuk fisiknya, tapi apa yang dianggap oleh orang pada benda tersebut.

Sakral menurut Roger Cailois adalah, sejenis perasaan relegius yang ditempatkan pada suatu benda (Agus, 2006: 81). Jadi benda sakral yang kali ini adalah jimat, merupakan benda yang diletakkan padanya sebuah perasaan relegius terkait pada keuatan supranutural yang terdapat di dalamnya.

Pada bentuk fisiknya jimat sebenarnya adalah benda biasa, namun ketika benda tersebut dimasuki oleh perasaan relegius nilai benda tersebut berubah. Eliade mendeskripsikan hal ini sebagai bentuk transformasi dari yang profan menjadi sakral (Pals, 2006: 242). Artinya pada sisi fisiknya jimat hanya berupa benda biasa layaknya benda yang lain, kemudian menjadi wujud baru ketika ditempati perasaan relegius tadi.

Benda-benda yang mengalami tranformasi tadi dalam bahasa Eliade disitilahkan dengan benda-benda imajinatif atau simbol (Pals, 2006: 244). Simbol-simbol tersebut kemudian dikaitkan pada yang di atas atau Tuhan, kemudian termanefestasi pada bentuk kehidupan riil (Pals, 2006: 252)

Jimat sebagai wujud benda yang mengalami tranformasi bernilai simbol yang menghubungkan dengan kekuatan Tuhan yang diletakkan padanya. Manifestasi konkritnya adalah manusia menggunakannya dalam kehidupan riil dengan mempercayai dapat membantu kehidupannya.

Penggunaan kekuatan untuk kepentingan dunia disebut dengan magi (Wach, 1992: 80). Jimat sebagai sebuh simbol imjinatif dari adanya kekuatan suprantural menjadi sandaran manusia untuk mengatasi hidupnya. Menurut Frazer hal itu merupakan karakter dari manusia yang berkepercayaan (Agus, 2006: 126).

Penjelasan di atas cukup singkat namun cukup untuk memberikan penjelasan konkrit tentang bentuk jimat dan kegunaannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa jimat dalam bentuk fisiknya bermacam-macam, namun dilihat dari ssisi Antropologi Agama adalah benda sakral dan simbol imajinatif dari kekuatan supranatural. Pada sisi kegunaannya jimat dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan hidup, layaknya benda sakral dan simbol lain yang ada. Dalam hal kegunaan, Antropologi Agama tidak mengulas secara konkrit tetapi hanya disebutkan dapat membantu permasalahan duniawi yang disitilahkan dengan magi.

D. Kesimpulan Teoritis

Pada ulasan yang terakhir ini akan dijelaskan kesimpulan dari tiga sub di atas sebagai penyimpul umum sekaligus temuan dari kajian teoritis.

Fenomena jimat merupakan fenomena yang cukup unik. Didalamnya tedapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan lebih dalam. Uraian atau paparan di atas mengenai fenomena jimat terasa cukup jelas, sehingga kemudian menghasilkan beberapa kesimpulan teoritis.

Dapat disimpulkan bahwa fenomena jimat dilihat dari sisi istilah mempunyai arti benda dengan berbagai macam bentuknya yang memiliki kekuatan luar biasa. Sedangkan jika dikaitkan pada dunia dagang jimat diakui dapat memberikan kemaslahatan dalam dunia dagang. Kemudian yang terakhir ketika ditinjau dari sisi Antropologi Agama maka fenomena dapat disimpulkan menjadi tiga bagian besar yaitu sebagai berikut :

1. Motivasi penggunaanya merupakan ekspresi relegius murni seorang manusia yang berangkat dari kelemahannya.

2. Bentuknya secara fisik sangat beragam, namun pada tataran fenomena yang nampak dalam kajian ini diistilahkan dengan benda sakral dan simbol imajinatif dari kekuatan supranatural.

3. Sedangkan kegunaannya dapat membantu manusia dalam ururusan dunia sebagaimana kegunaan benda sakral dan simbol yang lain lewat praktek magi.

Antroplogi Agama menilai fenomena ini sebagai agama baru yang belum disadari oleh penganutnya. Pernyataan ini sesuai dengan kajian Antropologi Agama yang menyatakan bahwa setiap kepercayaan yang sudah mempunyai lima aspek dasar sebuah agama disebut dengan agama. Lima aspek dasar agama yaitu, kepercayaan pada kekuatan gaib, ada unsur sakral, ada umat yang menganutnya, ritual serta yang terakhir ada unsur mistisme dan keyakinan. (Agus, 2007: 61-106). Lima aspek ini tereduksi pada fenomena penggunaan jimat. Berdasar pada teori inilah pandangan Antropologi Agama tersebut berpijak.

0 komentar: