Bersamaan dengan meningginya matahari di awal pagi Jum'at 23 Januari 2009 kembali aku mendapat tawaran untuk mengisi liburan dengan bermain futsal. Sebenarnya futsal sudah menjadi ritual mingguan yang biasa aku lakukan tiap Jum'at selama kurun waktu 2 bulan terakhir ini. Rasanya hari Jum'at dan futsal adalah dua sisi yang tak bisa dipisahkan. "Tiada jum'at tanpa futsal". Begitulah kira-kira perasaan ini mengatakannya, entahlah ada apa sebenarnya dengan futsal sehingga menjadikan aku mabuk karenanya.
Ada hal yang menarik dari futsal atau sepok bola mini ini yang perlu diexplorasi lebih dalam agar nantinya membuahkan dimensi nilai yang bisa dijadikan rujukan hidup. Rasanya tidak berlebihan jika aku mencoba menggali dan mengenali lebih dekat olah raga kesukaanku ini. Walau hanya sekadar refleksi ringan semata, tapi paling tidak dengan keberanian mencoba menghikmahi (menghadirkan hikmah) dari olah raga ringan ini bisa menjadikan aku lebih dekat kepada-Nya. Karena aku yakin Tuhan Allah akan selalu membumbuhi segala sesuatu di dunia ini dengan hikmah sebagai konsekwensi bahwa Tuhan Allah bisa didekati dari segala sisi kehidupan, walau dari sebuah permainan kecil sekalipun.
Futsal sejatinya hanya bentuk permainan dengan menggunakan si kulit bundar yang menjadi instrument vitalnya. Si kulit plontos satu inilah yang menjadi kejar-kejaran dari sekian banyak pemain. Satu bola untuk semua begitulah konkrit permainannya. Mengasyikkan permaianan ini, apalagi jika kebagian menggiring bolanya kemudian sampai bisa merobek jala lawan. Pada titik inilah ada rasa senang, bahagia, puas dan berbagai rasa lainnya yang belum sempat terliteralisasi lewat bahasa apapun. Menyenangkan bukan...... ?!
Tapi tidak mudah menemukan performa permainan yang mengesankan dan menggairahkan. Mengesankan berarti menjadikan seluruh peserta permainan dalam satu tim terkesan dan ingin mengulangi lagi. Hal seperti ini butuh kedewasaan dan kematangan emosional dari masing-masing individu dalam satu tim. Terutama pada tim-tim amatir seperti tim yang hanya sekadar mengisi waktu senggang layaknya yang diperagakan aku beserta teman-teman musyrif Mu'allimin di lapangan Bardosono. Permainana mengisi waktu senggang ini kadang mengundang aku untuk serius menapak tilasi kadar emosional dan kedewasaan teman-teman. Pada sisi inilah kemungkinan nilai yang bisa aku tunjukkan dari permainan futsal ini.
Biasanya sebelum permainan dimulai diawali dengan pembagian para pemain menjadi dua tim. Setelah itu baru kemudian penempatan posisi, pada penempatan inilah ada hikmah yang tergelar yang bisa diurai. Rata-rata cerminan subyektif yang bisa aku pancarkan lewat hati dan otakku semua pemain tidak ingin diposisikan sebagai penjaga gawang. Semua ingin menjadi penyerang dan bintang lapangan seperti Ronaldo-nya MU, Del Piero-nya Juventus, Messi-nya Barcelona dan sederet pemain bintang dunia lainnya. Ada ego yang tinggi dan mengalahkan kedewasaan, sehingga pada tahapan terakhir harus ada yang mengalah untuk menjadi penjaga gawang. Keputusan mengalah itu adalah hal yang berat dan pahit tapi tetap harus dipilih agar permainan dapat dilaksanakan.
Pada tataran yang konkrit sejatinya para bintang dadakan itu lupa bahwa permainan futsal itu tidak akan bisa dilaksanakan tanpa penjaga gawang. Tanpa mengklaim teman-teman musyrif yang lain tidak dewasa aku akhirnya terbiasa mengalah dengan menerima posisiku sebagai penjaga gawang agar permainan dapat berlanjut. Akhirnya dengan adanya yang mengalah permainan futsal itu tetap menjadi permainan yang menarik dan menggairahkan sampai saat ini.
Dari permainan ringan itu aku mencoba mendampingkan dengan realitas kehidupan sosial kemasyarakatan yang terkait dengan pola intraksi antar sesama yang tentunya juga butuh dengan prilaku mengalah. Dalam kehidupan nyata sering kali terjadi seperti apa yang terjadi pada permainan futsal tadi. Ada orang dengan egonya menengadah, membusungkan dadanya tak mau kalah dengan orang lain, beradu dan berebut posisi yang menggiurkan tanpa mempertimbangakan kapabilitasnya. Sehingga ketika posisi itu berhasil direngkuhnya, orang tersebut hilang keseimbangan dan pada tahapan yang tragis orang tersebut akan hina dengan posisinya sendiri. Na'udzubillahi min dzalik.........
Deskripsi di atas salah satu contoh saja dari keberanian dan keangkuhan tanpa mempertimbangkan kapabiltas diri. Mendekati pemilu 2009 aku sebagai bagian dari anak Bangsa ini ingin mengetuk hati dari para pemimpin Bangsa agar bersedia mengalah dengan menjunjung tinggi sikap kedewasaan. Sehingga keadaan Bangsa yang cukup tragis ini dengan multi krisisnya akan sedikit pulih dari boroknya. Kapabiltas dan kedewasaan adalah faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum merangkul posisi atau amanah dari Bangsa ini.
Ada hal yang menarik dari futsal atau sepok bola mini ini yang perlu diexplorasi lebih dalam agar nantinya membuahkan dimensi nilai yang bisa dijadikan rujukan hidup. Rasanya tidak berlebihan jika aku mencoba menggali dan mengenali lebih dekat olah raga kesukaanku ini. Walau hanya sekadar refleksi ringan semata, tapi paling tidak dengan keberanian mencoba menghikmahi (menghadirkan hikmah) dari olah raga ringan ini bisa menjadikan aku lebih dekat kepada-Nya. Karena aku yakin Tuhan Allah akan selalu membumbuhi segala sesuatu di dunia ini dengan hikmah sebagai konsekwensi bahwa Tuhan Allah bisa didekati dari segala sisi kehidupan, walau dari sebuah permainan kecil sekalipun.
Futsal sejatinya hanya bentuk permainan dengan menggunakan si kulit bundar yang menjadi instrument vitalnya. Si kulit plontos satu inilah yang menjadi kejar-kejaran dari sekian banyak pemain. Satu bola untuk semua begitulah konkrit permainannya. Mengasyikkan permaianan ini, apalagi jika kebagian menggiring bolanya kemudian sampai bisa merobek jala lawan. Pada titik inilah ada rasa senang, bahagia, puas dan berbagai rasa lainnya yang belum sempat terliteralisasi lewat bahasa apapun. Menyenangkan bukan...... ?!
Tapi tidak mudah menemukan performa permainan yang mengesankan dan menggairahkan. Mengesankan berarti menjadikan seluruh peserta permainan dalam satu tim terkesan dan ingin mengulangi lagi. Hal seperti ini butuh kedewasaan dan kematangan emosional dari masing-masing individu dalam satu tim. Terutama pada tim-tim amatir seperti tim yang hanya sekadar mengisi waktu senggang layaknya yang diperagakan aku beserta teman-teman musyrif Mu'allimin di lapangan Bardosono. Permainana mengisi waktu senggang ini kadang mengundang aku untuk serius menapak tilasi kadar emosional dan kedewasaan teman-teman. Pada sisi inilah kemungkinan nilai yang bisa aku tunjukkan dari permainan futsal ini.
Biasanya sebelum permainan dimulai diawali dengan pembagian para pemain menjadi dua tim. Setelah itu baru kemudian penempatan posisi, pada penempatan inilah ada hikmah yang tergelar yang bisa diurai. Rata-rata cerminan subyektif yang bisa aku pancarkan lewat hati dan otakku semua pemain tidak ingin diposisikan sebagai penjaga gawang. Semua ingin menjadi penyerang dan bintang lapangan seperti Ronaldo-nya MU, Del Piero-nya Juventus, Messi-nya Barcelona dan sederet pemain bintang dunia lainnya. Ada ego yang tinggi dan mengalahkan kedewasaan, sehingga pada tahapan terakhir harus ada yang mengalah untuk menjadi penjaga gawang. Keputusan mengalah itu adalah hal yang berat dan pahit tapi tetap harus dipilih agar permainan dapat dilaksanakan.
Pada tataran yang konkrit sejatinya para bintang dadakan itu lupa bahwa permainan futsal itu tidak akan bisa dilaksanakan tanpa penjaga gawang. Tanpa mengklaim teman-teman musyrif yang lain tidak dewasa aku akhirnya terbiasa mengalah dengan menerima posisiku sebagai penjaga gawang agar permainan dapat berlanjut. Akhirnya dengan adanya yang mengalah permainan futsal itu tetap menjadi permainan yang menarik dan menggairahkan sampai saat ini.
Dari permainan ringan itu aku mencoba mendampingkan dengan realitas kehidupan sosial kemasyarakatan yang terkait dengan pola intraksi antar sesama yang tentunya juga butuh dengan prilaku mengalah. Dalam kehidupan nyata sering kali terjadi seperti apa yang terjadi pada permainan futsal tadi. Ada orang dengan egonya menengadah, membusungkan dadanya tak mau kalah dengan orang lain, beradu dan berebut posisi yang menggiurkan tanpa mempertimbangakan kapabilitasnya. Sehingga ketika posisi itu berhasil direngkuhnya, orang tersebut hilang keseimbangan dan pada tahapan yang tragis orang tersebut akan hina dengan posisinya sendiri. Na'udzubillahi min dzalik.........
Deskripsi di atas salah satu contoh saja dari keberanian dan keangkuhan tanpa mempertimbangkan kapabiltas diri. Mendekati pemilu 2009 aku sebagai bagian dari anak Bangsa ini ingin mengetuk hati dari para pemimpin Bangsa agar bersedia mengalah dengan menjunjung tinggi sikap kedewasaan. Sehingga keadaan Bangsa yang cukup tragis ini dengan multi krisisnya akan sedikit pulih dari boroknya. Kapabiltas dan kedewasaan adalah faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum merangkul posisi atau amanah dari Bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar