Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

Minggu, 01 Februari 2009

Keutuhan Guru Menjadi Penentu Kondisi Anak Didik

Sudah menjadi menu harianku untuk bertatapan dengan santri. Ritual ini sudah berjalan sekitar 6 tahun yang silam hingga saat ini. Rasanya aku belum bisa dengan serta merta meninggalkan dunia pesantren sebagai wadah hidmahku. Wajar saja jika hal itu menjadi pilhanku, karena aku memang tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Terhitung sejak tahun 2003 aku secara profesi menjadi seorang guru yang selalu bergumul dengan kehidupan santri selama 24 jam.

Awal hidmahku bermula di AL-AMIEN PRENDUAN sebagai guru pengabdian wajib yang harus dilewati oleh setiap alumni TMI (Tarbiyatul Mu'allimien Al-Islamiyah). Ketika itu walau masih pada tahapan uji coba sebagai bentuk implikasi dari apa yang aku terima selama menjadi santri, jiwa guru begitu cukup melekat dalam diriku. Sehingga tak jarang dalam usia yang relatif muda atau bisa dibilang ABG aku berhasil menyesuaikan dengan posisiku sebagai seorang guru walau tidak sampai pada tingkat ideal. Hal itu terbukti dengan berhasilnya diriku melewati masa-masa uji coba tersebut dengan husnul khotimah.

Nampaknya pengabdian wajib itu menjadikan aku rindu dengan dunia gelak tawa para santri walau pada beberapa waktu terdapat kasus-kasus yang cukup menguras hati dan otakku. Pada tahun berikutnya tahun 2004 aku memilih kembali untuk melanjutkan pengabdianku sebagai seorang guru di tempat yang sama. Tahun ke-2 ini posisiku bukan lagi menjadi guru pengabdian wajib (magang) tapi sudah benar-benar menjadi pilihan yang harus lebih dibuktikan secara konkrit. Artinya sikap dan prilaku bahkan mungkin keutuhan diriku yang meliputi roh, jiwa dan jasad harus benar-benar berfungsi layaknya seorang guru yang pantas untuk digugu dan ditiru oleh santri-santrinya. Tidak mudah untuk menfungsikan keutuhan diri ini menjadi seorang guru, butuh keseriusan dan kematangan hati. Namun tidak boleh tidak pilihan ini menjadikan aku sadar untuk selalu berusaha mencapai batas maksimal kemampuan yang aku miliki. S

Waktu terus bergulir sementara aku masih tetap pada pilihanku dan saat ini aku mengabdi di lembaga pendidikan Islam Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada beberapa waktu sengaja aku mengajak hatiku untuk berpetualang mencari keutuhan diri dalam rangka menghadirkan sosok seorang guru pada diriku. Di lain sisi tataran darah mudaku juga bergejolak seiring dengan godaan zaman yang kian menajam. Kadang godaan itu menyeretku mendekati prilaku fakhsya'. Contoh kecilnya, tidak sedikit diantara guru termasuk diriku dengan tanpa sadar meninggalkan tugas-tugas formal dan mengedapankan kepentingan diri. Konkritnya seperti dengan seenaknya seorang guru absen pada kelas tertentu sehingga anak didiknya terlantar. Lebih dari itu ada beberapa kasus yang sudah tidak lagi mendekati fakhsya' tapi sudah benar-benar jauh dari dimensi seorang guru.

Kasus di atas masih pada tataran kasat mata belum menyentuh yang sifatnya abstrak berupa prilaku jiwa dan roh. Dua dimensi ini walau tidak nampak secara kasat mata tapi mempunyai dampak luar biasa pada kondisi santri sebagai obyek garapan pembentukan seorang manusia yang berkaitan dengan lmu nafi' (dalam bahasa K.Idris). Artinya prilaku jiwa dan roh seorang guru memberikan dampak pada kondisi seorang anak didik entah itu pada saat dimana anak itu sedang belajar atau nantinya setelah terjun ke masyarakat. Prilaku yang abstrak itu sifatnya mendekati hal-hal yang relegi seperti keikhlasan, kesabaran atau beberapa prilaku lainnya yang berkaitan dengan jiwa, hati dan ruh. Jadi mendidik anak itu tidak sekadar melibatkan jasmani kita yang hanya menyampaikan ilmu, tapi ada aspek abstrak yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Dalam ilmu pendidikan disebutkan bahwa seorang guru harus sehat dan mampu memaksimalkan fungsi jasmani dan rohani pada titik seyogyanya seorang guru.

Terus terang sampai saat ini tidak sedikit para guru yang mungkin melupakan sisi terabaikan ini. Sehingga ketika seorang murid atau santri yang tumbuh tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, santri tersebut menjadi titik paling salah. Akhirnya pada tahapan yang cukup akut melahirkan prilaku kontak fisik, pemukulan atau apa saja hukuman yang kurang etis dilakukan seorang guru seperti yang marak diberitakan media masa akhir-akhir ini.

Mencoba untuk mengimbangi fenomena tersebut, mungkin tidak salah jika aku dan kita yang berprofesi menjadi guru untuk bersama-sama meng-introspeksi diri kita sejauah mana usaha kita menghadirkan keutuhan diri kita untuk menadi seorang guru. Tawaran ini mungkin lebih khususnya aku khususkan untuk lembaga pendidikan yang aku singgahi sekarang Mu'allimin Yogyakarta yang akhir-akhir ini disibukkan dengan maraknya para santri yang melanggar di asrama. Semoga dengan kemauan diri kita untuk menghadirkan keutuhan diri kita sebagai seorang guru serta dengan iringan tuntunan Allah para santri dapat kembali menjadi santri seperti yang diharapkan. Amien.....

0 komentar: