Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 02 April 2012

DARI INTELEKTUALITAS MENUJU PERUBAHAN CEMERLANG

Salah satu hal yang paling ditakutkan oleh para pengusa dzalim adalah menigkatnya kesadaran intelektual di tengah-tengah rakyatnya. Kesadaran intelektual merupakssan kunci utama untuk sebuah perubahan. Apapun bentuk perubahan yang diinginkan, intlektualitas menjadi syarat tak tergantikan oleh sesuatu apapun. Namun wacana intelektualitas belum bisa digarap dengan sempurna, sehingga berbagai bentuk perubahan yang diinginkan belum bisa dicapai dengan baik. Sebagai bentuk nyata dari garapan intelektual yang selama ini terkesan mandul adalah laju dan arah pendidikan yang semata-mata berujung pada kemapanan materi saja, sementara garapan intelektual yang sejati belum sepenuhnya bisa berjalan. Adapun yang berlaku pada proses intelektual di sejumlah lembaga pendidikan masih terkesan transaksional-profan saja. Singkatnya, laju intelektualitas yang digarap di negeri ini belum bisa memberikan perubahan yang berarti pada tingkat kamaslahatan dan kenyamanan hidup berbangsa dan bertanah air.

Kemapanan intelektualitas tidak hanya bisa diukur dengan adanya gerakan massif para orang tua yang menyekolahkan anaknya pada suatu lembaga pendidikan tertentu. Begitu juga kemapanan yang tersebut juga tidak bisa dilihat dengan semakin menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang ada, akan tetapi kemapanan tersebut hanya bisa dilihat dari adanya semangat dan spirit yang mempunyai relevansi pada kemaslahatan bersama. Sejauh ini, realitas yang tersuguhkan masih sangat jauh dari harapan.
Bila melihat lebih dekat, kualitas intelektualitas di negeri ini masih banyak dihardik oleh nafsu yang menggiring pada pola pandang hedonistis-psikologis.

Kesemberautan yang terjadi pada bangsa ini adalah salah satu dampak dari kualitas intlektualitas yang hedonis-psikologis tadi. Korupsi, kasus suap, kesejahteraan yang tidak merata serta segudang persoalan bangsa ini merupakan indikasi dari menjamurnya hedonisme-psikologis tersebut. Indikasi tersebut bermula dari intelektualitas yang dibangun di atas pondasi keinginan dan kepuasan yang dangkal.

Wajah intelektualitas yang kusut di atas kemudian dijadikan lahan untuk mengafirmasi suatu rezim dzalim yang menghabisi seluruh hak-hak rakyat. Para intelektualnya dihardik untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan para penguasa. Pembenaran atas tindakan konyol para penguasa seakan menjadi lumrah di negeri ini. Jual beli hukum begitu cukup marak di tengah-tengah para ahli hukum, sehingga pada akhirnya keadilan menjadi barang langka, mungkin pada taraf tertentu bisa betul-betul punah dari negeri ini.

Sejuta persoalanpun melilit bangsa ini, belenggu yang bernama penghianatan terhadap amanah rakyat bergilri dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Tahun 1998 merupakan tahun tumbangnya rezim orde baru sekaligus juga awal babakan baru yang bernama reformasi. Sejuta harapan mulai mekar, tetapi lebih dari satu dasawarsa reformasi telah bergulir perkembangan bangsa ini semakin tidak karuan. Janji kemaslahatan untuk rakyat dari para aktifis reformasi seakan lenyap begitu saja, bahkan sebagian aktifis yang dulu begitu geram terhadap tindak dzalim rezim orde baru kini bisa duduk santai menjadi penikmat nyamannya kursi empuk pemerintahan.

Realita di atas jika tidak mau dikatakan sebagai indikasi dari kemunafikan, maka paling tidak bisa dikatakan sebagai suatu rezim yang penuh dengan sejuta alibi. Reformasi oleh sejumlah mantan pengusungnya dikatakan mampu menggapai sejumlah capaian positif. Salah satu alibi yang biasa didengungkan oleh para aktifis mantan penggagas reformasi adalah, membaiknya demokrasi di negeri ini. Sungguh capaian ini bukan perubahan yang monumental walau tidak bermaksud meniadakan, akan tetapi rasanya kurang pantas jika membaiknya demokrasi tersebut dijadikan suatu capaian. Padahal sejauh ini demokrasi itu hanya barupa sarana bukanlah tujuan yang sebenarnya. Karenanya capaian membaikanya demokrasi ini merupakan bagian pembodohan terhadap rakyat demi meredam kegeraman semata.

Kini para aktifis mulai bergejolak, sejumlah aksi digelar di sejumlah kota menolak kenaikan BBM. Mahasiswa seakan benar-benar menjadi corong suara rakyat. Aksi yang dilakukan pada intinya tentu mempunyai nilai yang positif, selain daripada itu hal tersebut sudah menjadi kewajiban mereka sebagai garda intelektual yang mampu berdialog lebih impressif dari sekadar orang awam. Sederhananya, rakyat betul-betul menginginkan mereka bisa memberikan konstribusi positif terhadap kehidupan nyata.

Sungguh suatu usaha mulia jika aksi yang ditunjukkan para mahasiswa itu adalah cerminan dari hati nurani rakyat. Tetapi jika kemudian aksi tersebut berupa aksi anarkis, penjarahan dan sejumlah aksi kekerasan lainnya tentu sangat berlawanan dengan niat suci mereka. Karenanya aksi unjuk rasa bukan aksi egoisme melainkan harus berpijar dari hati yang ikhlas demi suatu perubahan yang lebih baik.

Sekain dari pada itu, satu hal yang mungkin harus diwaspadai adalah, keterulangan sejarah para mantan aktifis reformasi seperti yang digambarkan di atas tidak boleh terwariskan kepada mereka yang sekarang rajin unjuk aksi menyuarakan nurani rakyat. Sebagai salah satu jawaban untuk sebuah benang kusut tersebut adalah, lembaga pendidikan dari setiap jenjangnya harus benar-benar terhindar dari intimidasi kepentingan kelompok tertentu. Lembaga pendidikan harus konsentrasi memupuk intlektualitas suci yang berimplikasi pada kemaslahatan bangsa, bukan pada sesuatu yang bernuansa hedonistis-psikologis.

Sebagai kelanjutan dari hal di atas adalah, setiap proses perubahan yang digandrungi oleh para aktifis harus bersandar pada kematangan intlektualitas serta hedonistis-spritual yang berbasis kebangsaan. Dari situlah akan terbangun tanggung jawab yang tidak semata-mata tanggung jawab duniawi tetapi mereka juga mempunyai keyakinan akan adanya konsekwensi di luar dunia ini. Dengan demikian kemaslahatan dan cita-cita bangsa ini akan secepatnya tercapai. Wallahu a’lam bisshowab…

Senin, 19 Maret 2012

REKONSTRUKSI MAKNA MORAL DALAM AGAMA

Sunggguh suatu hal yang paling sulit ketika kita mencoba mengurai faktor penggerak di balik dari setiap tindakan. Bagi orang tertentu mungkin hal ini tidak dianggap perlu, namun tidak bagi kelompok lain yang memandangnya sebagai hal yang sangat penting. Bagaimanapun respon tersebut tentu mempunyai alasan dan pijakan yang menjadikan setiap kelompok meyakini bahwa pilihannya berada pada titik yang benar. Sungguhpun hal yang semacam ini sejatinya merupakan bagian dari pola setiap indvidu atau kelompok dalam mengurai pondasi paling pokok dari setiap tindakan.

Untuk kelompok yang tidak menganggap penting, pada hakikatnya juga termasuk menjadi kelompok yang juga ikut berusaha mengungkap setiap faktor penggerak dari apa yang mereka pilih. Jadi, bila sengaja dibuat semacam anggapan sementara, bahwa tidak ada suatu tindakan atau pilihan yang bergerak tanpa suatu alasan tertentu, sekalipun kelompok yang melebelkan dirinya tidak mau tertarik untuk mengurai penggerak tersebut.

Tindakan paling prinsip yang bisa dikategorikan sebagai tindakan yang paling banyak diperbincangkan oleh sejumlah ahli adalah persoalan moral. Perbincangan moral sangat begitu pelik, menempatkan pada posisi sebatas pengetahuan atau justru hanya sebatas tindakan. Tarik ulur antara keduanya memunculkan banyak pemahaman, ada yang menyatakan moral itu merupakan tindakan nyata yang bisa dinilai baik ataupun buruk, kemudian kelompok kedua menyatakan bahwa moral itu apa yang dipahami oleh nalar manusia sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk.

Sungguh ini bukanlah hal yang mudah untuk menyatakan posisi moral yang sebenarnya. Sebagian yang lain menyatakan bahwa sebagian moral adalah pengetahuan, kemudian sebagian yang lain adalah tindakan. Sejenak argumentasi ini cukup mewadahi makna moral tersebut walau masih memungkinkan dimintakan sejumlah faktor-faktor pendukungnya. Kerancuan ini satu sisi adalah bentuk paling memuakkan, tetapi pada sisi yang lain merupakan jalan terang menuju suatu konsepsi yang bisa divaliditasi secara logis dan diterima oleh khalayak.

Diakui, memang tidak banyak individu yang berminat meluangkan waktunya untuk sesuatu yang dianggap kecil namun urgensinya cukup besar dalam kehidupan. Manusia pada dasarnya tidak mau terlalu susah dengan sesuatu yang sifatnya sederhana dan prinsip, kecenderungan yang lebih dominan pada hal-hal yang bisa dirasakan secara fisik. Namun demikian, bangunan konsepsi dibalik dari yang tersurat mesti juga harus terus diusahakan agar sejumlah tindakan atau amalan menjadi tindakan yang produktif dan bermanfaat pada kehidupan jangka pendek (temporal) dan jangka panjang (abadi). Dalam hal ini penulis ingin menyatakan bahwa diskusi mengenai moral tentu merupakan diskusi yang cukup penting dan menarik.

Terlepas apakah diskusi ini disukai atau tidak, moral tetap menjadi suatu bangunan konsepsi yang cukup memberikan dampak signifikan pada kehidupan nyata. Banyak orang menilai, merebahnya perzinahan, korupsi, penjarahan, perampokan dan tindakan-tindakan sejenisnya merupakan bagian dari bobroknya moral. Sejumlah argumentasi dilontarkan untuk situasi yang kacau tersebut, cercaan, hinaan dan ketidakberpihakan terhadap tindakan keji itu mengalir dari berbagai arah. Pada intinya manusia secara umum tidak menyukai kekacauan tersebut, yang pada dasarnya ketidak sukaan itu karena dilahirkan dari konsepsi moral yang kurang akurat. Namun hal ini tidak bisa dirasakan oleh kebanyakan orang. Segelintir orang hanya berdiskusi pada dimensi luarnya saja, sementara perubahan diminta bisa terjadi secepatnya. Kondisi ini tentu tidak akan memberikan perubahan yang berarti, malah pada taraf yang lebih memilukan hanya akan menumbuhkan kejenuhan sosial yang akut.

JIka dipahami lebih bijak, kekacauan yang terjadi selama ini karena sebagian besar manusia masih belum begitu mengerti persoalan konsepsi dibalik setiap tindakan yang dipertontonkan. Nilai baik dan buruk hanya berkisar pada satu persepsi, sementara perspektif yang lain dirasa tidak diperlukan. Sebagai contoh, bahwa makna moral itu hanya dimiliki oleh individu bukan milik halayak ramai. Nyaman, baik dan senang diborong menjadi milik pribadi, sehingga ruang publik tidak punya hak untuk menuntutnya. Kondisi inilah kemudian membutakan setiap mata akan adanya kemiskinan, kelaparan dan kekurangan finansial dan logistik di setiap sudut negeri ini. Uang milik rakyat (publik) banyak dimiliki sah secara hukum oleh individu dan kelompok-kelompok tertentu, sementara rakyat pemilik yang sejati menerima deritanya akibat kerakusan mereka.

Begitu rendah dan sempitnya pemahaman moral yang berlaku di tengah-tengah umat sehingga terjadi seperti gambaran di atas. Sebagai bentuk respon sederhana adalah mencoba menilik sejumlah dimensi yang memungkinkan melahirkan nilai moral yang lebih luas. Salah satu hal yang harus dipahami lebih awal bahwa moral sebagai nilai keberadaannya sudah ada sejak awal diciptakannya manusia. Dengan demikian, secara instinktif manusia berpotensi menemukan kebenaran, kenyamanan, ketentraman dari dalam dirinya. Begitu juga dengan penanda yang disebut moral tentu bisa didapat dari dalam diri manusia. Tetapi setelah manusia bersinggungan dengan sesamanya, kenyamanan, kebenaran dan ketentraman seakan bergesekan dan saling mendesak untuk muncul sebagai sang pelopor. Benturan atauu gesekan inilah memunculkan banyak diskusi, persepsi serta tindakan nyata dengan berbagai macam dampaknya. Tetapi pada dasarnya seluruh proses gesekan itu menginginkan suatu kedamaian, walaupun yang termuat dalam ruang publik bisa berbentuk kekejian.

Uraian di atas jika disederhanakan, dunia ini adalah lahan berjumpanya nilai-nilai kebenaran subyektif yang sedang mencari lingkungannya sendiri. Jika berpijak pada konsepsi ini maka segala tindakan tidak akan pernah mempunyai nilai salah, keji ataupun jelek, akan tetapi segala bentuk tindakan semua bernilai sama. Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu sendiri juga tidak pernah memberi sekat atau ruang-ruang tertentu terhadap segala bentuk tindakan yang lahir dari manusia. Karenanya dalam hal ini neraka, surga, pahala dan dosa merupaka isapan jempol belaka yang tidak jauh berbeda dengan kebohongan.

Salah satu kesalahan besar dalam memahami moral adalah sudut pandang yang kurang pas. Dalam hal ini moral dimasukkan dalam sekat-sekat kepentingan dimensi tertentu. Agamawan misalnya, menempatkan moral sebagai bentuk tindakan yang berniali baik, jika tidak dikerjakan maka akan mendapat dosa serta masuk neraka. Moral dipahami sebagai perintah Tuhan semata, sedangkan korelasi kegunaan sosial dan individu menjadi sesuatu yang sekunder. Untuk kondisi seperti saat ini, menakut-nakuti manusia dengan neraka atau memberikan janji-janji masuk surga tentu tidak lagi mujarab menyembuhkan dekadensi moral yang terjadi.

Agama di era yang meminta konsepsi serta penafsiran yang dinamis harus lebih kreatif mengemas ajarannya tanpa mengurangi substansinya. Penafsiran lama yang mengahadirkan jawaban-jawaban sementara dari sutau kewajiban atau perbutan baik harus direvisi dengan model teranyar. Tentu propaganda in tidak semata-mata mengkerdilkan agama, tetapi hal ini justru sebagai bentuk keprihatinan dimana agama dalam hal ini hanya sebatas bentuk legitimasi dari bentuk dekadensi moral yang sesungguhnya.

Sejatinya keprihatinan ini bermula dari realita sosial dimana moral yang dikendalikan dalam ajaran-ajaran normative agama terkesan mandul. Sumpah dibawah naungan kitab suci atas nama agama untuk melaksanakan amanah kepemerintahan tidak mampu melahirkan individu dan pemimpin yang bermoral. Bahkan kalau mau dimaknai lebih dalam lagi, agama menjadi alat untuk melanggengkan suatu tindakan yang jauh dari apa yang disebut dengan moral. Berdasar fakta ini, maka mau tidak mau makna moral itu harus betul-betul dikembalikan pada posisinya. Agama yang semula banyak diyakini sebagai kemasan paling manjur, tapi ternyata untuk kondisi saat ini malah menjadi biang dari sejumlah tindakan amoral.

Merevisi makna moral terkesan cukup janggal, tetapi hal ini bukan bermaksud meladeni pandangan imaginative nalar semata, tetapi merupakan suatu keharusan yang berpijar dari fakta-fakta. Secara psikologis tumpulnya nilai moral dalam tradisi agama mungkin karena kejumudan makna yang sudah tidak memadai untuk menyapa zaman, sehingga kemudian muncul semacam kejenuhan dari ranah psikologi manusia. Pada saat yang sama, manusia meminta suatu pandangan baru untuk menuntaskan pelik problem yang melilit dirinya. Maka secara jujur, revisi atau rekonstruksi makna moral itu memang dirasa sangat perlu guna suatu perubahan positif.

Merekonstruksi bukan berarti membongkar kemudian membangun kembali dan membuang semua yang lama, akan tetapi disitu masih ada ruang akomodatif untuk berbagai kemungkinan terhadap suatu tujuan positif tadi. Sebagai bentuk nyata dari rekonstruksi yang dimaksudkan adalah, agama diharapkan juga harus melibatkan manusia dalam kapasitasnya sebagai pribadi ataupun sebagai kelompok masyarakat dalam merumuskan makna moral baru.

Jika kembali pada kondisi mansuia secara personal bisa dipahami bahwa takaran baik atupun buruk adalah pembawaan secara natural. Sementara agama merupakan pengagas komitmen teologis adanya suatu ikatan antara manusia (kolektif) yang profan dengan Tuhan yang sakral. Bangunan komitmen tersebut kemudian melahirkan konsekwensi logis yang menggiring manusia semakin mengerti tentang potensi moral yang bercokol dalam dirinya sejak ia diciptakan. Kebaikan akhirnya bermunculan secara kolektif, setelah sebelumnya manusia hanya mampu melahirkan moral kebaikan secara pribadi. Dengan demikian, agama dalam hal ini berfungsi sebagai penggagas moral kolektif yang bernuansa spiritual, sehingga pada saat bersamaan manusia mulai mengenal common vision dalam konteks moral spiritual. Baik, buruk, halal dan haram menjadi simbol-simbol familiar yang membatasi dari setiap tindak-tanduk masyarakat spiritual (beragama).

Kematangan agama dalam meramu nilai-nilai moral rasanya tidak tergoyahkan pada mulanya. Namun seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan, disana sini terjadi pinjam-meminjam tradisi dan konsep, maka pada tahap berikutnya kematangan tersebut perlu dilihat kembali. Jalan ini dirasa memang cukup perlu sebagai upaya mejawab komplektfitas yang ada serta menanggapi konsekwensi yang semakin tidak berpihak pada komitmen yang dibangun oleh agama tadi. Salah satunya adalah mendengarkan lebih banyak lagi nilai-nilai pembawaan manusia sejak lahir. Hal ini dirasa perlu ketika agama terlalu jauh memainkan perannya dalam ranah pribadi. Agama dengan semena-mena menyeret setiap individu bergantung pada komitmen-komitmen yang dibangun oleh agama tanpa mau memberi liang yang cukup lebar pada potensi yang ada dalam pribadi seorang manusia. Potensi berfikirnya tidak diberi kebebasan, ruang munajat qolbunya dibatasi formalitas, sehingga wajah Tuhan yang menjadi tujuan agama sendiri tak kunjung hadir secara holistik dalam diri manusia. Tuhan-tuhan yang dihadirkan oleh agama-agama sebagai hakim yang siap mengetok palu, sementara wajah Tuhan yang Maha Pengasih jarang ditampilkan, hal tersebut dikarenakan potensi dan nilai-nilai moral bawaan manusia dilupakan.

Kemudian untuk selanjutnya, agama dalam menggagas moral harus menggandeng potensi kolektif manusia. Sebagai bentuk konkretnya adalah, bahwa dalam nilai-nilai moral itu harus disuguhkan cita-cita kebangsaan yang merupakan potensi bawaan manusia secara kolektif. Cita-cita, visi kebangsaan dirasa cukup penting untuk bersama menyulam sisi kekurangan nilai moral dalam agama, karena dengan adanya integralisasi nilai tersebut seorang manusia akan mempunyai konsekwensi ganda antara tanggung jawab pribadi pada Tuhan serta tanggung jawabnya kepada bangsanya. Bentuk aksinya merupakan tugas para ahli hukum untuk menerjemahkan seluruh rangkaian integralisasi nilai-nilai tersebut dalam suatu undang-undang yang akan mengawasi setiap individu.

Sebagai penutup, bahwa moral itu satu sisi adalah bawaan (nature) tetapi pada sisi lain juga berjalan di atas pengalaman (nurture). Karenanya dari setiap nilai yang dibawanya harus terjadi integralisasi yang kuat antara yang nature dan nurture. Nature itu berupa bawaan sejak lahir, bahwa manusia secara natural berpotensi mengenal kebaikan, baik secara pribadi ataupun kolektif (berbangsa), sedangkan yang nurture itu adalah nilai-nilai moral dalam agama yang diketahui oleh manusia setelah adanya tuturan wahyu ilahi. Jika keduanya bisa diintegralisasikan secara utuh, maka itulah makna sejati serta makna rekosntruksi yang dimaksudkan. Sebagai bentuk konstribusinya, amoralisasi yang mewabah akan terjawab dengan sendirinya, pada akhirnya akan tercipta kedamaian sejati. Semoga…..

Jumat, 16 Maret 2012

FORMULASI PENDIDIKAN ISLAM ALA INDONESIA

Prolog
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan serta kesempurnaan ajarannya semestinya menjadikan umatnya unggul dari umat lainnya. Namun kenyataannya, umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat yang lain. Islam saat ini mudah diombang-ambingkan oleh pihak lain, bahkan cenderung berada di bawah pengawasan orang di luar Islam. Konkretnya, Islam saat ini mengalami kemunduran dari berbagai aspek kehidupan.

Setelah sedikit mengakui sejumlah kemunduran Islam dari berbagai sisinya, tentunya pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu akan berusaha sekuat mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kemunduran yang dimaksudkan tersebut. Kemunduran yang dimaksudkan bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada sistem pendidikan yang menyimpang dari sumber ajaran Islam. Penyimpangan tersebut tidak berupa penyimpangan yang brutal, akan tetapi bentuk penyimpangan yang terus bergulir sangat halus, yaitu berupa pengalihan orientasi pendidikan pada orientasi jangka pendek saja.

Pengalihan orientasi pendidikan di atas tentu sangat terstruktur dengan rapi sehingga sama sekali tidak disadari oleh umat Islam dewasa ini. Sebagai bentuk paling fundamental dari pergeseran orientasi pendidikan Islam tersebut adalah, berupa pemenuhan hasrat di bidang materi dan psikologi saja. Orientasi ini tentu mempunyai jangkauan yang cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu, sehingga dalam hal ini penulis menempatkan orientasi tersebut sebagai bentuk orientasi jangka pendek (temporer).

Sebagai contoh dari orientasi pendidikan Islam jangka pendek di atas bisa dilihat pada harapan-harapan orang tua anak didik yang menghendaki timbal balik materi setelah anaknya menuntaskan suatu level pendidikan tertentu. Fakta ini kemudian semakin dipertajam dengan sejumlah sambutan balik dari lembaga-lembaga pendidikan yang secara terus terang menjanjikan kemungkinan-kemungkinan capaian meteri yang bisa diraih oleh peserta didiknya. Disadari atau tidak, realitas ini terus menggiring orientasi pendidikan Islam menjauhi lajur yang semestinya.

Pola penyimpangan orientasi pendidikan Islam tersebut tidak hanya berhenti pada deskripsi di atas, akan tetapi bisa dilihat dari sejumlah fakta sosial-politik dengan sejumlah tingkah para pemimpin bangsa yang amoral. Sebagai bentuk konkret dari sikap para pemimpin yang lahir dari pergeseran orientasi pendidikan yang menyimpang tersebut adalah, munculnya para pemimpin yang rakus alias korup. Kondisi ini kemudian menempatkan bahwa muasal dari kesemberautan dan ketertinggalan Islam dalam konteks universal adalah, mewabahnya penyimpangan orientasi (disorientasi) pendidikan Islam itu sendiri. Dengan demikian, sudah selayaknya umat ini segera terbangun dari tidur pulasnya untuk memperbaiki sistem pendidikannya.

Mungkin untuk menggeser sistem pendidikan Islam pada lajur yang ideal tidak cukup mudah. Magis yang bernama modern dengan perangkat bius materialisme terus menggerogoti pandangan umum umat muslim. Himpitan ekonomi, kemiskinan serta ketergantungan dengan pihak luar menjadikan proses pelurusan orientasi pada titik ideal tidak mudah. Namun semua itu akan bisa dilewati jika umat muslim mau introspeksi secara jujur dan berimbang.

Apa sebenarnya yang terjadi di tengah-tengah kita?
Sengaja pada segmen ini dimulai dari sebuah pertanyaan, hal itu dimaksudkan agar masing-masing individu merasa bahwa ketertinggalan yang diakibatkan adanya disorientasi pendidikan Islam merupakan tanggung jawab bersama, serta butuh perubahan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun demikian, agar kemudian bisa terbentuk suatu komitmen dan pemahaman menuju perubahan yang dimaksudkan, perlu kiranya merefleksikan segala hal tentang lingkungan dan diri dari setiap individu pelaku pendidikan Islam.

Perlu disadari oleh setiap individu muslim, bahwa pasca perang dan penjajahan fisik di sejumlah bangsa-bangsa muslim (khususnya Indonesia), sebenarnya terjadi penjajahan model baru dengan dampak yang lebih mengerikan dari dampak penjajahan fisik sebelumnya. Pernyataan ini tentu tidak bermaksud memicu atau memprovokasi munculnya sikap anarkis terhadap pihak tertentu, akan tetapi hal ini dimaksdukan bahwa secara jujur bangsa ini masih berada di bawah jajahan bangsa lain.

Ketergantungan terhadap bangsa lain sampai saat ini tidak bisa dihindarkan, sehingga mau tidak mau hampir semua kebijakan pemerintah didikte dibawah kepentingan bangsa lain. Kondisi inilah yang kemudian menempatkan bangsa ini terus berada dalam penjajahan dan ketersiksaan. Agresi bangsa lain itu terus menghujam di berbagai lini kehidupan bangsa ini, termasuk pada sistem pendidikan yang dianut di sejumlah lembaga pendidikan yang ada sekarang.

Model agresi itu biasanya dikemas dengan baju modern yang membius sebagian umat muslim. Mulai dari pengakuan legalitas suatu lembaga, sampai pada hal-hal yang sifatnya teknis juga terus didikte. Pada saat yang sama, kemudian pemerintah mengeluarkan penyeragaman-penyeragaman kurikulum dan tujuan-tujuan satuan pendidikan, sehingga lambat laun karakteristik dan nilai-nilai ke-Islaman dan budaya asli dari bangsa ini luntur serta tergantikan dengan apa yang disebut dengan “sistem pendidikan Nasional” yang senyatanya sistem tersebut bergerak dibawah naungan kepentingan bangsa lain.

Penyataan di atas bukan tanpa alasan, bayang-bayang kepentingan bangsa lain itu begitu sangat terasa ketika standart-standart pendidikan nasional yang dimaksudkan sama sekali kurang memberikan konstribusi yang nyata untuk Islam dan umat Islam. Standart yang dimasukkan dalam sistem pendidikan Nasional sejatinya merupakan bentuk sekularisme yang tidak disadari. Dalam kasus ini begitu sangat jelas bagaimana agama (ilmu agama) sengaja dipisahkan dari kepentingan-kepentingan pendidikan nasional. “Ilmu-ilmu umum” (bukan bermaksud membedakan degan ilmu-ilmu agama) dianggap paling penting dengan predikatnya sebagai standart kelulusan nasional, sementara ilmu-ilmu agama dianggap pengetahuan lokal (tidak terlalu diperlukan dalam kehidupan).

Kemasan model penjajahan di bidang pendidikan di atas begitu cukup apik tersajikan, sehingga membuat banyak orang terbius. Secara praktis, kebijakan pemerintah memang tidak sampai pada larangan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi secara jujur ilmu-ilmu keislaman tersebut hanya sebatas diajarkan dan tidak sampai pada penanaman esensinya, karena sebagian besar lembaga pedidikan Islam sibuk memenuhi standart-standart pemerintah dan legalitasnya.

Setelah berhasil menyibukkan lembaga pendidikan Islam pada tujuan-tujuan temporal, kemudian pemerintah juga menerapkan standart kompetensi yang harus dimiliki oleh para guru. Standart tersebut terealisasi dalam bentuk sertifikasi tenaga pendidik pada setiap lembaga pendidikan yang ada. Program ini terus bergulir, seakan-akan memang menjadi sesuatu yang urgen untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun pada kenyataanya, guru-guru malah lebih sibuk memenuhi standart tersebut pada taraf administratif dengan maksud memperoleh materi saja. Sementara kualitas individu guru tidak kunjung membaik, bahkan yang muncul malah tindak amoral yang tidak mencerminkan seorang guru.

Apabila lembaga dan individu pelaksana pendidikan Islam sudah sama-sama sibuk dengan sesuatu yang bersifat temporal, maka bisa dipastikan arah dan karakter pendidikan Islam tidak hanya salah arah, akan tetapi berada pada titik akut yang luar biasa. Upaya deskriptif ini tentu sama sekali sangat jauh dari penistaan terhadap wajah lembaga pendidikan Islam dan indiidu pegiatnya, akan tetapi upaya ini hanya sebatas usaha untuk sebuah perubahan besar dalam rangka menyelamatkan pendidikan Islam dan Islam itu sendiri.

Apa yang harus dilakukan?
Untuk menambal atau menyulam benang kusut kondisi pendidikan Islam yang alpa seperti yang tergambarkan di atas, maka menjadi sangat penting langkah kuratif serta akurat untuk merubahnya. Mungkin langkah paling konkret adalah mengembalikan sistem pendidikan Islam kepada sumber nilai-nilai keislaman (al-Qur’an) dan tradisi lokal. Adapun manifestasi antara keduanya jika merujuk pada sejarah bergulirnya pendidikan Islam di Indonesia adalah, sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren nampaknya cukup representatif untuk kondisi di Indonesia. Karena sistem ini merupakan integralisasi dari nilai-nilai keislaman dan tradisi lokal yang dilakukan secara serempak. Sehingga dengan demikian, pendidikan model pesantren ini betul-betul akan menemukan karakternya tersendiri yang sangat Islami namun juga tidak terlalu menjauh dari karakter bumi Indonesia.

Pesantren sebagai sistem pendidikan secara utuh mempunyai nilai-nilai dasar yang tangguh dalam membentengi umat dari berbagai macam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh orang di luar Islam. Hal tersebut dikarenakan jiwa atau nilai-nilai yang ada dalam pesantren begitu sangat sinkron dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Nilai yang begitu sangat fundamental dalam dunia pesantren adalah keikhlasan. Nilai keikhlasan ini menjadi pondasi dari setiap bentuk kegiatan pendidikan yang ada dalam pesantren. Nilai ini mengalir dengan begitu sangat natural, sebagai bentuk nyatanya bisa ditemukan pada diri seorang kiyai yang hidup bersama santri-santrinya tanpa mengharap pamrih apapun dari santrinya.

Gambaran seorang kiyai di atas bukan merupakan kultus yang menempatkan kiyai sebagai manusia suci (holy man) yang tidak membutuhkan materi sama sekali. Penggambaran tersebut dikarenakan adanya nilai pendidikan pesantren yang tidak menjadikan kiyai sebagai pelaksana kegiatan pendidikan menggantungkan kebutuhan materi pada santrinya. Adapun nilai tersebut yaitu berupa nilai kemandirian. Kemandirian inilah yang menjadikan pesantren tidak sama sekali tergantung pada banyak dan tidaknya jumlah santrinya. Bagi pesantren kebutuhan materi itu merupakan persoalan yang berbeda yang tidak boleh dicampur adukkan dengan kegiatan-kegiatan pendidikan. Karenanya di sejumlah lembaga pendidikan Islam yang masih menganut sistem pendidikan pesantren selalu mempunyai usaha ekonomi sebagai bentuk kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan materi bagi para pelaku pendidikan yang ada di dalamnya.

Dari bentuk kemandirian seperti di atas itulah pesantren bisa melaju dengan berbagai program pendidikannya. Bentuk pemenuhan materi yang mandiri tersebut kemudian mengharuskan pesantren harus sederhana dalam berbagai aspek. Kesederhanaan inilah juga menjadi bagian ketiga dari nilai-nilai yang ada dalam pesantren. Aspek ini menjadikan dunia pesantren betul-betul sebagai lahan pendidikan murni yang jauh dari kesan mewah apalagi sebagai ladang pencari kehidupan.

Adapun nilai selanjutnya yang menjadi karakteristik dunia pesantren adalah, adanya ukhuwah Islamiyah diantara para penghuninya. Dalam pesantren terjalin hubungan yang mesra antar kiyai dengan santrinya yang berbasis ukhuwah Islamiyah. Selanjutnya nilai pamungkas dalam dunia pesantren berupa bentuk penghormatan terhadap hak asasi setiap individu pesantren yang berupa nilai kebebasan (kemerdekaan). Nilai ini dianggap perlu sebagai bentuk penghargaan untuk berfikir dan mengemukakan pendapat dalam rangka kemajuan pesantren.

Lima nilai yang ada dalam sistem pendidikan pesantren di atas merupakan nilai yang semestinya juga ada pada setiap lembaga pendidikan yang berlebel Islam. Karena dengan lima nilai itulah kondisi memilukan dari wajah pendidikan saat ini bisa menemukan karakternya yang sejati.

Epilog
Secara umum, disorientasi yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam disebabkan karena adanya hilangnya kepekaan terhadap arah pergeseran yang disekenariokan oleh orang di luar Islam. Selain daripada itu, ketergantungan secara materi menjadikan wajah pendidikan Islam harus mengais belas kasihan dari pihak luar yang semestinya tidak perlu dilakukan. Maka, sebagai jawaban terhadap kondisi tersebut memilih pendidikan pesantren sebagai format baru dari sistem pendidikan Islam adalah hal yang tepat. Lima nilai yang ada dalam pesantren menjadi senjata pamungkas yang cukup ampuh untuk membentengi dari pola penjajahan yang licik oleh pihak-pihak asing, sekaligus pada saat yang sama merupakan upaya dalam rangka mengembalikan wajah pendidikan Islam yang gemilang. Wallahu ‘alam…

Rabu, 07 Maret 2012

PESANTREN SEBAGAI PENDIDIKAN ISLAM UTAMA DI INDONESIA (I)

Prolog
Islam selalu memberikan solusi yang terbaik untuk kehidupan, namun kenyataannya umat Islam sendiri malah menjadi umat yang terbelakang dari berbagai sisi. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan berbagai konsep dan ajaran yang ditawarkan Islam. Islam dengan sejumlah ajarannya yang menawan seakan hanya mampu menyuguhkan kekayaan wacana yang belum bisa terejawantahkan ke dalam dunia riil. Jika boleh ditarik pada batas pengertian yang lebih sederhana, umat Islam secara keseluruhan baru mampu mengelaborasi dalam bentuk kajian saja tapi belum bisa melahirkan tindak konstributif-produktif dalam kehidupan nyata. More talk and less action....

Ketertinggalan itu terus menggiring umat ini semakin jauh dari idealitas dan cita-cita dari ajaran Islam. Idealitas yang dimaksudkan jika merujuk pada ajaran al-Qur’an adalah “khoiru ummah”. Khoiru ummah yang dimaksudkan adalah umat yang unggul dalam berbagai sektor seperti ekonomi, politik, dan peradaban secara keseluruhan. Tetapi untuk mewujudkan hal tersebut tentu bukan hal yang mudah untuk kondisi yang terjadi seperti saat ini. Perlu adanya langkah konkret dan efektif untuk mengurai benang kusut persoalan umat ini. Sebagai bentuk konkret untuk problem besar yang melilit umat harus dimulai dari hal-hal yang sifatnya sangat filosofis-fundamental. Salah satu hal yang mungkin bisa dibilang sebagai persoalan fundamental adalah persolan pendidikan. Pendidikan tidak bisa dibilang sebagai sektor sekunder dalam persoalan umat, karena dari pendidikan inilah kemudian melahirkan banyak kreasi yang bermunculan di tengah-tengah umat. Kreasi itu bisa berupa tindakan konkret dalam bentuk porfesi-profesi yang digeluti oleh individu umat ini, tetapi yang jauh lebih fundamental dari itu adalah pola pandang atau pradigma yang dianut oleh umat.

Selain hal di atas, pendidikan merupakan pintu utama transformasi yang dimungkinan bisa dilakukan untuk kondisi yang seperti ini. Untuk itulah, media ini harus betul-betul bisa digarap lebih serius dengan terus memantapkan idealitas dan cita-cita Islam agar bisa dikenyam dengan baik oleh para penerus tonggak estafeta umat ke depan. Tetapi bila melihat kondisi riil dari pendidikan Islam di Indonesia secara keseluruhan masih belum sepenuhnya konsisten mentransmisi ajaran yang semestinya diterima oleh para peserta didik. Untuk suatu kondisi yang cukup miris misalnya, kondisi pendidikan Islam di Indonesia banyak dicumbui oleh naluri-naluri materalistik-dektruktif yang terus menggususr nilai-nilai dasar. Sebagai contoh, guru-guru di sejumlah lembaga pendidikan Islam menengah (MTs-MA) banyak disibukkan dengan pemenenuhan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai sertifikasi tenaga kependidikan (guru). Kebijakan tersebut walau tidak sepenuhnya berdampak buruk, tapi sedikit banyak menggeser nilai keikhlasan yang dimiliki guru yang kemudian berhaluan pada pemenuhan materi. Hal itu karena apa yang dilakukan oleh para guru baru hanya pada pemenuhan administratif-birokratis yang berimabal materi untuk guru, bukan pada kualitas kompetensi yang bertujuan peningkatan kualitas pendidikan secara universal.

Sejatinya standarisasi kualitas guru yang dicanangkan oleh pemerintah adalah terobosan baru dengan harapan kualitas pendidikan bisa lebih baik lagi. Tetapi dibalik terobosan gemilang tersebut selalu ada problem yang menguntit yang juga harus diantisipasi oleh pemerintah. Salah satu hal yang harus diantisipasi oleh pemerintah adalah lunturnya keikhlasan yang kemudian tergantikan oleh orientasi materi yang pada kenyataannya akan memberikan dampak lebih buruk pada kualitas pendidikan di Indonesia. Pendidikan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program dan kebijakan pemerintah tersebut tentu tidak boleh terlalu larut dengan orientasi materi jangka pendek tersebut. Pendidikan Islam harus bisa menemukan formulasinya sendiri guna tujuan jangka panjang yaitu membangun umat yang unggul (khoiru ummah).

Pesantren dan Karakteristiknya
Idealitas serta tujuan jangka panjang yang terurai pada pembahasan di atas harus betul-betul harus bisa dipahami sepenuhnya oleh para guru. Pemahaman tersebut hanya bisa dipahami dan diamalkan secara konsisten jika terbentuk suatu sistem atau formulasi tersendiri yang pemantauannya bisa dilakukan secara kolektif dan berkesinambungan. Salah satu sistem yang bisa mewadahi idealitas, cita-cita dan tujuan jangka panjang tersebut adalah sistem pendidikan Pesantren. Dalam hal ini pesantren diyakini menjadi sistem pendidikan utama yang mampu mengawetkan idealitas dan harapan-harapan jangka panjang Islam secara khusus. Jika melihat dari sisi kesejarahan, pesantren telah memainkan perannya cukup gemilang dalam membentuk karakter bangsa ini. Selain dari itu, pesantren mau tidak mau, diakui atau tidak merupakan sistem pendidikan asli dari bangsa ini. Karakter yang diajarkan didalamnya begitu cukup melekat dengan kondisi, budaya yang berkembang di Indonesia. Nilai-nilai yang dijarkan di dalamnya tidak hanya bernuansa Islami tetapi juga sangat Indonesiawi. Pola integralisasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan inilah yang menjadikan pesantren harus terus diperjuangkan keberadaannya guna melawan cumbuan materalistik pada sejumlah lembaga pendidikan di negeri ini.

Sistem pendidikan pesantren yang dimaksudkan bukan pada kegiatan dan tingkatan pendidikan secara formal, akan tetapi pada tatanan nilai yang semestinya dimiliki oleh setiap pendidikan yang berlebel Islam. Misalnya, dalam pesantren ada nilai keikhlasan, begitu juga yang semestinya juga ada dalam sistem pendidikan Islam secara umum. Keikhlasan ini menjadi urat nadi dari segala aktifitas dan tindakan pendidikan yang ada dalam pesantren. Ikhlas dalam arti memberikan segala upaya dan usaha untuk suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan membangun kualiatas peserta didik yang unggul tanpa mempertimbangkan imbalan materi dari proses pendidikan tersebut. Imbalan, gaji dan sejenisnya dalam dunia pesantren sama sekali bukan bagian orientasi seorang guru, ustadz atau kiyai dalam pesantren. Persoalan materi bukan yang utama, walau secara jujur proses pendidikan itu sendiri juga sangat memerlukan materi. Keperluan terhadap materi jangan sampai mempengaruhi tranmisi nilai yang harus ditanamkan pada peserta didik. Persoalan materi adalah persoalan yang berbeda dengan persoalan pendidikan, persooalan tersebut berada pada persoalan ekonomi yang merupakan ruang lingkup sendiri yang terpisah dari proses transmisi nilai.

Bila melihat secara umum kondisi pendidikan di negeri ini memang mempunyai persoalan dengan materi. Satu sisi banyak orang beranggapan materi mempunyai peranan cukup penting dalam melangsungkan proses pendidikan. Anggapan ini tentu bukan hal yang salah, namun akan menjadi sangat keliru jika kebutuhan terhadap materi tersebut menindih dan menggusur hal-hal yang prinsip dalam pendidikan. Pesantren dalam hal ini kembali menyuguhkan satu prinsipnya dan nilai dasarnya yang berupa kemandirian. Nila mandiri inilah yang menjadikan pesantren tidak menempatkan materi sebagai hal yang utama. Bentuk kemandirian yang dikembangkan oleh pesantren bergam bentuknya, bisa berupa usaha-usaha yang dikelola oleh pesantren baik itu berbentuk jasa ataupun usaha dagang lainnya. Secara keseluruhan kebutuhan materi dalam dunia pesantren tidak pernah dibebankan sepenuhnya kepada para peserta didik, namun nafas dan gerak proses pendidikan yang berhubungan dengan materi diambilakan dari bentuk-bentuk usaha dagang yang dikembangkan pesantren. Inilah salah satu kemandirian yang mestinya juga harus diadopsi oleh lembaga pendidikan Islam lainnya.

Dua nilai itulah merupakan bagian dari lima nilai-nilai dasar pesantren (keihklasan,kemandirian,jiwa bebas,ukhuwah islamiyah, kesederhanaan) yang menjadi karateristik pesantren dalam menjalan pendidikan. Lima nilai dasar kepesantrenan ini banyak digunakan oleh sejumlah pesantren seperti Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Pesantren Nurul Bayan Lombok Utara dan beberpa pondok pesantren lainnya yang berorientasi pada pemurnian peelaksanaan pendidikan Islam secara kaffah.

Epilog
Sebagai penutup dari refleksi singkat pendidikan yang pertama ini, penulis ingin menyampaikan bahwa pada hakikatnya pendidikan Islam harus mampu memisahkan antara tujuan dan sarana. Keduanya mempunya wadah tersendiri, kepentingan-kepentingan yang sifatnya penunjang tidak boleh menggusur hal-hal yang sifatnya primer. Lebih dari itu segala hal yang berbau matereilistik harus-harus benar dijauhkan dari gerak laju pendidikan Islam. Selamat berefleksi.....

Jumat, 30 September 2011

Ideologi Pembasmi Terorisme

Hingga saat ini persoalan paling menonjol dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa adalah melemahnya solidaritas antar individu dan kelompok. Masing-masing kelompok selalu menampik adanya nilai-nilai luhur serta cita-cita suci pada kelompok yang lain. Pada sudut pandang yang lain sejumlah komponen kehidupan berbangsa ini mulai rapuh dan tercerai berai dalam hiruk pikuk sikap arogan yang terus menopang runtuhnya solidaritas kebangsaan. Hal ini mengindikasikan suatu perbedaan pandangan serta pemahaman yang unilateral, bukan multilateral (toleransi). Pada sudut pandang yang berbeda, menempatkan keberagaman tidak lagi menjadi warna yang indah dalam kehidupan berbangsa, bahkan yang mencuat adalah adanya praktek-praktek profokatif yang menodai kedamian bersama.

Keragaman yang bisa dinilai cukup indah dalam kehidupan berbangsa adalah keberagaman dalam agama. Keindahan tersebut hanya bisa digapai apabila masing-masing kelompok keberagamaan dan kepercayaan bisa menjalin solidaritas kebangsaan. Sedangkan maksud dari solidaritas kebangsaan adalah menempatkan segala tujuan hidup pada ikatan dan cita-cita bangsa. Menempatkan segala tujuan hidup pada cita-cita bangsa tentu bukan perkara yang mudah, hal itu sangat terkait dengan dogma pada masing-masing agama yang sering memberlakukan penilaian standard ganda dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman. Pada satu sisi, kelompok agama tertentu mempunyai penilaian yang sangat sempurna pada ajarannya sendiri, sementara di sisi yang lain pada pola hubungan kemanusiaan dan kebangsaan memberlakukan penilaian negatif pada kelompok agama yang lain. Pola seperti ini tentu sangat mengundang sikap kecemburuan yang berlebihan, kewaspadaan munculnya ancaman atau bahkan agresi antar kelompok menjadi suatu kondisi kehidupan yang mencekam dalam kehidupan berbangsa. Akibatnya, kelompok-kelompok agama yang ada selalu merasa tidak aman dengan kemungkinan-kemungkinan adanya teror dalam menjalankan agamanya (ajaran).

Sebagai salah satu segmen praktek keagamaan yang dihantui oleh kekhawatiran, yaitu adanya ancaman dari pihak luar berupa adanya penjagaan keamanan yang super ketat pada suatu ritual tertentu dalam sebuah agama. Misalnya; saat pelaksanaan Idul Fitri dalam agama Islam atau Natal dalam agama Kristen sering kali dijaga begitu sangat ketat oleh aparat keamanan dengan berpijak pada suatu kekhawatiran dan ketakutan munculnya teror pada saat pelaksanaan ritual tersebut. Kenyataan ini berlangsung secara terus menerus dan juga berlaku di berbagai tempat, bahkan mungkin di seluruh dunia. Bagi sebagian orang mungkin tidak ada yang menarik dari prosesi penjagaan yang begitu ketat tersebut, akan tetapi sejatinya ada sisi yang layak dicermati sebagai upaya menangkap sisi paling dalam dari kehidupan beragama dan berbangsa dalam lingkup keberagaman atau pluralitas. Kesigapan aparat keamanan dalam kasus ini patut diacungi jempol, tetapi menjadi suatu hal yang memalukan apabila disorot pada nilai-nilai yang dibawa oleh agama. Memalukan dalam arti ajaran agama secara universal tidak mampu memberikan rasa aman bagi pemeluk dan lingkungannya. Pluralitas yang merupakan keniscayaan telah meruntuhkan nilai-nilai kedamaian yang dibawa oleh masing-masing agama.

Menjadi keniscayaan bahwa kedamaian hidup itu merupakan bagian dari apa yang digagas oleh agama. Namun realitanya seperti yang tersuguhkan di atas, agama seakan menjadi problem dalam keharmonisan kehidupan berbangsa, alih-alih akan menyuguhkan kedamian, yang terjadi malah merebahnya kecemburuan antar agama. Sebagai akibatnya, identitas keagamaan menjadi satu hal yang terus dicurigai. Memelihara jenggot, memakai jilbab serta menggunakan simbol-simbol keagamaan menjadi deretan problem yang mengundang banyak diskusi terkait penggunaannya di ruang publik. Bahkan di sejumlah negara di Eropa penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik sudah menjadi larangan. Kondisi ini semakin menguatkan bahwa agama tidak lagi menjadi tempat yang sejuk untuk menawarkan kedamaian bagi pemeluk dan lingkungannya.

Ketakutan yang terus bergulir tersebut tidak lain diakibatkan oleh sejumlah konflik yang mempunyai kaitan erat dengan agama. Kasus-kasus kekerasan dan kriminalitas dengan berbagai bentuknya seakan menyudutkan agama pada suatu pojok tertentu dengan tuduhan sebagai biang dari menyuburnya teror dalam kehidupan berbangsa. Beragam bentuk aksi teror sebagai phobia publik menjadi sebuah keniscayaan untuk hidup damai. Ketakutan ini semakin nyata sejak terjadinya tragedi teror besar 11 September 2001 sepuluh tahun silam. Sejak saat itulah legitimasi agama sebagai sumber kekerasan dan teror semakin dikukuhkan dengan sejumlah kampanye yang digulirkan oleh Amerika Serikat dengan sebutan peran melawan terorisme (war on terrorism).

Ketakutan itu seakan terus bergulir, bahkan tanggal 25 September 2011 yang lalu sebuah bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo telah menambah ketakutan baru sekaligus mengindikasikan bahwa teror bermotif agama terus menghantui dinamika kehidupan berbangsa. Indikasi adanya motif agama dalam hal ini tentu tidak bisa dielakkan lagi, mengingat kejadian tersebut terjadi pada suatu tempat suci agama Kristen. Secara kasat mata indikasi adanya motif agama lebih dominan, walau kemungkinan ada penunggang lain yang mempunyai maksud memecah kerukunan umat beragama.

Terlepas dari adanya unsur lain yang menunggangi kasus bom bunuh diri di atas, ketakutan serta kecemburuan antar umat beragama tetap tidak bisa dipungkiri lagi. Phobia serta kecemburuan antar agama sedikit demi sedikit akan menggiring kesadaran publik (pemeluk agama) pada babak tertentu yaitu berupa keraguan terhadap ajaran agamanya. Prediksi ini bukan suatu hal yang mustahil, walau juga diakui bahwa manusia selamanya akan terus bergantung pada realitas mutlak (Tuhan) sebagai bentuk pengakuan (penghambaan) secara pribadi. Namun agama secara lembaga tentu akan mengalami masa suram ketika ketakutan yang dihembuskan melalui teror bermotif agama itu semakin akut.

Persoalan di atas tentu tidak hanya menjangkiti suatu agama tertentu,akan tetapi secara tidak langsung juga menjangkiti setiap agama yang ada. Pada saat itulah hendaknya setiap agama mulai merumuskan kembali pola kehidupan keberagamaannya dengan cara melihat pluralitas itu sebagai keniscayaan yang perlu diinsafi. Meniginsafinya tentu dalam bentuk perwujudan amal yang menyuguhkan kedamaian serta tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal.

Memahami Nilai-Nilai Kebangsaan

Mencermati pluralitas dalam kaitannya dengan kecemburuan dan ketakutan yang muncul dalam kehidupan beragama dan berbangsa dalam konteks ke-Indonesiaan tentu akan menggiring pada suatu keniscayaan pengkajian nilai-nilai kebangsaan. Pengkajian tersebut merupakan jalan yang representatif dalam mewujudkan kehidupan yang damai dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Nilai-nilai kebangsaan akan lebih terbuka dalam mewadahi berbagai bentuk keragaman bangsa ini, baik dalam agama ataupun keragaman yang lain. Melalui pengertian ini secara tidak langsung diantara agama yang berkembang di Indonesia tidak ada yang punya hak untuk memasukkan sebagian nilai-nilai agama pada kebijakan Negara apalagi sampai memaksakan agar berpedoman pada asas agama.

Sebagai langkah awal dalam menghadirkan nilai-nilai kebangsaan penelusuran historis menjadi salah satu pintu yang cukup terbuka untuk menghadirkan nilai-nilai tersebut. Suatu fakta sejarah telah menyuguhkan bahwa dari sejak awal bangsa ini tidak pernah menyatakan sebagai bangsa yang berpedoman pada asas agama tertentu. Oleh karena itu setiap agama dalam koridor kebangsaan mempunyai kedudukan serta kewajiban yang sama, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang diusung berupa kesejahteraan dan kedamaian dalam lingkup pluralitas yang ada.

Satu pijakan yang cukup populer dalam kerangka kebangsaan terdapat dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan bagian dari salah satu prinsip dalam kehidupan berbangsa di tengah-tengah pluralitas agama yang ada. Prinsip ini sangat representatif untuk kemudian bisa dibawa sebagai nilai-nilai kebangsaan yang terwujudkan dalam betuk prilaku nyata. Jika nilai-nilai ini benar-benar telah membumi dalam setiap prilaku individu, maka ketakutan, kekhawatiran serta kecemburuan di tengah-tengah pluralitas agama bisa dihindari.

Memupuk Ajaran Agama yang Konstributif

Sejatinya tidak ada satu agama apapun yang menhalalkan pencideraan terjadap nilai-nilai kemanusiaan. Kedamaian menjadi satu prioritas universal yang dimiliki oleh setiap agama. Maka ketika terjadi kekerasan atau teror yang bermotif agama pada dasarnya bukanlah ajaran agamanya yang salah, akan tetapi para pemeluknya yang mempunyai interpretasi yang salah terhadap ajaran agamanya. Legitimasi pada agama tertentu sebagai sarang terorisme juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tudingan tersebut tidak akan pernah memberikan solusi yang tepat dalam memberantas kasus teror yang terus bergulir, bahkan bisa semakin meruncingkan konflik antar agama. Maka terorisme bukanlah unsur dari ajaran agama apapun, trorisme adalah segmen lain yang nota benenya bisa dikatakan sebagai kelompok yang membenci nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian. Kesadaran inilah yang perlu disuburkan pada setiap individu beragama agar kemudian tidak terjebak pada pola profokasi yang tergelar.

Selain hal di atas, setiap pemeluk agama diharapkan kembali pada ajaran agamanya sendiri, namun tentu dengan pola pengertian dan pemaknaan yang konstributif. Sebagai bentuk nyata dari pemaknaan konstributif adalah pemakanaan ajaran agama yang mampu menhadirkan prestasi-prestasi prestesius yang membanggakan kehidupan bersama. Sebagai contoh, seyogyanya setiap agama mampu memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan sosial. Meminimalisir kemiskinan serta kebodohan adalah salah satu sektor konkret yang cukup mumpuni untuk dijadikan lahan dalam mengejawantahkan dari pola pemaknaan ajaran agama yang konstrbutif. Bersaing dalam menyuguhkan prestasi oleh setiap agama merupakan simbol dari pemaknaan ajaran agama yang konstributif.

Saatnya Menuju Kedamaian

Apapun alasannya aksi teror itu tetaplah bentuk kekejaman yang tidak bisa diterima oleh agama manapun. Ancamannya tidak hanya jiwa, akan tetapi agama itu sendiri akan mengalami kesuraman, bahkan bisa saja ditinggalkan oleh pemeluknya. Teror telah menebar kecurigaan yang berlebihan antar umat beragama, maka dalam rangka menyelamatkan agama dari kepunahan serta terciptanya kedamaian, hendaknya setiap pemeluk agama bisa mensinergikan wawasan kebangsaannya dan ajaran agamanya secara bersamaan. Integrasi nilai-nilai kebangsaan dan pemaknaan ajaran agama yang konstributif merupakan salah satu jalan dalam menumpas terorisme sekaligus sebagai jalan menuju kedamaian bersama. Semoga…

Minggu, 25 September 2011

SAATNYA MEMUTILASI MATEREALISME

Terjangan materealisme di era sekarang tidak hannya digandrungi oleh kalangan elit saja. Materealisme menjadi suatu gerakan baru dalam kehidupan masyarakat yang terus menggerus habis kesadaran religius. Ajaran agama yang semula menjadi salah satu penuntun bagi kehidupan manusia dalam menata dunia, saat ini hanya menjadi ritual formal yang hampa. Wasiat taqwa yang digemborkan dimana-mana lewat berbagai media tidak lain hanya bagian dari pergumulan dan penggemukan materealisme saja. Pada babak yang lebih mengerikan, agama menjadi kemasan paling menggiurkan dalam memoles tujuan-tujuan materealistik oleh pihak tertentu.

Tinjauan di atas bukan semata-mata bertolak dari kecemburuan semata, tetapi merupakan satu refleksi yang menghendaki agar setiap individu bisa menimbang dan menilai dari berbagai suguhan realitas yang terjadi. Berbagai even yang bernuansa relegi bisa saja menjadi ajang pengumpulan kekayaan oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan seringkali terdapat pungutan-pungutan yang tidak rasional untuk sejumlah kepentingan yang tidak jelas, sehingga kemudian yang mencuat ke permukaan adalah terciptanya wacana yang berkembang di masyarakat luas berupa komersialisasi pendidikan. Pada satu sisi dana memang menjadi syarat mutlak berjalannya suatu program pendidikan, selama kebutuhan dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan tentu tidak menjadi persoalan, akan tetapi yang banyak terjadi adalah penyelewengan serta kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan anak didik. Di berbagai sekolah atau lembaga pendidikan ternama seringkali terdapat sejumlah program-program yang sifatnya prestesius, namun tidak tepat sasaran. Efektifitas serta efisiensi kurang begitu dipedulikan, sehingga yang terjadi hanya berupa-berupa proyek-proyek tertentu yang sifatnya hanya mengejar rating atau popularitas dan kepentingan-kepentingan materi.

Bila melihat dan mencermati suguhan media baik cetak maupun elektronik kerap kali terdapat segmen yang menyuguhkan kehidupan hedon para publik figur yang membuat para penikmat media berdecak kagum dibuatnya. Selebritis, politisi serta para pengusaha menjadi figur yang seringkali mengisi ruang-ruang media dengan pola kehidupan yang serba mewah. Capaian-capaian materi menjadi ulasan paling menarik serta paling digandrungi oleh para penikmat media. Kontes kekayaan dengan lipatan serta tumpukan uang yang bertriliunan rupiah menghadirkan sejumlah orang yang lengkap dengan rankingnya dari sisi kekayaan materi. Suguhan ini sekilas bisa saja menstimulan agar setiap orang bisa bermimpi serta giat bekerja, namun ketika realiatas tersebut tidak diimbangi dengan keimanan dan kesadaran relegius akan berakibat pada pola kehidupan materealistik yang akut.

Realitas di atas tidak cukup hanya dikeluhkan saja, apalagi dengan hanya menyalahkan pihak-pihak lain. Media massa yang selama ini disinyalir menjadi penyubur pola kehidupan yang serba materi tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Sejumlah sisi kehidupan yang lain juga perlu dicermati sebagai pola berfikir komprehensif untuk menghadirkan solusi yang tepat. Agama tentu menjadi sisi paling vital yang perlu dicermati dalam menyelesaiakan persoalan ini. Sejatinya persoalan materealisme sudah sejak dulu bergulir, di dalam al-Qur’an pola pandang kematerian dikisahkan pada kehidupan seorang Qorun. Maka secara prinsip agama Islam tentu sudah sejak kelahirannya bersentuhan dengan materealisme. Bahkan, pada penggalan kisah kelahiran Islam itu sendiri lahir di kota metropolitan yaitu Mekah sebagai pusat perekonomian kala itu.

Kelahiran Islam di tengah pusat perekonomian tentu mempunyai makna tersendiri yang perlu direfleksikan. Masyarakat Mekah waktu itu sebagian besar adalah saudagar, namun di tengah kedigdayaan materi yang melimpah telah melimbungkan masyarakat Mekah. Kebodohan semakin menjadi-jadi, ukuran kesuksesan selalu disandarkan pada capaian materi. Sebagai implikasinya yang nampak dalam kehidupan adalah pandangan yang tidak berimbang terhadap status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dianggap mampu mendatangkan keuntungan finasial yang lebih dibandingkan perempuan, sehingga sejumlah kasus penguburan anak perempuan oleh orang tuanya menjadi hal cukup lumrah waktu itu. Kasus ini walau tidak semata-mata karena tekanan dogma materealisme, namun paling tidak itu marupakan salah satu bias dari pola pandang materealisme yang menjangkiti masyarakat waktu itu.

Mengulas materealisme tentu juga sangat berkaitan dengan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Para pemimpin ini begitu sangat lemah ketika menghadapi kelihaian goadaan materi yang mengelilinginya. Suara dan janji para pemimpin ini untuk mensejahterakan rakayat hanya sebatas isapan jempol belaka. Hanya agama satu-satunya harapan yang mampu meneyelesaikan persolan ini. Sejumlah hal yang paling prinsip dalam agama perlu untuk kemudian dieja lalu kemudian menjadi wujud nyata dari prilaku sehari-hari. Salah satunya adalah ajaran keimanan kepada Tuhan. Iman kepada Tuhan (Allah) dalam konteks kajian agama merupakan salah satu hal yang cukup vital dan prinsip, ketika individu sudah kehilangan keimanannya maka secara tidak langsung status keagamaannya juga telah termutilasi. Namun kenyataannya keimanan yang mersauk pada diri setiap individu selalma ini masih sebatas keimanan pasif saja. Pasif dalam arti sebatas bentuk kepercayaan normatif yang tersimpan rapat dalam hati. Sementara prilaku belum bisa mewujudkannya.

Sebagai bentuk upaya dalam mengimbangi gempuran matarealisme adalah menempatkan keimanan kepada Tuhan sebagai satu-satunya prinsip hidup yang tidak boleh diduakan. Menduakan Tuhan sama dengan memutus kepercayaan kepada-Nya serta pada tahap yang sama menempatkan diri sebagai hamba-hamba yang pecundang. Jika ditarik dalam terminologi agama, orang yang sengaja menempatkan seluruh tujuan hidupanya pada materi adalah bagian dari prilaku syirik yang dosanya tidak terampuni. Penempatan ini tentu tidak berlebihan, karena sikap-sikap materelistik tidak hanya bernilai dosa pada pelakunya, tetapi jauh lebih dari itu telah merugikan lingkungan dan manusia di sekitarnya. Kini saatnya kita memutilasi Materealisme dan kembali pada Allah satu-satunya tujuan hidup. Mati kau materealisme hahahah...

Senin, 24 Januari 2011

ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA

A.Pendahuluan

Kehidupan ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan di dalamnya masih pada kondisi normal. Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beraneka macam tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan baik sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik jika bisa dihargai oleh setiap kelompok yang ada. Keberagaman atau pluralitas dalam dialektika kehidupan beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena yang menarik untuk diteropong lebih dekat lagi. Terdapat sejumlah persoalan yang perlu dicermati manakala agama bersinggugan dengan pluralitas sosial, dari mulai politik, adat, ekonomi serta fenomena yang relative paling sensitive manakala suatu agama menjumpai kelompok kepercayaan atau agama yang lain. Persoalan yang cukup rumit dalam konteks pergaulan agama-agama adalah pada persoalan cara bagaimana beragama atau berteologi di tengah-tengah adanya agama-agama yang lain.

Islam sebagai agama juga tidak lepas dari konteks pluralitas yang tesuguhkan tersebut. Perjumpaannya dengan sejumlah kepercayaan yang muncul terutama dalam konteks ke-Indonesiaan Islam harus menunjukkan identitasnya sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan. Identitas tersebut berbanding lurus dengan makna harfiah Islam itu sendiri yang berarti selamat, damai, berserah diri yang kemudian bisa dimplikasikan dalam kehidupan konkret berupa penghargaan terhadap pluralitas serta keberadaan agama atau kepercayaan yang lain. Dengan demikian diharapkan Islam menjadi perekat dan pelopor pemersatu bangsa serta menghindari dari berbagai konflik-konflik SARA yang memungkinkan terjadnya disintegrasi kehidupan berbangsa.

Tujuan luhur di atas sejatinya sangat relevan dengan Islam yang mempunyai rujukan doktrin yang kuat lewat Al-Qur’an dan Sunah Nabinya. Namun pada faktanya terdapat sejumlah kasus yang mencoreng wajah Islam di negeri ini, seperti mencuatnya berbagai macam kekerasan yang mengatasnamakan agama. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju Islam akhirnya dikaitkan dengan radikalisme, ekstremisme dan bahkan terorisme. Berbagai macam teror dalam berbagai bentuknya mulai dari pembantaian kelompok tertentu, pengrusakan, penghancuran gedung dan lain sebgainya menambah buruk wajah dunia Islam di negeri ini pada khususnya. Gejala-gejala ekstrem tersebut adalah bagian dari corak keberagaman yang bobrok, yang kemudian diidentifikasi sebagai bagian dari bangkitnya fenomena fundamentalisme agama.

Mencermati dari suguhan pola keberagaman yang kontraproduktif dari makna Islam tersebut tentu menjadi proyek tersendiri untuk kemudian diselesaikan. Selain cukup memalukan, tentu harus segera dituntaskan agar kemudian tidak memunculkan problem yang lain. Jika sedikit lebih dicermati gejala fundamnetalisme agama yang kemudian memunculkan sikap anarkis tersebut sangat terkait dengan munculnya ketersinggungan adanya kelompok lain atau agama lain. Teologi seperti ini tentu tidak bisa menampilkan wajah Islam yang ramah. Dalam konteks yang lain umat muslim dalam kehidupan beragamanya masih mengadopsi pemahaman double Standarts. Maksudnya, umat muslim selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya dan kelompok lain. Jika pada dirinya biasanya menggunakan standar yang relative ideal, sementara pada kelompok lain lebih bersifat realistis dan historis. Dari tradisi itulah kemudian memunculkan prasangka-prasangkan sosiologis dan teologis. Dalam persoalan telogis misalnya, memunculkan pengakuan bahwa agama sendiri sebagai agama yang dari Tuhan dan paling benar sementara agama yang lain dianggap konstruksi manusia.
Jika tradisi ini mengkristal dan kemudian menjadi pemahaman secara umum umat Islam maka konflik bermotif agama akan terus menggelinding. Perlu adanya sentuhan pendewasaan secara menyeluruh dalam konteks pengamalan agama di muka publik. Secara konkret umat Islam bsa dibilang mempunyai persoalan ketika Islam menjadi bagian dari elemen publik universal. Secara privat pengamalan keberagamaan bisa dituntaskan lebih cepat, karena hanya melibatkan wawasan normative intern dalam agama, akan tetapi agama dalam ruang publik menjadi lebih rumit karena adanya keterkaiatan dengan komunitas yang jauh lebih luas, memerlukan kedewasaan intlektual serta emosional yang stabil dengan mengintegrasikan seluruh aspek doktriner dan konteks secara bersamaan.

B.Upaya Memahami Ruang Publik yang Plural
Ruang public berarti ruang yang secara legal bisa diakses oleh siapapun tanpa adanya klaim apapun dari pihak tertentu untuk mendominasi. Jika dikaitkan pada tatanan kehidupan berbangsa, Indonesia dikatak bukan Negara agama akan tetapi Negara yang berasas Pancasila yang berpijakan pada keanekaragaman dalam satu (bhinneka tunggal ika). Maka Indonesia adalah Negara yang secara legal memberikan ruang adanya pertumbuhan dan keanekragaman dalam segala aspek termasuk dalam hal kepercayaan. Jika kemudian pada suatau saat ada kelompok tertentu memaksa untuk mendominasi ruang tersebut, secara tidak langsung kelompok tersebut telah melukai tatanan umum.
Dalam suasana berbangsa dalam Negara yang terbuka tersebut setiap kelompok meminta kesetaraan dalam berkehidupan. Agama dan kepercayaan yang ada juga memiliki hak kesetaraannya dalam menikmati kehidupan berbangsanya. Catatan sejarah menyatakan bahwa, Negara dan agama memang memiliki kekuatan untuk saling mendominasi. Tidak bisa dipungkiri agama dan Negara juga sangat mempengaruhi suatu kemajuan yang besar, akan tetapi sebaliknya keduanya bisa saja menjadi sumber kemunduran atau malapetaka. Adakalanya Negara bertatahta di atas agama (pra abad pertengahan), begitu juga agama pernah bertahta di atas Negara (abad pertengahan), tetapi pada kenyataan lain akhirnya Negara berpisah dari agama (pasca abad pertengahan hingga saat ini).

Hubungan Negara dan agama seperti yang terurai di atas jika dikaitkan dengan konteks negeri ini maka bisa dikatakan bahwa Indonesia berada pada Negara yang memisahkan dari agama walau di beberapa sisi terdapat hubungan yang cukup inten dalam beberapa persoalan. Indonesis secara khusus memang mempunya konteks historis yang unik terkait terdapat sejumlah kubu yang ikut serta dalam membangun negeri ini. Waktu itu ada kubu kebangsaan, nasionalis, agama dan Islam sekuler. Sehingga pada tahap perkembangannya akhirnya Indonesia menjadi Negara pancasila dimana pada sila pertama Indonesia tidak melepaskan keikutsertaan Negara dalam mengarahkan rakyatnya dalam hal beragama, tetapi tetap tidak ada unsur pemaksaan, akan tetapi hanya menyebutkan kebertuhanan kepada Tuhan yang Esa.

Selain itu masih dari dimensi sejarah masa lalu, bangsa ini mempunyai sejumlah kerajaan yang sejatinya juga mempunyai hubungan harmonis dengan agama-agama diantaranya ada Mataram pertama kalinya dengan agama Hindunya, Sriwijaya dengan agama Budhanya serta Majapahit dengan Hindu siwanya. Sejumlah warisan inilah yang kemudian tidak bisa menjadikan bangsa ini betul-betul berada pada titik sekuler seperti halnya Negara-negara Barat. Agama dan Negara dalam tatanan publik konteks keindonesiaan sama-sama memiliki legitimasi simbolik.

Seiring dengan semakin dewasanya bangsa ini nampaknya Islam menjadi suatu kekuatan tersendiri yang kemudian pada babak awal didirikannya bangsa ini terjadi perdebatan yang cukup alot mengenai pijakan dasar dari Negara ini. Walau Islam bisa dibilang sangat dominan ketika itu, tetapi pertautan sejarah masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja, kebhinnekaan bangsa ini tidak bisa dipugar begitu saja dengan memihak pada kubu tertentu yang kuat secara politis dan massa. Untuk menjawab semua itu akhirnya negeri ini secara khusus mendirikan suatu lembaga khusus yang membidangi hubungan Negara dan agama yang kemudian dikenal dengan Depertemen agama(sekarang kementerian agama). Namun maksud dari adanya kementrian agama tersebut bukan berarti Negara ikut campur dalam keberagamaan penduduknya, tetapi Negara tetap berpegang teguh pada dasar Negara yang memberikan kebebasan dalam memeluk agama yaitu bunyi sila pertama dari Pancasila dan pasal 29 ayat (2) UUD’ 45 yang berisi tentang kebebasan beragama dan jaminan tidak ada diskriminasi agama di Indonesia.

Keberadaan Negara dengan sejumlah catatan sejarah dan data di atas menempatkan Negara ini tidak akan pernah lepas dari pluralitas. Pada saat yang sama kondisi itulah yang kemudian memberikan kesadaran bagi setiap agama agar senantiasa melakukan pembacaan terhadap konteks yang ada dengan harapan agar tercipta kesepahaman akan adanya kelompok-kelompok lain yang juga punya hak yang sama di Negara ini. Setiap kelompok apapun harus tetap menjaga integrasi bangsa ini, beragam adalah keniscayaan sementara menjaga keutuhan bangsa adalah tugas bersama.
Upaya memuluskan hubungan yang harmonis dalam kehidupan beragama di Negara ini, maka kemudian menjadi keniscayaan menformulasikan satu ideologi yang bisa meghantarkan setiap agama tersebut pada kedamaian bersama dan ketenangan mengamalkan ajaran agama oleh masing-masing pemeluknya. Disinilah kemudian pluralisme agama bisa dilirik untuk kemudian diupayakan menjadi satu pola kehidupan beragama yang bersinergi dalam menggapai nilai kemanusiaan yang tinggi, dengan harapan kemejemukan di tubuh bangsa ini bisa terjaga sehingga kebesaran dari bangsa ini memunculkan peradaban-peradaban yang unggul di mata bangsa-bangsa yang lain.

C.Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme dalam arti yang sangat sederhana adalah kemajemukan. Pada kenyataannya pluralisme dianggap sebagai paham yang paling mengerikan ditinjau dari sudut pandang agama-agama samawi (Yahudi, Kristen da Islam). Hal itu karena adanya pengawetan yang cukup kental terhadap ideolgi ekslusif yang dikembangkan oleh agama-agama tersebut selama ratusan tahun yang silam. Ideology eklusifisme yang dimaksud adalah berupa claim of truth “klaim kebenaran” dan claim of salvation “klaim keselamatan” yang ada pada masing-masing agama tersebut. Dalam arti yang lebih sederhana masing-masing agama tersebut menilai agama yang lain dengan memakai teologinya agamanya sendiri tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati dan bersimpati tentang bagaimana orang lain memangdang agamanya sendiri. Dengan pola ekslufitas tersebut menemptakan pluralisme sebagai ancaman bagi agama yang disebutan di atas termasuk dalam Islam itu sendiri.

Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Gagasan yang dimaksudkan adalah dalam rangkan mencipatakan kesepahaman, toleransi dengan tujuan membentuk masyarakat plural yang produktif. Ada kenyamanan, ketentraman, keadilan dan kemerdekaan yang setara, sehingga secara tidak langsung mereka secara bersamaan menjadi masyarakat yang kokoh dalam memajukan lingkungannya.
Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme. Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas. Dari kemandegan tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalism yang kemudian merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung kemudian dari leiberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu pengharrgaan terhadap plualitas yang ada.

Pluralisme agama juga bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar agama yang satu dengan agama yang lainnya. Disitu kemudian terjadi perluasan wawasan dengan tidak bermaksud mendiskreditkan. Ada penghargaan terhadap perbedaan, bukan mencemooh perbedaan tersebut. Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan perbedaan tersebut sebagai nilai kebenaran bentuk lain daripada apa yang dinytakan dalam agama. Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya kelesuan moral, sehingga dengan pulralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan lingkungannya.

Pengertian pluralisme dalam konteks kontemporer bisa dinyatakan sebagai keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Menurut Nurcholis Madjid pluralisme itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan akan tetapi gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk tujuan-tujuan sosial yang luhur yaitu untuk kebersamaan dan peradaban.

D.Perkembangan Pluralisme Agama
Pluralisme pada perkembangannya menjadi suatu wacana yang cukup ramai dibicarakan, terutama pasca reformasi. Keramaian itu semakin menguat semenjak MUI memutuskan fatwanya yang mengharamkan terhadap sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005. Kemudian yang paling menarik untuk diperhatikan pasca keluarnya fatwa tersebut adalah semaraknya respon publik yang diwakili oleh sejumlah LSM Islam yang dengan antusias menyuarakan tiga isu tersebut, bahkan selama kurun lima tahun sejak pengharaman tersebut, tiga isu besar tersebut semakin menemukan performanya yang semakin matang.

Selain respon dari sejumlah LSM dua arus besar Islam di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU juga ikut meramaikan wacana tersebut. Kelompok muslim lain seperti Persatuan Islam (PERSIS), Nahdatul Wathan di NTB, Darul Dakwah wa Irsyad (DDI) di Sulawesi, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga memainkan perannya dalam merespon tiga wacana tersebut. Ditenga-tengah tempratur terbukanya demokrasi, masing-masing kelompok tersebut mempunyai hak yang sama dalam mengungkapkan pendapatnya, sebagian ada yang bersikukuh menolak, sebagian yang lain dengan penuh kemantapan menerima pluralisme sebagai sebuah keniscayaan.

Jika dilihat lebih dekat dua mainstream NU dan Muhammadiyah telah banyak lahir dari rahim keduanya komonitas-komonitas Islam yang begitu gigih mengangkat isu pluralisme, sehingga pada sisi yang lain kedua mainstream tersebut dipercaya sebagai sisi Islam yang cukup moderat yang mampu meredam radikalisme dan militanisme Islam yang biasanya lahir dari kubu-kubu yang menamakan dirinya sebagai Islam puritan. Gerakan tradisional diwakili oleh NU sementara gerakan Islam modernis diwakili Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid dan Masdar F. Mas’ud dua tokoh representaif yang lahir dri NU telah memainkan perannya dalam mengapresiasi pularlisme. Bahkan Gusdur pada suatu mement dinobatkan sebagai bapak pluralisme.

Sementara Muhammadiyah yang sejak awal merepresentasikan dirinya sebagai gerakan Islam modernis tentu secara otomatis akan menerima pluralisme sebagai keniscayaan. Ahmad Dahlan misalnya sebagai pendiri Muhammadiyah mempunyai wawasan ke depan yang cukup progresif yang di dalamnya tertampung pluralisme sebagai suatu keharusan. Hal itu tercermin dari sikap riil KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai banyak kolega dari non muslim. Cerminan tersebut mengindikasikan bahwa Muhammadiyah sejatinya secara ideology telah menganut ideology inklusif dan plural. Syafi’I Ma’arif menjadi cerminan fundamental adanya penerimaan terhdap pluralism dalam tubuh Muhammadiyah.
Akan tetapi jika dibandinkan dengan NU, isu pulralisme dan sikap progresif yang dikembangkan di Muhammadiyah bisa terbilang tertinggal. NU sudah sejak tahun 1980-an sedangkan fenomena yang demikian dalam Muhammadiyah baru muncul pada paroh akhir tahun 1990-an. Ketertinggalan Muhammadiyah dalam menangkap keniscayaan tersebut menjadikan Muhammadiyah sedikit lebih tertutup mengingat sebagian massanya terjebak pada gerakan-gerakan ektrem yang menghendaki ideologi ekslusif yang pada akhirnya memunculkan gerakan puritanisme. Walau demikian di tubuh NU sendiri juga mengemukan sub kelompok yang juga cukup tetutup dalam menerima pluralisme.

Secara konkret Muhammadiyah dan NU benar-benar telah menelorkan pengarusutamaan (mainstreaming) ide-ide sekularalisme,liberalism dan pluralisme dalam beberapa kajian yang berafaliasi pada keudanya. Islam Liberal lewat artikel menggugahnya Ulil Absar Abdalla yang dipublikasikan di Kompas pada tahun 2002 membuka diskursus baru tentang tiga isu tersebut. Kelompok ini merupakan representasi dari kubu NU,kemudian sejumlah LSM lainnya seperti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institute (TWI) dan Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKiS) menjadi agen dari mainstreaming yang bekembang dalam NU. Sementara kajian-kajian yang merepesntasikan dari kubu Muhammadiyah seperti, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Yayasan Paramadina, Internasional Center for Islam and Pluralism (ICIP), Ma’arif Institute dan JIMM. Sejumlah kajian itulah yang kemudian menjadi media penghantar dari ide-ide teoritis untuk kemudian ditansmisikan pada dunia riil.
Sejumlah tokoh Muhammadiyah yang bisa dibilang cukup kuat dalam menyuarakan ide pluralisme pada tngkat kajian-kajian tersebut dan dunia intlektual adalah, Ahmad Syafii Maarif,M Dawam Raharjo,Moeslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah dan Abdul Munir Mulkhan. Merekalah para tokoh senior yang juga secara fisik terlibat dalam pengkaderan pemikir muda Muhammadiyah saat ini.

Selain dua ormas besar itu mainstreaming juga di dapati pada dunia kampus. UIN Jakarta dan UN Yogyakarta dua kampus yang representative secara aktif terlibat dalam menyuarakan tiga isu tesebut. Tokoh-tokoh yang terlibat di UIN Jakarta ada Harun Nasution yang mampu memberikan pandangan pulralisnya lewat teks bukunya denga judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang didalamnya terdapat pemahaman Islam secara komprehensif. Disusul kemudia oleh Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra yang menginginkan agar UIN tidak lagi hanya bersifat fiqih oriented tetapi harus dikembangkan pada wawasan keilsman yang lain menyagkut kemodernan, ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Sementara di Yogyakarata ada Mukti Ali dan Amin Abdullah yang dalam segmen wawancara di Kompas edisi 7 Oktober 2008 menyatkan bahwa UIN Sunan Kalijaga mendukung pluralisme.

Data-data di atas menunjukkan bahwa isu pluralism dalam perkembangannya memang telah diamini oleh dua ormas tebesar di Indonesia sekaligus juga didukung secara akdemis oleh dunia intlektual yang diwakili oleh dua Univesitas Islam Negeri Jakarta dan Yoyakarta yang sudah secara aktif ikut andil dalam laju perjalanan pulralisme di Indonesia.

E.Penutup
Pluralitas dalam konteks Indonesia merupakan keniscayaan sejak lahirnya bangsa ini. Catatan sejarah sejak pra terbentuknya bangsa ini memang telah banya disinggahi berbagai macam peradaban. Memberengus serta mengabaikan kemajemukan adalah kebrutalan yang menghantarkan pada disintegrasi bangsa. Dukungan secara hukum lewat undang-undang yang tersurat dalam tubuh bangsa ini serta tumpukan sejarah bangsa ini setidaknya menjadi pijakan utama dalam merumuskan eksistensi agama di lingkungan negeri ini. Islam sebagai bagian dari bangsa ini sudah selayaknya menjadi pelopor mengingat kondisi politk dan massa yang cukup domnan. Keangkuhan serat fanatisme buta perlu dihijrahkan kemudian mengambil pluralisme dengan melibatkan rasa kemanusiaan dan kebangsaan.

Menlanjutkan proyek mulia tesebut, ormas-ormas Islam dan dunia akademik Islam agar terus menopang gelaran puluralisme agama tersebut guna membangun kerjasama yang produktif dalam rangka membangun peradaban yang maju. Kini saatnya berubah, demi orentasi mulia menatap kesetaraan umat beragama serta masa depan bangsa yang cemerlang. Semoga…

Senin, 23 Agustus 2010

MENDAMAIKAN TUHAN DAN MANUSIA

Agama secara normatif adalah seperangkat tawaran yang mengarahkan manusia menjadi semakin tahu terhadap penciptanya. Di sisi lain agama adalah jalan hidup yang menghantarkan pada kedamaian. Begitu sangat ideal makna dari sebuah agama, walau wajah agama secara riil sering kali mencumbui substansi normatif tersebut. Kondisi yang demikian sedikit membuat sekelompok orang berkecil harapan tehadap solusi-solusi yang ditawarkan oleh agama. Agama yang sejak awal sebagai media untuk membagi kedamaian diantara manusia, kini terdapat sejumlah kasus yang bermuatan konflik akibat kecemburuan yang berangkat atas nama agama. Lambat laun seiring dengan kesadran manusia agama akan menjadi cermin dari sejumlah kekerasan dan konflik yang membelah perdamaian dunia.

Kebencian, permusuhan bahkan mungkin perang adalah penuturan sejarah yang tidak bisa disisihkan begitu saja sebagai akibat dari wajah ekstrim dari agama. Kedamaian dan ketenangan akhirnya menjadi satu cita-cita yang tidak pernah kunjung terwujud. Semua itu mungkin diakibatkan dari paradigma keberagamaan yang beranjak dari pandangan teosentris, sehingga nilai-nilai kemanusiaan menjadi terabaikan. Agama seakan-akan untuk Tuhan atau dalam pandangan lain Tuhan-Tuhan yang ada itu mesti dibela walau darah menjadi taruhannya. Sungguh kondisi ini adalah bagian terburuk dari wajah Tuhan yang semestinya mengasihi dan menyayangi manusia berubah menjadi Tuhan-Tuhan yang bringas yang menyengsarakan manusia.

Sungguh Tuhan mungkin tidak akan pernah mau jika ditempatkan sebagai sumber kesenjangan dan konflik di dunia ini. Tuhan dengan segala kebesaran-Nya terdapat ruang yang cukup luas untuk mengelak dari berbagai tuduhan. Sejumlah kasus pertumpahan darah atas nama besar-Nya nampaknya tidak cukup untuk menempatkan Tuhan pada ruang pesakitan. Lihat saja beberapa orang yang menjadi korban dari Tuhan-Tuhan yang berwajah bringas. Salah satu tokoh sufi dalam dunia Islam misalnya Al-Hallaj dengan argumennya “Ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan) dinilai menyalahi syariat dan dianggap sesat. Sebagai hukuman baginya beliau dijatuhi hukuman mati di tiang salib, dipotong kedua tangan dan kakinya lalu kemudian mayatnya dibakar serta dibuang di sungai tigris. Semua kronologi memalukan ini adalah bagian kecil dari Tuhan-Tuhan yang meminta dibela, sehingga darah dan jiwa manusia menjadi tidak berharga. Sejumlah tokoh lainnya seperti Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi juga diakhiri hayatnya dengan hukuman mati dengan tuduhan yang sama yaitu menyimpang dari syari’at.

Pembantaian atau pembunuhan sadis di atas adalah serangkaian peristiwa yang menodai kesucian agama dan Tuhan itu sendiri. Kreatifitas dan ruang berfikir manusia seakan disekat dan dibatasi oleh keangkuhan Tuhan sebagai sang Maha Besar. Sejatinya Tuhan dalam arti Tuhan yang sejati tentu tidak akan pernah bringas, kebesaran-Nya akan mewadahi seluruh kreatifitas manusia dalam mencari kebenaran-Nya. Bila dilihat lebih detail, Tuhan akan tersenyum melihat perbedaan itu sebagai konsekwensi kebebasan yang dianugerahkan kepada manusia, hanya saja manusia sajalah yang mendahului Tuhan dalam bersikap, seakan sekelompok orang ekstrimis ini berlomba menjadi pahlawan di hadapan Tuhan (syahid).

Ekslusivitas adalah corak dari pemikiran yang sempit yang menghadirkan cinta kepada Tuhan yang buta. Cinta buta dalam arti tidak mengindahkan kelompok lain sebagai sebuah usaha yang juga berpotensi menghadirkan cinta kepada Tuhan. Jalan atau pilihan orang lain dianggap keliru dan perlu dibasmi dari muka bumi. Cinta seperti inilah dikategorikan oleh novelis Inggris A.N. Wilson sebagai cinta yang mengakari segala kejahatan. Secara tegas dia menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan sebagai sumber dari segala kejahatan. Pernyataan tegas ini diikuti sejumlah tragedi tragis seperti yang tertuturkan di sebelumnya, sehingga pada tahap pernyataan akhir bisa dinyatakan bahwa tidak ada suatu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas segala perang, tirani dan penindasan.

Gelaran sejarah panjang agama yang kelam di atas apakah kemudian akan mengubur agama, ataukah manusia akan gerah dan memilih alternatif lain? Semua kemungkinan serba terbuka, seluas alam pikiran manusia dan kebenaran Tuhan yang ada. Kondisi ini tentu sedikit mengkhawatirkan institusi agama yang ada, Islam, Kristen dan Yahudi sebagai agama Ibrahim dengan predikat agama samawi juga akan mengalami kondisi yang sama yaitu keusangan. Usang dalam arti akan ditinggalkan oleh manusia secara institusi walau mungkin secara esensi akan tetap berlanjut. Pada saatnya, dalam percaturan kehidupan manusia masa depan tidak akan pernah lagi mengenal nama agama secara institusi. Artinya, agama-agama saat ini yang menjadi anutan akan tersisa sebagai sebuah cerita saja seperti halnya agama-agama kuno yang saat ini hanya tertinggal guratan sejarahnya saja.

Guncangan New Religious Movement (NRM) sebagai sebuah wacana memang sudah sejak lama mengakar di pergumulan pemikiran manusia modern. Sebagai akarnya bisa dilihat dari pernyataan Arrazi yang menolak konsep kenabian. Arrazi berpendapat bahwa, akal secara potensi sangat mampu membedakan antara yang baik dan buruk, serta pada taraf tertentu akal juga mempunyai kemampuan mengurai rahasia-rahasia ilahi. Seluruh manusia dianugerahkan pada standart yang sama, munculnya nabi pada suatu kelompok hanya memancing adanya fanatisme yang kemudian pada akhirnya akan terjadi jegal menjegal antar kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Keberadaan para nabi hanya membentuk institusi-institusi agama yang mengarah pada perpecahan. Bermula dari keberanian ini, gerakan-gerakan makar terhadap institusi agama bermunculan dan membentuk komonitas yang meminta satu kebebasan untuk menjumpai Tuhannya secara individu menurut cara dan kapasitas nalarnya masing-masing.

Arazi dengan pendapatnya di atas dianggap membahayakan sehingga kehidupannya juga diakhiri dengan pertumpahan darah. Sejumlah kejadian tragis akibat sikap ektrimis kaum agamawan tidak akan pernah membuat otak manusia berhenti untuk berfikir mencari kebenaran Tuhan, sehingga perbedaan dan keragaman akan terus bergulir hingga akhir masa. Arrazi, al-Hallaj serta sejumlah tokoh lainnya dengan pandangannya yang berbeda boleh mati di tiang gantungan, akan tetapi spiritnya dalam mencari kebenaran Tuhan akan terus mengalir deras pada generasi selanjutnya. Tindakan fisik yang anarkis tidak akan pernah merubah keadaan, hanya dengan pesan-pesan bijaksana dan argumentatif saja manusia itu akan tunduk, hal itu merupakan konsekwensi dari predikat manusia sebagai makhluk yang berakal.

Uraian di atas menggambarkan suatu keadaan yang cukup kritis yang menghendaki jalan alternatif untuk mendamaikan Tuhan dan manusia. Mendamaikan dalam arti menjadikan agama yang diturunkan oleh Tuhan benar-benar kembali sebagai jalan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya secara harmonis dan berimbang, tidak melulu penghambaan, akan tetapi juga sebagai media perdamaian diantara banyak perbedaan yang ada. Satu solusi sebagai salah satu tawaran adalah, sikap pluralis yang mesti ditumbuh-kembangkan dalam setiap agama yang ada. Pluralisme agama diharapkan juga tidak hanya sebatas idealitas tetapi bisa mampu mengakar sebagai bagian dari aktualitas konkret di tengah-tengah umat beragama. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung seberapa jauh suatu agama dalam mengembangkan daya kreatifnya dalam mengemas ajaran pluralisme ini sebagai upaya mendamaikan dunia, sekaligus juga pada sisi yang lain adalah mendamaikan kepentingan Tuhan dan manusia. Tawaran ini cukup layak untuk dipertimbangkan agar kemudian bisa mengentas posisi intitusi agama dari keusangan yang mengancam. Semoga…….[ijan