Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 06 November 2009

CHELSESA vs MAN.UNITED, DUEL PENENTU PENGUASA PREMIER LEAGUE

Jelang duel besar klub papan atas Premier League antara The Blues julukan Chelsea kontra Red Devils julukan Manchaster United di kandang Chelsea Stamford Bridge Minggu 10 November 2009 nanti mengundang banyak perhatian para penikmat bola di seluruh dunia. Sangat wajar, karena dua klub raksasa Inggris ini memang mempunya tipe permainan yang cukup impressive bagi setiap penikmat bola. Berbagai macam prediksi pun banyak digulirkan. The Blues yang dalam pekan ini memang berada di puncak klasemen dengan torehan 27 poin mengukuhkan mental para punggawa klub London Barat ini semakin kukuh untuk menjamu tamunya. Akan tetapi, MU yang mengekor berada persis pada posisi kedua dengan selisih 2 poin di bawah The Blues tentunya tidak boleh diabaikan begitu saja. Kenyataan inilah yang menjadikan Big Match ini semakin mengairahkan untuk dinikmati.

The Blues yang akan bermain di depan pendukungnya sendiri merupakan modal utama menjemput kemenangannya. Selain dari pada itu, data statistic menunjukkan permainan The Blues hingga pekan ke-11 di Stamford Bridge menorehkan catatan yang sangat gemilang dengan hanya kebobolan sekali saja. The Blues berbekal pengalaman yang gemilang pada duel kandang yang diraihnya selama ini, menjadikan MU harus berhati-hati bertamu di Stamford Bridge yang nota benenya Stamford Bridge bagian dari stadion yang mengerikan bagi MU. Tercatat sejak tahun 2002 Iblis Setan Merah belum pernah menundukkan The Blues di stadion tersebut.

Di bawah asuhan Carlo Ancelotti, Chelsea semakin kukuh menjadi salah satu club Eropa yang paling manakutkan daripada Barcelona sekalipun. Saat ini berbagai macam rentetan catatan spektakuler berhasil ditorehkan. Tercatat 17 gol pada empat laga terakhir dalam melibas lawan-lawanya di segala kompetisi tanpa kebobolan sekalipun. Torehan spektkuler itu dimulai dengan kemenangannya melawan Atletico Madrid 4-0, Blackburn Rovers 5-0 kemudian disusul sepekan kemudian menggilas Bolton 4-0 sebanyak dua kali, total gol keseluruhan mencapai 17 gol. Sebuah hasil cukup membelalakkan mata, tentunya bagi Fergie arsitek MU, hal ini menjadi catatan yang harus menjadi bahan kegelisahannya sebelum akhhirnya bertandang ke Stamford Bridge.

Bagi Carlo Ancelotti pertemuan nanti adalah kali keduanya melawan Sir Alex Ferguson sejak dia menangani Chelsea. Kedua pelatih ini memang mempunyai catatan karir luar biasa, walau secara fakta diakaui bahwa Fergie mempunyai pengalaman yang lebih padat ketimbang Carletto. Diakui secara fakta bahwa Anceloti baru mengoleksi sekali menjuarai liga domestik, yaitu menghantarkan Milan menjadi juara serie A 2003/04, menunjukkan secara gelar Domestik Fergie memang lebih unggul dengan koleksi prestasinya sebanyak 11 mahkota menjuarai liga Domestik.

Pengalaman yang didominasi Fergie bukan berarti mengubur keinginan Ancelotti untuk memenagi duel bergengsi tersebut. Karena, jika dirunut lebih detil Ancelotti mempunyai perbedan tipis dengan Fergie, keduanya sama-sama mengoleksi dua trofi Liga Champion. Fakta inilah yang menjadikan duel Chelsea versus MU sebagai duel maut yang tetap memendam teka-teki. Akankah Lampard yang akan tertawa ataukah Rooney yang akan membawa kemenangan??kita lihat saja nanti, siapa yang pantas menyandang Club paling ganas di Premier League musim ini…!!! [IJAN]

Selasa, 03 November 2009

MEMULAI MENULIS ADALAH METODE TERBAIK MENJADI PENULIS

“Wah susah sekali ya memulai menulis itu”. Petikan keluhan ini yang mungkin banyak dirasakan oleh para pemula dalam menuliskan idenya. Terbayang dalam benak si penulis berbagai macam pertimbangan yang menghalangi untuk memulai. Kemapanan serta keharmonisan bahasa menjadi persoalan untuk memulai. Sedap tidak sedap menjadi bumbu yang selalu tidak lepas dari kerangka berfikir sang calon penulis. Seakan kebutuhan terhadap bahasa yang harmonis dan sedap menjadi syarat bagi seseorang dalam bertutur secara tulisan.

Kalau boleh disederhanakan, sebenarnya bumbu penyedap itu hanya bagian kecil dari komponen sebuah tulisan. Titik pusat terpenting dari sebuah tulisan adalah ide dari tulisan itu sendiri. Penulis hanya punya tugas menyampaikan idenya kepada pembaca tanpa dibebani oleh penyedap tadi. Hanya saja biar ide menjadi ide yang gampang dipahami, maka ide tersebut perlu penghantar yang baik, berupa kemasan bahasa yang familiar di tengah-tengah pembacanya. Akan tetapi pada tahapan ini hanya bagi mereka yang sudah mampu, bagi mereka yang baru memulai maka cukup bertutur saja sesuai dengan kemampuannya dengan menyisihkan terlebih dahulu faktor idealitas.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangat mungkin bagi setiap individu untuk melakukan aktifitas menulis. Tidak ada halangan apapun yang bisa dikategorikan sebagai halangan. Adapun ide tulisannya tidak terbatas, dari yang konkret atau nyata hingga yang sifatnya abstrak. Memulai menulis adalah lebih baik daripada berfikir bagaimana memulai menulsi itu sendiri. Hanya menulis itu sendiri yang akan menunjukkan bagaimana metode menulis yang sebenarnya.

Memang, secara teori cukup banyak para ahli menyampaikannya secara naratif, tetapi semua teori itu pada akhirnya akan mengajak para peserta latihnya untuk memulai menulis. Walau teori tidak selamanya menjadi hal yang terabaikan akan tetapi memulai menulis itu sendiri tetap yang paling awal yang harus dmulai dibandingkan teori yang banyak digulirkan oleh para ahli tersebut.

Sudah saatnya setiap orang memberanikan dirinya untuk memulai menulis. Pada mulanya menulis itu untuk diri sendiri, namun setelah beberapa rentang waktu menulis untuk orang lain cukup penting untuk dimulai. Karena, makna dari menulis itu merupakan bentuk komonikasi yang dituangkan secara tetulis sebagai upaya agar hidup ini lebih berarti dan bisa menjadi pelajaran bagi orang setelah ini. Inillah pentingnya kenapa menulis itu perlu menjadi tradisi masing-masing individu.

Banyak hal yang duntungkan dari kreatifitas menulis ini. Mungkin yang paling sangat dekat dengan kehidupan pribadi adalah membantu seorang individu dalam mengikat makna dari sebuah momen. Disadari atau tidak banyak momen atau peristiwa yang terlewati dan terbuang begitu saja tanpa bekas apapun pada diri seorang individu. Dengan menulis makna-makna itu akan gampang tersimpulkan menjadi pelajaran dan kenangan bagi diri seseorang atau orang lain. Jika mungkin memang tidak terdapat nilai-nilai pelajaran di dalamnya, minimal eksistensi kemanusiaan bisa tersuguhkan secara riil dengan keterlibatan di dalamnya kreatifitas berfikir sebagai cermin dari makhluk yang paling sempurna. Namun sangat minim sebuah tulisan itu tidak mempunyai nilai apapun, paling tidak tulisan itu mempunyai arti bagi penulisnya sendiri. Jadi, sebuah tulisan tetaplah kekayaan kemanusiaan yang sangat berarti yang tak ternilai harganya. “Mulailah menulis dari sekarang…..!!!

Sabtu, 31 Oktober 2009

AKU DIRAJAM DENGAN PELUKAN MESRA

Aku dirajam habis oleh teman-teman sekelas dalam persentasi paperku yang dinilai amburadul oleh banyak orang waktu itu. Komentar bemunculan bermacam-macam, mulai dari kritik sampai pada lontaran komentar anarkis yang mencemooh begitu kentara terdengar jelas di telingaku. Hari Kamis sore 29 Oktober 2009 di ruang kuliah 203 Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga menjadi saksi bisu kebobrokanku. Paper tentang Francis Bacon dan Rene Descartes yang dikorelasikan untuk mengkritik tradisi Keilmuan Islam dinilai kurang sinkron dan dangkal.

Aku terpojok, seakan disorong oleh banyak orang pada salah satu sudut di ring pergulatan intelektual. Walau masih mempertahankan wajah simpelku dalam performa, tetapi pada hakikatnya darah emosi melonjak menapaki titik paling menggemaskan. Gemas ingin memuntahkan kekesalan dengan berjingkra-jingkrak sambil mempelintir telinga mereka satu persatu. Kekesalan yang begitu sangat bergejolak itu tak mampu malabrak kesadaran etikaku. Sehingga raut muka dan nada suaraku tetap mengalun sahdu serta menebar sinyal-sinyal persaudaaan yang begitu erat.

Terus bergulir kritik dan komentar dari teman-temanku membabat habis hasil kajianku selama seminggu. Pengetahuan mereka seakan mengakar ke bumi dan menjulang ke langit. Begitu mudah mementahkan olahan masak buah pikirku. Sodoran wacana yang digagas olehku seakan menjadi bahan lelucon yang menggelikan. Sejarah dan akar epistemologi dari kedua tokoh yang menjadi kajian utamaku terlihat begitu renyah, kering-kerontang dan kropos. Ulasan panjang yang menghabiskan 18 halaman itu seakan hanya butiran-butiran pasir belaka tanpa adanya serpihan mutiara yang berharga.

Walau dalam posisi yang terpojok, aku tetap bergairah meladeni mereka dengan terus memberikan kalarifikasi walau hanya sebatas mencari celah untuk mengelak dan bertahan dalam kekalahan. Senyam-senyum dari teman-teman dengan raut mengecilkan kedigdayaanku sebagai manusia seakan menjadi siraman menghangatkan naluri dan hatiku untuk bangkit dari tidur lama dan kegelapan. Renaisanse yang digagas Bacon layaknya memang pantas dikobarkan dalam merevolusi diriku. Saatnya aku arus beranjak dari kegelapan menuju titik terang yang menghantarkan aku pada kedamaian.

Dosen pembimbing juga tak mau kalah memberikan komentar yang mencambuki habis kebobrokanku. Judul paper “Epistemologi Keilmuan Islam Transformatif, Studi atas Pemikiran Francis Bacon dan Rene Descartes dalam Menformulasikan Keilmuan Islam” menjadi judul pertama paperku yang mengajakku untuk lebih dalam menyelami lautan buku. Kebobrokanku saat itu walau tidak secara implisit menunjukkan otensitas kemampuanku, tepapi aku sadar bahwa untuk masa yang akan datang perlu keseriusan lebih intensif lagi dalam studiku. Aku yakin kemampuanku secara natural masih layak untuk diikut sertakan dalam studi di program magister ini, walau mungkin harus lebih ekstra dibandingkan teman-temanku yang lain.

Diakui hasil kajianku ini merupakan paper pertama yang dipersentasikan dalam studi tema-tema epistemologi pada semester ini di kelasku. Kekurangan serta berbagai macam kedangkalan tentunya menjadi hal yang tidak bisa dielakkan, mengingat belum ada contoh yang mendahului kajianku ini. Alasan ini walau bukan satu-satunya yang mejadikan hasil kajianku begitu sangat kering, tetapi paling tidak cukup untuk memberikan siraman sejuk (hiburan) bagi diriku. Sejatinya kendala serta satu-satunya yang menempatkan kajianku menjadi hambar karena tema yang aku angkat merupakan tema luas yang memerlukan ulasan panjang. Tema yang luas serta kemampuan intelektualku yang begitu minim semakin mengukuhkan kajian yang aku angkat tidak menemukan titik jelas (gamang).

Lepas dari semua itu, aku ingin mengentas diriku dari tudingan peremehan yang mungkin sempat tersirat di benak teman-teman atau dosen. Tudingan miring itu bisa berupa sangkaan negative yang menempatkan aku sebagai seorang pemalas yang tidak mau belajar. Tudingan ini tidak sepenuhnya benar, karena secara jelas aku sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik pada kajian ini. Usaha itu dimulai dengan pencarian bahan bacaan yang sedikit menguras tenaga dan materi. Beberapa buku memang aku beli langsung di ‘Shoping”, serta sebagian yang lain dari usaha pinjam ke teman yang tempat tinggalnya cukup jauh dari tempatku. Usaha tersebut di atas cukup membuktikan bahwa aku secara konkret telah serius dan antusias dalam mengerjakan tugas ini.

Merinci usaha serta keseriuasanku di atas memang tidak akan bisa menjadikan kajian yang aku angkat menjadi lebih baik. Tetapi dengan rincian tersebut persepsi miring itu tidak mengubur dengan serta merta usaha kerasku. Walau bagaimanapun hasil buruk dari kajianku ini adalah bagian pemahamanku yang secara pribadi menjadi pengetahuan. Penilaian keliru, kurang tepat atau mungkin penilaian salah terhadap kajianku merupakan bagian dari hasil usaha. Hasil usaha dalam tradisi keagamaan adalah tangga kedua setelah proses. Walau kevalidan hasil dari sebuah kerja adalah penting tetapi proses itu sendiri aku anggap bagian yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam kacamata agama, paling tidak dari proses dan apresiasiku terhadap tugas kuliah ini aku akan mendapat pahala dari Tuhan.

Akhirnya dari pengalaman yang berharga ini, aku mencoba meramu diriku lebih energik lagi dalam mengeksplorasi ilmu Tuhan yang sangat luas. Kesibukanku yang banyak bersinggungan dengan para santri serta pekerjaan-pekerjaan teknis di linkungan pendidikan, setidaknya menjadi nilai lebih dari sekian banyak kekurangan dan kebobrokanku dalam bidang ini. Melalui pengalaman tersebut, aku akan mencoba bangkit untuk lebih baik lagi. Bagi ustadz Dr. Alim Ruswantoro, M.Ag serta seluruh rekan-rekan kuliah, ucapan terima kasih yang mendalam bagi kalian atas pecutan dan sikap kooperatifnya bagi perkembangan intelektualku ke depan adalah hal yang tidak akan aku lupakan. Kajian telah merajamku dalam peluk mesra. Terima kasih teman, aku yakin tidak hanya aku yang duntungkan dari kejadian ini. I Love U Full….. [ijan]

Senin, 26 Oktober 2009

FILSAFAT SEBAGAI MODEL PENDEKATAN PENAFSIRAN

Prawacana

Diakui atau tidak al-Qur’an adalah Firman Allah yang merupakan salah satu bukti atau tanda konkret kebesaran-Nya. Di dalamnya merupakan pijakan dari setip gerak konkret hayati manusia. Bermunculan darinya berbagai macam dinamika, mulai dari ilmu pengetahuan sampai pada gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan. Sebut saja Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua pilar terbesar gerakan ormas Islam di negeri ini. Berkecambahnya kelompok, golongan, madzhab atau yang sejenisnya merupakan pengejawantahan pemahaman terhadap isi kandungan al-Qur’an. Sangat bisa dipastikan bahwa al-Qur’an memang merupakan sumber dari semua gerak dinamika dan dialektika yang tidak pernah habis dieksplorasi.

Otensitas al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi tidak mungkin terbantahkan lagi. Selain telah menyuguhkan berbagai macam dinamika seperti yang telah disebutkan di atas, al-Qur’an pada sisi relegius merupakan pesan ilahi sebagai petunjuk (hudan) bagi kehidupan manusia. Pada dimensi ini, al-Qur’an diposisikan sebagai landasan dan sentral dari gerak hidup manusia agar tidak tergelincir dan jauh dari jalan Tuhannya. Demikian vital keberadaan al-Qur’an bagi kehidupan manusia menjadikan setiap manusia harus berupaya untuk terus melakukan interpretasi terhadap al-Qur’an, agar nantinya tercipta inspirasi dan pemahaman baru yang menghantarkan pada perkembangan yang lebih baik lagi.

Jika ditilik pada suguhan realitas yang sebenarnya, banyak orang yang membaku bekukan al-Qur’an sebagai sebuah petunjuk yang kaku, sehingga kadang begitu sangat jauh dari kehidupan. Makna dan isi dari pesan Tuhan menjadi begitu kaku dan kadang begitu sangat belawanan dari kebutuhan manusia. Lihat saja arogansi dan egoisme yang dipaksakan di tengah-tengah umat muslim untuk mengikuti dan menerapkan hasil interpretasi abad ke-7 pada abad ke-21, tentu penerapan tersebut sangat tidak cocok pada ranah dan konteks sosial . Walau demikian, gaung dan hegemoni yang berlatar egoisme ini mendapat posisi yang strategis, mengingat awal munculnya pemaksaan penerapan interpretasi tersebut dari para ulama Timur Tengah yang notabenenya dijadikan panutan oleh masyarakat muslim di belahan dunia. Al-Ghazali misalnya, Sang Hujjatul Islam menjadi sandaran utama, seolah dia telah merangkum segala problem umat muslim sepanjang zaman, padahal tanpa disadari oleh sebagian besar umat muslim, bahwa problem dan wacana kehidupan terus berkembang dan butuh solusi yang segar dan tepat.

Penyebab dari fenomena di atas bisa berawal dari berbagai macam kepentingan yang sifatnya bisa kelompok atau per-orangan. Salah satu sebab yang banyak dilontarkan oleh para pemerhati adalah, kepentingan politik. Al-Qur’an sebagai sentral dan pijakan utama kehidupan telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya provan (duniawi) sehingga lahirlah tafsir ideolois-politis . Dari penafsiran yang bertolak kepentingan politik ini kerap kali menjadi pemicu terjadinya fenomena seperti yang terpaparkan di atas. Kemudian juga ada beberapa penafsiran radikal yang melahirkan tindakan-tindakan kriminal, seperti merebahnya tindakan-tindakan teror yang baru-baru ini mengguncang negeri ini. Contoh yang satu ini merupakan implikasi dari penyaduran secara buta (taqlid a’ama) terhadap penafsiran isi kandungan al-Qur’an.

Politik sebagai pemicu lahirnya tafsir al-Qur’an yang subyektif dijabarkan cukup rinci oleh Al-Jabiri. Seperti yang dikutip di sebuah situs internet , Al-Jabri memperinci apa sebenarnya dibalik kepentingan politik tersebut. Secara garis besar ada tiga kepentingan dibalik politik tersebut yaitu, ideologis (al-‘aqidah), hubungan darah (al-qobilah) dan materi (al-ghanimah) . Interpretasi ini merebah ke seluruh penjuru negeri muslim dengan sedikit saja dari kaum muslim yang mau mengkritisinya. Bahkan beberapa golongan dengan tanpa pertimbangan apapun membumikan hasil pemikiran tersebut sebagai ajaran Islam. Pada titik konkretnya realitas abad ke-21 ini dipaksakan untuk selaras dengan isi interpretasi abad ke-7 tadi. Meminjam istilah Shahrur, umat Islam saat ini layaknya seekor gagak yang mencoba meniru suara bulbul. Tetapi karena tidak bisa, maka kemudian berniat untuk jadi gagak lagi, sayang lupa caranya untuk kembali . Artinya walau bagaimanapun saat ini dan masa lalu mempunyai jarak dan rentang waktu yang cukup jauh, sehingga tatanan dan konstruk kehidupan tentu juga sangat berbeda. Pemaksaan penerapan hasil interpretasi di masa lalu hanya mengakibatkan stagnasi yang akut. Bahaya selanjutnya tidak hanya mandeg begitu saja, tetapi justru menghasikan hal yang kontraproduktif dari apa yang diharapkan, seperti terjadinya kebingungannya kaum muslim yang digambarkan Shahrur di atas dalam mencari jati dirinya di penggalan peradaban yang semakin tinggi.

Fenomena di atas merupakan bagian dari akar miskinnya pemahaman umat muslim terhadap kitab sucinya. Maka untuk mengembalikan al-Qur’an pada fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia, metode yang tepat untuk memahaminya adalah hal yang vital keberadaannya. Sebelum akhirnya menentukan metode yang pas dan sesuai dengan konteks saat ini, perlu disadari bahwa al-Qur’an sebagai firman Tuhan mempunyai kemungkinan untuk ditakwilkan atau ditafsirkan dengan cara beragam. Pluralitas pentakwilannya adalah kenisacayaan sekaligus hal ini dapat menguatkan bahwa al-Qur’an secara teks dan isi benar-benar sebagai wahyu. Jika hal ini menjadi kesadaran bagi setiap muslim maka relevansi al-Qur’an dan dinamika zaman akan selalu sinkron dan harmonis.

Diskursus pencarian Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Qur’an

Realita yang tersuguhkan dalam kehidupan nyata seperti yang terdeskripsikan di atas, menghantarkan pada babak baru bagi para cendikiawan muslim dalam mencari metode yang tepat sebagai upaya solutif terhadap problem yang dihadapi umat. Pada babak inilah kemungkinan munculnya beraneka ragam langkah solutif yang ditawarkan sekian banyak para cendikiawan muslim. Agar kajian ini menuju pada kesimpulan yang rasional-obyektif, penelusuran peta penafsiran secara historis adalah mungkin untuk dilalui terlebih dahulu.

Al-Qur’an sebagai wahyu telah melahikan berbagai macam penafsiran terhadap isinya. Penafsirannya secara historis-priodik telah bermula dari awal diturunkannya hingga saat ini. Perbedaan corak penafsiran dan pola pendekatan yang digunakan oleh para mufassir bertolak dari dua factor vital dalam kehidupan yaitu, faktor internal yang terkait kapabilitas intelektual sang mufassir sendiri, serta yang kedua adalah, faktor eksternal yaitu, relasi kekuasaan (politik) dengan sang mufassir itu sendiri
Secara historis-priodik, perjalanan penafsiran dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Pertama, priode klasik. Pada priode ini menggunakan metode penafsiran oral-pragmatis. Ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan dalam rangka kepentingan pragmatis untuk mengaplikasikan perintah dan larangan Allah pada kehidupan yang sesungguhnya.

Adapun dalam penyampaiannya adalah, secara langsung disampaikan lewat lisan oleh rosul kepada para sahabat tanpa ada metode sistematis-formal, karena pada masa awal, kebutuhan umat muslim tidak pada academic exegesis tapi pada tatbiq mubasyir (direct action). Kedua, priode petengahan. Pada masa inilah al-Quran menjadi instrument politik, isinya banyak dibajak oleh kepentingan para penguasa sebagai afirmasi terhadap kekuasaannya, priode ini berlangsung sekitar abad ke-13. Ketiga, priode kontemporer-modern. Pada priode ini al-Quran diletakkan sebagai sebuah kitab yang bersinggungan dekat dengan kehidupan, yaitu sebagai pentunjuk bagi manusia hudan linnas.

Ada pembagian lain tentang pembagian dinamika tafsir yang didasarkan pada tipikalnya. Dalam pembagian ini tafsir dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama,Tafsir awam. Tipe yang pertama ini adalah model pemahaman orang awam terhadap al-Qur’an yang hanya bekisar pada penghayatan terjemah kata saja tanpa diikuti dengan pertanyaan yang radikal. Tipe yang kedua adalah tafsir klasik, adapun tema dan sunbstansi yang menjadi perbincangan didalamnya adalah, menyangkut polemik teologis. Sedangkan yang ketiga adalah, tafsir Modern, model tafsir modern lebih banyak mebicarakan hubungan akal dengan Tuhan, tanggun jawab, fenomena social action dan sains . Pembagian secara tpikal ini jika dilirik lebih dekat didasarkan pada factor kemampuan sang pembaca teks.

Jika diselami lebih dalam, dialektika runtutnya perjalanan penafsiran di atas dari masing-masing priode mewakili pergumulan teks al-Qur’an dengan konstruk sosial kehidupan umat. Secara lebih detil disitu terjadi hubungan dialogis-pragmatis antara kebutuhan pragmatis umat dan substansi teks. Hubungan antara teks dan kehidupan tersebut menghantarkan para mufassir melakukan pembacaan yang berbeda-beda terhadap isi al-Qur’an. Secara umum metode yang digunakan para mufassir berupa tesktual yang sifatnya lebih mengedepankan makna harfiah kebahasaan, metode berikutnya adalah, kontekstual. Pendekatan kedua lebih mengedepankan hal-hal ekstrinsik di luar teks. Dua metode tersebut adalah keniscayaan terhadap al-Qur’an sebagai firman Allah. Walau al-Qur’an tersuguhkan lewat teks, namun secara eksplisit al-Qur’an juga banyak membicarakan sejarah, dalam dimensi berikutnya menghantarkan al-Qur’an pada pemaknaan sebagai teks suci yang mempunyai sepasang makna yaitu, sebagai teks langit dan teks bumi .

Dari pemetaan umum metode pendekatan yang selama ini menjadi trend di kalangan para mufassir seperti yang terdeskripsikan di atas, pada rentetan berikutnya melahirkan diskursus yang cukup pelik antara kubu pengusung pendekatan tekstual dan kubu pengusung kontekstual. Walau secara eksplisit masing-masing kubu mempunyai argument yang memadai, tetapi kesadaran akan adanya kemungkinan kebenaran dari luar masih sangat minim dimiliki oleh para pakar muslim. Sehingga kadang pergumulan itu rentan kurang dewasa, pada titik akhir, perbedaan itu bukan menambah khazanah keilmuwan, tetapi malah membangun sikap sintementil yang menggorogoti keikhlasan dan ketulusan dalam mengeksplorasi ilmu Tuhan yang sangat luas. Gejala yang seperti itu adalah fenomena yang harus dihindari. Sebagai upaya menghindari sikap sintementil yang akut, hendaknya diupayakan dari setiap para mufassir untuk membangun kesadaran dan sikap terbuka (open recommended).

Sebagaimana asumsi umum yang meletakkan al-Qur’an mempunyai tiga makna yang inhern yaitu, sebagai petunjuk (hudan), pembeda (furqon) dan penjelas (tibyan) telah melahirkan ide baru penyuguhan tafsir secara tematis, dalam hal ini digagas oleh cedikiawan muslim negeri ini yaitu, Dawam Rahardjo, tema ini dikupas singkat dalam salah satu kumpulan artikel pada ulang tahun beliau yang ke-65. Disebut di dalamnya, bung Dawam (panggilan akrab beliau) telah berani mengangkat metode penafsiran tematis (maudlu’ie) dalam konteks komodernan. Walau upaya bung Dawam bukanlah suatu hal yang baru, karena metode sejenis sudah berada sejak puluhan tahun yang silam, sepeti karya-karayanya al-Aqqad, tapi dari upaya kecil tersebut paling tidak beliau merupakan sosok yang mencoba memberikan penyegaran baru dalam dinamika penafsiran al-Qur’an di negeri ini, yang selama ini cenderung dikuasai oleh satu model dan persepsi .

Metode ini tergolong masih dalam naungan besar pembacaan tekstual-historis. Untuk itulah dalam ulasan penafsiran tematis yang digagas Bung Dawam masih menyertakan penguasaan bahasa Arab sebagai salah satu komponen dasar untuk dapat menjalankan metode ini. Di sisi lain konteks asbabun nuzul masih menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan sebuah tema dalam suatu ayat . Kajian Dawam dalam hal ini belum benar-benar memberikan perbedaan yang berarti dari format-format tafsir sebelumnya. Mungkin letak kontribusinya terhadap dinamika Ulumul Qur’an adalah, pemberian kemudahan dalam mencari tema-tema dari setiap ayat dalam al-Qur’an.

Diskursus ini memungkinkan akan menemukan titik terang jika sekiranya tedapat dalam tulisan ini penyebutan tokoh-tokoh yang berkompoten dan capable dalam masalah metode. Dari penyebutan tersebut serta dengan mendekatinya alam pikiran yang diusung oleh masing-masing tokoh, akan muncul darinya pemahaman-pemahaman yang menghantarkan pada beberapa kesimpulan yang obyektif. Corak dan tipikal dari masing-masing tokoh menjadi sebuah pijakan untuk memungkinkan terwujudnya dinamika metodologi penafsiran al-Qur’an ke arah yang lebih matang.

Manakar rentetan para tokoh yang cukup memberikan penawaran monumental dalam kancah dinamika metodologi penafsiran, maka secara tidak sengaja kebutuhan tersebut akan menggiring pada penyebutan seorang Mawlana Abul Kalam Azzad. Beliau seorang alim yang terlahir di Mekkah dengan latar belakang keluarganya yang berasal dari India. Buah sumbangsihnya pada metodologi penafsiran al-Qur’an dimulai dengan mengkritisi penafsiran rasional secara bebas. Menurut beliau, penafsiran rasional adalah bentuk penafsiran yang memaksakan buah pikiran pada substansi teks. Pada hakikatnya pesan yang terdapat dalam al-Qur’an bukanlah pesan-pesan rasional yang tidak memerlukan perdebatan-perdebatan, sehingga untuk menangkap isinya tidak perlu pendekatan rasional akan tetapi melalui perasaan. Tafsir bil-Ra’yi hanya sampai pada hubungan antar ayat saja guna untuk mendukung makna yang sebenarnya. Sedangkan menyeret al-Qur’an secara serta merta pada koteks di suatu masa, merupakan bentuk pemerkosaan terhadap watak asli dari al-Qur’an itu sendiri .

Azzad dengan kritikannya terhadap para pengusung peran rasio tersebut di atas menempatkan posisi beliau sebagai seorang muffassir yang melintasi ranah teologis saja. Tolok ukur penafsirannya diselaminya melalui perasaan (dzauq). Peran perasaan dalam menyelami isi al-Qur’an dianggapnya sangat sinkron dengan watak al-Quran sebagai sebuah pesan Tuhan terhadap manusia, dengan anggapan bahwa, pesan itu berupa upaya untuk memberikan kesadaran kepada manusia terhadap nilai-nilai keuniversalan Tuhan. Tawaran solusi setelah kritiknya berupa penafsiran bil ar-riwayat dengan metode penafsiran al-Qur’an bil Qur’an. Angapan ini didasarakan pada anggapan bahwa al-Qur’an sebagai riwayat yang mutawatir dai setiap generasi ke generasi serta terjaga dai kesalahan dalam periwayatannya. Namu, pada pada sisi lain tenyata Azzad juga mengunakan pemahaman rasional dalam menghubungkan antar berbagai ayat, sehingga tafsirnya juga disebut tafsir bil ra’y .

Walau Azzad mengkritisi penafsiran bil ra’y ternyata dia juga belum bisa mengesampingkan rasio dalam penafsirannya. Hal tesebut merupakan bagian dari tanda bahwa, seorangg mufassir tidak akan pernah berdiri dalam satu posisi, akan tetapi terus begerak menghampiri sisi-sisi yang lain. Bagaimanapun peran akal dalam memahami al-Qur’an menjadi keniscayaan yang tak terelakkan.

Terlepas dari penafsiran Azzad yang hanya berkisar pada pesoalan teologis yang merupakan persoalan inhern Islam. Fazlurrahman seorang pembaharu muslim asal Pakistan juga ikut memberikan sumbangsih pemikirannya pada pola dan metode penafsiran. Tipikalnya lebih menginjak area luas yang bekaitan dengan hubungan antar umat beragama. Dia memulai penafsirannya dengan bertumpu pada sebuah persepsi bahwa al-Qur’an sebagai korektor dari kitab-kitab lawas yang diturunkan pada umat terdahulu. Kebaradaan al-Qur’an sebagai korektor tercermin dengan pembenaran ajaran nabi-nabi terdahulu. Misalnya, dalam kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an, Isa digambarkan sebagai pribadi yang lemah lembut .

Berangkat dari pemahaman global mengenai al-Qur’an seperti yang tersebut di atas menempatkan al-Qur’an sebagai kitab suci yang inklusif serta kitab suci yang ramah terhadap umat lain. Terhampar di dalamnya sikap persahabatan dengan membuang jauh-jauh sikap miopik-narsistik yang biasa tergelar dalam kehidupan para ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan sikap merendahkan umat lain. Ajaran al-Qur’an yang ramah itu harus benar-benar dieksplorasi dengan tafsiran yang gamblang dengan sikap terbuka. kritis dan empati tehadap agama lain . Tipikal penafsiran Fazlur Rahman ini lebih dekat sebagai sebuah penafsiran pluralis-liberalis yang berorientasi terciptanya toleransi yang tinggi terhadapa hubungan antar umat beragama. Hal tersebut juga dimaksudkan agar pertikaian dan konflik yang selama ini dicumbui oleh motive agama agar cepat tergusur dari kehidupan, sehingga kehidupan ini benar-benar menjadi kehidupan yang indah dan penuh keromantisan.

Dinamika metodologi terus bergulir, seiring dengan perkembangan wacana dan interaksi intelektual manusia. Hassan Hanafi memperbincangkan al-Qur’an sebagai hasil pewahyuan , terdapat di dalamnya tiga komponen dasar penting yang harus lebih awal dipahami sebelum akhirnya melakukan penafsiran terhadap wahyu itu sendiri.Tiga komponen tersebut adalah pengirim pesan (tuhan), informasi (pesan), dan penerima. Menurutnya selama ini tradisi keintlektualan Islam tidak proporsional menyikapi dan menempatkan tiga komponen tadi. Para mufassir lebih banyak membicarakan Tuhan dan nabi sebagai pembawa pesan dan mengesampingkan hubungan pesan dan manusia sebagai penerima pesan. Semestinya pembahasan tentang penerima pesan (manusia) juga harus mempunyai porsi yang sama dengan dua komponen lainnya. Dengan demikian memunguti realitas menuju teks (pesan) serta dari teks mengembalikannya pada realitas (gerak ganda) adalah cerminan dari sikap proporsional dalam menyikapi teks .

Tawaran Hassan Hanafi begitu cukup bijak dalam mengakomodir ruang lingkup yang mewadahi al-Qur’an sebagai teks suci dan petunjuk bagi manusia. Tidak hanya dengan egois mengedepankan realitas lalu menggugurkan keniscayaan al-Quran sebagai wahyu Tuhan. Sebaliknya dia juga tidak picik menempatkan al-Qur’an sebagai teks sakral dan transenden, tetapi beliau berani menjamah al-Qur’an dengan diikuti pergulatan yang harmonis bersama realitas yang dia bawa, kemudian beliau kembali mengejawantahkan hasil perugumulan pengkajiaannya pada realitas. Gerak ganda ini menjadi karakteristik tersendiri pemikirannya sebagai sebuah metode tafsir yang biasa dikenal dengan metode penafsiran realis.

Berbeda dengan Shahur yang memulai kajiannya dengan mengungkap kekurangan-kekurangan metodologi mufassir terdahulu. Beberapa mufassir enggan menggunakan metode ilmiah obyektif dalam menafsirkan teks, mereka sebagian besar masih lebih sering terdekti oleh sistem politik yang melingkupinya. Prankonsepsi terhadap sebuah substansi teks lebih awal tercipta sebelum sebuah teks itu benar-benar ditelusuri. Pada akhirnya kesimpulan serta hasil akhir dari penafsiran yang bertumpu pada metode ini cenderung subyektif. Kemudian satu hal lagi yang dia sebutkan sebagai bagian dari kekurangan metodologi para mufassir muslim terdahulu yaitu, minimnya pemanfaatan konsep filsafat dalam setiap tema-tema humaniora .

Sebagai kelanjutan dari kritiknya, maka Shahrur juga memberikan tawaran-tawaran solusi. Melakukan pembacaan karakter linguistic Arab serta mengikutinya dengan kesadaran adanya interaksi sejarah dari tiap generasi. Shahrur dalam melakukan eksplorasinya menjunjung tinggi akal dengan asumsi bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu . Pendekatan Shahrur yang menyeluruh inilah yang menjadi karakterisik dan menarik untuk diungkap sebagai bagian dari metodologi yang menjadi pertimbangan munculnya kesimpulan pasca kajian ini berlangsung.

Pembacaan linguistik yang dimaksudkan dari pendekatan yang dilakukan Shahrur adalah, pemahaman konsep dari suatu kata (simbol) yang dikaitkan dengan konsep dari simbol-simbol yang lain yang mendekati dan yang berlawanan . Berdasar dari metode inilah berbagai macam tema yang dubahas oleh Shahrur dalam tafsirnya cukup memberikan wajah baru dalam gerak dinamika tafsir.

Melengkapi dari sekian banyak tawaran yang terangkum di atas, penyebutan Nasr Hamid Abu Zaid beserta sumbangsihnya dalam kajian ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dilupakan. Secara singkat, beliau melakukan penafsiran dengan dua metode. Pertama dari yang mutlak dan ideal kepada yang konkret. Metode ini artinya penafsiran yang dilakukan dari pembacaan teks terlebih dahulu kemudian diseret pada realitas sosial. Sementara metode kedua dari yang konkret menuju yang ideal dan mutlak. Pendekatan ini secara gamblang diawali dari fakta-fakta empiris kemudian dibawa pada teks sebagai sebuah sumber yang berasal dari Tuhan .

Kesimpulan

Pada hakikatnya dinamika dan penawaran metodologi penafsiran masih sangat luas. Suguhan pada kajian ini masih sangat sempit dan miskin. Keterbatasan akan kemampuan penulis untuk menulusurinya secara keseluruhan adalah keniscayaan yang diakui oleh penulis. Peyebutan beberapa tokoh di atas beserta karakter pemikirannya walau masih sangat terbatas diharapkan bisa mewakili dari sekian banyak para tokoh lainnya yang belum bisa penulis suguhkan dalam kajian ini. Beberapa hasil cernaan pembacaan tehadap sekian tokoh tersebut di atas, mewakili sebagai kesimpulan kecil dari penulis. Tentunya kesimpulan kecil ini hanya perspektif subyektif penulis yang masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Adapun kesimpulan penulis pada kajian ini adalah, al-Qur’an sebagai kitab suci merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Keberanian memahaminya secara komprehensif-integrated (pembacaan teks dan realitas konkret) dengan menggunakan akal (filsafat) sebagai instrument adalah bagian paling mendekati titik valid. Tentunya dalam mengkajinya juga diharapkan agar terhindar dari pengaruh-pengaruh asing seperti kepentingan-kepentingan politik dan kelompok. Proporsionalitas penggunaan rasio dan intuisi menjadi penting agar nantinya pembacaan komprehensif-integreted di atas bisa mencapai klimaks yang bijak.

*)disampaikan pada diskusi kelas mata kuliah Studi Al-Qur’an : Teori dan Metodologi program pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa, 27 Oktober 2009


Daftar Bacaan
al-jabiri dan kritik nalar arab, kommabogor.wordpress.com,diakses oktober 2009
Fauzi, Ihsan Ali dkk, Demi Toleransi Demi Pluralisme, Jakarta: PRAMADINA 2007
Masduki, Irwan, Fundamentalisme Islam dalam Tafsir Hirarki: Tafsir fi Dhilal al-Quran karya Sayid Qutub Sebagai Sample, http://irwanmasduqi83.blogspot.com diakses oktobe 2009
Mustaqim, Abdul dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru dalam Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana,2002
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir :Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Shahrur, Muhammad, Prinsip Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ press,2008
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005

Sabtu, 24 Oktober 2009

ANALAISIS HISTORISITAS SINGKAT FEMINISME

Prolog
Interakasi antar sesama yang selama ini terjadi dalam kehidupan manusia menghantarkan munculnya beragam macam wacana. Pergolakan beragam wacana tersebut beruntut pada beberapa kajian yang berkecambah di kalangan kaum intelektual. Hal itu adalah wajar, mengingat dunia ini secara otomatis akan bergerak pada kondisi yang semakin kompleks. Bermunculannya beragam macam isu dan wacana tadi, selain menjadi kajian baru, pada akhirnya melahirkan gerakan-gerakan publik yang secara konkret akan menyuarakan dan memperjuangakan wacana yang diusung. Salah satu wacana yang masih cukup hangat dan banyak diperjuangkan oleh beberapa kalangan adalah, masalah gender yang tertuang dalam gerakan feminisme.

Wacana gender dan gerakan feminisme tersebut di atas, walau pada hakikatnya sudah cukup lama diperbincangkan di berbagai macam acara formal-intelektual, namun bagi beberapa orang keberadaannya masih kabur atau buram serta butuh penjelasan yang gamblang. Sangat wajar, karena wacana tersebut merupakan perbincangan yang hanya tersuguhkan pada kalangan elit-intelektual saja, belum sepenuhnya menjadi perbincangan publik secara umum. Dengan demikian, sebelum mengeksplorasi lebih jauh tentang gender, penulusuran kemunculannya secara historis adalah penting, agar nantinya tersuguhkan makna dan maksud dari mencuatnya wacana dan maraknya gerakan feminisme sebagai kelanjutan dari isu tersebut.

Kajian secara historis, selain mengenalkan secara lebih dekat pada publik tentang isu yang dibahas, diharapkan juga nantinya akan melahirkan sikap dan tanggapan yang bijak dari kalangan yang mengkajinya. Sikap arogansi dan beberapa sikap yang tidak mencerminkan kebijakan bukanlah yang diharapkan pasca kajian ini berlangsung. Pro dan kontra dalam suatu isu atau fenomena selamanya akan berjalan berdampingan, selama masing-masing kubu saling memperhatikan kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam kubunya, hal tersebut adalah wajar dan sah-sah saja. Berikut akan dikaji sekilas sejarah gender dan gerakan femenisme

Merinci Sejarah Kemunculan Wacana Gender dan Feminisme
Sejarah secara umum berbincang tentang rentetan kejadian-kejadian, di dalamnya terdapat nama, waktu dan tempat dari kejadian yang dimaksudkan. Ketika sejarah menjadi frame pembacaan terhadap sebuah wacana dan gerakan, sangat dianjurkan jika di dalamnya terdapat kajian filosofis dari setiap kejadian. Gender sebagai bagian dari model isu yang mencuat ke permukaan, maka dalam merinci kesejarahannya, penulis akan lebih awal melakukan pembacaan filosofis, agar nantinya substansi terdalam dari kejadian tersebut bisa terkuak lebih jelas.

Gender sebagai wacana, telah lama terbentuk melewati ruang dan waktu yang cukup panjang. Wacana ini lahir sebagai akibat dari hasil kreasi manusia yang didasari oleh tiga faktor paling signifikan dalam membentuk pola pikir. Tiga faktor tersebut adalah, budaya, ajaran agama dan kebijakan politik (Mulia,2001: 58). Budaya sebagai sebuah kebiasaan praktis dalam suatu kelompok yang tertuang dalam ritual harian, mulai dari pola makan, berpakaian sampai pada hal-hal yang paling kecil dalam kehidupan, tanpa disadari akan merembes pada pola pikir dari masyarakat tersebut. Selanjutnya, agama yang kerap kali menjadi bagian tersakral dalam kehidupan, menempatkan posisinya menjadi bagian yang sangat menentukan terhadap pola pikir manusia. Pembacaan terhadap kitab suci sebagai komponen vital dari sebuah agama menghantarkan beberapa pemahaman yang menjadi dogma bagi penganutnya, sekaligus dalam episode yang sama, menjadi bagian dari pola pikir bagi umatnya. Dalam pergumulan manusia secara horizontal, politik dan kehidupan bernegara merupakan bagian yang paling melekat dalam berkehidupan. Nuansa dan percaturan politik dari suatu Negara yang berbentuk berbagai macam putusan-putusan, pada gilirannya akan menggiring masyarakatnya pada satu jalur yang dikehendaki oleh Negara tersebut. Giringan yang muncul dari kebijakan-kebijakan politik tadi lambut laun dengan natural akan menjadi pola pikir rakyat dari suatu Negara.

Deskripsi singkat dar ketiga aspek material pembentuk pola pikir manusia di atas, walau masih bertaraf sangat abstrak, tapi sedikit akan memberikan ruang untuk meniti lebih tajam akan pemahaman eksplorasi historis kemunculan gender dan feminisme di tengah-tengah kehidupan. Dari pola pikir yang terbentuk tadi, menjelma dalam kehidupan realistis pada pembagian peran laki-laki dan perempuan yang timpang. Akibat ketimpangan yang mewakili ketertindasan kaum wanita dalam mewadahi hak-haknya memunculkan gerakan feminisme dan wacana gender (Munhanif, 2002: 1). Memungut dari realita ini, maka ketertindasan dan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum wanita menjadi titik tolak melajunya wacana tersebut, dibalik kejadian konkret historis di permukaan. Kegerahan inilah yang berada dibalik suguhan dan gerakan kasat mata yang kadang terlupakan, karena beberapa kalangan, kadang hanya melakukan pemungutan sejarah secara simbolis-praktis, bukan pada latar non aksi di balik dari setiap kejadian.

Bertumpu dari kajian histosris-filosofis di atas, kajian ini akan semakin lugas untuk dibicarakan lebih jauh, walaupun pada hakikatnya penjelasan di atas masih sangat miskin dan sempit. Tapi secara ekplisit sudah cukup refresentatif untuk membicarakan pada tahapan berikutnya yaitu, pembacaan historis-simbolis yang meliputi penyebutan tokoh, tempat dan waktu berlangsunya sejarah tersebut. Namun, pendekatan secara filosofis tentunya tetap akan disertakan, hal itu sebagai upaya agar penuturan sejarah ini akan lebih renyah untuk dinikmati sepanjang waktu dalam lintas golongan dan kalangan.

Wacana gender dan munculnya gerakan feminisme berawal dari tanah Eropa pada tahun 1785 di kota Middelburg sebelah selatan Belanda. Pada awalnya gerakan ini adalah kegiatan pembelajaran filsafat yang berupa kumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan yang ditokohi oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Namun menjelang abad ke-19 kegiatan ilmiah ini berubah menjadi sebuah gerakan public yang mendapat apresiasi dari para wanita Eropa untuk memperjuangkan apa yang disebut dengan sisterhood (persarikatan wanita-wanita) (Reyrey, 2008: halaman website).
Gender tecatat sebagai sebuah gerakan yang mengundang perhatian publik, sekitar tahun 1800-an dengan problem yang memicu bertolak dari hak politiknya untuk ikut pemilu waktu itu. Elizabet Cady salah satu tokohnya yang berhasil memotori kaum wanita untuk turun jalan kala itu (Bafagih, 2008: halaman website). Secara konkret istilah feminisme mulai digunakan pada tahun 1837 oleh Charles Fourier, kemudian dilanjutkan oleh John Stuart Mill, seorang Amerika dengan publikasi karyanya yang berupa Subjection of Women (Reyrey, 2008: halaman website).

Gerakan feminisme kemudian benar-benar menjadi isu Internasional tatkala tergusurnya Uni Soviet dan runtuhnya pluralisme serta mengemanya gaung diktatorisme yang dikomandani oleh Amerika Serikat (Abu Zayd, 2003: 157). Kebijakan politik Amerika yang bernuansa patriaki, tentunya banyak memojokkan kaum perempuan dan hal itu berarti semakin akan memicu gerakan feminisme tersebut untuk bermanover.

Tahun 1960-an pasca perang dunia kedua berakhir, gerakan feminisme mulai mendapati hasil gerakannya yang ditandai dengan berhasilnya beberapa wakil dari mereka bisa duduk di kursi parlemen. Fenomena ini menandai semakin menajamnya gerakan feminisme di kancah pergumulan politik dan kehidupan luas (Reyrey, 2008: halaman website).
Sedangkan awal embrio wacana gender dan feminisme di tanah air sudah mempunyai usia yang cukup tua, hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh Kartini sebagai pejuang gender yang meperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan sekitar menjelang tahun 1900-an. Isu gender itu semakin berkembang ketika memasuki dekade tahun 80-an. Pada gilirannya isu gender tersebut kemudian tidak hanya jadi isu kebangsaan, tapi juga terseret pada area problem keagamaan. Beginilah penuturan Budi Munawar Rahman dari lansiran wawancaranya yang dirilis dalam sebuah situs internet (Rubiyanti, 2008: hlmn website).

Membicarakan gerakan feminisme di Indonesia, selain tokoh Kartini juga terdapat beberapa tokoh lainnya yang juga telah memberikan perannya pada percaturan politik bangsa ini. Bahkan memasuki era reformasi pada tahun 2000-an salah satu puteri dari bangsa ini berhasil menempati posisi nomor satu di negeri ini yaitu, Megawati sebagai presiden. Walau pada beberapa sisi dari kehidupan wanita negeri ini masih ada yag kurang terpenuhi hak-haknya, tapi secara garis besar perkembangan femenisme boleh dibilang menapaki tahap keberhasilan. Semua perkembangan tersebut, merupakan cermin dari apresiasi dan kedewasaan dari bangsa ini. Kemajemukan budaya, adat, agama etnis dan bahasa bukanlah menjadi kendala, akan tetapi malah semakin mengokohkan wacana dan gerakan feminisme sebagai kebenaran yang perlu disadari oleh masing-masing individu dan kalangan.

Madzhab-madzhab Feminisme
Suguhan fakta riil lewat penuturan historis belum sepenuhnya dapat menggambarkan struktur ideologis dari kejadian yang bekaitan dengan gerakan ini. Masing-masing kejadian mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, dari sudut motivasi sampai pada tujuan-tujuan pragmatis-praktis yang akan digapai dari setipa pergerakan. Gerakan femenisme juga mempunyai beragam karakteristik, sehingga di dalam penulusuran sejarah sudah menjadi kebutuhan agar juga diulas dari sisi tipikalnya.

Secara garis besar gerakan feminisme terbentuk menjadi dua tipikal. Pertama Femenisme Ortodoks. Tipikal feminisme ini barkarakter fanatik terhadap wacana-wacana patriarchal (masculinity) yang menempatkan kaum wanita sebagai makhluk lemah yang selalu tertindas dan menjadi korban. Kubu ini lebih menekankan pada permintaan persamaan hak yang bersifat biologis, dengan anggapan bahwa perbedaan yang terbentuk antara male dan female merupakan bias dari wacana patriarchal. (Bafagih, 2008: hlmn website).

Kedua Postfeminisme. Kubu ini menghindari kesetaraan (equality) tapi malah menajamkan perbedaan (difference). Pedebatan yang diusung bertolak belakang dengan tipikal sebelumnya yang lebih mengupayakan persamaan, paradigm baru ini menjadikan wacana femnisme mempunyai wajah baru yang minim diketahui oleh khalayak luas. Psikoanalisa menjadi model pendekatan pembacaan dari kubu ini terhadap semua fenomena, semangat humanisme yang diusung oleh kubu sebelumnya, dalam hal ini melebur menjadi semangat esensialisme. (Bafagih, 2008: hlmn website).

Bila lebih dalam menyelami pembacaan secara prporsional terhadap dua model feminisme di atas, maka kesadaran akan menggiring pada sebuah pesepsi bahwa, manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya serta dengan berbagai benturan masalah yang menopang interaksinya akan melahirkan reflek-eflek tertentu sesuai dengan problem yang menjadikan posisi seorang individu terancam. Terancam dalam artian luas, terancam secara kenyamanan pada hak-haknya privasinya dan terancam pada hak-hak sosialnya. Kegerahan dan ketidaknyamanan tersebut, akan melahirkan wacana dan gerakan-gerakan yang variatif. Dua kerangka besar yang mewadahi wacana feminsme tersebut di atas, merupakan bagian dari kausalitas gerak reflek yang berangkat dai ketidaknyaman tadi.

Jika dua tipikal feminisme di atas diseret pada kenyataan yang melingkupi kehidupan saat ini, tipikal pertama lebih mendapat sokongan dari berbagai kalangan. Sifatnya yang sering pada posisi kontrofersial, menjadikan tipikal ini lebih menggairahkan untuk didekati. Keberadanyapun lebih dikenal dan berkembang dibanding tipikal yang ke-2 yang hanya bergerak lurus pada area qudrati (esensial) saja. Dianggapnya tipikal yang ke-2 ini hanya lontaran wacana ringan saja, sehingga pada tataran berikutnya kurang menarik untuk didekati secara mendalam. Keberadaannyapun kurang mempublik dan tidak berkembang.

Sebagaimana realita dari tipikal yang pertama dengan perkembangannya yang cukup meluas melahirkan anak tipikal di bawahnya. Setidaknya dari perkembangannya sampai saat ini ada lima anak turunan. Pertama Femenisme Liberal. Tipe ini menyokong kebebasan penuh terhadap perempuan yang berlandaskan rasio dengan menafikan sekat keterpasungan serta membangun persaingan yang bebas antara laki-laki dan perempuan (Herlianto,2009 : halaman website).

Tipikal Kedua adalah, Faminisme Radikal. Tipe ini bertolak dari kultur seksisme, utamanya untuk melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Ketiga feminisme Anarkis. Tipe ini mengidetifikasi bahwa laki-laki dan Negara adalah sumber petaka, karenanya cita-cita dari feminism yang bertipe anarkis ini adalah menghancurkan Negara dan laki-laki. Keempat Feminisme Sosialis. Tipe ini mengarah pada pembebasan dari satatus sosial seperti, menghapuskan kepemilikan harta oleh seorang suami terhadap istrinya. Tipe ini bedasar Ideologi Marxisme. Kelima Feminisme Post Modern. Tipikal ini memaknai gender terlepas dari identitas dan struktur sosial. (Herlianto,2009 : hlmn website).

Epilog
Kajian sejarah di atas terasa masih dangkal, banyak hal yang belum tersuguhkan secara jelas. Keterbatasan tersebut sangat terkait dengan pembacaan penulis teradap literatur. Namun, tidak bisa dikesampingkan adanya beberapa kesimpulan yang dapat dikuak dari pembacaan ini. Secara singkat penuturan sejarah di atas sudah refresentatif untuk melampaui ranah kesejarahan, termuat didalamnya fakta dan ideologi yang mewadahi dari setiap penuturan. Secara konkret femenisme dan wacana gender adalah bagian dari gerak natural dialektika manusia dalam menyikapi suguhan kehidupan. Keniscayaan kemunculannya adalah bagian dari kekayaan kajian keilmuan.

Perempuan dengan karakteristiknya yang beragam, tentunya secara qodrati mempunyai persamaan dan perbedaan dengan laki-laki. Keniscayaan adanya persamaan dan perbedaan itu menempati secara terstruktur dari susunan psikologis, bilogis,spiritual dan sosial. Persamaan dan perbedaan itu menghendaki sikap proporsional dari semua pihak, baik laki-laki ataupun perempuan. Kadangkala realitas itu menempatkan masing-masing pihak berada pada kedudukan atau penempatan yang sama, tapi juga bukan mustahi jika pada beberapa hal realitas meminta kedudukan atau tempat yang berbeda. Kesamaan kedudukan atau tempat, tidak selalu menunjukkan adanya keadilan dan meghantarkan keanyamanan. Perbedaan penempatan juga tidak berarti penindasan. Karenanya gerakan femenisme oleh kauam wanita untuk meminta haknya terkoyak oleh sikap arogansi bisa dibenarkan. Dibenarkan jika hak itu memang semestinya didapatkan, namun menjadi tidak normal jika gerakan ini berpotensi melahirkan persoalan lain. Misalnya, penodongan emansipasi yang berlebihan tanpa lebih dulu mempersoalkan hak-hak orang lain dan kemampuan diri.

Munculnya dua wadah besar tipikal feminisme (ortodoks dan postfemenisme) yang tertutur di atas, cukup untuk dijadikan cermin untuk bersikap proporsional, tidak tergesa-gesa dan tidak gampang teracuni oleh wacana yang sering kali bernuansa profokatif. Mengedepankan akal sehat serta menyelimutinya dengan nurani yang suci merupakan tindakan yang dapat menghindari dangkalnya persepsi serta akan menghantarkan pada sikap yang bijaksana.

Tanpa memihak pada sisi manapun, menempatkan perempuan sebagai mitra bagi laki-laki dalam ruang kehidupan merupakan sikap yang tepat dalam menyikapi wacana semisal feminisme yang rentan dan berpotensi menjadi konflik jika sampai salah bersikap. Prinsipnya, semua manusia adalah sama di sisi Tuhan, yang membedakan adalah amal baiknya. Maka seharusnya antara laki-laki dan perempuan berlomba untuk mengumpulkan kebaikan, bukan membuat problem yang saling menjauhkan dari Tuhan.

*) disampaikan pada diskusi kelas, Mata kuliah Analisa Gender dalam Perspektif Islam Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kamis, 15 Oktober 2009

Daftar Bacaan
Bafagih, Hikmah, SejarahGerakanPerempuan,http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html: diakses 10 Oktober 2009
Herlianto,Bagus Pramono,Feminisme, http://artikel.sabda.org/feminisme: diakses 10 Oktober 2009
Mulia, Siti Musdaf, Keadilan dan Kesetaraan Jender Pespektif Islam, Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama, Depag RI, 2001
Munhanif, Ali, Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia 2002
Reywasario,Sejarah Feminisme dan Aliran-alirannya, http://reyrey.blog.friendster.com/2008/02/sejarah-feminisme-aliran2nya/: diakses 10 oktober 2009
Rubiyanti, Dwi, Wacana Gender Dalam Gerakan Perempuan Islam Indonesia,edisi petikan wawancara berasama Budi Munawar Rachman,http://www.rahima.or.id/ : diakses 10 Oktober 2009
Zayd, Nasr Hamid Abu, Dekonstruksi Gender : Kriktik Wacana Perempuan dalam Islam, terjemah edisi Moch. Nur Ikhwan, Yogykata: UIN PSW SAMHA 2003

Jumat, 16 Oktober 2009

MEMBANGUN NASIONALISME DARI KEJADIAN GEMPA DI BUMI ANDALAS

Seminggu ini wajah media di tanah air dipenuhi dengan berita musibah gempa bumi yang tejadi di Padang Pariaman Sumatera Barat, Rabu 30 Setember 2009 seminggu yang lalu. Gempa bumi berkuakatan 7,6 skala Richter itu meluluh lantakkan bumi Andalas. Korban tergeletak dimana-mana, menurut data yang disajikan oleh berbagai media, korban jiwa melebihi angka seribu. Cukup mebuat bulu kuduk merinding, meringis dan mengiris hati. Musibah di akhir bulan September ini benar-bena telah mengejutkan seluruh penghuni negeri ini. Gerakan peduli tergelar di mana-mana. Sikap kemanusiaan mengalir deras dari berbagai macam kalangan dan ormas di negeri ini. Semua merasa tergerak untuk ikut serta membantu para korban yang tertimpa gempa tersebut.

Jerit para korban yang tergenjet beton-beton keras mengalun menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya. Sementara media televisi berlomba-lomba menyajikan gambar terkini situasi yang terjadi di tempat kejadian.Tayangan live menjadi menu utama dan head line dari setiap acara berita. Salah satu rekaman paling teraktual adalah hasil rekaman kamera cctv di hotel Ambacang yang terekam jelas ketika kejadian berlangsung. Para penghuni hotel terlihat berlarian menyelmatakan dirinya, namun akhirnya tidak semua dari mereka itu dapat lolos dari reruntuhan bangunan hotel. Mengenaskan…!!!

Kerugian meteri tentunya sangat besar, disitu banyak kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum yang menghalangi aktifitas penduduk yang selamat. Bantuan lokal dan dunia Internasional mengalir, namun sempat terhalang dengan banyaknya jalur transpotasi yang terputus. Sehingga ada beberapa tempat yang terisolir telat dalam menerima bantuan. Sementara pemerintah dalam hal ini mendapat tekanan agar secara cepat menyalurkan batuan tersebut kepada yang berhak.

Para korban yang selamat selain kehilangan rumah dan harta milik mereka, di lain sisi juga tertekan dengan trauma psikologis dengan adanya sebagian mereka yang kehilangan anggota keluarganya. Tentunya hal ini merupakan masalah baru yang harus segera ditangani oleh pemerintah pasca musibah. Dinilai oleh para pemerhati, pemerintah terkesan lamban dalam menangani musibah. Lihat saja bantuan kemanusiaan yang mengalir dari masyarakat lokal dan internasional menumpuk di posko penanggulangan gempa, tanpa adanya pendistrubusian yang cepat. Fenomena ini merupakan gejala yang sering terulang setiap kali musibah menimpa negeri ini.

Tanpa memihak pada sisi manapun, masyarakat dan seluruh penghuni negeri ini agar lebih bijak menanggapi sikap pemerintah dalam penanggulangan setiap musibah. Walau bagaimanapun pemerintah tentunya masih sangat membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat dalam menjalankan amanahnya, termasuk dalam penanggulangan gempa di Sumatera Barat ini. Kemudian di lain sisi, musibah merupakan fenomena alam yang kadang datang tanpa pemberitahuan, sehingga memungkinkan setiap individu akan panik menaggapinya. Tentunya pemerintah dan orang-orang yang memanggul pemerintahan juga tidak terlepas dari rasa panik tersebut. Maka, tindakan dan langkah pemerintah perlu mendapat arahan dan masukan dari masyarakat luas, terutama dalam langkah rekonstruksi pemulihan daerah pasca gempa ke depan.

Sikap beberapa orang yang terkesan provaktif hendaknya agar disikapi lebih bijak agar nantinya tidak muncul masalah yang baru. Adapun sikap yang tepat adalah, membangun kesadaran pada masing-masing individu dengan sebuah kesadaran bahwa, setiap apa yang terjadi di muka negeri ini adalah, bagian dari tanggung jawab bersama. Saling menuduh, menyalahkan dan melempar tanggung jawab adalah kurang tepat dalam situasi multi problem yang menimpa negeri ini. Mari kita miliki Bangsa ini secara utuh dan bersama-sama. Semoga saja negeri tercinta ini akan terus lebih baik lagi, walau kadang para birokrat belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, tapi yang paling penting diharapkan dari para birokrat tidak mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi dari musibah ini. Kesadaran dan keharmonisan dalam berbangsa agar terus tercipta di seluruh lapisan masyarakat, sehingga Indonesia ini benar-benar menjadi Negeri yang besar dan kuat, walau saat ini terguncang oleh musibah.

Terakhir, teriring do’a kepada seluruh korban gempa di Pariaman Padang Sumetera Barat, semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan YME. Bagi korban selamat semoga mampu untuk bersabar, tentunya diharapkan agar tetap semangat untuk terus maju menyusuri hidup yang masih panjang dan berliku. I Love U all……

Minggu, 04 Oktober 2009

MAKNA BERTERIMA KASIH

Hari ini benar-benar hari yang cukup menguras tenaga. Sejak dari jam pertama hingga penghujung dari rangkaian pembelajaran di hari ini secara terus menerus aku berada di depan para santri. Semua rangkaian pembelajaran itu walau harus tetatih-tatih melawan dengan rasa kantuk, capek dan malas, tetap harus aku jalani demi sebuah amanah. Melelahkan…!!

Tepat jam 2 siang kurang sepuluh menit semua kesibukan pembelajaran dapat aku selesaikan dengan tuntas. Wajah lelah tergores jelas di relung mukaku, tapi di lain sisi ada rasa puas dengan keberhasilan mencapai garis finish dari sebuah perjuangan dan pegorbanan. Perjuangan dan pegnorbanan adalah pondasi pokok dalam menjalankan amanah. Bermakna perjuangan karena pekerjaan mengajar memang sebuah rutinitas yang bernilai tinggi di sisi agama dan kemanusiaan yang harus dipejuangkan, sedangkan bermakna pengorbanan karena di sisi lain ada hal yang harus dikorbankan dari seorang individu demi sebuah perjuangan. Konkritnya antara perjuangan dan pengorbanan harus bejalan dengan sinkron dan proporsional. Walaupun perjuangan harus meminta pengorbanan tapi bukan berarti harus ada yang jadi korban. Pengorbanan disini tetunya masih sangat terkait dengan kemampuan dari masing-masing individu.

Selanjutnya ada sisi manis yang dapat dirasakan ketika sebuah pekerjaan itu dapat dilalui dan diakhiri dengan husnul khotimah. Rasa puas, senang gembira serta sekian banyak perasaan lainnya yang menggambarkan kepuasan, adalah wajar diekspresikan oleh seorang manusia. Maka adalah langkah yang teapt ketika ekspresi itu kemudian berujung dengan rasa syukur kepada Tuhan Allah SWT yang telah menganugerahkan ma’unah-Nya dari setiap langkah yang telah terlewati selalu berada dibawah irodah dan qodrah-Nya.Intervensi Tuhan sebagai zat yang Maha Besar adalah tak terelakkan, maka pada dimensi relegius berterima kasih pada-Nya adalah mutlak menjadi kesadaran dari setiap manusia.

Selain daripada Tuhan yang telah mengintervensi dari setiap usaha manusia ada perantara lain yang menjadi bagian skenario Tuhan dalam menyampaikan pertologannya. Manusia lain yang berada di sekitar kehidupan adalah bagian perantra yang sering kali kadang terlupakan. Dalam hubungan horizontal kemanusiaan maka berterima kasih pada sesama merupakan bagian yang tidak boleh terlewati dari siapa saja yang baru saja dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dengan berterima kasih kepada mereka yang telah berjasa, secara tidak langsung dalam kehidupan ini sudah berlangsung sebuah pembangunan kemanusiaan yang mahal harganya.

Dua gerak vertical dan horizontal di atas merupakan gerak proporsional cermin dari seorang manusia yang bijak dan beriman. Semakin pandai seseorang berterima kasih pada Tuhan dan sesamanya maka semakin luas pula pemberian Tuhan padanya. Jalan kemudahan dan keramahan dari sesama akan terus mengiringi perjalanan hidup. Sehingga pada tahapan berikutnya hidup ini akan terasa lebih nikmat dan menggairahkan. Inilah mungkin cerminan tafsiran dari seorang hamba yang bersyukur yang berimplikasi pada penambahan nikmat yang diturunkan oleh Tuhan pada manusia. Lain Syakarum La azidannakum wa lain kafartum inna adzabi lasyadid. [ijan09]

Jumat, 14 Agustus 2009

KADO BUAT PESANTREN

Telaah Reflektif-Filosofis Upaya Penyegaran Ideologi Pesantren dari Kejumudan Menuju Pendakian Progresif-Dinamis
Oleh: Ach. Tijani


Sketsa Wajah Pesantren
Negeri ini sudah 64 tahun menikmati kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda. Kemerdekaan itu diperoleh dengan perjuangan dan pertumpahan darah dari para pejuang negeri ini. Salah satu unsur institusi pendidikan yang dengan getol memperjuangkan kemerdekaan adalah, Pesantren. Pesantren dalam sejarahnya adalah lembaga pendidikan Islam yang dengan gigih melawan penjajahan. Perannya dalam mengupayakan bangsa ini merdeka dari penjajahan, terbukti dengan banyaknya perlawanan dari dalam pesantren, baik perlawanan secara kontak fisik ataupun secara ideologi.

Bila dilihat lebih dekat, keberadaan dan peran pesantren dalam membangun negeri ini sudah bermula sebelum datangnya kaum penjajah di negeri ini. Selain basis perlawanan melawan penjajah pada zaman sebelum kemerdekaan, pada mulanya pesantren merupakan institusi penyebaran Islam. Dari pesantren inilah Islam menjadi sebuah agama yang ramah dan dekat pada masyarakat luas. Pada dimensi yang lain pesantren menjadi media sentral dakwah ke-Islaman pada awal penyebaran Islam di bumi Nusantara ini.

Keberadaan pesantren di negeri ini membawa realitas Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Pesantren selain mengemban misi suci penyebaran Islam, di sisi lain sebagai penjaga nuansa keaslian negeri (indigenous), karena secara historis lembaga sejenis telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren merupakan kelanjutan dalam bentuk Islamisasi dari warisan nenek moyang. Dengan demikian tanpa bisa dibantahkan, pesantren merupakan salah satu warisan kekayaan sistem pendidikan bangsa yang seharusnya dan sewajarnya menjadi kebanggan bagi setiap insan negeri ini.

Jika mau jujur di era kemerdekaan, pesantren tetap eksis menelorkan alumninya sebagai para pemimpin bangsa ini. Sebut saja Gus Dur, orang pesantren sekaligus sebagai bapak bangsa yang kemudian berhasil menjadi orang nomor satu di negeri ini. Selain itu ada beberapa tokoh lain seperti, Din Syamsuddin, Hidayat Nurwahid, Hasyim Muzadi dan lain-lain yang tidak mungkin untuk disebutkan satu-satu. Mereka adalah sebagian saja dari sekian juta lainnya yang mempunyai peran penting dalam membangun bangsa ini. Dengan demikian, pesantren tetap berada pada posisinya sebagai institusi relegius-nasionalis dengan orientasinya yang luhur yaitu, memajukan bangsa.

Peran dan misi suci pesantren yang gemilang itu nampaknya tidak banyak dipahami oleh para pemimpin negeri ini. Bahkan para pemimpin negeri ini lebih banyak mengadopsi warisan penjajah Belanda yang mengarah pada pendiskreditan pesantren. Lihat saja perjalanan putusan-putusan pemerintah yang sedikit memojokkan dunia pesantren dan Islam. Kalau boleh menakar lebih rinci putusan-putasan pemerintah itu bermula dari awal perjalanan pemerintahan pasca deklarasi kemerdekaan hingga pemerintahan saat ini. Diskrimnasi dan pendikreditan itu bermula pada tahun 1950 oleh Presiden Soekarno dengan pola pandang dualisme-dikotomisme (lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan agama) yang memandang pesantren hanya sebagai gerakan ritual belaka. Tendensi pemerintah lebih memilih pendidikan sekuler warisan penjajah ketimbang pesantren yang lebih dulu membangun negeri ini. Aksidensi sejarah itu terjadi ketika ditetapkannya Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai kawah canderadimuka bagi kaum nasionalis serta Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) bagi umat Islam pada tahun 1950. Aksedensi sejarah ini merembes pada eksistensi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam. Sehingga kemudian pesantren hanya sebagai cagar budaya yang minim akan perhatian pemerintah.

Pandangan picik serta serangan yang memojokkan pesantren tidak berhenti sampai disitu. Saat ini pesantren dan dunia Islam sedang dideru agresi maha dahsyat dengan tudingan miring sebagai sarang teroris. Dentuman dan meledaknya bom pada 17 Juli 2009 di Hotel JW Marriot dan Ritz Calton menambah borok pandangan publik terhadap pesantren dan dunia Islam. Santernya pemberitaan media, bahwa salah satu dari pelaku yang terlibat dalam kejadian itu adalah alumni pesantren. menjadi salah satu faktor semakin memburamnya wajah pesantren di tengah-tengah masyarakat luas.

Demikian sketsa pesantren saat ini, keberadaannya sangat memprihatinkan serta membutuhkan langkah kuratif yang tepat untuk mengembalikan citra pesantren di mata dunia.

Problem dan solusi
Gambaran di atas merupakan deskripsi dunia pesantren yang berada diantara peran dan agresi dunia luar yang mencoba menggusur pesantren dari bumi Nusantra ini. Sudah saatnya pesantren bangkti dari tidurnya dengan mencoba membangun kesadaran agar terus bisa survive menghadapi tantangan yang membentang. Tudingan dan pandangan miring dari dunia luar pesantren setidaknya menjadi stimulan agar pesantren tidak melulu sibuk dengan aktifitas kognitif-normatif (pengajaran) saja, tapi lebih dari itu agar mulai melihat secara integral-universal pada dunia dan problematika yang terjadi.

Diantara kelebihan yang bisa dibanggakan dari dunia pesantren, tentunya menjadi sebuah kesadaran adanya kekurangan yang perlu dibenahi di tubuh pesantren itu sendiri. Pesantren dengan kelebihannya kadang telah membutakan insan pesantren itu sendiri dengan bersikukuh pada romantisme historis kejayaan masa lalu. Kejayaan dan prestasi masa lalu menjadi kebanggaan yang menghilangkan nuansa dinamisasi, sehingga kadang dunia pesantren mengisolasi diri dari perkembangan yang datang dari luar.
Determinisme historis ini mengakar kuat di kalangan orang pesantren. Salah satu penyebabnya adalah pandangan ideologi orang pesantren yang bersifat miopik-narsistik. Sebuah pola pandang yang sempit serta pengagungan yang kelewatan terhadap milik dan diri sendiri. Pola pandang ini tersuguhkan dengan pola prilaku searah dalam sistem pengajaran dan budaya yang berjalan di dunia pesantren. Salah satu contoh adalah, pengkultusan yang berlebihan pada figur sentral (kiyai) serta pengkerdilan sikap kritis para santri. Walaupun ada beberapa pesantren yang mencoba mengikis pola pandang ini, tapi itu semua jika ditilik lebih dalam hanya berupa apologi-difensif yang sifatnya artifisial saja.

Selain daripada itu yang lebih sering didentikkan dengan budaya yang berkembang di pesantren adalah, corak kepimimpinannya yang bersifat kharismatik-feodalis. Corak kepemimpinan seperti itu dinilai untuk saat ini sudah tidak tepat lagi, mengingat dinamika dan perubahan zaman sudah jauh lebih berkembang, sedangkan corak kepemiminan tersebut cenderung mengabaikan kualitas. Dunia modern selalu meminta kualitas ketimbang garis keturunan, untuk itulah tradisi ini perlu juga mendapat penyegaran dengan beralih pada corak kepemimpinan rasional, harapannya agar pesantren bisa benar-benar menjadi milik umat bukan milik kelompok apalagi individu. Corak kepemimpinan ini merupakan kelanjutan dari ideologi kultus yang berkembang di pesantren.

Sejatinya akar ideologi di atas mempunyai tautan kuat pada era masa keemasan Islam di Timur Tengah. Lihat saja beberapa kitab yang digunakan untuk membekukan ideology ini di tengah-tengah santri, sebut saja Ta’limul Muta’llim yang lebih menekankan pada amaliyah-sufistik dengan metode personal-monolog dan mementahkan sikap kritis. Sikap ini kemudian diterjemahkan pada pola pandang yang menghegemoni dengan sebutan iktisab barokah. Maka tidak jarang pada realitanya banyak kalangan muslim yang sengaja masuk pesantren dengan berorientasi pada barokah.

Celah ataupun kekurangan lain yang perlu disadari adalah menghegemoninya Arabisasi atau gerakan meng-arabkan pesantren secara penampilan dan isi (performa-dan substansi). Maka tak jarang di sebagian besar pesantren di negeri ini, Bahasa Arab (Nahwu-Shorrof), Fiqh, Tafsir, Hadits dan Aqidah saja yang menjadi materi ajarnya. Kemudian yang lebih menjenuhkan, ketika materi ajar itu hanya diupayakan pada batas pengamalan saja tidak sampai pada mengkaji dan mengkritisinya.

Diakui beberapa pesantren ada yang sudah berupaya memadukan ilmu pengetahuan secara integral tanpa memetak-metakkan lagi. Namun tradisi naqdu ilmi belum secara utuh diterapkan didalamnya. Sehingga pola atau system yang berjalan hanya pada tataran iktisab ilmi belum pada tataran intaj ilmi. Sesuatu yang langka ini seharusnya sudah disadari oleh para elit pesantren untuk memasukkannya dalam sistem pesantren sebagai upaya penyegaran yang berarah pada pendakian positif.

Kendala lain dalam menanamkan sikap progresif pada dunia pesantren adalah, mengakarnya antipati terhadap Belanda yang berlebihan (Dutch sentimental). Antipati yang membabibuta ini kemudian berujung pada sentiment luar biasa pada sesuatu yang datang dari Barat. Apapun perkembangan yang dibawa oleh Barat (dunia luar pesantren) dianggap oleh sebagian kalangan pesantren sebagai sesuatu yang sesat. Pandangan dangkal inilah yang sering kali memunculkan sikap anarkis, sehingga tak jarang ada beberapa alumni pesantren yang terjerumus dalam kubangan paham taklidiyah yang terimplikasi lewat tindakan-tindakan teror.

Kenisacayaan pesantren untuk membuka diri dan keluar dari pola regresif pada pola progresif adalah tak terbantahkan sebagai langkah preventif dari tergususnya pesantren dari negeri tercnta ini. Hal ini merupakan solusi tunggal agar pesantren tetap eksis dan kembali mendapat citranya dari pandangan publik dan pemerintah. Solusi ini sebenarnya bagian dari kekayaan adagium pesantren yang selama ini banyak dilupakan oleh kalangan orang pesantren itu sendiri yang berbunyi ‘’almuhafadhah ‘ala qodimis sholeh wal akhdu min jadidil aslah”. Harapan final dari upaya ini adalah terciptanya pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya sebagai hasil budaya (muntaj tsaqofah) tapi di sisi lain pesantren juga sebagai penghasil budaya (muntij tsaqofah). [ijan09]


*)ditulis sebagai kado buat Pesantren menjelang Dirgahayu RI yang ke-64

Kamis, 06 Agustus 2009

MEMBUKA KESADARAN BARU UNTUK BERFILSAFAT

Dunia tidak pernah lepas dari hiruk pikuk dinamika wacana pemikiran. Perkembangan dari berbagai sisinya memunculkan banyak problema yang melahirkan banyak persepsi dan wacana. Laju model kehidupan ini terus saja mengalir tanpa bisa dielakkan lagi sebagai sebuah konsekwensi logis dari adanya dunia sebagai tempat yang mewadahi segala bentuk hasil prilaku manusia yang mewujudkan peradaban. Untuk itu, peradaban dan wacana pemikiran, menjadi pasangan serasi yang terus mewarnai laju dinamika kehidupan. Lepas dari itu semua, agama sebagai salah satu komponen dinamika yang berpijak di bumi ini, tidak luput menjadi bagian yang terus diperbincangkan.
Agama menjadi sebuah perbincangan, tentunya sangat beralasan. Selain sebagai sentra kontrol yang selama ini menjadi daya dari gerak laju perkembangan manusia, juga menjadi sentra dari segala perkembangan dunia ini. Namun, agama tidaklah satu-satunya sentra yang menisbikan daya-daya lain penggerak dinamika. Ada sisi lain yang juga menjadi bagian penting dalam perkembangan dunia ini, yaitu akal. Agama dan akal inilah dua sisi penting yang terus mendampingi dan bertanggungjawab atas semua bentuk perkembangan yang terjadi.
Agama diwakili wahyu sebagai sebuah sumber dari berbagai implikasi dari gerak konkret yang bersentuhan dengan prilaku nyata. Sedangkan akal, berdiri sendiri sebagai sumber yang terwakili dengan sistem pencarian kebenaran yang dikenal dengan filsafat. Wahyu dan filsafat berjalan menuju sebuah sentra titik, yaitu kebenaran. Keduanya adalah, dua kubu yang berbeda yang bertolak dari titik yang berbeda, namun tertumpu pada satu tujuan yang sama tadi. Titik tolak yang berbeda inilah menjadi perbincangan sengit antara kaum agamawan dan para filosof. Kaum agamawan berpendapat bahwa, realita ini harus bertolak dari ketertundukan terhadap otoritas tuhan lewat wahyu yang diturunkannya. Pada sisi lain para filosof dengan percaya diri mengatakan tiada kebenaran tanpa menyoal kebenaran tersebut, lewat akal sebagai sumber dan penuntun yang absah dan nyata.
Diskursus akal sebagai penuntun dalam hidup ini, melahirkan banyak pendapat. Pada sisi tertentu diakui kalau kajian keagamaan begitu sangat membutuhkan rasio atau akal. Di sisi lain ada yang menyoal, kapan dan dimana akal akan ditempatkan. Akankah rasio menjadi hal primer menggusur kedudukan wahyu sebagai penuntun yang datang dari Tuhan. Bertolak dari wacana inilah perbincangan antar agamawan dan para filososf dimulai.
Pada perjalanan selanjutnya ternyata keberadaan filsafat banyak ditentang oleh para kaum agamawan. Pada saat itulah filsafat mengalami masa suram, tepatnya tatkala al-Mutawakkil (847-861M) berkuasa. Keberpihakan al-Mutawakkil pada kaum agamawan salafi (ortodok) begitu sangat nampak dengan dipecatnya Al-Kindi seorang ahli filsafat dari posisinya sebagai guru istana. Kesuraman filsafat kala itu benar-benar berada pada titik yang mengkhawatirkan. Muncul berbagai kecurigaan yang begitu mendalam terhadap filsafat serta berbagai macam tudingan miring terhadapnya.
Reaksi penolakan terhadap filsafat ini tertuang dari berbagai pernyataan para kaum salafi (ortodok) di berbagai kitab yang ditulisnya. Pada kitab Fiqh Akbar III misalnya, terdapat 33 fasal yang menolak filsafat. Filsafat dianggap sebagai bidáh, kufurat, zandiq, mulhid, haram dan majusi. Pada kitab Ibtal al-Falsafah karangan Ibnu Kholdun, menempatkan filsafat sebagai golongan-golongan ilmu tolol setingkat sihir, tenung, alkemi dan klenik.
Reaksi penolakan tersebut tidak hanya terendus lewat teks, namun juga telihat pada aksi konkret. Sultan Abu Yususf An-Nasr (1196) misalnya, melarang keras pelajaran filsafat di lingkungan kekuasaannya. Pada tataran akdemik formal beberapa perguruan tinggi dan sekolah memposisikan fisafat sebagai Úlum al-Ajam (ilmu-ilmu asing) dan ilmu alat (álliyah) saja. Jika pun ada beberapa perguruan tunggi yang mengajarkannya itu hanya sebatas apologi difensif yang hanya berada pada tataran kulit luarnya saja, bukan pada sisi substansialnya. Artinya filsafat dianggap sebagai ilmu yang tidak penting dan tidak perlu dikembangkan.
Dua gejala konket inilah mewakili bentuk penolakan terhadap filsafat. Penolakan itu tentunya mempunyai alasan-alasan jelas. Salah satu alasan yang menjadi dalil ditolaknya filsafat untuk berkecambah dan berkembang di tengah-tengah muslim adalah, lahirnya pernyataan ar-Rozi (865-925) yang menolak konsep kenabian. Pernyataan kontrofersial ini memunculkan emosi penolakan yang tinggi dari kaum ortodok, ditambah lagi dengan pernyataan Ibn. Rawandi (lahir825) yang juga menolak konsep kenabian. Penolakan konsep kenabian ini dianggap oleh kaun ortodok sebagai pengerogotan yang membahayakan, akhirnya dijadikan tameng untuk menolak filsafat.
Selain dari yang disebutkan diatas, permulaan ketegangan dan meruncingnya kecemburuan kaum salafi tersebut, disebabkan adanya agresi dari para filosof yang dituding sebagai sebuah pelecehan pada hirarki penempatan ilmu teologi pada tataran yang paling rendah. Kala itu kaum salafi menolak filsafat sebagai penuntun akal, kemudian memilih teologi sebagai rival yang bisa menyaingi filsafat. Jelas saja mereka para kaum salafi marah ketika al-Farobi seorang filosof yang kemudian menempatkan teologi pada ranking paling rendah. Kejadian tersebut menjadikan ketegangan dan penolakan kaum slafi terhadap filsafat semakin kentara saja.
Tudingan dan klaim miring terus datang beruntun hingga saat ini. Penolakan tersebut juga dilontarkan para kaum ortodoks nasional kontemporer. Hamka dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Agama Islam menyatakan bahwa, filsafat hanya mengacaukan fikiran. Tudingan miring ini adalah bentuk kecemburuan yang begitu sangat dalam dan mengakar. Selain Hamka, Munawar Halil dalam bukunya yang berjudul Kembali Kepada Al-Qurán dan Assunnah menyatakan, kaum muslimin agar menghindari pemakaian akal dan raý dalam urusan agama. Munculnya kekhawatiran ini menandakan secara eksplisit para cendikiawan ortodok masa kini juga menaruk kecurgaan yang mendalam pada filsafat.
Filsafat berada titik yang paling kritis tatkala diserang oleh lontaran al-Ghazali sang Hujjatul Islam lewat kitabnya Tahafut Falasifah, kemudian diulanginya pada kitab lainnya Munqid mina al-Dlolal. Serangan tersebut dititikberatkan pada persoalan metafisika dan logika. Posisi al-Ghazali saat itu sebagai seorang teolog benar-benar berada pada puncak persetagangan yang cukup akut, seklaigus juga menghanguskan wacana filosofis yang dihasilkan oleh al-Farobi dan Ibn Sina. Gaung persetagangan ini berujung pada antipasti yang sangat dalam dari kalangan muslim pada umumnya.
Selain dariapada antipati lainnya, ada pandangan pragmatis yang muncul di kalangan umat muslim terhadap filsafat. Filsafat dianggapnya tindakan sia-sia tanpa menghasilkan apa-apa. Misalnya seperti yang didengungkan oleh seorang seniman, menganggap filsafat hanya mencegah peleburan emosi dalam menikmati seni. Pandangan pragmatis ini merebah cukup luas sampai pada sisi kehidupan lainnya yang sedikit menyentuh area mterealisme. Lihat saja fenomena sosial di kalangan mahasiswa, mereka berpandangan kajian filsafat tidak bisa memberikan harapan masa depan dari sisi ekonomi.
Mencermati berbagai tudingan dan penolakan di atas, perlu kiranya pengkajian lebih dalam dan konprehensif mengenai wacana ini. Bila ditilik lebih dalam semua penolakan di atas bisa disimpulkan menjadi dua bagian. Pertama kecemburuan yang berangkat dari kekhawatiran adanya pengrusakan pada prisnsip-prinsip agama, karena filsafat dianggapnya ilmu asing yang berangkat dari Yunani dengan klaim adanya kepentingan-kepentingan penyerangan. Kedua, munculnya pandangan picik yang berorientasi pada pencapaian mater,biasa ikenal sebagai paham pragmatisme.
Semua fenomena di atas menstimulan siapa saja yang menghendaki kedinamisan. Beranjak dari peresetegangan ini, maka kajian filsafat menjadi kajian tak terelakakan lagi untuk menjadi sebuah pilihan bagi penulis secara pribadi. Hal itu dimaksudkan agar warisan kajian filsafat para pendahulu kita tidak usang termakan gosip miring, pada sisi yang lain mengharmoniskan hubungan kaum ortodoks dengan para filosof. Harapan terakhir adalah, mengembangkan, menambah dan menyempurnakan khazanah keilmuan Islam. [ijan09]

Minggu, 28 Juni 2009

BATURRADEN MENGESANKAN


Perjalanan yang bertolak sekitar jam 07 di hari Minggu terakhir di bulan Juni 2009 memberikan banyak kesan yang menakjubkan . Hari itu adalah hari ke-28 di bulan Juni yang merupakan bagian dari hari libur panjang di tahun ajaran ini. Walau Mu'allimin belum libur secara resmi, tapi hari itu adalah hari penantian nasib bagi setiap siswanya. Apakah mereka berada pada kubu yang " Man utiya kitabahu biyaminih, atau sebaliknya. Dalam penantian yang mendebarkan ini mereka berinisiatif untuk mencairkan suasana dengan melakukan aktifitas tour ke Baturraden.

Bus yang ditumpangi peserta tour melaju dengan mulus tanpa ada halangan yang berarti. Banyak keindahan yang disuguhkan alam selama perjalanan. Ada gunung yang menjulang tinggi, kali yang dialiri air yang jernih, tanah pertanian yang menghijau, serta deretan toko-toko perkotaan yang berhimpit-himpitan. Semuanya berpadu menjadi mozaik eksotis menghibur hati yang gundah. Suara nyanyian peserta tour terdengar manambah hiruk pikuk keadaan dalam bus. Semuanya begitu bahagia, terasa penat dan payah selama di asrama tershempaskan berganti keriangan.

Akhirnya bus kemudian berhenti di area parkir pariwisata setelah 4 jama perjalanan. Nampak beberapa bus para pengunjung lain berjejer rapi di area parkir, begitu ramai pengunjung di hari itu. Ada yang tua, muda, anak-anak sampai pada yang masih cabang bayi juga ikut meramaikan suasana Baturraden. Entahlah apa sebenarnya yang mereka cari di tanah pegunungan yang berudara cukup dingin ini. Keindahan, keramaian atau ketengangan?? Tak jelas apa yang dicari, tapi yang jelas Baturraden adalah magnet mengesankan yang menyeret beribu-ribu manusia.

Jalan menuju lokasi wisata menanjak tajam, namun semua itu tidak menjadi kendala bahkan menjadi tantangan yang menggairahakan untuk ditaklukkan. Suasana keriangan mengumbar dari seluruh peserta tour, masing-masing mereka mempunyai gaya tersendiri yang unik dan menggelikan. Maklum mereka adalah anak-anak yang berada pada masa puber, masa pencariaan jati diri, karenanya berbagai cara mereka lakukan untuk mengeksiskan dirinya. Semuanya nampak wajar-wajar saja, sewajar dengan perkembangan psikoogi mereka.

Sesampainya di lokasi, semuanya berkumpul di bundaran ikon Baturraden untuk berpose bersama, kemudian setelahnya mereka memilih untuk berjalan-jalan sendiri menikmati suasana alam yang indah nan menggairahkan. Sebagian ada yang ke kolam renang,sebagian yang lain ada yang ke air terjun. Semuanya benar-benar menikmati suguhan Baturraden. Nampak beberapa juga masih ada yang enggan untuk mengeksplorasi seluruh wisata. Enggan karena ada suguhan yang berada di luar pengelola wisata, yaitu ulah para pengunjungnya. Pokoknya ada deh yang aneh..... !!!!

Para pengunjungnya yang multi ragam menyuguhkan banyak keragaman juga. Ada yang konyol, lucu tapi yang paling mengerikan dan menarik adalah ulah para pengunjung yang sengaja mengumbar birahi tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya. Mereka adalah pasangan-pasangan muda yang mencoba mengeksiskan dirinya lewat dekapan-dekapan birahi di balik kerumunan dan keindahan Baturraden. Tanpa sengaja dan tidak dapat dielakkan lagi suguhan mencengangkan itu akan dengans sendirinya mudah diakses oleh siapa saja yang datang. Walau risih dengan pemandangan ini, para peserta tour tetap tersenyum dan tertawa lepas tak hiraukan semua itu.

Kurang lebih tiga jam penjelajahan Baturraden akhirnya harus diakhiri juga. Tepat jam 15.00 WIB semua peserta sudah berkumpul di bundaran Ikon Baturraden untuk bersiap pulang. Puas rasanya melepas semua gumpalan penat yang selama ini menggurendel, kini semuanya lega. Setelah semua peserta sudah lengkap, para peserta melangkah meninggalkan Baturraden. Sementara di parkiran, bus yang ditumpangi para peserta tour sudah menunggu dari tadi. Tepat jam 4 sore bus meninggalkan lokasi menuju Jogjakarta setelah sebelumnya mampir di ruamahanya Alfan untuk makan bersama. Tepat jam 22.00 akhirnya kami anak-anak II C dapat kembali dengan selamat sampai di kampus tercinta Mu'allimin.

Kamis, 25 Juni 2009

MENIKMATI MALAM LIBURAB EKSOTIS DI MALIOBORO

Bulan Juni merupakan bulan yang cukup dinanti oleh kalangan pelajar dan perangkatnya. Karena pada minggu terakhir di bulan tersebut mereka bisa melepas penat setelah setahun penuh disibukkan dengan rutinitas yang cukup memeras otak. Banyak cara untuk melepas penat tersebut, ada yang di rumah saja dengan seabrek kegiatan santai, sampai pada kegiatan piknik dan berpariwisata bersama teman-teman sejawat. Pada hakikatnya akhir bulan Juni bagi para pelajar di Indonesia adalah masa melepas lelah dan masa linburan panjang yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Yogyakarta sebagai salah satu kota yang tidak pernah sepi dari pengunjung, baik yang hanya sekadar datang per-orangan, ataupun yang datang secara kolegial, tetap menjadi magnet tersendiri yang menyeret para pelajar ke kota ini. Sejak seminggu kemarin kota yang dikenal dengan nasi Gudegnya ini disesaki dengan deretan bus-bus paraiwisata yang datang dari luar kota. Meraka nampakanya adalah para pelajar yang ingin melihat secara dekat kota yang pernah menjadi ibu kota Negara ini. Kamera dan perangkat penangkap gambar lainnya menjadi teman sejati mereka untuk memonomentalkan moment-moment liburan yang bergairah tersebut. Tak jarang di bantaran trotoar Malioboro, tepatnya di depan Tugu Serangan Umum 11 Maret mereka berjejer sambil memintakan foto pada pengguna jalan yang kebetulan melintas di area tersebut.

Cukup beragam para pengunjung baru Kota gudeg ini, mulai dari mereka yang baru duduk di Sekolah Dasar sampai para mahasiswa. Di kota Yogyakarta ini mereka akan banyak menemukan tempat-tempat yang mempunyai nilai sejarah cukup tinggi. Sejarah dan budaya menjadi menu menggairahkan bagi para visitor, sekaligus sebagai satu-satunya yang unik pembeda dari kota-kota lainnya. Selain kawasan keraton yang masih sangat kental dengan adat dan budaya Jawanya, di lain sisi Jogja juga merupakan kota pelajar tertua di tanah air ini. Mereka para pengunjung akan menyaksikan sekian ratus kampus perguruan tinggi yang beridiri hampir di setiap sudut kota ini. Pokoknya Jogja tiada duanya di negeri ini…..!!!

Bagi mereka yang hobi mengoleksi barang-barang bernuansa khas Jawa-Jogja, sangat mudah dijumpai di kota ini. Cukup berjalan di sepanjang trotoar Malioboro barang-barang tersebut akan berderet rapi mulai dari selatan hingga ujung paling selatan. Tinggal memilih sesuai dnegan budget dari masing-masing pengunjung. Malam hari di kawasan ini akan dijejali oleh ribuan manusia. Karena nuansa Malioboro memang snagat enak bila dinikmat pada malam hari, seolah pada malam hari ruh dari ruas jalan ini benar-benar menampakan keeksotisannya. Tidak ke Malioboro sama dengan tidak pernah ke Joga. [ijan]

Jumat, 12 Juni 2009

Pelepasan Santri Kelas VI Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta

(Prof. Din Syamsudin :"Why we Not The Best")


Mua'llimin Muhammadiyah Yogyakarta untuk kali ke-83 melepas alumninya. Pelepasan itu dilaksanakan kemarin 7 Juni 2009 di halaman tengah madrasah. Pelaksanaannya terkesan sederhana untuk ukuran Jogja sebagai salah satu kota pendidikan ternama di negeri ini. Hanya menggunakan empat terop yang menaungi sekitar empat hingga lima ratusan undangan yang terdiri dari wali santri, guru, karyawan dan undangan umum lainnya. Walau Nampak sederhana tapi prosesi pelepasan ini tetap menjadi momentum bersejarah bagi Mu'allimin dan para siswa terkait.

Lepas dari itu ada kesan yang cukup melekat di benak setiap undangan yang hadir, walau secara kemasan luarnya nampak sederhana, tapi pada hakikatnya pelepasan santri kelas akhir kali ini mempunyai arti penting bagi setiap yang hadir waktu itu. Menjadi penting karena pelepasan kali ini dihadiri langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Din Syamsudin. Untuk pertama kalinya saya secara pribadi bisa melihat langsung orang penting nomor satu di persyarikatan Muhammadiyah ini. Wajahnya yang sejuk serta suguhan senyumannya yang dilemparkan pada para undangan menandakan kalau beliau adalah seorang tokoh yang mampu menjadi bagian dari umat. Begitu mengesankan….!!!

Kedatangan beliau dengan mengendarai sedan hitam disambut hangat oleh Direktur Mu'alliminnUst. Ikhwan Ahada dan para hadirin. Selang beberapa menit setelah kedatangan beliau, pembawa acara langsung mempersilahkan beliau untuk memberikan tausiyah, pesan dan penyerahan kembali para sntri kepada masing-masing wali santri. Dimulai dengan salam serta muqoddimah B. Arab yang sangat fasih menjadikan saya sangat terkesimak oleh pukauan penampilan beliau. Lulusan KMI Gontor ini selain B. Arabnya sangat fasih tapi secara artivisial mempunyai gaya retorika yang sangat menarik. Gaya retorikanya mampu menghangatkan suasana, banyak guyonan-guyonan tulusnya yang sesekali membuat para hadirin tersenyum.

Beliau mempunyai harapan agar para kader Muhammadiyah mampu bersaing di tengah-tengah perkembangan Ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Untuk itulah diharapkan kader-kader Muhammadiyah, khususnya santri yang baru dilepas mampu dan bisa memasuki bidang-bidang terapan ilmu yang ada. Karena menurut beliau saat ini tidak berlaku lagi dikotomi Ilm pengetahuan, bagi beliau tidak ada Ilmu Agama dan Imu Umum, keduanya adalah perpaduan yang tidak bisa dipisahkan. Mu'allimin sebagai kawah candradimuka-nya Muhammadiyah harus bisa melahirkan kader-kader yang tidak hanya menjadi ulama-ulama agama tapi juga mampu melahirkan ulama ekonomi, ulama politik dan ulama-ulama di bidang-bidang lainnya. Walau demikian Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga harus mempunyai kader-kader khusus yang benar-benar paham dan mengerti tentang agama (mtafakkih fiddin). Penyiapan kader-kader khusus itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan, begitu ulas beliau yang menganalogikan pada adanya Kopasus di tubuh TNI sebagai sebuah contoh.

Di tengah-tengah pidatonya, beliau juga menyempatkan untuk berdialog dengan para santri yang baru dilepas dengan memanggil dua orang untuk maju ke depan. Sengaja beliau memanggil santri yang sudah diterima di perguruan-perguruan tinggi ternama di dalam dan luar negeri, untuk yang di dalam negeri beliau meminta santri yang diterima di ITB dan yang dari luar negeri beliau meminta yang diterima di Al-Azhar Kairo. Kemudian beliau mengajak dua orang santri yang dimaksudkan tadi berdialog mengenai alasan memilih perguruan tinggi pilihannya dengan menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Untuk yang di terima di Al-Azhar beliau menggunakan dialog B. Arab, walau dapat dijawab tapi jawabannya masih terkesan kurang lancar dan terlihat tergagap-gagap. Menurut hematku tidak selayaknya untuk ukuran seorang alumni menjawab dengan gagap, tapi begitulah suguhan kenyataan yang harus menjadi bahan renungan bagi setiap guru di Mu'allimin. Dialog dilanjutkan pada santri yang diterima di ITB dengan menggunakan B. Inggris. Jawabannya lumayan lebih baik dari sebelumnya, walau harus disadari memang ada kekurangan yang juga harus menjadi perhatian para guru. Begitulah dialog ini berlangsung hingga kemudian diakhiri dengan tepuk tangan para hadirin.

Selain dari pada itu beliau juga mencurahkan harapannya pada Mu'allimin untuk terus berinovasi dengan mencampakkan rasa puas pada apa yang telah digapai. Artinya apa yang telah digapai oleh Mu'allimin saat ini jangan sampai menjadikan Mu'allimin puas, karena masih ada sekian banyak tujuan-tujuan yang lain yang belum tersentuh. Seperti planning masalah Madrasah bertarap Internasional adalah sebuah rencana yang harus bisa dilakukan oleh Mu'allimin sebagai lembaga kader. Muhammadiyah secara umum belum memiliki lembaga pendidikan Ideal tersebut, padahal umat di luar Islam sudah banyak yang memilikinya. Maka harapan yang begitu besar ini menjadi agenda utama yang benar-benar harus dijalankana oleh Mu'allimin. Peluang-peluang itu sudah mulai ada, misalnya dengan adanya tawaran tanah 10 H di daerah Godean adalah sebuah realitas yang mengisyaratkan kalau Mu'allimin sebagai lembaga pendidikan kader bisa menggapai impian itu. Sekarang tinggal kapan mau memulai. Motivasi dan impian baik itu diharapkan secepatnya dimulai walau disadari memulai itu sangat sulit.

"Lebih cepat lebih baik (Fastabiqul Khoirot)" ini adalah petikan pidato beliau yang meminjam slogan salah satu kandidat presiden. Beliau sangat setuju dengan slogan ini dalam tanda kutip niat dan maksud yang baik bukan dalam konteks mengkampanyekan kandidat presiden terkait. Begitulah petikan pidato beliau yang kemudian diiringi dengan tepuk tangan dan tawa dari para hadirin. Selanjutnya beliau juga menyampaikan bahwa semua yang nyata saat ini berawal dari sebuah mimpi, untuk itulah beliau menginginkan kader-kader Muhammadiyah menjadi pemimpi ulung dalam artian realistis-logis, serta penggila-penggila (pekerja-oekerja keras) sebagai implikasi dari makna gerakan yang ada di tubuh Muhammadiyah itu sendiri.

Lebih dari satu jam beliau berpidato menyampaikan harapan-harapannya pada para siswa dan Mu'allimin. Akhirnya di penghujung pidatonya beliau menyerahkan kembali para siswa yang baru dilepas itu pada walinya masing-masing. Sebelum akhirnya kembali ke tempat duduk, beliau diminta untuk memberikan amanah tertulis yang berbunyi " Kenapa kita tidak lebih baik, why we not the best". [ijan]

Rabu, 13 Mei 2009

MENGEJAR MIMPI INDAH (Pertemuan IKBAL Jogja)

Pertemuan dengan teman-teman alumni tanggal 12 Mei 2009 kemarin merupakan pertemuan yang memberiku banyak arti. Pertemuan itu adalah kali pertama selama hampir 6 bulan keberadaanku di kota Gudeg. Pantas kalau hampir semua diantara mereka mempertanyakan seputar kedatanganku di kota yang pernah menjadi ibu kota Negeri ini. Sambutan mereka sebagai seorang alumni terhadap teman sealmamaternya cukup hangat, mengingatkanku pada pondok yang selama ini telah menorehkan benih-benih kedewasaan dan persaudaraan. Tawa dan sapaan keakraban begitu sangat kental, menjadi pelipur kerinduanku pada Madura sebagai pijakan pertamaku mengawali proses perjuangan mengarungi bahtera kehidupan.

Pertemuan yang berlangsung di rumah Ust. Fathurrahman itu walau jauh dari kesan istimewa secara kemasan, namun mempunyai kesan yang cukup istimewa bagi diriku. Perhatian pertama yang memukau perasaanku tat kala bertatap dengan Ust. Fathurrahman seorang alumni tahun 1995 kelahiran asli tanah Prenduan itu yang kini bisa dibilang sudah bisa menuai jerih payahnya. Kepribadiannya yang santun serta loyalitasnya yang tinggi pada Al-Amien menjadikan kami (aku dan teman-teman) tidak canggung untuk bertegur sapa, walau kini beliau boleh dibilang sebagai salah seorang yang mempunyai posisi penting di ranah intelektual UIN Sunan Kalijaga. Posisi beliau sebagai dosen pada Fakultas Syari'ah di UIN tidak menjadikan beliau menjaga jarak pada kami yang kebetulan salah seorang diantara kami adalah Mahasiswanya. Aku benar-benar kagum...!!!

Aku kagum dan takjub dengan beliau yang kini bisa berdiri dengan tegak di tanah bukan kelahirannya. Aku dapat merasakan kalau beliau ini seorang pejuang, pekerja cerdas dan tangkas yang bisa membaca peluang dan tantangan. Tidak mungkin posisi yang cukup strategis saat ini didapat dengan berpangku tangan. Beliau benar-benar telah mampu melewati sengitnya multi-agresi di tanah rantau. Mengagumkan....!!

Di tengah kekagumanku tiba-tiba terbesit untuk mengorek diriku yang saat ini masih berproses. Timbul pertanyaan bisakah aku dengan keterbatasan serta kelebihan yang aku miliki bisa mencapai target-target impianku?. Pertanyaan sederhana yang tidak membutuhkan jawaban leteral atau verbal, tapi lebih dari itu adalah aksi nyata. Hidup menyuguhkan realitas yang selalu bersinggungan dengan sentuhan konkret. Hidup tidak cukup hanya berada dalam naungan ide, sehingga tidak perlu terlalu diidealiskan. Pada beberapa sisi ide memang tidak sepenuhnya dicampakkan tapi juga sering kali harus diikutkan sebagai penyeimbang dari gerak konkret yang dikhawatirkan tergelincir. Selama gerak konkret itu tidak menyimpang dari rel-rel agama maka sejauh itu ide harus diikutkan sebagai identitas seorang pejuang yang bekerja dengan Ilmu('ala ilmin). Inilah mungkin pembeda antara pekerja yang hanya mengandalkan otot dengan pejuang-pejuang ulung ala Ust. Fathurrahman yang beprinsip bekerja cerdas bukan bekerja keras.

Mimpiku jauh membumbung tinggi ke angkasa melampaui batas rongga-rongga langit alam ini. Mulai dari mimpi kesuksesan secara finasial sampai pada menduduki tahta yang penuh dengan gemerlap kenikmatan. " Hah..." sedikit aku menghela nafas sambil sunggingkan senyum tipis seakan menertawakan diri sendiri. Kemudian sunggingan senyum itu aku akhiri dengan perasaan optimis seumpama mimpi itu adalah masa depan yang dekat yang bisa kapan saja aku gapai. Aku sadar mungkin teman-teman IKBAL atau bahkan Ust. Fathurrahman sendiri akan ikut menertawakan diriku seandainya mereka tahu saat itu aku bermimpi indah di tengah gelaran mesra persaudaraan. Tapi aku akan dengan cueknya meneruskan mimpi itu dengan sambil berucap canda pada mereka " Bermimpi itu kan tidak usah bayar, jadi gak usah ditertawakan lah, apalagi sampai dilarang".

Sambil terus mengobrol rencana-rencana IKBAL Jogja ke depan, mimpi-mimpi itupun berlalu seiring ludesnya kripik kepeng ala Prenduan bersambelkan kacang pedas di depanku."Wuuuh...." rasa pedas nikmat itu memintaku untuk minum untuk hilangkan pedas. Keringat membasahi kening walau saat itu hembusan angin malam di depan rumahnya Ust. fathurrahman tak hentinya menerpa wajahku. Teman-teman yang lain tanpa dikomando juga berdesis nikmat. Benar-benar malam itu adalah malam yang memeprtemukan aku dengan mimpi, dan kenikmatan yang menyisakan semangat menggelora untuk menggapai mimpi itu. Semoga saja mimpi itu tidak tertelan pagi lalu lenyap digusur siang,aku akan selalu dengan semangat mengejar mimpi-mimpi itu.

Senin, 13 April 2009

Kilas Contrengan di Balik Keindahan Borobudur

Sudah berlalu contrengan untuk pemilihan calon legislatif, namun sayang sekali aku tidak bisa memberikan suara pada contrengan kali ini. Aku tidak terdaftar sebagai pencontreng di tempat baruku ini, toh walaupun terdaftar aku juga tidak bisa menentukan contrengan yang tepat. Selain tidak pernah mengenal sosok para calon, juga karena aku bukanlah orang asli Jogja. Ya ....masih beruntung tidak terdaftar, daripada terdaftar lalu kemudian bingung he...he...

Statusku pada contrengan kali ini benar-benar menjadi Golput tulen namun masih beralasan karena kendala tekhnis, kemudian di beberapa kalangan ada yang menyebutnya sebagai golput tekhnis. Artinya mereka kelompok yang tertahan suaranya karena terbentur dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk memeberikan suara, baik itu karena lokasi atupun kendala-kendala yang lain yang disebabkan oleh sistem yang buruk. Anehnya para golput di ibukota mencapai 40 persen bahkan konon hal ini berlaku untuk Nusantara secara umum. Jumlah yang cukup besar, untuk sementara persentase golput jika dibandingkan dengan jumlah perolehan suara partai yang mempunyai suara terbanyak (Demokrat), golput masih mengunggulinya. Dengan demikian golput menempati posisi puncak sebelum Demokrat. Terus Golput menang dong he..he...!!!

Tidak salah aku di pihak golput, karena masih tergolong banyak jika dibandingkan dengan partai pendatang baru yang notabenenya telah mengeluarkan budget yang lumayan tinggi mencapai milyaran rupiah. Namun golonganku ini sangat ekonomis, bahkan kampanyenya tidak pernah tergelar sekalipun, apalagi iklan di TV, tidak sama sekali. Sebenarnya gejala sosial ini cukup unik serta mengundang banyak praduga dari berbagai kalangan. Ada yang berparduga karena munculnya kebingungan sehingga lahirlah prilaku abstain. Praduga lain ada ketidak puasan dari para golput pada pemerintah serta menganggap pemilu kali ini hanya sekadar formalitas yang tidak akan memebrika perubahan apapun pada bangsa ini. Wah pokoknya banyak deh pertanyaan lain yang tentunya membutuhkan analisis dalam. Ah sudahlah let gone be by gone.

Untuk mengisi hari kosongku tanggal 9 April yang lalu aku duduk manis di depan komputer hanya untuk chat n browsing mengubur sepi yang mengusik. Sepi, karena saat itu hampir semua penghuni asrama mudik untuk mencontreng. tersisa aku dan beberapa orang yang tergolong mempunyai daerah jauh dari Jogja. Bergulir begitu cepat, sehingga tanpa terasa sorepun menjemputku dan menggelar kesunyian di belantara malam. Semuanya berjalan begitu saja, tanpa ada yang mengangggu ketenangan dan kedamaian hatiku. Sehingga pagipun menyambutku dengan lebih meriah lagi, karena pagi di Jum'at itu aku bermain Futsal yang merupakan agenda mingguan terfaforit.

Lepas bermain futsal menajdi rutinitas tak tergantikan yaitu harus mengisi perut yang sudah mulai bermusik ria. Dengan tujuan mengisi perut akhirnya aku meluncur mencari lokasi kuliner. Bertujuan ke depok untuk menikmati ikan cakalan namun akhirnya tujuan itu berbelot menuju Magelang dengan Brobudur sebagai sasaran terakhir. Kurang lebih 2 jam akhirnya aku sampai di daerah Borobudur. Lumayan mengangumkan untuk diriku yang baru akli kedua menginjakkan kaki di lokasi yang pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Udara panas serta waktu yang tidak memungkinkan untuk langsung menuju candi, akhirnya aku bersama tiga orang temanku duduk santai di salah satu warung di luar lokasi wisata untuk mengisi perut yang sedari tadi meminta haknya. Satu porsi gulai kambing lengkap dengan minumnya dalam hitungan menit dilibas habis tak tersisa. Keringat puas mengguyur seakan memberitahukan nikmat yang baru saja tersaji. Tidak berselang setelah itu, aku tunaikan sholat Jum'atku di masjid yang berada persis di samping warung. Al-Hamdulillah.....

Cukup lama aku menikmati Borobudur yang megah memepesona itu. Terhitung menjelang Ashar hingga jam 17.00. Suguhan Brobobudur kali ini free untukku dan teman-temanku karena sebelum ke Brobudur kami sempat singgah ke rumah teman yang kebetulan mempunyai hubungan baik dan dekat dengan Brobudur.Tanpa dipunguti apapun kami semua dengan leluasa menikmati Brobudur dengan puas. Akhirnya kami tinggalkan brobudur dengan riang, lepas dari berbagai belunggu. Itulah seputar aktifitasku di libur cintrengan lima tahunan kali ini.