Prolog
Interakasi antar sesama yang selama ini terjadi dalam kehidupan manusia menghantarkan munculnya beragam macam wacana. Pergolakan beragam wacana tersebut beruntut pada beberapa kajian yang berkecambah di kalangan kaum intelektual. Hal itu adalah wajar, mengingat dunia ini secara otomatis akan bergerak pada kondisi yang semakin kompleks. Bermunculannya beragam macam isu dan wacana tadi, selain menjadi kajian baru, pada akhirnya melahirkan gerakan-gerakan publik yang secara konkret akan menyuarakan dan memperjuangakan wacana yang diusung. Salah satu wacana yang masih cukup hangat dan banyak diperjuangkan oleh beberapa kalangan adalah, masalah gender yang tertuang dalam gerakan feminisme.
Wacana gender dan gerakan feminisme tersebut di atas, walau pada hakikatnya sudah cukup lama diperbincangkan di berbagai macam acara formal-intelektual, namun bagi beberapa orang keberadaannya masih kabur atau buram serta butuh penjelasan yang gamblang. Sangat wajar, karena wacana tersebut merupakan perbincangan yang hanya tersuguhkan pada kalangan elit-intelektual saja, belum sepenuhnya menjadi perbincangan publik secara umum. Dengan demikian, sebelum mengeksplorasi lebih jauh tentang gender, penulusuran kemunculannya secara historis adalah penting, agar nantinya tersuguhkan makna dan maksud dari mencuatnya wacana dan maraknya gerakan feminisme sebagai kelanjutan dari isu tersebut.
Kajian secara historis, selain mengenalkan secara lebih dekat pada publik tentang isu yang dibahas, diharapkan juga nantinya akan melahirkan sikap dan tanggapan yang bijak dari kalangan yang mengkajinya. Sikap arogansi dan beberapa sikap yang tidak mencerminkan kebijakan bukanlah yang diharapkan pasca kajian ini berlangsung. Pro dan kontra dalam suatu isu atau fenomena selamanya akan berjalan berdampingan, selama masing-masing kubu saling memperhatikan kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam kubunya, hal tersebut adalah wajar dan sah-sah saja. Berikut akan dikaji sekilas sejarah gender dan gerakan femenisme
Merinci Sejarah Kemunculan Wacana Gender dan Feminisme
Sejarah secara umum berbincang tentang rentetan kejadian-kejadian, di dalamnya terdapat nama, waktu dan tempat dari kejadian yang dimaksudkan. Ketika sejarah menjadi frame pembacaan terhadap sebuah wacana dan gerakan, sangat dianjurkan jika di dalamnya terdapat kajian filosofis dari setiap kejadian. Gender sebagai bagian dari model isu yang mencuat ke permukaan, maka dalam merinci kesejarahannya, penulis akan lebih awal melakukan pembacaan filosofis, agar nantinya substansi terdalam dari kejadian tersebut bisa terkuak lebih jelas.
Gender sebagai wacana, telah lama terbentuk melewati ruang dan waktu yang cukup panjang. Wacana ini lahir sebagai akibat dari hasil kreasi manusia yang didasari oleh tiga faktor paling signifikan dalam membentuk pola pikir. Tiga faktor tersebut adalah, budaya, ajaran agama dan kebijakan politik (Mulia,2001: 58). Budaya sebagai sebuah kebiasaan praktis dalam suatu kelompok yang tertuang dalam ritual harian, mulai dari pola makan, berpakaian sampai pada hal-hal yang paling kecil dalam kehidupan, tanpa disadari akan merembes pada pola pikir dari masyarakat tersebut. Selanjutnya, agama yang kerap kali menjadi bagian tersakral dalam kehidupan, menempatkan posisinya menjadi bagian yang sangat menentukan terhadap pola pikir manusia. Pembacaan terhadap kitab suci sebagai komponen vital dari sebuah agama menghantarkan beberapa pemahaman yang menjadi dogma bagi penganutnya, sekaligus dalam episode yang sama, menjadi bagian dari pola pikir bagi umatnya. Dalam pergumulan manusia secara horizontal, politik dan kehidupan bernegara merupakan bagian yang paling melekat dalam berkehidupan. Nuansa dan percaturan politik dari suatu Negara yang berbentuk berbagai macam putusan-putusan, pada gilirannya akan menggiring masyarakatnya pada satu jalur yang dikehendaki oleh Negara tersebut. Giringan yang muncul dari kebijakan-kebijakan politik tadi lambut laun dengan natural akan menjadi pola pikir rakyat dari suatu Negara.
Deskripsi singkat dar ketiga aspek material pembentuk pola pikir manusia di atas, walau masih bertaraf sangat abstrak, tapi sedikit akan memberikan ruang untuk meniti lebih tajam akan pemahaman eksplorasi historis kemunculan gender dan feminisme di tengah-tengah kehidupan. Dari pola pikir yang terbentuk tadi, menjelma dalam kehidupan realistis pada pembagian peran laki-laki dan perempuan yang timpang. Akibat ketimpangan yang mewakili ketertindasan kaum wanita dalam mewadahi hak-haknya memunculkan gerakan feminisme dan wacana gender (Munhanif, 2002: 1). Memungut dari realita ini, maka ketertindasan dan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum wanita menjadi titik tolak melajunya wacana tersebut, dibalik kejadian konkret historis di permukaan. Kegerahan inilah yang berada dibalik suguhan dan gerakan kasat mata yang kadang terlupakan, karena beberapa kalangan, kadang hanya melakukan pemungutan sejarah secara simbolis-praktis, bukan pada latar non aksi di balik dari setiap kejadian.
Bertumpu dari kajian histosris-filosofis di atas, kajian ini akan semakin lugas untuk dibicarakan lebih jauh, walaupun pada hakikatnya penjelasan di atas masih sangat miskin dan sempit. Tapi secara ekplisit sudah cukup refresentatif untuk membicarakan pada tahapan berikutnya yaitu, pembacaan historis-simbolis yang meliputi penyebutan tokoh, tempat dan waktu berlangsunya sejarah tersebut. Namun, pendekatan secara filosofis tentunya tetap akan disertakan, hal itu sebagai upaya agar penuturan sejarah ini akan lebih renyah untuk dinikmati sepanjang waktu dalam lintas golongan dan kalangan.
Wacana gender dan munculnya gerakan feminisme berawal dari tanah Eropa pada tahun 1785 di kota Middelburg sebelah selatan Belanda. Pada awalnya gerakan ini adalah kegiatan pembelajaran filsafat yang berupa kumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan yang ditokohi oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Namun menjelang abad ke-19 kegiatan ilmiah ini berubah menjadi sebuah gerakan public yang mendapat apresiasi dari para wanita Eropa untuk memperjuangkan apa yang disebut dengan sisterhood (persarikatan wanita-wanita) (Reyrey, 2008: halaman website).
Gender tecatat sebagai sebuah gerakan yang mengundang perhatian publik, sekitar tahun 1800-an dengan problem yang memicu bertolak dari hak politiknya untuk ikut pemilu waktu itu. Elizabet Cady salah satu tokohnya yang berhasil memotori kaum wanita untuk turun jalan kala itu (Bafagih, 2008: halaman website). Secara konkret istilah feminisme mulai digunakan pada tahun 1837 oleh Charles Fourier, kemudian dilanjutkan oleh John Stuart Mill, seorang Amerika dengan publikasi karyanya yang berupa Subjection of Women (Reyrey, 2008: halaman website).
Gerakan feminisme kemudian benar-benar menjadi isu Internasional tatkala tergusurnya Uni Soviet dan runtuhnya pluralisme serta mengemanya gaung diktatorisme yang dikomandani oleh Amerika Serikat (Abu Zayd, 2003: 157). Kebijakan politik Amerika yang bernuansa patriaki, tentunya banyak memojokkan kaum perempuan dan hal itu berarti semakin akan memicu gerakan feminisme tersebut untuk bermanover.
Tahun 1960-an pasca perang dunia kedua berakhir, gerakan feminisme mulai mendapati hasil gerakannya yang ditandai dengan berhasilnya beberapa wakil dari mereka bisa duduk di kursi parlemen. Fenomena ini menandai semakin menajamnya gerakan feminisme di kancah pergumulan politik dan kehidupan luas (Reyrey, 2008: halaman website).
Sedangkan awal embrio wacana gender dan feminisme di tanah air sudah mempunyai usia yang cukup tua, hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh Kartini sebagai pejuang gender yang meperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan sekitar menjelang tahun 1900-an. Isu gender itu semakin berkembang ketika memasuki dekade tahun 80-an. Pada gilirannya isu gender tersebut kemudian tidak hanya jadi isu kebangsaan, tapi juga terseret pada area problem keagamaan. Beginilah penuturan Budi Munawar Rahman dari lansiran wawancaranya yang dirilis dalam sebuah situs internet (Rubiyanti, 2008: hlmn website).
Membicarakan gerakan feminisme di Indonesia, selain tokoh Kartini juga terdapat beberapa tokoh lainnya yang juga telah memberikan perannya pada percaturan politik bangsa ini. Bahkan memasuki era reformasi pada tahun 2000-an salah satu puteri dari bangsa ini berhasil menempati posisi nomor satu di negeri ini yaitu, Megawati sebagai presiden. Walau pada beberapa sisi dari kehidupan wanita negeri ini masih ada yag kurang terpenuhi hak-haknya, tapi secara garis besar perkembangan femenisme boleh dibilang menapaki tahap keberhasilan. Semua perkembangan tersebut, merupakan cermin dari apresiasi dan kedewasaan dari bangsa ini. Kemajemukan budaya, adat, agama etnis dan bahasa bukanlah menjadi kendala, akan tetapi malah semakin mengokohkan wacana dan gerakan feminisme sebagai kebenaran yang perlu disadari oleh masing-masing individu dan kalangan.
Madzhab-madzhab Feminisme
Suguhan fakta riil lewat penuturan historis belum sepenuhnya dapat menggambarkan struktur ideologis dari kejadian yang bekaitan dengan gerakan ini. Masing-masing kejadian mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, dari sudut motivasi sampai pada tujuan-tujuan pragmatis-praktis yang akan digapai dari setipa pergerakan. Gerakan femenisme juga mempunyai beragam karakteristik, sehingga di dalam penulusuran sejarah sudah menjadi kebutuhan agar juga diulas dari sisi tipikalnya.
Secara garis besar gerakan feminisme terbentuk menjadi dua tipikal. Pertama Femenisme Ortodoks. Tipikal feminisme ini barkarakter fanatik terhadap wacana-wacana patriarchal (masculinity) yang menempatkan kaum wanita sebagai makhluk lemah yang selalu tertindas dan menjadi korban. Kubu ini lebih menekankan pada permintaan persamaan hak yang bersifat biologis, dengan anggapan bahwa perbedaan yang terbentuk antara male dan female merupakan bias dari wacana patriarchal. (Bafagih, 2008: hlmn website).
Kedua Postfeminisme. Kubu ini menghindari kesetaraan (equality) tapi malah menajamkan perbedaan (difference). Pedebatan yang diusung bertolak belakang dengan tipikal sebelumnya yang lebih mengupayakan persamaan, paradigm baru ini menjadikan wacana femnisme mempunyai wajah baru yang minim diketahui oleh khalayak luas. Psikoanalisa menjadi model pendekatan pembacaan dari kubu ini terhadap semua fenomena, semangat humanisme yang diusung oleh kubu sebelumnya, dalam hal ini melebur menjadi semangat esensialisme. (Bafagih, 2008: hlmn website).
Bila lebih dalam menyelami pembacaan secara prporsional terhadap dua model feminisme di atas, maka kesadaran akan menggiring pada sebuah pesepsi bahwa, manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya serta dengan berbagai benturan masalah yang menopang interaksinya akan melahirkan reflek-eflek tertentu sesuai dengan problem yang menjadikan posisi seorang individu terancam. Terancam dalam artian luas, terancam secara kenyamanan pada hak-haknya privasinya dan terancam pada hak-hak sosialnya. Kegerahan dan ketidaknyamanan tersebut, akan melahirkan wacana dan gerakan-gerakan yang variatif. Dua kerangka besar yang mewadahi wacana feminsme tersebut di atas, merupakan bagian dari kausalitas gerak reflek yang berangkat dai ketidaknyaman tadi.
Jika dua tipikal feminisme di atas diseret pada kenyataan yang melingkupi kehidupan saat ini, tipikal pertama lebih mendapat sokongan dari berbagai kalangan. Sifatnya yang sering pada posisi kontrofersial, menjadikan tipikal ini lebih menggairahkan untuk didekati. Keberadanyapun lebih dikenal dan berkembang dibanding tipikal yang ke-2 yang hanya bergerak lurus pada area qudrati (esensial) saja. Dianggapnya tipikal yang ke-2 ini hanya lontaran wacana ringan saja, sehingga pada tataran berikutnya kurang menarik untuk didekati secara mendalam. Keberadaannyapun kurang mempublik dan tidak berkembang.
Sebagaimana realita dari tipikal yang pertama dengan perkembangannya yang cukup meluas melahirkan anak tipikal di bawahnya. Setidaknya dari perkembangannya sampai saat ini ada lima anak turunan. Pertama Femenisme Liberal. Tipe ini menyokong kebebasan penuh terhadap perempuan yang berlandaskan rasio dengan menafikan sekat keterpasungan serta membangun persaingan yang bebas antara laki-laki dan perempuan (Herlianto,2009 : halaman website).
Tipikal Kedua adalah, Faminisme Radikal. Tipe ini bertolak dari kultur seksisme, utamanya untuk melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Ketiga feminisme Anarkis. Tipe ini mengidetifikasi bahwa laki-laki dan Negara adalah sumber petaka, karenanya cita-cita dari feminism yang bertipe anarkis ini adalah menghancurkan Negara dan laki-laki. Keempat Feminisme Sosialis. Tipe ini mengarah pada pembebasan dari satatus sosial seperti, menghapuskan kepemilikan harta oleh seorang suami terhadap istrinya. Tipe ini bedasar Ideologi Marxisme. Kelima Feminisme Post Modern. Tipikal ini memaknai gender terlepas dari identitas dan struktur sosial. (Herlianto,2009 : hlmn website).
Epilog
Kajian sejarah di atas terasa masih dangkal, banyak hal yang belum tersuguhkan secara jelas. Keterbatasan tersebut sangat terkait dengan pembacaan penulis teradap literatur. Namun, tidak bisa dikesampingkan adanya beberapa kesimpulan yang dapat dikuak dari pembacaan ini. Secara singkat penuturan sejarah di atas sudah refresentatif untuk melampaui ranah kesejarahan, termuat didalamnya fakta dan ideologi yang mewadahi dari setiap penuturan. Secara konkret femenisme dan wacana gender adalah bagian dari gerak natural dialektika manusia dalam menyikapi suguhan kehidupan. Keniscayaan kemunculannya adalah bagian dari kekayaan kajian keilmuan.
Perempuan dengan karakteristiknya yang beragam, tentunya secara qodrati mempunyai persamaan dan perbedaan dengan laki-laki. Keniscayaan adanya persamaan dan perbedaan itu menempati secara terstruktur dari susunan psikologis, bilogis,spiritual dan sosial. Persamaan dan perbedaan itu menghendaki sikap proporsional dari semua pihak, baik laki-laki ataupun perempuan. Kadangkala realitas itu menempatkan masing-masing pihak berada pada kedudukan atau penempatan yang sama, tapi juga bukan mustahi jika pada beberapa hal realitas meminta kedudukan atau tempat yang berbeda. Kesamaan kedudukan atau tempat, tidak selalu menunjukkan adanya keadilan dan meghantarkan keanyamanan. Perbedaan penempatan juga tidak berarti penindasan. Karenanya gerakan femenisme oleh kauam wanita untuk meminta haknya terkoyak oleh sikap arogansi bisa dibenarkan. Dibenarkan jika hak itu memang semestinya didapatkan, namun menjadi tidak normal jika gerakan ini berpotensi melahirkan persoalan lain. Misalnya, penodongan emansipasi yang berlebihan tanpa lebih dulu mempersoalkan hak-hak orang lain dan kemampuan diri.
Munculnya dua wadah besar tipikal feminisme (ortodoks dan postfemenisme) yang tertutur di atas, cukup untuk dijadikan cermin untuk bersikap proporsional, tidak tergesa-gesa dan tidak gampang teracuni oleh wacana yang sering kali bernuansa profokatif. Mengedepankan akal sehat serta menyelimutinya dengan nurani yang suci merupakan tindakan yang dapat menghindari dangkalnya persepsi serta akan menghantarkan pada sikap yang bijaksana.
Tanpa memihak pada sisi manapun, menempatkan perempuan sebagai mitra bagi laki-laki dalam ruang kehidupan merupakan sikap yang tepat dalam menyikapi wacana semisal feminisme yang rentan dan berpotensi menjadi konflik jika sampai salah bersikap. Prinsipnya, semua manusia adalah sama di sisi Tuhan, yang membedakan adalah amal baiknya. Maka seharusnya antara laki-laki dan perempuan berlomba untuk mengumpulkan kebaikan, bukan membuat problem yang saling menjauhkan dari Tuhan.
*) disampaikan pada diskusi kelas, Mata kuliah Analisa Gender dalam Perspektif Islam Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kamis, 15 Oktober 2009
Daftar Bacaan
Bafagih, Hikmah, SejarahGerakanPerempuan,http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html: diakses 10 Oktober 2009
Herlianto,Bagus Pramono,Feminisme, http://artikel.sabda.org/feminisme: diakses 10 Oktober 2009
Mulia, Siti Musdaf, Keadilan dan Kesetaraan Jender Pespektif Islam, Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama, Depag RI, 2001
Munhanif, Ali, Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia 2002
Reywasario,Sejarah Feminisme dan Aliran-alirannya, http://reyrey.blog.friendster.com/2008/02/sejarah-feminisme-aliran2nya/: diakses 10 oktober 2009
Rubiyanti, Dwi, Wacana Gender Dalam Gerakan Perempuan Islam Indonesia,edisi petikan wawancara berasama Budi Munawar Rachman,http://www.rahima.or.id/ : diakses 10 Oktober 2009
Zayd, Nasr Hamid Abu, Dekonstruksi Gender : Kriktik Wacana Perempuan dalam Islam, terjemah edisi Moch. Nur Ikhwan, Yogykata: UIN PSW SAMHA 2003